DEWAN KESENIAN SURABAYA 1971

| |

Harian SINAR HARAPAN Jakarta, Senin, 28 Oktober 1971:

Laporan Suparto Brata

Pada tanggal 14 September 1971, Walikota Surabaya Sukotjo mengundang para seniman Surabaya untuk berkumpul di ruang sidang kantor Kotamadya Surabaya.

Undangan itu pelaksanaannya diserahkan kepada seniman-seniman yang berdekatan dengan Walikota, yakni yang pada bulan Pebruari sebelumnya ikut terkirim sebagai offisial/produser drama “Suara-suara Mati” ke Jakarta.

Seperti diketahui dalam pementasan Drama 4 Kota di Jakarta itu, Pemerintah Kotamadya Surabaya ikut menjadi sponsor dengan mengirimkan drama “Suara-suara Mati”.

Beranjak dari hubungan itu, maka Walikota meneruskan gagasannya untuk “menyegarkan” kehidupan seniman-seniman Surabaya, di lain pihak para seniman yang telah terkirim ke Jakarta itu banyak membawa “oleh-oleh” tentang tata kehidupan seniman Jakarta dan hubungannya dengan Pemerintah DKI Jakarta.

Pada malam pertemuan tanggal 14-09-1971 itu, Walikota sekali lagi membeberkan gagasannya akan memberikan ‘bantuannya’ kepada para seniman. Sekali ini tidak berupa kanvas, atau cat, atau mesin ketik dan samacamnya yang diperlukan seniman dalam menggarap karyanya, tapi lebih menyeluruh: sebuah gedung kesenian (Balai Pe,muda) yang sedang dibangun.

Pak Kotjo dengan bantuannya itu mengharap seniman-seniman bisa “mengurus dirinya” sendiri, dan tidak menghendaki adanya main politik-politikan dalam mengurusi diri itu. Para seniman sekali ini dipandang untuk melakukan bagaimana mengaturnya agar nantinya bantuan Walikota itu tidak sia-sia atau kapiran, sedangkan para seniman menerimanya dengan perasaan senang, tidak merasa diperlakukan tidak adil, saling sikut-sikutan, irihati dan jangan ada yang menggunakan kesempatan ini untuk “tempat pencari nafkah” perorangan.

Para seniman dekat Walikota, cukup bijaksana dalam mengedarkan undangan. Selain undangan-undangan yang dikirimkan kepada seniman-seniman yang mereka kenal nama dan alamatnya, diberikan juga dalam koran-koran, sehingga bagi mereka yang merasa dirinya seniman bisa datang menghadiri pertemuan itu. Untuk menertibkan, maka sebnelum hadir mereka diwajibkan mendaftarkan namanya dan pada bidang seni apa mereka melakukan kegiatan.

Lebih dari itu, senimn yang dekat Walikota itu memberikan ‘guiding-guiding’ bagaiman kira-kira “wadah” yang digunakn para seniman nanti untuk menerima ‘bantuan’ Walikota itu.

“Guiding-guiding” yang berupa konsep ‘wadah’ yang disusun oleh: Drs. Putro Sumantono, Basuki Rachmat, Farid Dimyati, Amang Rachman, dan Sanyoto Suwito. Mereka ini disebut pemrakarsa dalam konvensi seniman (untuk membedakan dengan musyawarah atau pertemuan-pertemuan seniman yang sudah beberapa kali diadakan, maka  mereka sebut saja peristiwa ini konvensi).

Di luar dugaan, di antara para hadirin juga ada yang menyiapkan konsep-konsep terperinci. Hal ini menjadi karena memang kepada mereka diminta sumbangan-sumbangan pikiran. Kericuhan terjadi karena sepintas lalu terdapat perbedaan landasan yang prinsipiil.

