ERATA KRONOLOGIS PERISTIWA DI SURABAYA Agustus – Desember 1945
Saya (Suparto Brata) harus melakukan Erata (pembetulan) pada naskah ini. Yaitu: (1) pada peristiwa 1 Oktober 1945, setelah Gedung Kenpeitai direbut oleh Arek-arek Surabaya, gedung itu kemudian digunakan jadi PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat). Yang benar yang jadi pemimpin Hasanudin Pasopati, yang jadi wakil pemimpin Suharyo Kecik. Naskah yang lalu salah (terbalik, yang jadi pemimpin Suharyo Kecik). (2). RMTA Suryo bukan Fuku Syutjok (Wakil Residen) Bojonegoro, melainkan Residen Bojonegoro pada zaman Jepang. Pada zaman Jepang Pulau Jawa dipetak-petak pemerintahan terluas adalah Syu (Karesidenan), bukan Gubernuran. Dan semua Karesidenan yang menjadi kepala pemerintahan (Syutjokan) orang Jepang. Orang Indonesia hanya menjadi Fuku Syutjokan (Wakil Residen). Kecuali Karesidenan Bojonegoro dan Karesidenan Jakarta, Residennya orang Indonesia. Di Bojonegoro yang jadi Residen RMTA Suryo, di Jakarta Raya yang menjadi Residen RM.Soetardjo Kartohadikoesoemo. Sedang R.Sudirman, adalah Fuku Syutjokan Surabaya (Wakil Residen Surabaya). Residen Surabaya waktu itu Yasuoka, orang Jepang.
Agar teringat kembali dengan segar sekaligus untuk memperingati hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-67, berikut saya tayangkan lagi Kronologis Peristiwa Di Surabaya selama Agustus – Desember 1945, yang sudah saya perbaiki. Saya mohon maaf bahwa tayangan naskah yang lalu (saya tulis di Surabaya 10 November 2010) telah dikutip banyak buku dengan tulisan yang salah. Saya mohon maaf. Semoga tayangan Erata ini lebih memperjelas kebenarannya dan bermanfaat. Amin.
17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan di Jakarta jam 10 pagi. Berita dengan kode morse diterima di kantor berita Domei (Jl. Pahlawan 29) jam 11 pagi. Berita sempat diralat bahwa kejadian proklamasi itu tidak benar. Tapi orang Indonesia yang bekerja di Domei kadung membaca yang sudah diketik huruf ABC. Domei merupakan kantor berita yang menyuplai berita-berita ke suratkabar Suara Asia (Jl. Pahlawan 31), suratkabar sore di Jawa Timur. Meskipun sudah disensor oleh redaksi bangsa Jepang, ada juga yang menyelundupkan berita proklamasi tadi ke Suara Asia. Yang bekerja di Domei antara lain: Yacob (morsis), RM Bintarti, Sutomo (Bung Tomo), Astuti Askabul (kemudian jadi isteri A.Azis dan pemilik Surabaya Post). Yang bekerja di Suara Asia: Mohamad Ali (adik Imam Supardi, kemudian pemilik majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat). Oleh Suara Asia dibikin selebaran, disebar di tempat-tempat tempelan Suara Asia di seluruh Jawa Timur. Disiarkan dalam warta berita bahasa Madura oleh Radio Hoshokyoku Surabaya tanggal 18 Agustus 1945 jam 19.00 waktu Tokyo. Yang bahasa Indonesia baru disiarkan tanggal 19 Agustus 1945.
18 Agustus 1945.
Di Jakarta ada rapat yang kemudian mengsahkan Undang-undang Dasar 1945. Para prajurit PETA dan Heiho dibubarkan oleh Jepang. Termasuk yang ada di Surabaya dan sekitarnya. PETA = Tentara Pembela Tanah Air, adalah para perwira yang dilatih dan ditugasi Jepang untuk menjaga daerahnya (Tanah Air). Heiho adalah orang Indonesia yang dilatih perang oleh Jepang, setelah terampil disuruh maju perang berasama pasukan Jepang melawan Sekutu.
19 Agustus 1945.
Terjadi insiden di Markas Polisi Istimewa Coen Boulevard 7 Surabaya (SMA St.Louis Jl. Dr.Sutomo), bendera Hinomaru (Jepang) diturunkan, bendera Merah Putih dikibarkan, dipelopori oleh Agen Polisi III Nainggolan.
21 Agustus 1945.
Komandan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya (Surabaya Syu Tokubetsu Keisatsutai) Inspektur Polisi Tk II Moehammad Jasin memproklamasikan bahwa Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Polisi Istimewa bermarkas di gedung SMA St. Louis Jl. Dr. Sutomo 7 Surabaya. Pemimpin polisi Jepang ditahan, komandan ditetapkan M.Jasin. Hubungan telepon diputus. Gudang senjata di belakang gedung dibongkar dikuasai oleh anak buah. Mengadakan apel pagi, lalu unjuk kekuatan berkeliling Surabaya dengan senjatanya (dan kendaraannya).
22 Agustus 1945.
Secara de facto Radio Surabaya (Surabaya Hoshokyoku) menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).
