KETERKAITAN HUMOR DAN SEJARAH
Dari Surabaya Untuk Indonesia adalah motivasi hidupku setelah saya menjalani hidup sepanjang umurku ini di Surabaya. Dan kebetulan saya lahir di Surabaya. Surabaya Kota Pahlawan, memang tercipta dengan terjadinya perang kemerdekaan 10 November 1945 di Surabaya. Tanggal itu terjadi setelah Gubernur Jawa Timur pertama, RMTA Suryo menolak ultimatum Commander Alied Land-Forces East-Java Maj. Gen. E.C.Mansergh (pasukan Inggeris pemenang Perang Dunia II) agar Arek-arek Surabaya meletakkan senjatanya, menyerahkan kepada pasukan Inggris paling akhir tanggal 9 November 1945. Tetapi RMTA Suryo menjawab dalam pidato radionya di pemancar RRI Surabaya di Embong Malang, “Lebih baik hancur daripada dijajah kembali!”. Dan mengucapkan “Selamat berjuang!” kepada rakyat Indonesia di Surabaya waktu itu. Maka keesokan harinya, Kota Surabaya dihujani bom dan peluru dari darat, laut dan udara oleh pasukan Sekutu (Inggris). Pertempuran 10 November 1945 pun mulai.
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah yang pertama kali rakyat negeri koloni yang telah terjajah bertahun-tahun memberontak dengan senjata perang modern untuk mencapai kemerdekaan dan berhasil. Pertempuran diawali dari Surabaya 10 November 1945, dan setelah perjuangan bersenjata selama lima tahun berakhir Indonesia merdeka 100% pada Desember 1949. Dan setelah itu pemberontakan bersenjata rakyat negeri-negeri koloni di Asia dan Afrika juga berjuang untuk mencapai kemerdekaannya, seolah-olah menirukan hasil perjuangan rakyat Indonesia yang dimulai dari Surabaya 10 November 1945. Pertempuran 10 November 1945 di Surabayalah awalnya. Apabila tidak terjadi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, mungkin sekali Indonesia dan negeri-negeri koloni di Asia dan Afrika tidak merdeka. Atau merdeka bukan dengan perjuangan bersenjata, melainkan karena mendapat hadiah dari Sang Kolonialis, negeri yang telah menjajahnya ratusan tahun lamanya. Dan Surabaya pun tidak disebut Kota Pahlawan.
Dari pengamatan dan pengalaman saya hidup panjang, bukan Gubernur Jawa Timur RMTA Suryo dengan generasinya saja yang berjuang dari Surabaya untuk Indonesia. Kota Surabaya memang sumbernya kepahlawanan dari Surabaya untuk Indonesia. Coba saya catat: Raden Wijaya mengusir tentara Tartar dari Surabaya. Sunan Ampel berjasa sebagai pelopor berkembangnya agama Islam pemula, sebagai Wali Sanga tertua. Dokter Soetomo pendiri Budi Utomo yang tercatat sebagai peristiwa Kebangkitan Nasional (1908) dan mendirikan partai politik Parindra (Partai Indonesia Raya) yang markasnya (dan makamnya) di Bubutan 87 Surabaya. Tjokroaminoto berjasa mendirikan Sarekat Dagang Islam yang kemudian menjadi partai politik Sarekat Islam 1929. WR Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya, meskipun bukan kelahiran Surabaya tapi makamnya jelas di Surabaya, pernah tinggal di Surabaya Jalan Mangga di Tambaksari. Bung Karno, yang konon kelahiran Kampung Pandean Surabaya dan pernah sekolah HBS (Kompleks SMAN Wijayakusuma) Surabaya memproklamasikan Indonesia Merdeka. Gubernur Mohammad Noer berjasa membuat wong cilik gumuyu.
