TUGAS KARYA ILMIAH PELAJAR SEKOLAH CIPUTRA SURABAYA
Dalam rangka memperingati Bulan Bahasa, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pemuda tahun 2009 Sekolah Ciputra Surabaya telah melaksanakan serangkaian kegiatan. Sebagai puncak peringatan tersebut adalah talk show dengan tema “Nasionalisme Dalam Karya Sastra Dan Di Kalangan Anak Muda”. Acara tersebut dilaksanakan pada tanggal 4 November 2009, jam 13.30-15.00 WIB di Aula Sekolah Ciputra, dengan mengundang saya sebagai narasumber pada acara tersebut. Yang menjadi pembawa acara Nadya Yusrina Putri (kelas 10B) sedang moderator Pak Amin, guru sastera Indonesia. Yang menjadi pokok (uraian tanya-jawab) dalam talk show tersebut selain kegiatan saya sebagai penulis buku, lebih mengerucut lagi kepada buku karangan saya serial Gadis Tangsi. Karena serial Gadis Tangsi selama tiga tahun belakangan sudah menjadi salah satu bacaan wajib buku sastra Indonesia di Sekolah Ciputra dari kelas 9-12. Maka para pelajar yang menghadiri talk show sudah faham betul cerita tentang Gadis Tangsi.
Namun, beberapa hari kemudian (26 November 2009) siang hari datang ke rumah saya 5 pelajar Sekolah Ciputra (Evelyn Halim, Indra Halley, Andrew Surya Nurhadi, Prayogo Welson, Michael Kusuma) dan sore harinya juga datang seorang lagi (Nikki Fania). Nikki Fania juga kelompok yang datang siang harinya, tertinggal dari rombongan karena rumahnya jauh terpencar dari teman-temannya tadi. Nikki Fania rumahnya di daerah Kenjeran (Surabaya sudut timur), sekolahnya di Puri Widya Kencana CitraRaya, di Surabaya barat. Pasti sekolah Nikki Fania dengan pembiayaan yang sangat mahal.
Mereka yang datang ke rumah saya adalah para pelajar dari Sekolah Ciputra, kelas 12. Mereka datang mewawancarai saya berhubung dengan tugas karya ilmiah yang harus mereka garap. Fokus wawancara mereka juga mengenai buku-buku sastra Indonesia yang akan jadi garapan mereka (tidak hanya buku serial Gadis Tangsi). Buku serial Gadis Tangsi hanyalah salah satunya. Berarti membaca buku sastra Indonesia menjadi kurikulum sekolah. Mereka dari jurusan (pilihan mereka) bahasa Indonesia. Kata mereka, selain dari jurusan bahasa Indonesia, tugas karya ilmiah menulis makalah seperti itu juga ditugaskan kepada pelajar jurusan (pilihan) ekonomi, teknik, dan lainnya. Menurut mereka, mereka tidak menghadiri acara talk show 4 November 2009. Yang hadir acara talk show adalah pelajar kelas 9-11 saja. Kelas 12 siap-siap menggarap tugas-tugas akhir sekolah.
Kemudian hari seorang bernama Vincent Cahyadi, mengirimi hasil garapan tugas karya ilmiahnya kepada saya. Mengingat pentingnya mendorong kegiatan para pelajar sekolah menengah untuk menggarap karya ilmiah berupa makalah, berikut saya muat menyeluruh karya Vincent Cahyadi, karena saya anggap sangat bagus untuk dijadikan contoh. Pertimbangan saya, pelajar sekolah menengah sudah bisa menghasilkan karya tulis ilmiah seperti itu, tentu hebat sekali. Ini makalah di bidang bahasa/sastera Indonesia. Vincent Cahyadi, bagaimana pun juga pasti membaca buku-buku serial Gadis Tangsi yang ditelitinya. Mereka yang menggarap tugas jurusan ekonomi atau teknik, betapa pun juga pasti memabacai buku-buku ekonomi mau pun teknik. Tanpa membacai buku-buku jurusannya mana bisa menghasilkan makalah karya tulis ilmiah seperti ini? Dan tentu saja Vincent Cahyadi juga belajar menulis. Tanpa punya kemampuan menulis, menyusun kalimat, mengeja kata, mengganti alenia, memberi tanda baca, mana mungkin dia bisa menghasilkan karya tulis ilmiah seperti ini. Dari contoh hasil garapan tugas belajar pelajar Sekolah Ciputra Surabaya ini saja, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa di Sekolah Ciputra Surabaya, An International and IB World School (International Education for Indonesian and Overseas Students) MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU itu jadi kurikulum sekolah. Sekolah Ciputra Surabaya membuka International Baccalaureate, Primary Years Programme, Middle Years Programme, Diploma Programme.