23 Agustus 1945.
Instruksi Presiden membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI semacam DPR) jatuh pada Surabaya 23 Agustus 1945. Dipelopori oleh Angkata Moeda diadakan persiapan pembentukan KNI di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Jl. Bubutan 87 Surabaya. Rapat selama 3 hari (25-27 Agustus), menghasilkan susunan KNI Karesidenan Surabaya: Dul Arnowo (ketua), Bambang Soeparto dan Mr.Dwidjosewojo (wakil ketua), Roeslan Abdulgani (penulis), dan anggotanya 25 orang, antara lain: Mr. Masmuin, Radjamin Nasution, Dr. Angka Nitisastra. Untuk menyambut sidang pertama KNIP di Jakarta 29-31 Agustus, maka KNI Karesidenan Surabaya mengumumkan kepada rakyat Surabaya supaya hari itu mengibarkan bendera Merah Putih. Pengumuman itu dibendung oleh Kenpeitai (Polisi Tentara Jepang) dengan cara menyebarkan pamflet melarang pengibaran bendera Merah Putih, namun oleh orang Surabaya tidak digubris. Panflet selebaran Kenpeitai disobek-sobek. Berarti perlawanan terhadap kekuasaan Jepang mulai tumbuh sejak itu. Oleh Roeslan Abdulgani peristiwa bendera itu disebut Flaggen Actie.
24 Agustus 1945.
Pemerintah Belanda di pengasingan, Letnan Gubernur Jendral Dr.H.J.van Mook (pendiri NICA = Netherlands Indies Civil Administration), mengingatkan dan merundingkan lagi kepada MacArtur, Komandan perang Amerika Serikat untuk South West Pasific Area (SWPA) mengenai perjanjian mereka 10 Desember 1944 tentang organisasi CAA (Civil Affairs Agreement), yaitu bahwa MacArthur akan membantu mengembalikan Belanda menjajah Indonesia setelah perang selesai. Pengingatan dan perundingan kembali tentang CAA diadakan pada tanggal 24 Agustus 1945 (Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya) di Chequers. Perundingan tadi melahirkan pemerintah Belanda di pengasingan membentuk pasukan khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies), yang mana pasukan tadi bisa diikutkan dalam Intercross (Palang Merah Internasional) dan RAPWI (Rehabilitation Allied Priseners of War and Internees = pengungsian tentara taklukan perang dan tawanan asing). Tapi ternyata pascaperang Amerika Serikat menghindari mengurusi Indonesia dengan dalih segera mengurusi perundingan dengan Jepang di Tokyo. Amerika Serikat tahu bahwa di Indonesia dan Indocina sudah terjadi gerakan kemerdekaan, dan itu sudah didengar sejak sebelum perang, akan tidak mudah mengurusi Indonesia dan Indocina pascaperang. Yang mengurusi Indonesia untuk Pulau Sumatra dan Pulau Jawa dibebankan kepada angkatan perang Inggris SEAC (South East Asia Command) dipimpin oleh Laksamana Lord Louis Mountbatten, dan untuk Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda-kecil, Timor dibebankan kepada angkatan perang Australia AMF (Australian Militery Forces) dipimpin oleh Sir Thomas A.Blamey. Satuan tugas pasukan Belanda AFNEI tidak berlaku lagi. Tapi pascaperang itu pasukan AFNEI bentukan Belanda tadi sudah kadung bekerja masuk ke wilayah bekas tanah jajahannya dahulu, yaitu menduduki kota-kota di Pulau Jawa, termasuk ke Surabaya.
*
27 Agustus – 3 September 1945.
Residen Sudirman setelah Indonesia merdeka sebagai pejabat paling tinggi di Karesidenan Surabaya (pada zaman Jepang sebagai Wakil Residen, Residennya orang Jepang) mendapat panggilan untuk menghadiri Sidang Pertama KNIP dan Permusyawaratan Pegawai Negeri di Jakarta. Berangkat tanggal 27 Agustus, pulang tanggal 3 September sore hari. Di Surabaya tanggal 2 September sudah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang anggota dan pemimpinnya terdiri dari para bekas anggota tentara PETA.