Tidak pada zaman yang sama, dan juga tidak pada garapan yang sama tapi tetap serupa pada Dari Surabaya Untuk Indonesia, yang sudah tiada maupun yang sedang kuncup dan berkembang misalnya para pelantun lagu: Dara Puspita, Gombloh, Leo Kristi, Mus Mulyadi, Franky Sahilatua, Dewa, Padi, dan terbaru Klantink. Mereka juga tersohor Dari Surabaya Untuk Indonesia. Dari bidang lainnya, dari pentas ludruk, sandiwara, sastra, olehraga, masih banyak sekali yang bermotif Dari Surabaya Untuk Indonesia. Tak terkecuali dari bidang pelawak. Kota Surabaya sudah sangat terkenal gudangnya pelawak, baik dari pentas Srimulat, maupun ludruk. Menyebut ludruk orang Surabaya tentu tidak lupa menyebutkan Cak Kartolo bersama grupnya.
Itulah sebabnya saya menulis catatan di buku ini. HM Cheng Ho Djadi Galajapo, adalah seorang pelawak, yang semula muncul tahun 1980-an dengan karakter perorangan bernama Djadi, lalu ada ide dari wartawan Jawa Pos (Sam Abede Pareno) menggabungkan berkelompok dengan pelawak munculan baru juga: Priyo dan Lufti. Nama gabungannya jadi Galajapo, singkatan dari Gabungan Lawak Jawa Pos. Nama Gala juga sedang terinspirasi dari banyaknya kata gala yang beredar zaman itu seperti Galatama, Galarama, Galatawa. Ide yang membidani nama Galajapo dan getol mencarikan job grup pelawak baru Galajapo itu adalah Kris Maryono, wartawan RRI Surabaya.
Munculnya grup lawak Galajapo sebenarnya sudah zaman masa laluku. Saya sudah menghindar dari perkembangan riang-riuh masyarakat yang bersifat hiburan. Menjelang pensiun saya bersiap-siap lebih menekuni bidang penulisan sastra, selain untuk mempersiapkan diri tetap berkarya tekun pada bidang penulisan buku, juga berusaha tidak nganggur seolah hidup sudah selesai setelah pensiun. Saya sudah jauh dari mengamati perkembangan dunia hiburan, baik hiburan umum apalagi khusus dunia pelawak. Namun, selama saya hidup di Surabaya, betapa pun jauhnya perhatian saya, berita-berita “kemasyuran” pada zaman yang berlangsung, tentu masih juga tertangkap pada perhatian saya. Apalagi kemasyuran orang-orang Surabaya.
Meski dalam perhatian yang minim, saya dengar juga bahwa grup pelawak Galajapo, suatu nama baru, sering naik pentas dan cukup termasyur jadi pesaing job-job petilan tanggapan pelawak dari Srimulat. Mengapa jadi termasyur, karena caranya melawak memang beda daripada yang telah termasyur. Tampil beda, tetapi tetap berkualitas sama, akan merupakan penyegaran baru di dunia hiburan. Dan itu akan jadi pilihan utama untuk ditanggapi masyarakat.
Selanjutnya hiruk-pikuk politik berkembang membuat banyak aspek kehidupan masyarakat bermuram durja. Termasuk dunia pelawak yang tugasnya menghibur masyarakat, sulit berkembang. Grup-grup pelawak tetap mencoba eksis lewat pentas panggung maupun televisi, dan media suara radio, namun hasilnya tetap sulit seperti halnya aspek kehidupan lain misalnya tentang memasukkan sekolah para anak-anaknya, kesulitan mencari pekerjaan, dan lain sebagainya.