Saat ini ujian-ujian nasional sekolah baru saja selesai dilaksanakan. Cara menempuh ujiannya hanya dengan mengisi titik-titik pilihan saja. Tidak mengemukakan jawaban dengan menulis, menyusun kalimat. Apakah setelah dinyatakan lulus dari sekolah, ilmu mereka bisa dipergunakan untuk kehidupan mereka selanjutnya? Apa mengemukakan pendapat atau pikirannya pada kehidupannya selanjutnya bisa cukup hanya dengan membuat titik-titik seperti waktu menggarap ujian nasional? Dan kalau membaca buku dan menulis buku tidak dijadikan kurikulum seperti di sekolah Internasional Ciputra apakah mereka (lulusan Unas) nanti di perguruan tinggi lancar menulis karya ilmiah, baik mengenai sastra, teknik, ekonomi, pendidikan, hukum, kedokteran? Atau setelah mereka jadi mahasiswa baru BELAJAR MENULIS? Hasilnya akan bagaimana? Sebab kalau belajar membaca buku dan MENULIS buku baru dibiasakan setelah di jenjang mahasiswa, mereka sama dengan orang buta huruf yang baru belajar membaca. Dan akan sulit sekali mengemukakan pendapat atau pikiran dengan bentuk tulisan. Akan susah sekali menulis (buku/karya ilmiah/skripsi) kalau kebiasaan menulisnya baru dipratikkan setelah umur dewasa.
Di sinilah kendalanya, mengapa bangsa Indonesia ketinggalan dalam segala bidang pengetahuan. Di negeri lain, anak lulusan SMP/SMA sudah lancar membaca buku dan menulis buku (seperti pelajar Sekolah Ciputra di Surabaya), sedang pelajar lulusan Unas masih harus belajar membudayakan membaca buku dan menulis buku baru setelah di perguruan tinggi. Tertinggal jauuuh!
Persoalan ini pasti bukanlah karena di Sekolah Ciputra uang sekolahnya mahal dan muridnya pinter-pinter, sedang di Sekolah (Negeri) Indonesia kekurangan dana dan muridnya bodoh-bodoh. Persoalannya jelas karena sistem, atau methode pengajaran, atau pengelolaan pendidikan yang beda. Yaitu bahwa di sekolah negeri-negeri lain (manca negara) seperti apa yang dilakukan oleh Sekolah Ciputra Surabaya, pelajaran sastra, pelajaran membaca buku dan menulis buku, menjadi kurikulum utama untuk mencerdaskan dan membuat pinter anak didiknya. Pelajaran membaca buku dan menulis buku diajarkan kepada anak didik sejak si bocah belum mengerti huruf hingga akhirnya si anak didik punya budaya membaca buku dan menulis buku. Membudayakan membaca buku dan menulis buku tidak mungkin didril selama tiga bulan atau setahun pada les bimbingan belajar andaikata membaca buku dan menulis buku itu dijadikan mata pelajaran yang harus ditempuh pada Unas. Anak didik harus dibiasakan sejak masuk sekolah klas 1 hingga klas 12, setidaknya selama 12 tahun. Dan selanjutnya di perguruan tinggi membaca buku dan menulis buku tadi sudah menjadi kebiasaan atau kebudayaan hidupnya. Dengan begitu membaca buku dan menulis buku menjadi kiat, landasan, alat, prasarana, instrumen, infrastruktur dalam hidupnya untuk meraih ilmu dan ketrampilan hidup. Itu yang diajarkan di Sekolah Ciputra Surabaya: sastra atau membaca buku dan menulis buku dijadikan kurikulum utama sepanjang 12 tahun awal usia sekolah.
