Aku Berkarya Maka Aku Ada

| |

Eksistensi sastra Jawa hanya bergantung pada sastrawannya. Minimnya media berbahasa Jawa mereka harus berjibaku menerbitkan karyanya sendiri.

Oleh : Arief Junianto

foto Media berbahasa Jawa boleh dikatakan sangat minim. Di Surabaya media yang ada hanya dua, Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Itupun terbit hanya untuk kalangan tertentu yang berminat dengan bahasa Jawa. Di dua media ini, bisa dikatakan budaya Jawa, secara libih luas mampu disiarkan. Selain itu bila dibandingkan dengan sastra daerah lain, sastra Jawa masih memiliki tempat yang cukup menguntungkan. Hal ini disebabkan penutur bahasa Jawa memang masih terbilang cukup banyak.

Meski demikian bukan berarti praktisi sastra Jawa banyak bermunculan. Kenyataannya, tidak banyak sastrawan yang mau secara total berkarya demi kemajuan dan keberadaan sastra Jawa. Oleh karena itu, bisa dikatakan, sastra Jawa semakin terjepit di tengah banyaknya penutur bahasa Jawa.

Keterjepitan sastra Jawa tidak hanya didasarkan pada jumlah sastrawan yang sedikit, namun juga pada perkembangan wacana mengenai kesusasteraan Jawa yang hanya berkutat pada segelintir orang saja. Namun demikian, sastra Jawa punya cara sendiri untuk terus hidup. Salah satunya adalah berkarya.

Suparto Brata, seorang pengarang sastra Jawa sepakat bahwa kondisi sastra Jawa kini cukup memprihatinkan. Diakuinya, banyak sastrawan yang mengaku sastrawan Jawa, namun eksistensinya dalam membangun dan mempertahankan sastra Jawa malah harus dipertanyakan kembali.

Baginya, meski secara komersialitas tidak segemilang dengan karya-karyanya sastra Indonesia, namun dirinya masih tetap berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya di ranah sastra Jawa. ”Yang penting bagi saya adalah berkarya. Dengan berkarya maka sastra itu ada,” papar Suparto.

Selain karya, eksistensi budaya Jawa yang didalamnya juga ada sastra Jawa dan bahasa Jawa, harus ada perhatian dari pemerintah. Suparto mencontohkan, penetapan hari Bahasa Ibu oleh pemerintah ternyata juga tidak maksimal. Meski sudah ada perda yang mengatur untuk hal itu, namun pada kenyataanya pelaksanaan akan hal itu masih belum ada.

Selain itu, ditambahkan oleh Suparto, kongres juga diadakan sebagai salah satu jalan untuk menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Dikatakannya, kongres Bahasa Jawa yang diadakan juga seharusnya bisa menjadi jalan untuk mempertahankan kelestarian bahasa Jawa. Akan tetapi, diakuinya, kongres yang sudah berusia 15 tahun tersebut masih belum menghasilkan sesuatu yang konkret.”Malah menghabiskan dana bermilyar-milyar,” ujarnya.

Hal tersebut didukung oleh Bonari Nabonenar. Menurutnya akan lebih baik jika uang yang digunakan untuk membiayai kongres-kongres semacam itu, digunakan untuk memberikan apresiasi terhadap komunitas dan elemen-elemen lain yang mendukung keberadaan bahasa Jawa tersebut.

Ditemui secara terpisah, Widodo Basuki, pengurit sastra Jawa, sependapat dengan Suparto Broto. Menurut wartawan Jaya Baya ini, sastra Jawa hanya bisa eksis karena perjuangan para sastrawan secara mandiri. ”Banyak sastrawan Jawa yang masih separuh hati untuk bergelut dengan budaya Jawa ini,” kata Widodo yang pernah meraih penghargaan Rancage dari Ayib Rosidi, tahun 2000.

Widodo menceritakan, selama ini dirinya, terus berusaha menerbitkan puisi-puisi Jawanya meski harus mendanai sendiri. Menurutnya ini kenyataan yang tidak bisa dihindarkan. Daripada mengeluh terus tidak adanya media massa yang menampung puisi Jawa, Widodo, berusaha mengumpulkan puisi-puisinya dengan cukup memfotokopi.

Mantan ketua komite sastra Dewan Kesenian Surabaya periode 1998-2003 ini juga pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan kupulan puisi jawanya Layang Saka Tlatah Wetan (1999). “Selama ini saya terus mencoba konsisten pada sastra Jawa,” tambahnya.

Tidak berbeda dengan Sri Setyowati atau biasa disapa Trinil, juga lebih aktif menerbitkan buku karya sastranya sendiri. Keterlibatannya dengan media massa dimulai tahun 1998. sejak tahun itu Trinil aktif menulis reportase untuk majalah Jaya Baya, Tabloid Bromo, Kidung, dan Penjebar Semangat. Selain menulis dengan menggunakan dialek Suroboyoan, Trinil juga menulis dengan gaya bahasa Mataraman (Jawa halus).

Keterlibatan Trinil pada dunia perpuisian memang belum lama. Tetapi beberapa puisinya sudah pernah terkumpul dalam Kabar Saka Bendulmrisi, suntingan Suharmono Kasiyun yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dan Sastra Campursari suntingan Bonari Nabonenar yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Timur.

Selain menulis puisi, Trinil juga menulis crita cekak (cerpen, red) yang dimuat di Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Trinil ternyata juga sudah menerbitkan buku cerita anak berjudul Kasih Sayang yang Tak Padam. Selain itu Trinil juga sudah menerbitkan novel bahasa Jawa, Sarunge Jagung.

Joko Prakoso, dosen Sekolah Tinggi Karawitan Wilwatikta (STKW), menekankan seharusnya sastra Jawa dipahami sebagai wilayah tersendiri yang terpisah dari wilayah lain. Hal ini disebabkan sastra Jawa memiliki pecinta dan peminat sendiri yang berbeda dengan sastra nasional atau sastra Indonesia.”Sastra Jawa tidak bisa dipertandingkan dengan sastra-sastra lain,” ujarnya.

Agar tidak terkesan kuno dan semakin ketinggalan zaman, dikatakanyanya, harusnya sastra Jawa harus menyesuaikan dengan zamannya.”Campursari adalah bukti sastra Jawa sudah bisa diterima oleh masyarakat banyak,” pungkas Joko.

Diambil dari Surabaya Post co.id

Posted by admin on Wednesday, April 29th, 2009. Filed under Article. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*