Namun dari dunia yang berimpit-impit kesulitan tadi, dari bilik hati saya yang sudah menarik diri dari kericuhan masyarakat, saya masih mendengar gelak tertawa riang yang dipancarkan dari pelawak perorangan dengan nama panjang: HM Cheng Hoo Djadi Galajapo. Tidak hanya panjang namanya yang berbisik di telinga saya, tapi juga panjang kemasyurannya. Termasyur dari nama yang panjang dan terkesan beda. Baik nama Cheng Hoo (setahuku dalam sejarah itu nama Laksamana Cina yang membawa agama Islam ke Nusantara) maupun Galajapo yang sudah saya kenali menjelang saya pensiun, namun kemasyurannya sebagai mesin pembuat geli mengapa menjadi nama panjang seseorang? Itu saja sudah beda, dan menyangkut banyak hal. Kemudian nama itu dalam segala kesempatan yang sempit saya pergoki pada pentas dan media yang berbeda, dan tetap sebagai penyiar hiburan yang segar, cerdas, terpelajar, spontan, membimbing moral seperti berdahwah, menggairahkan dan mempesona kepada mereka yang mendengar dan menonton. Suara pancaran hiburan dari seorang HM Cheng Hoo Djadi Galajapo sering saya pergoki tak sengaja lewat siaran radio, televisi, sebagai MC pada acara orang mantu baik di desa maupun di kota besar, bahkan di acara-acara di Ibu Kota, sebagai pembawa acara pada seminar keilmuan, pada acara pemerintahan baik di lurah, camat, walikota, kapolda, gubernur, menteri sampai juragannya para menteri. Tiap kali kepergokan, terdengar riuh-rendah gelak tertawa para yang menyaksikan maupun yang mendengarkan. Pertanda bahwa pelawak atau pembawa acara yang namanya HM Cheng Hoo Djadi Galajapo itu kecerdasannya melawak bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat, baik di desa maupun di Ibu Kota, baik masyarakat awam maupun para intelektual, baik muda maupun orang tua. Bahkan saya yang telah bersembunyi di kamar saya ukuran 5X4 meter setiap hari, juga tertembus namanya. Hebat sekali.
Dan ia orang Surabaya. Kemasyurannya melawak beredar dari Surabaya untuk Indonesia. Layaklah kemasyurannya membuat saya termotivasi mencatat dia menjadi “pahlawan”, tidak bedanya dengan Gubernur Muhammad Noer yang mampu membuat wong cilik gumuyu. Dari Surabaya untuk Indonesia.
Motivasi pencatatan menjadi “pahlawan” dari Surabaya untuk Indonesia begini juga saya tawarkan kepada semua saja yang pernah dan sedang hidup di Surabaya. Mumpung belajar atau bertempattinggal di Surabaya, catatkanlah dirimu menjadi “pahlawan” dari Surabaya untuk Indonesia. “Pahlawan” tidak perlu berarti perang, atau hiruk-pikuk demonstrasi mencoba mengubah zaman secara radikal revolusioner atau tindak kekerasan yang lain. Jadi “pahlawan” juga tidak penting harus memangku jabatan mapan atau kaya; lebih penting kemasyuran positif yang bermanfaat bagi sesama umat. Seperti kata Einstein: “Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil, tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna”. Curahkan tenaga untuk berusaha keras jujur sabagaimana potensi bakat kemampuan diri untuk kepentingan masyarakat agar sejahtera makmur dan damai, itulah yang saya maknai dengan “pahlawan”. Dan, Kota Surabaya sudah terkenal sebagai Kota Pahlawan. Kepahlawanan bisa tumbuh subur di kota ini. Kapan saja, pada zaman apa saja dan bentuk sifat serta caranya bagaimana, terserah bakat, kemampuan, serta kejujuran suara hati nurani seseorang maupun kelompok. Di sinilah HM Cheng Hoo Djadi Galajapo saya tempatkan sebagai “pahlawan” dari Surabaya untuk Indonesia. Meski dalam suasana negeri dilanda hiruk-pikuk politik yang tokohnya cakar-cakaran saling ingin menang sendiri dan serba menyalahkan tindakan pesaingnya, HM Cheng Hoo Djadi Galajapo tetap menghibur, melawak secara cerdas, santun dan menuntun ke arah bijak kepada yang dihibur, tanpa merasa lelah. Pokok menghibur sehat kepada masyarakat itulah yang utama, jabatan dan kekayaan itu bukan tujuan. Itulah karmanya, tingkah laku budaya HM Cheng Hoo Djadi Galajapo yang berbisik menggelitik di telingaku. Maka kutulis catatan ini.