28 Agustus 1945.
Pasukan Amerika Serikat dan Belanda sebagai pemenang Perang Dunia II berdasarkan persetujuan Civil Affairs Agreement (CAA) 10 Desember 1944 pada 24 Agustus 1945 di Chequers menguatkan lagi CAA itu dengan membentuk satuan tugas pasukan Belanda AFNEI untuk memperoleh kembali menguasai bekas jajahannya (yaitu Hindia Belanda = Indonesia). Dalam satuan tugas itu orang-orang Belanda juga disamarkan dimasukkan sebagai anggota badan internasional pemenangan Perang Dunia II. Antara lain bisa jadi anggota Intercross (Palang Merah Internasional yang mengurusi orang-orang yang menderita), RAPWI (Rehabilitation Allied Prisoners of War and Internees = badan yang mengurusi para tawanan orang Jepang yang kalah perang dan para tawanan asing yang selama perang ditawan oleh Jepang). Tapi ternyata yang menangani tugas pascaperang di Asia Tenggara bukan Amerika Serikat, melainkan Inggris dengan nama komando SEAC (South East Asia Command) pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tanggal 28 Agustus 1945 AFNEI bentukan orang-orang Belanda sebenarnya sudah tidak berlaku, karena personilnya diganti dengan pasukan Inggris semua. Namun kapal-kapal armada Inggris sangat jauh dari Indonesia, sehingga sangat lambat untuk sampai ke Indonesia (Pulau Sumatra dan Pulau Jawa). Sedangkan bekas AFNEI satuan tugas orang Belanda kadung bergerak bebas sementara vakum pemerintahan di daerah bekas jajahan Jepang. Maka orang Belanda bisa masuk ke Surabaya lebih dahulu daripada pasukan AFNEI Inggris yang baru dan resmi. Orang-orang Belanda tadi leluasa bergerak dan mengaku sebagai utusan AFNEI untuk mengurusi bekas angkatan laut Jepang di Surabaya, seperti yang dilakukan oleh P.J.G.Heiyer. Dengan masih berpegang CAA dan AFNEI lama maka orang Belanda dengan leluasa masuk ke Indonesia menggunakan fasilitas persetujuan tadi untuk kembali menjajah Indonesia, meskipun sebenarnya persetujuan antara Belanda dan Amerika Serikat itu sudah tidak berlaku. Dalam vakum pemerintahan di daerah bekas jajahan Jepang misalnya di Surabaya, siapa yang mau meneliti tugas kesatuan yang resmi apa tidak resmi? Sementara kapal-kapal armada Inggris belum mencapai daerah tugasnya di Indonesia? (Catatan: Peristiwa ini baru saya ketahui setelah saya banyak membacai buku sejarah tentang sekitar proklamasi kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945. Tentu saja sekitar 17 Agustus 1945 orang Indonesia tidak tahu apa-apa tentang gerakan pasukan Sekutu yang menang perang. Tidak mengerti tentang perjanjian-perjanjian CAA, SEAC, AFNEI. Namun saya tulis di sini agar kronologisnya bisa jelas pada hubungannya dengan pendaratan pasukan Inggris di Surabaya yang berakhir dengan Pertempuran 10 November 1945. Pen.).
1 September 1945.
Tanggal 1 September 1945 Dr.H.J. van Mook atas nama pemerintah Belanda di Indonesia menghadap Panglima SEAC, Lord Louis Mountbatten, di Kandy, Srilangka, mengatakan bahwa pasukan bentukan Belanda AFNEI bisa membantu meringankan tugas SEAC yang kekurangan kapal untuk segera mendarat di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa. Kapal-kapal Inggris jauh di Samudra India. Akhirnya Mountbatten menerima membentuk pasukan AFNEI (Allied Forces of the Netherlands East Indies), namun hanya namanya saja yang dipakai, personilnya semua pasukan Inggris, yaitu pasukan Inggris Divisi India ke-26 untuk Sumatra dipimpin oleh DC.Chambers, Divisi India ke-23 untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah dipimpin oleh DC.Hawthorn, Divisi India ke-5 untuk Jawa Timur dipimpin oleh EC.Mansergh. Dari orang Belanda yang resmi diakui SEAC membantu pengungsian tawanan perang dan interniran adalah Letnan P.G.De Back dari Dutch Navy.
2 September 1945.
Dibentuk Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertempat di bekas gedung Badan Pembantu Prajurit (BPP) Julianalaan (Jl.Cendana, sekarang Jl.Kombes Duryat). Rapat dihadiri hampir semua bekas pimpinan PETA, Heiho, kaum pergerakan dan lain-lain. Antara lain: Suryo (bukan Gubernur Suryo), Sutopo, Mohamad, Katamhadi, Rono Kusumo, Kunkiyat, Sungkono, Mustopo, Kholil Thohir, Yonosewoyo, Abdul Wahab, Usman Aji, Sutomo (Bung Tomo). BPKKP terbentuk dengan Dul Arnowo sebagai ketua, Daidantjo Mohamad (wakil), Daidantjo Sutopo (bagian umum), Notoamiprodjo dan Abdul Syukur (bagian keuangan). BKR terbentuk dengan Daidantjo Drg. Mustopo (ketua), Sunarso (bekas pegawai BPP, bagian tunjangan), dibantu bagian penerangan adalah: Daidantjo Katamhadi, Cudantjo Abdul Wahab, wartawan Antara Sutomo (Bung Tomo).
4 September 1945.
Penyempurnaan susunan BKR yang dirapatkan di GNI Jl. Bubutan 87 oleh para Daidantjo, Cudantjo dan Shodantjo menghasilkan tiga eselon BKR, yaitu BKR Jawa Timur, BKR Karesidenan, dan BKR Kota Surabaya. Pemimpin-pemimpinnya yang disahkan adalah: BKR Jawa Timur: Moestopo (panglima), Suyatmo (staf umum), Mohamad Mangundiprojo (urusan darat), Atmaji (urusan laut), Suyono Prawirobismo (polisi, penerangan), Suryo (keuangan/perlengkapan), Dr.Sutoyo (kesehatan), dll. BKR Karesidenan Ketua Abdul Wahab (cudantjo), wakil ketua Yonosewoyo, dll. BKR Kota Surabaya: Ketua Sungkono.