Para seniman ‘undangan’ terutama pada ‘paper’ yang dibacakan oleh Gatut Kusuma, melandaskan diri bahwa seniman itu harus bebas, tidak terikat, jangan pemerintah ikut mendikte dalam mengerjakan karya-karyanya. Sedang “konsep” pemrakarsa menyadari bahwa ‘wadah’ yang bakal dibentuk itu adalah karena niat Pemerintah Walikota memberikan “bantuan”. Karena itu, “wadah” tadi berfungsi menjadi “pembantu Walikota”.

Karena suara hadirin bagaimana pun juga lebih kuat dari suara-suara pemrakarsa, maka diadakan pembicaraan ‘yok-apa-enake’ (bagaimana enaknya, Red). Malam itu mereka berhasil memilih panitya perumus yang bakal merumuskan betapa “wadah” kagiatan seniman Surabaya itu, lengkap dengan anggaran dasar dan personalianya.

Panitia perusmus itu terdiri dari: Wiwik Hidayat, Karyono Js, Basuki Rachmat, Gatut Kusuma, dan Agil H.Ali. Panitia ini berkewajiban “melaporkan” hasil kerjanya pada sidang yang bakal diadakan lagi.

Sidang yang kedua konvensi para seniman Surabaya itu diadakan tanggal 30 September 1971. Panitya perumus membacakan hasilnya, yaitu “wadah” itu disebut Dewan Kesenian, lengkap dengan Anggaran Dasar dan personalia Dewan Kesenian. Sebagai bahan pembentukan Dewan Kesenian itu adalah: Pidato sambutan Walikota (tanggal 14-09-1971), konsep pemrakarsa, paper Gatut Kusuma dan saran-saran hadirin.

Duapuluh tiga orang seniman tercatat oleh Panitya perumus untuk menjadi anggota Dewan Kesenian, dengan masa kerja dua tahun. Tapi oleh sidang terpilih 13 orang saja:

1.Drs. Putro Sumantono (cendikiawan-pejabat Kotamadya Surabaya); 2. Gatut Kusuma (pelukis-cineas); 3. Amang Rachman (pelukis); 4. Agil H.Ali (wartawan); 5. Basuki Rachmat (sastrawan-wartawan); 6. Farid Dimyati (dramawan-wartawan); 7. Wiwiek Hidayat (pelukis-wartawan); 8. Krishna Mustadjab (pelukis); 9. Karyono Js (pelukis); 10. Sunarto Timur (dramawan); 11. Teguh (pemusik-show business); 12. Hasjim Amir MA (dramawan); 13. M.Daryono (pelukis).

Terpilihnya 13 orang ini justru karena mereka malam itu hadir dan dikenal oleh sidang. Mereka itu terpilih menurut ketentuan anggaran dasar yang baru dibacakan (1/2 hadirin +1), dan ternyata semuanya terpilih. Sedang seniman yang diajukan perumus tapi tidak tampak batang hidungnya malam itu, dicoret.

Di antara yang dicoret ini terdapat nama-nama Drs. Budi Darma (cendikiawan-pengarang), Drs. Suripan Sadihutomo (sasterawan), Sanjoto Suwito (dramawan), Totilowati (pengarang-wartawan).

Ketigabelas nama yang terpilih ini kemudian akan diajukan kepada Walikota untuik dimintakan persetujuan Walikota (dan diangkat dengan surat keputusan Walikota). Walikota berhak menambah/mengurangi jumlah personalia ini.

Sementara itu dari Walikota Surabaya didapat kabar bahwa gedung kesenian yang sekarang sedang dibangun dan diharapkan bisa digunakan untuk menampung kegiatan-kegiatan para seniman itu, (yaitu balai bilyar di kompleks Balai Pemuda yang sedang dibangun jadi gedung bioskop/sandiwara Mitra) akan selesai akhir bulan Desember yang akan datang dengan beaya Rp 70 juta.