II.
Motivasi yang lain pada hidupku yang panjang ini adalah menerbitkan buku. Itulah sebabnya sekarang ini saya menulis catatan ini. Cerita tentang HM Cheng Hoo Djadi Galajapo diterbitkan jadi buku. Itulah juga motivasiku.
Dinasaurus mati punah beribu tahun yang lalu meninggalkan fosil. Dari fosilnya orang dapat meneliti bahwa dinasorus adalah binatang sebangsa reptil yang besar berkembang-biak dengan bertelur (ovovivipar).
Lagu Tak Gendhong, Di Mana-mana sangat populer dinyanyikan oleh Mbah Surip. Mbah Surip meninggal dunia belum tiga tahun yang lalu. Tetapi siapakah dia, lahir di mana, kapan, isterinya berapa, kita tidak tahu. Terlupakan.
Sajak bahasa Jawa: Amenangi jaman edan/ Ewuh aya ing pambudi/ Melu edan nora keduman/ Yen tan melu anglakoni/ Boya keduman milik/ Kaliren wekasanipun/ Ndilalah kersaning Allah/ Begja-begjane kang lali/ Begja kang eling lamun waspada. (Mengalami zaman gila, serba sulit dalam alam pikiran, ikut menjadi gila hati tak kuat, apabila tidak ikut tidak akan mendapatkan bagian, yang dapat berakhir dengan kelaparan. Namun, menurut takdir Tuhan, betapa pun bahagia orang yang lupa, lebih bahagia orang yang sadar dan waspada). Penggemar sastra Jawa sudah sangat mengerti bahwa sajak yang menekan filsafat hidup tadi karangan Ranggawarsita, yang telah meninggal 1874 (137 tahun yang lalu). Namun siapa Ranggawarsita sampai sekarang pun banyak para ahli sastra yang tahu, karena dia adalah pujangga Kraton Surakarta yang telah banyak menulis buku. Karena tulisannya diterbitkan jadi buku itulah sampai sekarang buku-buku Ranggawarsita masih banyak didiskusikan di Inggris, Prancis dan Belanda.
Meskipun lagu Tak Gendhong Di Mana-mana pernah populer, namun karena lelakon budayanya tidak ditulis jadi buku, baru meninggal beberapa tahun saja nama penciptanya maupun lagunya lenyap begitu saja. Hilang dari ranah sejarah. Tetapi Ranggawarsita, meskipun telah wafat seratus tahun lebih, namanya maupun karyanya tetap dibicarakan orang sampai sekarang, karena dia menulis buku dan bukunya diterbitkan. Jadi penerbitan buku adalah pelestarian karya budaya, atau seperti fosil pada dinasaurus. Dengan karya budaya diterbitkan menjadi buku, meskipun sudah mati ratusan tahun yang lalu, karya budaya tadi masih bisa diteliti bagaimana kejadiannya. Seperti kehidupan dinasaurus bisa diteliti dari fosilnya.
Peristiwa di dunia ini sudah berlangsung 21 abad, namun kalau tidak tercatat dan diterbitkan jadi buku tidak akan terdeteksi sejarahnya. Tetapi yang ditulis pada buku, akan terus diketahui oleh generasi manusia berabad berikutnya dengan cara membacai bukunya. Oleh karena itu saya menyebutkan menerbitkan buku dan membaca buku itu kiat hidup modern. Dan mengubah takdir. Dengan banyak membaca buku hidupnya menjadi lebih baik, lebih bijak.