13 September 1945.
Suratkabar Suara Asia (terbit di Surabaya) tanggal 10 September 1945 memuat ajakan: Besok hari Selasa 11/9 moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar oemoem. Sebeloem rapat besar dan masing-masing Siku ke lapang Tambaksari dan tibanja pawai dilapang terseboet, diharap sebeloem poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkanlah kemaoean rakjat dalam rapat itu. Suara Asia 11 September 1945 memuat: Rapat Raksasa dan pawai ditoenda. Soeara Asia 14 September 1945 memuat Soeara Asia mohon diri (terbit terakhir). (Begitu surat Pak Barlan Setiadijaya – pelaku dan penulis buku Merdeka atau Mati di Surabaya 1945 — kepada saya, meralat tanggal rapat raksasa di Tambaksari dengan bukti-bukti guntingan suratkabar yang terbit waktu itu). Pada dokumen lain tercatat bahwa Rapat Raksasa di Tambaksari tadi terlaksana pada tanggal 21 September 1945 (berarti sesudah penyobekan bendera Belanda di Yamato Hoteru tanggal 19 September 1945).
Dengan ditutupnya Soeara Asia dan kantor berita Jepang Domei (keduanya berkantor di Jalan Aloen-aloen 29 dan 31, sekarang Jalan Pahlawan), para wartawannya banyak bergabung dengan kantor berita “Berita Indonesia” cabang Surabaya yang kantornya berada di Jl.Tunjungan 100, pojok Embong Malang-Tunjungan. Antara lain wartawan tadi Sutomo (Bung Tomo), Abdul Wahab (fotografer yang kemudian memotret peristiwa penyobekan bendera di Yamato Hoteru, 19 September 1945. Ingat, potret jepretan Abdul Wahab hanya satu pose. Kalau ada beberapa pose gambar penyobekan bendera di Yamato Hoteru, itu bukan peristiwa tahun 1945, tetapi rekonstruksi peristiwa itu pada peringatan Hari Pahlawan di Surabaya tanggal 10 November 1952).
15-17 September 1945.
Ada desas-desus bahwa untuk mengangkut para tawanan bangsa asing yang ditawan oleh Jepang selama Perang Dunia II, akan diangkut oleh badan yang dibentuk oleh Pasukan Sekutu pemenang perang, yaitu RAPWI, datang ke Surabaya. Mereka bermarkas di Hotel Yamato Jalan Tunjungan. Memang benar sejak hari itu Hotel Yamato ramai dengan orang-orang bule, dan mereka juga mengendarai mobil atau truck baru dengan tulisan RAPWI. Selain itu mereka juga menamakan dirinya anggota Intercross. Ada juga mereka yang terjun payung langsung ke tempat para tawanan orang-orang Belanda di daerah Gunungsari. Oleh para penjaga tawanan (bangsa Jepang yang sudah takluk) orang-orang inipun dibawa ke Hotel Yamato, berkumpul dengan teman-teman orang bule dari RAPWI. Di depan hotel, orang-orang bule pemenang perang ini kelihatan sombong, hilir-mudik di depan gedung, dan mengusir (menyuruh menjauh) orang-orang Indonesia yang lewat di depan hotel. Orang-orang Indonesia (di Surabaya) waktu itu memang miskin, kurus, penakut, tidak berdaya karena habis diperas oleh penjajahan Jepang selama 3,5 tahun. Kurus, lemah, dan ketakutan.
19 September 1945.
Sejak datangnya orang-orang Belanda yang menyelundup ke Surabaya, dan hampir bersamaan waktunya dengan dibebaskannya kaum interniran Belanda dari kamp-kamp tawanan, maka suasana Surabaya mulai panas karena terjadi saling mencurigai antara fihak pemuda dengan fihak Palang Merah International (Intercross). Pemuda Surabaya baru saja melakukan serangkaian kegiatan memperingati sebulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan menyelenggarakan rapat umum di Lapangan Pasarturi pada tanggal 17 September 1945. Ada provokasi baru tentang datangnya kelompok orang Sekutu yang pertama dari Mastiff Carbolic Party dibawah pimpinan Letnan Antonissen dengan parasut di Gunungsari Surabaya. Mastiff Carbolic Party merupakan salah satu dari sejumlah kelompok yang diorganisir oleh Anglo Dutch Country Section (ADCS) angkatan 136. Semula selama Perang Dunia II, ADCS adalah organisasi spionase yang dikirim ke Sumatera, Malaya (Malaysia) dan Jawa secara rahasia. Setelah Jepang menyerah mereka diterjunkan antara lain di Jakarta dan Surabaya untuk menghimpun informasi tentang keadaan kamp-kamp tawanan dengan kedok RAPWI. Fihak tentara Jepang setelah mendengar tentang pendaratan itu kemudian menjemput dan mengawalnya ke Yamato Hoteru. Sebelumnya di Hotel itu telah berkumpul pula sebagian besar orang Indo dan orang Indonesia. Pada hari Rabu Wage tanggal 19 September 1945, sementara pemimpin Mastiff Carbolic Party mengunjungi Markas Besdar Tentara Jepang, beberapa orang anggotanya bersama orang Belanda yang bergabung dalam Komite Kontak Sosial mengibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru di gerbang Yamato Hoteru. Arèk-arèk Surabaya tidak terima dengan begitu. Bendera Belanda harus diturunkan. Mereka menyerbu gedung Yamato Hoteru beramai-ramai. Itu peristiwa heroik yang pertama dilakukan oleh Arèk-arèk Surabaya. Sebab waktu itu keadaan orang Surabaya miskin, kurang makan, habis dijajah orang Jepang, tidak punya senjata. Namun berani melawan orang-orang Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa patriotismenya tidak bisa dibendung. Penyobekan bendera warna biru bisa terlaksana, sedangkan untuk pertamakalinya pertikaian di hotel tadi menimbulkan korban. Dari pemuda Indonesia yang menjadi korban: Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono. Dari pihak Belanda Mr. Ploegman, tewas ditusuk dengan benda tajam.