*

Akhirnya para anggota Dewan Kesenian Surabaya dilantik oleh Walikota Surabaya Kolonel Sukotjo pada tanggal 14 Februari 1972. Ketua Dewan Kesenian Jakarta sebagai lembaga Dewan Kesenian yang sukses perlu mendapat kehormatan diundang sebagai tamu saksi perhelatan tersebut, yaitu Dr.Umar Kayam. Selain sebagai saksi tamu, Dr.Umar Kayam juga diacarakan bertemu dengan para seniman Surabaya, untuk menularkan kesuksesannya dalam mengelola suatu Dewan Kesenian Jakarta sebagai contoh. Acara pertemuan para seniman Surabaya dengan Dr.Umar Kayam diselenggarakan terpisah dari acara pelantikan para anggota DKS, yaitu diselenggarakan di Sanggar Aksera Balai Pemuda Surabaya.

Harian SINAS HARAPAN Jakarta, Senin 6 Maret 1972

PENGELOLAAN SATU DEWAN KESENIAN

Laporan: Suparto Brata

Dalam suatu acara terpisah dari pelantikan personalia DewanKesenian Surabaya tanggal 14 Februari 1972 yang lalu, Umar Kayam menyempatkan diri berdialog dengan seniman-seniman di sanggar Aksera Surabaya. Menurut Umar Kayam, mungkin terasa aneh, jika dalam jaman pembangunan ini kita memilih berbudayaan sebagai prasarana pembangunan. Pada umumnya orang pada tempatnya bicara soal pembangunan untuk mengejar kebutuhan kehidupan materiel, hingga masalah-masalah ekonomis menjadi fokus kegiatan, di samping prasarana-prasarana yang langsung dengan itu, perbaikan jalan, jembatan, administrasi, organisasi dan lain-lain. Kalaupun bisa lebih jauh, orang memikirkan juga Keluarga Berencana.

Tapi jarang sekali terlintas di pikiran orang, bagaimana manusianya. Jarang sekali orang merenungkan bahwa yang hendak dibikin sejahtera itu tiada lain adalah manusia. Manusia yang tidak bisa hidup sendiri dan harus bermasyarakat.

Sekarang ini orang masih banyak yang berpikir bahwa mengadakan prasarana pendidikan kebudayaan, dengan seni sempit seperti adanya Dewan Kesenian, suatu hal yang mewah. Sewajarnya di tiap kota-kota besar di Indonesia ini didirikan Dewan Kesenian, tapi hendaklah bukan karena sikap latah. Berdirinyta suatu lembaga penduidikan kebudayaan atau Dewan Kesenian, haruslah berdasarkan pemikiran bahwa terdapat ketimpangan-ketimpangan dalam meletakkan dasar-dasar atau unsur-unsur sepihak antara gerak pembangunan dan gerak kebudayaan.

Pengisian acara kesenian:

Selanjutnya Umar Kayam mengatakan, bahwa untuk mengisi acara-acara di TIM, mengusahakan bagaimana masyarakat atau rakyat Jakarta agar tidak takut masuk ke halaman TIM. Hendaknya disadari, bahwa melihat gedung-gedung dan pemelihaharaannya yang tidak seperti tempat-tempat umum orang kebanyakan akan takut atau curiga. Makanya diadakan pekan seni rakyat, pertunjukan lenong, wayang orang, ludrug, pendeknya kesenian yang digemari rakyat. Kalau mereka itu sudah tidak takut, diusahakan supaya mereka itu gemar mengunjungi.

Dalam alir kunjungan-kunjungan seperti itu kita tawarkan kepada mereka hasil kesenian “pilihan” kita dengan menyisipkan pertunjukan-pertunjukan drama, pameran seni lukis modern yang belum mereka kenal, tari yang masih asing. Mungkin mula-mula mereka mengutuk, ketemu hal-hal yang tidak seperti “biasanya”, tapi tidak apa. Mengutuk berarti sudah ada komunikasi. Ini harus dipelihara. Begitulah maka Dewan Kesenian Jakarta berjalan hingga sekarang.