Bagaimana kegiatan budaya pelawak HM Cheng Hoo Djadi Galajapo ditulis dan diterbitkan jadi buku, itulah apa yang saya motivasikan pada putera bangsa selama ini. Membaca buku dan menulis buku adalah kiat hidup modern, karena itu membaca buku dan menulis buku harus dibudayakan pada putera bangsa. Meskipun usia budaya membaca buku dan menulis buku sebagai kiat hidup modern itu sudah berawal dari 400-an tahun Sebelum Masehi, namun amat sayang bahwa putera bangsa Indonesia sampai abad ke-21 ini masih amat jarang yang harkat hidupnya berkiat membaca buku dan menulis buku. Sehingga peristiwa budaya atau sejarah yang penting seperti peristiwa 10 November 1945 di Surabaya tidak banyak pemuda Indonesia yang tahu rincinya karena tidak diterbitkan jadi buku. Dan putera bangsa tidak tahu peristiwa rincinya karena tidak punya budaya membaca buku. Sungguh sayang sekali.
Orang pintar seluruh dunia ini pasti membaca buku dan menulis buku. Sedang bangsa Indonesia hingga sekarang, 90% kiat hidupnya tidak berbudaya membaca buku, apalagi menulis buku. Dan oleh karena banyak putera bangsa tidak berbudaya membaca buku, bangsa Indonesia boleh dikata bukan orang pandai, mungkin cerdas tetapi curang, dan tidak hidup dengan kiat modern. Itu bisa kita rasakan keadaan Indonesia sekarang. Tidak modern berarti kuna, primitif. Dan orang primitif tertinggal zaman, bodoh, miskin, tidak kreatif, tidak inovatif, sulit diatur, tidak berperadaban baik, serakah, korup. Buku itu jendela dunia, membaca buku itu bukan saja sama dengan melihat dunia, tetapi juga mengubah takdir. Kalau tidak membaca buku mungkin seseorang tertakdir menjadi dukun, kalau profesinya dengan cara membaca buku dia bisa menjadi dokter. Tidak membaca buku profesinya jadi tukang, dengan membaca buku takdir profesinya bisa diubah jadi insinyir. Sudah jadi guru selama 5 tahun, untuk meningkatkan posisinya menjadi dosen harus menempuh tesis S2 tidak mungkin si guru tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku. Ya, pendeknya membaca buku dan menulis buku itu mengubah takdirnya (hidupnya) menjadi lebih baik.
Dengan ditulisnya dan diterbitkannya riwayat kemasyuran HM Cheng Hoo Djadi Galajapo, baik itu ditulis sendiri maupun oleh orang lain, riwayatnya pasti akan lebih tersiar lagi dengan membaca bukunya, dan karmanya juga akan lestari untuk dilacak dan ditelusuri. Ia sudah meninggalkan fosil. Dan sekali gus (dari pandanganku) dia sudah menempuh kiat hidup modern. Amal perbuatannya telah terabadikan atau difosilkan dalam dokumen buku, karma perbuatannya bisa menjadi keteladanan siapapun yang membaca bukunya.
Banyak contoh tokoh dan peristiwa yang dibukukan, meskipun yang menulis bukan sang tokoh, lalu buku itu jadi bacaan orang sedunia, dan tokoh serta peristiwanya jadi termasyur. Termasyur karena bukunya dibacai oleh banyak orang. Dan orang yang membaca bukunya jadi tahu kemasyuran tokoh tadi yang mungkin hidup si tokoh sudah berabad yang lalu. Maka orang yang membaca bukunya dan menyiarkan bukunya itu disebut sastrawi atau modern. Dan orang yang tidak berbudaya membaca buku, tidak tahu kemasyuran tokoh dalam buku, ketinggalan ilmu pengetahuan, disebut hidup kodrati, alias primitif.