20 September 1945.
Pada 24 Agustus 1945 secara resmi para pembesar Jepang membacakan tentang berakhirnya Perang dan pernyataan Tenno Heika dan Seiko Sikikan di hadapan Pamong Praja. Bergeraklah para pemuda Indonesia yang di bawah naungan AMI (Angkatan Muda Indonesia pimpinan Roeslan Abdulgani) yang sejak proklamiran 17 Agustus 1945 selalu mencari keterangan, berani merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Tanggal 20 September 1945 sebuah rumah kediaman seorang perwira Jepang di Princesselaan 1 (Jalan Tidar) diambil alih para pemuda, Jepang perwiranya ditawan. Para pemuda itu adalah Jamal (zaman Jepang jadi kaibodan), Pramudji, Sudjono, Suyono, M.Dimyati, Suwardi, Karyono YS (pelukis). Jamal mengajukan usul agar gedung itu dijadikan Markas Komando Revolusi Surabaya. Mereka lantas mendirikan Markas Besar Pemuda Republik Indonesia (PRI). Keesokan harinya Jamal telah memasang spandoek besar: MARKAS BESAR PEMUDA REPUBLIK INDONESIA. Maka berdirilah PRI.
21 September 1945.
Dua hari kemudian setelah peristiwa penyobekan bendera Belanda 19 September 1945, baru missi RAPWI yang sesungguhnya datang, dibawah pimpinan Letnan P.G. De Back dari Dutch Navy. Mendengar laporan Letnan Antonissen, oleh De Back Mistiff Carbolic Party yang telah membuat onar di Surabaya segera dikirimkan ke Jakarta. De Back kemudian memerintahkan kepada pihak Jepang untuk mempersiapkan evakuasi interniran wanita dan anak-anak dari Semarang ke Surabaya. Semula pihak Jepang khawatir kalau semakin banyaknya orang Belanda ke Surabaya akan menambah keruhnya keadaan. Namun akhirnya terlaksana juga pemindahan para interniran wanita dan anak-anak dari Semarang ke Surabaya tanggal 29 September sampai 2 Oktober 1945. Sebanyak 2000 orang yang baru datang ditempatkan di Darmo dan Gubeng. Kedua tempat itu berkumpul sekitar 3000-4000 orang.
23 September 1945.
Rapat AMI diselenggarakan 23 September 1945 memutuskan AMI berintegrasi dalam bentuk organisasi pemuda, yaitu PRI. Pimpinan AMI Roeslan Abdulgani menyerahkan kepemimpinannya kepada Ketua PRI yaitu SUMARSONO. Susunan pengurus PRI awalnya adalah Ketua I, II : Sumarsono, Kusnadi HD, Krissubanu. Sekretaris: Bambang Kaslan, Supardi. Ada bagian keuangan, bagian pembelaan, bagian penyelidik, bagian tempur penyelidik (combat intelligence). Bagian penyelidik banyak melibatkan polisi resmi seperti: Inspektur Polisi Suyono Prawirobismo, Mujoko, SUCIPTO DANUKUSUMO, Benny Notosuroto, Kusnadi, Jayengrono, dll.
Dengan begitu kegiatan PRI menjadi sangat luas sekali di Surabaya. Hampir semua organisasi pemuda bergabung pada satu organisasi PRI ini, sehingga dibentuk berbagai cabang maupun rayon, misalnya PRI angkatan bersenjata, PRI pelajar, PRI Sosial dan Wanita. Dan juga PRI Wilayah Utara dengan kode PRI-60, dengan ketua, wakil, staf, batalyon, kompi (karena gerakan selanjutnya PRI memang ikut bertempur mati-matian melawan pasukan Inggris). Juga ada PRI Wilayah Tengah dengan kode PRI-40, dan PRI Wilayah Selatan dengan kode PRI-20, masing-masing wilayah melibatkan para pemuda dan dengan susunannya yang lengkap. Selain wilayah, juga dibentuk cabang, misalnya PRI Cabang Kampemen, Sidodadi, Ketabang, Bubutan, Kaliasin, Darmo. Banyak dari mereka itu bersenjata berat: panser, bren carier.