Sedang sekolah 12 tahun awal usia bocah di Indonesia, sastra tidak diajarkan (tidak masuk kurikulum). Membaca buku dan menulis buku (tiap hari di sekolah diajari/dilatih bersama membaca/menulis oleh guru) tidak dibudayakan di sekolah. Yang menjadi syarat bersekolah (di Indonesia sehingga lulus Unas) hanya BISA MEMBACA, tidak buta huruf. Yang masuk kurikulum yang nanti diujikan dalam uas dan unas adalah ilmu-ilmu pengetahuan. Yang diajarkan selama 12 tahun sekolah awal usia adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang bisa didapat dengan cara hadir dan mendengarkan guru mengajar, yaitu dengan cara (methode) MELIHAT DAN MENDENGAR ajaran guru. Setelah lulus unas, di perguruan tinggi (atau hidup di luar pendidikan/bekerja) ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup itu masih selalu harus dicari dan diterapkan, cara pencapaian atau pengeterapan ilmunya juga dengan MELIHAT DAN MENDENGAR. Melihat dan mendengar itu kodrat, sehingga meskipun lulus bersekolah awal 12 tahun di Indonesia ini putra bangsa tidak beranjak dari kehidupan orang primitif, yaitu MELIHAT DAN MENDENGAR jadi kiat hidupnya, atau untuk menyangga hidupnya. Melihat dan mendengar thok, tidak disertai kiat ketrampilan membaca buku dan menulis buku. Itulah hasil pendidikan sekolah di Indonesia. Sudah lulus unas, penyangga hidupnya masih hanya bertutur lisan doang, seperti kodratnya. Tidak hidup dengan kiat bahasa tulisan.
Barangkali akan lebih jelas kalau saya beri gambaran sebagai berikut:
Berbudaya membaca buku dan menulis buku itu adalah infrastruktur kiat hidup. Infrastruktur seperti halnya jalan (nama benda). Jadi, kalau sekolah 12 tahun dibudayakan membaca buku dan menulis buku, sama saja mereka diajari membangun infrastruktur, membangun “jalan” untuk dilalui “kendaraan”. Ilmu pengetahuan, baik sosial maupun pasti dan lain-lainnya, adalah “kendaraan”. Jadi ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah selama 12 tahun itu adalah mereka (putera bangsa) diajari membangun “kendaraan”. Kendaraan yang ditarik tenaga manusia (becak), ditarik tenaga binatang (delman, dokar), ditarik tenaga mesin (mobil, motor). Setelah lulus unas dan di perguruan tinggi ataupun bekerja, mereka juga melanjutkan menuntut ilmu pengetahuan agar hidupnya nyaman. Yaitu menuntut ilmu membangun “kendaraan” yang canggih, yang cepat sampai, yang aman, yang nyaman. Mungkin mereka sangat mahir membangun “kendaraan” seperti yang diajarkan di perguruan tinggi. Tetapi kalau mereka tidak membangun “jalan” (infrastruktur) bagaimana “kendaraan” (becak, dokar, mobil) mereka bisa melaju canggih, cepat sampai, aman dan nyaman?
Jadi kalau di Sekolah Ciputra Surabaya, selain ilmu pengetahuan (“kendaraan”) juga diajarkan sastra (“jalan”) sebagai kurikulum, mereka sama saja diajari selain membuat “kendaraan” juga membuat “jalan”. Nanti setelah lulus sekolah, apa pun “kendaraan” yang dicipta bisa berjalan sebagaimana fungsinya, karena mereka juga menciptakan “jalan”.
Sedang para lulusan unas sekolah Indonesia, yang disiapkan untuk lulus unas hanyalah ajaran ilmu pengetahuan, yang di sini saya lambangkan dengan membuat “kendaraan”. Nanti setelah lulus sekolah (unas), lalu bekerja ataupun di perguruan tinggi, masih harus menuntut ilmu pengetahuan (membuat “kendaraan”), betapapun hebatnya mereka mencipta “kendaraan”, mana bisa berfungsi karena mereka selama 12 tahun usia awal sekolah tidak diajari membuat “jalan”? “Kendaraan” yang mereka ciptakan baik sebagai mata pencaharian maupun untuk meneruskan belajar di perguruan tinggi, mangkrak, tidak berfungsi, tidak tersalur. Sebab mereka (di sekolah 12 tahun) hanya diajari membuat “kendaraan”, setelah melampaui unas yang bisa dicipta (dibangun) hanya “kendaraan”. Tidak mampu membangun prasarana “jalan” karena selama sekolah 12 tahun tidak diajari membangun “jalan” (sastra, membaca buku dan menulis buku). Lalu bagaimana “kendaraan” ciptaan mereka setelah lulus unas difungsikan, wong mereka (lulusan unas) tidak bisa menciptakan “jalan”?.
Pengamatan saya, di Sekolah Ciputra Surabaya sastra masuk kurikulum, berarti murid atau pelajar selain menuntut ilmu pengetahuan (membuat “kendaraan”) dengan cara MELIHAT DAN MENDENGAR, di sekolah juga diajari MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Buktinya semua tahu cerita buku Gadis Tangsi. Setelah lulus sekolah kiat hidupnya selain kodrati juga sastrawi, selain bisa membangun KENDARAAN, juga membangun PRASARANA JALAN. Seterusnya, mereka bisa membangun kendaraan yang modelnya apa saja (misalnya sepeda, becak, motor, mobil, tank) yang bisa digunakan untuk berkendaraan karena prasarana jalannya juga sudah dibangun (membaca buku dan menulis buku).