Socrates (470-399 SM) adalah tokoh yang paling banyak menyiarkan ilmunya dalam seluruh sejarah filsafat, sehingga dia merupakan salah seorang filosuf yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa selama hampir 2500 tahun ini. Socrates banyak menyiarkan pemikiran filsafatnya hanya melalui pidato-pidatonya (bersuara, didengarkan, ditonton, seperti halnya kegiatan HM Cheng Hoo Djadi Galajapo). Juga ketika Socrates mengadakan pembelaan atas hukuman mati minum racun oleh pengadilan di Athena, hanya dipidatokan. Baik pemikiran filsafatnya maupun pidato pembelaannya, menjadi misi kemanusiaan yang tersebar di seluruh dunia hingga berabad-abad lamanya karena pidato-pidatonya tadi ditulis oleh Plato (murid Socrates) setelah kematian Socrates. Plato menuliskan pidato pembelaan Socrates pada buku Apologi. Di samping Apologi Plato juga melestarikan (ditulis jadi buku) seluruh karya utama Socrates yang dipidatokan di depan banyak orang kumpulan Epistles dan kira-kira 25 Dialog filsafat yang pernah didiskusikan dan dipidatokan Socrates. Kita bisa mendapatkan karya-karya ini berupa buku sekarang berkat tindakan Plato menuliskannya jadi buku yang bisa dibaca dan dipelajari sejak Plato mendirikan akademi (semacam sekolah zaman sekarang). Kalau tidak jadi buku dan dibaca pada buku, apa manfaat filsafat Socrates yang diuraikan secara lisan demi untuk menata kehidupan manusia ~ kebenaran, etika, kebaikan dan kejahatan ~ masa depan yang ideal? Lenyap seperti lagu Tak Gendhong Di Mana-mana. Muspra!
Pada misal ini, HM Cheng Hoo Djadi Galajapo semisal Socratges, sedang Arifin BH (penulis buku ini) menjadi Plato. Dan kita yang membaca bukunya, sebagai orang yang ingin mengubah takdir kita, kesejahteraan dan kebijaksanaan kita, agar menjadi lebih baik.
Baik Yesus, maupun Socrates adalah contoh yang penuh teka-teki, juga bagi rekan-rekan sezaman mereka. Tidak seorang pun di antara mereka menuliskan sendiri ajaran-ajarannya, maka terpaksa kita mempercayai gambaran aktivitas mereka pada buku yang ditulis oleh murid-murid mereka (Socrates dan Yesus). Tapi kita tahu bahwa Socrates maupun Yesus adalah jagoan dalam seni beraudensi maupun berdiskusi (seperti HM Cheng Hoo Djadi Galajapo di depan pendengar atau penontonnya). Mereka menentang kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan dan korupsi. Dan akhirnya, aktivitas-aktivitas mereka mengakibatkan mereka kehilangan nyawa (dihukum mati). Socrates dan Yesus tidak menuliskan sekalimat pun tentang ajaran-ajarannya. Plato menyelamatkan dan mengembangkan ajaran Socrates dengan cara menuliskannya jadi buku. Lucas, Mateus, Markus dan Johanes menyelamatkan mengabadikan, menyiarkan dengan mengembangkannya dengan menulis ajaran Yesus jadi Kitab Injil.
Begitu juga Muhammad. Juga tidak menulis sekalimat pun aktivitasnya. Agama Islam berhasil disiarkan dan banyak pemeluknya hingga pada masyarakat zaman sekarang lewat pembacaan Al-Qur’an yang ditulis dan dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit sejak umur 12 tahun menjadi “sekretaris” Rasulullah, menulis wahyu yang diterima oleh Rasulullah, namun berupa tulisan bait-bait Al-Qur’an yang masih berlepasan. Baru ketika Abu Bakar menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al-Qur’an yang berserakan dikumpulkan dan disatukan. Zaid bin Tsabit yang diperintahkan oleh Abu Bakar yang menyetujui usul Umar bin Khattab, memimpin kodifikasi Al-Qur’an yang semula tulisan lepas-lepas berserakan itu.