Pada tanggal 23 September 1945 tiba di Surabaya Captein P.J.G.Huiyer (angkatan laut Belanda). Ia diutus oleh Laksamana Helfrich (komandan Angkatan Laut Hindia Belanda, setelah perang dunia selesai dia duduk di AFNEI untuk mengurusi kembali daerah jajahannya). Huiyer berhasil membujuk Jendral Iwabe (panglima Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur) menyerahkan Angkatan Laut Jepang (kaigun) di Ujung/Tanjungperak dalam surat serah-terima hitam di atas putih. Setelah mendapat surat serah-terima pangkalan Angkatan Laut Jepang di Ujung/Tanjungperak, Huiyer terbang meninggalkan Surabaya menunaikan tugas misi yang sama ke Kalimantan Timur, sempat memberikan informasi kepada atasannya Admiral C.E.L.Helfrich di Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI), angkatan laut Belanda yang bergabung dengan Sekutu, bahwa penduduk Surabaya merupakan keadaan yang paling lemah di dunia. Huiyer melihat sendiri bagaimana orang Indonesia di Surabaya berlalu-lalang di depan Yamato Hoteru tidak berdaya diusiri oleh orang-orang Belanda yang menghuni di Hotel.
29 September 1945.
Sejak rapat raksasa di Tambaksari tanggal 21 September 1945, berkumpullah ± 30 pemuda bekas Peta, Sekolah Pelayaran Tinggi, Seinendan dan sebagainya di sebuah rumah di Julianalaan (Jl.Mabes Duryat). Mereka membahas keikutsertaan mereka dalam keanggotaan BKR. Kegiatan mereka dipimpin oleh Abdul Wahab, bekas Cudantjo Peta yang menjabat sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya. Mereka membahas kenapa Indonesia sudah merdeka kok Polisi Sekutu (Allied Forces Police) menugasi orang Jepang (yang sudah takluk) menjagai instalasi-instalasi militer dan tempat umum yang penting (misalnya tempat tawanan bangsa asing, penjara) dengan menggunakan kain putih dengan tulisan merah di lengan baju sebelah kanan: “ALLIED FORCES POLICE”? Mereka tidak terima di negaranya yang sudah merdeka ada pasukan asing.
Atas kesepakatan bersama mereka membentuk “Pasukan Khusus” bertugas secara cepat merebut kekuasaan dari tangan “asing” itu termasuk pasukan Jepang yang telah dinyatakan takluk itu (tapi masih diberi tugas). Setelah persiapan bergerak siap, maka mereka lapor kepada Polisi Istimewa pimpinan M. Yasin. Gerakan akan dilakukan serentak juga dengan para Tonarigumi (Rukun Tetangga) seluruh Surabaya. Mereka diberitahu bakal ada gerakan perebutan kekuasaan terhadap orang Jepang, para Tonarigumi harus membantu secara serentak.
Pada pertemuan tanggal 29 September 1945 di Julianalaan diputuskan semua anggota 30 orang tersebut pada jam 18.00 harus siap menerima perintah bergerak yang disampaikan oleh Abdul Wahab. Perintah yang harus dilaksanakan sebagai berikut: (1). Melucuti senjata dan alat perang Jepang. (2) Menawan semua anggota pasukan Jepang baik laki-laki maupun perempuan. (3) Merampas menduduki tempat komunikasi tentara Jepang, dan pemerintahan Jepang. Gerakan diatur sedemikian rupa: 20.00-24.00 merampas komunikasi Jepang, 24.00 melucuti Polisi Sekutu Jepang. Jam 05.00 30 September 1945 harus sudah selesai. Jam 05.30 dengan alat pengeras suara semua rakyat diteriaki/dipanggili “Siaaap! Siaaap! Serbu tentara Jepaaang! Serbu tentara Jepaaang!” Seluruh pelosok Surabaya tidak boleh ada yang kelewatan. Jam 06.30 seluruh anggota Pasukan Khusus 30 orang terbagi menjadi 15 kelompok masing-masing terdiri dari 2 orang, bertugas memimpin rakyat untuk menyerbu dan melucuti tentara Jepang di tangsi, markas, dan di konsentrasi tentara Jepang di seluruh pelosok Kota Surabaya. “Selamat berjuang! Merdeka!” ucap pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab pada jam 19.00 tanggal 29 September 1945.