Memang ada perbedaan-perbedaan paham atau selera antara orang kebanyakan dan pengurus Dewan Kesenian Jakarta. Tapi justru itu perlunya diadakan Dewan Kesenian untuk memperkecil perbedaan itu. Dalam pengurus Dewan Kesenian Jakarta terpilih seniman-seniman yang punya selera atau penilaian tertentu. Di antara mereka itu sendiri memang timbul perdebatan karena perbedaan pandangan. Tapi perbedaan di antara mereka tentulah tidak sejauh antara mereka dan rakyat kebanyakan.

Dengan gambaran ini Umar Kayam menghibur seniman-seniman Surabaya, hendaknya dalam mengurusi Dewan Kesenian Surabaya jangan terlalu ekstrim mempertahankan pendapat sendiri. Yang diperlukan orang dengan berdirinya Dewan Kesenian bukanlah memenuhi kehendak para seniman-seniman, tetapi menghidupkan kesenian-kesenian tradisional yang ada, memperkenalkan kesenian-kesenian yang masih asing dan mencari bentuk-bentuk baru kesenian yang lebih sesuai dengan jaman seperti lenong, kesenian yang dulu hampir pounah. Sekarang kembali ditonton oleh segala lapisan masyarakat Jakarta.

Sikap seniman pengurus.

Atas masalah yang dikemukakan oleh pelukis Krishna Mustadjab dinyatakan kemungkinan menjadi mandulnya seorang seniman kreatip yang duduk dalam pengurus Dewan Kesenian. Sebaliknya Umar Kayam mengemukakan bahwa memang untuk mengurusi suatu Dewan Kesenian itu memerlukan “pengorbanan” dari seniman. Maka untuk menjaga kestabilan pengurusan ini, kita harus menawarkan kesanggupan siseniman dalam mengorbankan kreativitasnya.

Umar Kayam sendiri menghendaki agar paling banyak seorang seniman menyanggupkan dirinya terpilih menjadi pengurus dua kali masa jabatan, untuk memberikan kesempatan padanya untuk tidak terlalu sibuk mengurusi “administrasi” Dewan Kesenian serta ada peluang mencipta baginya. Cara “cuti-kreatip” selama tiga bulan dalam masa jabatannya seperti yang dibayangkan Krishna Mustadjab kurang disetujui. Waktu cuti justru masa itu sang seniman tidak kreatip. Atau kalau cuti itu diberikan pada masa-masa kreatip jangan-jangan berbarengan dengan dia harus menyelesaikan suatu proyek. Pemberian cuti akan membuat proyek itu kapiran.

Di Amerika, beberapa lembaga kesenian kota, pengurusnya seringkali tidak diarahkan kepada seniman. Tetapi seorang manager atau administrator yang tahu kesenian. Dengan begitu mereka bisa ngeladeni kehendak masyarakat akan seni. Bisa melayani tamu-tamu yang membutuhkan informasi, dan tidak kuatir dirinya tekekang daya ciptanya, karena toh tidak menciptakan kerja seni.

Di Indonesia, mungkin lambat-laun bisa demikian. Pengurusan Dewan Kesenian kita percayakan kepada administrator. Tapi pada waktu ini, jika suatu Dewan Kesenian pengurusnya tidak diserahkan kepada seniman, perkembangannya “tidak lucu”. Yang dimaksud oleh Umar Kayam dengan “tidak lucu” itu perkembangan Dewan Kesenian itu tidak semarak, tidak gairah. Akan gersang dan salah sasaran.

Maka bagi Dewan Kesenin yang baru berdiri, sebaiknya memawas diri apakah anggota-anggotanya itu seniman kreatip yang pura-pura mengorbankan kekreativitasannya, atau pura-pura seniman, mengundurkan diri dulu; agar tidak terjadi perkembangan yang “tidak lucu”.

*

Catatan: Berita di Harian SINAR HARAPAN di atas ditulis dengan ejaan lama. EYD di sini untuk memudahkan pembacaan. (Suparto Brata).

Posted by admin on Wednesday, October 15th, 2014. Filed under catatan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*