Demikianlah beberapa contoh tentang penulisan buku, penerbitan buku, pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang dibaca dari buku. Dengan penerbitan buku, dan kebudayaan membaca buku dan menulis buku sebagai kiat seseorang atau bangsa hidup modern, maka penerbitan buku “PELAWAK, PENUNTUN LAKU DI SEGALA WAKTU” ini semoga juga banyak yang membacanya, sebagai pertanda bahwa bangsa Indonesia ini juga berbudaya membaca buku, hidup sasterawi, modern dan tidak primitif.
Agar bangsa Indonesia hidup sasterawi, modern dan tidak primitif, marilah kita bersama memproduksi massal putera bangsa Indonesia berbudaya membaca buku (dan menulis buku). Dengan cara: Membaca buku dan menulis buku menjadi DASAR kurikulum awal sekolah putera bangsa selama 12 tahun, dari kelas I SD hingga kelas XII SMA. Membaca buku dan menulis buku diajarkan SETIAP HARI TANPA JEDA di sekolah (kelas I SD s/d kelas XII SMA). Saya ingat tulisan Multatuli (drama Saidah dan Adinda): “Kita tidak berpesta panen padi di sawah, melainkan kita berpesta panen padi yang kita tanam di sawah”. Inilah kegagalan kita memperbanyak buku diterbitkan, diperbanyak para pengarang, diperbanyak perpustakaan, dipermurah harga buku, namun buku tidak laku, tiap kali penerbit buku mengadakan obral buku murah, perpustakaan kosong melompong. Karena niat-niat kita memperbanyak penerbitan buku, memperbanyak pengarang, memperbanyak perpustakaan agar putera bangsa membaca buku, (semua tahu dengan membaca buku putera bangsa menjadi pintar, berbudi-pekerti baik, tidak curang, tidak korup), dalam bahasa Multatuli seperti pesta panen padi di sawah, TETAPI KITA LUPA tidak menanam padi, kita tidak memproduksi massal putera bangsa berbudaya membaca buku dan menulis buku. Kita gagal memperbanyak pembaca/pembeli buku, karena hanya tiba-tiba putera bangsa kita sodori buku-buku (supaya membaca buku dan pintar). Maka sekali lagi saya usulkan: ubah kurikulum pendidikan nasional kita: AWAL UMUR SEKOLAH 12 TAHUN DARI KELAS I SD SAMPAI KELAS XII SMA DIBUDAYAKAN MEMBACA BUKU MEMBACA BUKU MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. MEMBACA BUKU SEGALA BAHASA DAN SEGALA HURUF, jangan hanya SATU BAHASA, bahasa Indonesia. Sehingga nantinya lulus SMA, mereka berbudaya (gemar) membaca buku apa saja, bahasa apa saja, huruf apa saja. Pasti penerbitan buku Mizan atau Gramedia tidak sampai diobral meskipun menerbitkan buku 100 judul dalam setahun.
Akhirul-kalam, semoga penerbitan buku “PELAWAK, PENUNTUN LAKU DI SEGALA WAKTU” ini tidak hanya merekam, menyiarkan dan melestarikan aktivitas kepiawian HM Cheng Hoo Djadi Galajapo mengelola kegiatan seni budaya melawak menghibur masyarakat pada segala waktu dan tempat, melainkan juga mengajak para putera bangsa Indonesia untuk melaksanakan hidup sastrawi atau modern, dan tidak hidup kodrati primitif keterbelakangan mengikuti gerak zaman; yakni menimba ilmu pengetahuan dengan kiat membiasakan diri membaca buku, menulis buku dan menerbitkan buku.
Semoga demikian. Amin.
Surabaya, 7 Juli 2011.
Assalamu’alaikum. bagaimana ya cara untuk mencari buku detektif handoko seri 1-10. terima kasih