30 September 1945.
Gerakan Pasukan Khusus pimpinan Abdul Wahab berlangsung seperti yang direncanakan. Dibantu oleh segala instansi, kelompok pemuda, hingga seluruh penduduk Kota Surabaya. Masing-masing melaksanakan fungsinya sendiri-sendiri dengan disiplin. Misalnya para kelompok Tonarigumi (Rukun Tetangga) seluruh kampung di Surabaya siap dengan teriakan “Siaaap!” serta menyiapkan kentongan (tabuhan) untuk dipukul titir kalau terjadi sesuatu di daerahnya. Beberapa kampung yang mewaspadai tempat orang Nippon sama mengurung tempat itu, dan kalau terjadi apa-apa yang ribut, maka segera mereka berteriak “Siaaap!” atau memukul tabuhan yang dibawa. Teriakan Siaaap! malam itu di Surabaya kemudian menjadi legenda bertempur rakyat Indonesia. Banyak buku ditulis periode perjuangan rakyat Indonesia itu disebut Periode Bersiaaap! Kalau tidak ada tabuhan ya tiang telepon dipukuli bertalu-talu. Pelaksanaan perintah 1, 2, 3 dan seterusnya berjalan mulus. Alat komunikasi utama direbut. Jepang yang jaga ditawan. Alat komunikasinya dipindahkan ke tempat lain. Pelucutan Polisi Sekutu Jepang terlaksana dengan bantuan Polisi Istimewa. Jepangnya ditawan di Penjara Kalisosok. Setelah mewaspadai selama semalam, pagi hari jam 07.30 Markas tentera Jepang di Sekolah Dagang di Reiniersz Boulevard (Jl. Diponegoro) diserbu, Jepangnya dibawa ke penjara.
Begitu juga markas atau tempat pembesar Jepang di mana-mana, pada direbut oleh para pemuda Indonesia. Markas di HBS-straat diduduki oleh Ketua BKR Karesidenan Surabaya, Abdul Wahab ditemani Suharyo Kecik (mahasiswa dari Jakarta), dan Hasanudin Pasopati (seorang guru dari Madura lulusan OSVIA). Karena luasnya markas Jepang itu (kompleks SMAN Wijayakusuma) tempat itu lalu digunakan juga untuk menampung para heiho dari Sulawesi yang sedang mau pulang ke Pulau Jawa, tertahan di Tanjungperak. Para heiho tersebut sekaligus diajak angkat senjata merebut kekuasaan dari Jepang. Setelah Markas HBS-straat dikuasai, para Pasukan Khusus pindah menyerbu bersatu dengan Pasukan Khusus lainnya yang belum beres, antara lain ikut pasukan BKR Jawa Timur Drg.Mustopo menyerbu ke Tobu Jawa Butai. Setelah selesai lalu bergabung menyerbu ke Markas Kenpeitai yang belum mau menyerah. Malam itu direbut pula markas-markas Jepang lainnya, antara lain Kitahama Butai (bengkel kendaraan perang, truk, tank), Kohara Butai (banyak senjata dirampas dari situ atas petunjuk Cudantjo Suryo), Kaigun Embongwungu, Markas di Hogendorplaan, Samurai di Karangrejo, markas penerbangan Morokrembangan, Rumah Sakit Karangmenjangan (untuk rumahsakit tentara Jepang) Tobu Jawa Butai. Termasuk Syutjokan Kaka yang tinggal di gedung Residen (Grahadi) di Simpangweg. Terebut tanpa banyak perlawanan. Memang setelah Jepang menyerah, diperintahkan oleh Sekutu semua senjata tentera Jepang harus dikosongi pelurunya. Jadi meskipun terlihat masih membawa senjata, mereka bersiap hanya mematuhi kehendak tentara Sekutu. Yang ada perlawanan adalah di gedung General Electronica Jl. Kaliasin (menyerah pagi hari), gedung Markas Kenpeitai (Tugu Pahlawan), gedung Markas Kaigun Gubeng (Angkatan Laut Jepang, sekarang jadi Grand City).
Yang istimewa adalah perebutan kekuasaan di arsenal Don Bosco. Ikut mengepung markas itu adalah Bung Tomo. Ternyata komandan Jepangnya tidak melawan. Mau menyerahkan markasnya asal kepada petinggi pemerintahan. Maka ke situ didatangkan M.Jasin dari Polisi Istimewa, Mohamad Mangundiprdjo dari BKR/KNI. Serah terima ditandatangani oleh pihak Jepang dan M.Jasin dan seorang pihak KNI. Markas Don Bosco adalah suatu arsenal (tempat timbunan senjata api). Komandan Jepang hanya minta satu pedang samurainya saja karena warisan dari kakeknya. Tidak boleh. Dia harus ditawan di Kalisosok. Sedang rakyat yang mengepung markas diperbolehkan membawa senjata seadanya dan sekuatnya, boleh pilih sendiri. Rakyatpun berebutan mengambili senjata. Tidak perduli pelurunya cocok apa tidak. Tidak perduli bisa menembakkan atau tidak. Dengan bersenjata seperti itu perebutan kekuasaan terhadap tentara Jepang kian marak. Melihat banyaknya senjata di gudang, maka Bung Tomo mengorganisir teman-temannya mengirimkan senjata tadi ke luar Surabaya. Pengiriman senjata dari Bung Tomo sampai di Tasikmalaya dan Jakarta. Tanggal 30 September orang Surabaya masih kelihatan ngentruk miskin tak berdaya. Tanggal 1 Oktober Arèk-arèk Surabaya sudah bersenjata, bergerombol berlalu-lalang di jalan kota, bahkan mereka sudah naik mobil dan truk rampasan, naik kendaraan sambil menyanyi-nyanyi Dari Barat sampai ke Timur, sajaknya yang semula “bahagia” diganti “Merdeka!”