Sedang putera bangsa yang selama bersekolah 12 tahun tidak dibudayakan membaca buku dan menulis buku (membangun prasarana jalan), kurikulumnya hanya diajarkan ilmu pengetahuan (membangun kendaraan) dengan cara MELIHAT DAN MENDENGARKAN ajaran guru (hadir di sekolah), maka setelah lulus unas, kiat hidupnya hanya kodrati (seperti orang primitip, mengandalkan melihat dan mendengar), kiat hidupnya hanya membangun KENDARAAN. Biarpun membangun kendaraan (sepeda, becak, motor, mobil, tank) yang canggih kalau prasarana jalannya tidak dibangun bagaimana kendaraan ciptaan mereka berfungsi dengan baik? Biarpun ilmu pengetahuan yang dituntut telah begitu tinggi (misalnya bidang kedokteran) kalau mereka tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku, ilmu pengetahuan yang mereka serap hanya dari pertemuan mereka dengan dosen (melihat dan mendengar) sampai seberapa jauh bisa bermanfaat?
Dengan tidak diajarkannya sastera (membaca buku dan menulis buku) selama awal 12 tahun sekolah di Indonesia, maka rata-rata penduduk Indonesia kiat hidupnya hanya secara kodrati. Hidup hanya dengan mengandalkan bahasa lisan. Sedang warga dunia lainnya selain lisan juga tulisan (membaca buku dan menulis buku). Bangsa Indonesia jadi tertinggal jauh. Apalagi dengan selalu dipermudahnya teknik penyerapan melihat dan mendengar, yaitu dipermudahnya menikmati radio, telepon, televisi, handphon, musik, sehingga putera bangsa sangat terpesona menggunakannya (bisa menikmati tanpa bersusah payah belajar), kian terlena tidak membaca buku dan menulis buku. Bangsa Indonesia menjadi TIDAK PRODUKTIF, TIDAK MANDIRI, tetapi terjajah oleh teknologi, konsumtif, hidup sangat ketergantungan dari produk asing, dan selalu kekurangan (miskin/bodoh). Karena konsumtif biasanya lalu serakah, merasa selalu kekurangan, ingin selalu bisa mendapatkan kenyamanan hidup, lalu berbuat yang paling cepat dan mudah memperoleh kenikmatannya, yaitu korupsi, atau merampok.
Jadi sebetulnya mengajarkan/membudayakan anak didik awal sekolah 12 tahun dengan membaca buku dan menulis buku, adalah instrumen pondasi memberantas kemiskinan dan kebodohan. Dan kalau tidak membaca buku dan menulis buku, pemberantasan kemiskinan dan kebodohan dengan cara apapun (tidak ada pondasinya) akan muspra. Kalau begitu mengapa sastra (membaca buku dan menulis buku) tidak masuk kurikulum sekolah 12 tahun usia awal? Mengapa tidak seperti di Sekolah Ciputra Surabaya, atau sekolah-sekolah di manca negara? Sastra (membaca buku dan menulis buku) menjadi kurikulum utama pada sekolah 12 tahun awal usia, karena di situlah para peserta anak didik bangsa diajari (dibudayakan) membuat “jalan” sebagai kiat hidupnya sepanjang usianya (sampai tua masih membaca buku dan menulis buku).
Begitulah pendapat dan usul saya. Sastra (membaca buku dan menulis buku) masuk kurikulum 12 tahun sekolah awal usia. Lo, nanti menempuh unasnya bagaimana? Yang menentukan guru-guru sekolahnya, dengan nilai yang bagaimana pelajarnya boleh mengikuti unas. Karena sastra tidak bisa dinilai hanya lewat les bimbingan belajar.
Marilah sekarang kita kaji makalah Vincent Cahyadi, pelajar kelas 12 Sekolah Ciputra Surabaya. Apakah putera bangsa yang baru lulus Unas juga punya kemampuan “membangun infrastruktur jalan” seperti para pelajar Sekolah Ciputra Surabaya? Kalau tidak mampu persoalannya bukan karena pelajar Sekolah Ciputra Surabaya kaya dan pintar, pelajar Indonesia di sekolah lain kekurangan dana dan bodoh, melainkan karena methode pendidikan sekolah 12 tahun mereka yang beda.
Selamat membaca.