1 Oktober 1945.
Pagi-pagi sekali Drg Mustopo sebagai Ketua BKR Jawa Timur bersama pasukannya (Abdul Wahab, Mujoko, Suyono, Moh. Jasin, Rahman) berangkat dari markasnya Jalan Bubutan 87 menuju ke Comidiestraat tempat Markas Tobu Jawa Butai. Tempat itu sudah dikepung sejak malam oleh rakyat Surabaya. Tobu Jawa Butai adalah markas pusat tentara angkatan darat Jepang untuk Jawa Timur. Setelah hari terang Mustopo berseru kepada komandan pasukan Jepang yang berada di gedung (gedung HVA = Handels Vereneging Amsterdam, kantor perserikatan dagang Belanda, zaman Jepang digunakan markas Tobu Jawa Butai) agar menyerah, karena markas sudah dikepung. Jendral Iwabe, komandan, mau menerima Mustopo dan kawan-kawannya. Maka diadakan serah-terima kekuasaan dari Komandan Tobu Jawa Butai kepada Ketua BKR Jawa Timur. Pada waktu itu masih ada sisa-sisa markas pasukan Jepang yang belum menyerah, maka timbul ide dari para pemuda yang hadir, agar Jenderal Iwabe membuat surat dengan huruf kanji, agar menyuruh semua tentara Jepang menyerahkan diri tidak melawan pasukan Indonesia. Dengan surat itu ditunjukkan ke tempat-tempat markas serdadu Jepang yang tidak mau menyerah (termasuk Markas Besar Kenpeitai) maka selesailah masalah perebutan kekuasaan dari serdadu Jepang kepada pemuda Indonesia. (Konon surat itu tidak saja digunakan untuk menundukkan Markas Besar Kenpeitai Surabaya, melainkan juga diedarkan untuk menaklukkan pasukan Jepang di Mojokerto dan sekitarnya).
Sampai pagi hari tanggal 1 Oktober 1945 pasukan Jepang yang tidak mau menyerah adalah Markas Kenpeitai di gedung dulunya Paleis Raad van Justitie (Gedung Pengadilan). Gedung ini pada zaman Jepang digunakan untuk Markas Besar Kenpeitai, di mana banyak pejuang Indonesia diseret dihukum ke situ. Antara lain: Pamuji, A. Rakhman, Cak Durasim, Ir. Darmawan Mangunkusumo. Gedung itu dikepung, diserbu oleh rakyat beserta para petinggi BKR dan Polisi Istimewa. Antara lain yang mengurung dan menyerbu: Pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab, Hasanudin Pasopati, Suharyo Kecik. Polisi Istimewa Mohammad Jasin, pasukan PRI Pramudji, Rambe, Sidik Arslan. Banyak timbul korban dalam pertempuran itu. Pertempuran baru berhenti jam 16.00, karena jasa Mohammad Jasin, Polisi Istimewa. Ia masuk ke Kenpeitai, menemui komandannya yang sudah dikenal karena sama-sama polisi pada zaman Jepang. Akhirnya komandan tadi diajak M.Jasin keluar di teras gedung dengan mengibarkan bendera Merah-Putih. Tembak-menembak berhenti, dan selesai. Pemimpin Pasukan Khusus Abdul Wahab yang juga menjabat Ketua BKR Karesidenan Surabaya terkena peluru pahanya. Terpaksa tidak bisa giat lagi dalam perjuangan membela bangsa di Surabaya, namun dia terus berjuang sebagai TNI di luar Surabaya sampai pensiun berpangkat Letnan Kolonel TNI. Kedudukan Abdul Wahab sebagai Ketua BKR Karesidenan Surabaya diganti oleh wakilnya Yonosewoyo.
Gedung Kenpeitai yang sudah damai masih ditempati oleh sebagian kecil pasukan Kenpeitai, dan separoh lainnya ditempati pasukan baru yang menamai dirinya Polisi Tentara BKR. Pemimpinnya Hasanudin Pasopati, wakilnya Suharyo Kecik. Kebetulan tanggal 5 Oktober 1945 BKR (Badan Keamanan Rakyat) diubah nama dan fungsinya menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), sehingga nama Polisi Tentara Keamanan Rakyat bisa disingkat PTKR.
Selain Markas Kenpeitai, yang masih tidak mau menyerah dan melawan adalah Markas Kaigun Gubeng. Di sini juga banyak korban jiwa di antara para pemuda pengepungnya. Pertempuran baru selesai ketika Ketua BKR Kota Surabaya Sungkono dan Ruslan Wongsokusumo menemui Laksamana Shibata Yaichiro di Ketabang (Jl.Jaksa Agung Suprapto). Setelah berunding, maka Laksamana Shibata Yaichiro memerintahkan penghentian tembak-menembak. Pertempuran pun usai. Menurut buku tulisan Shibata Yaichiro “Surabaya After the Surrender” yang membujuk agar dia memerintahkan penghentian pertempuran di Markas Kaigun Gubeng, adalah Dr.Samsi. Dr.Samsi adalah seorang intelektual Indonesia yang berjuang kooperatif dengan bangsa Jepang. Pada zaman Jepang Dr.Samsi bekerja mengekelola keuangan pemerintah di Surabaya, namun sangat akrab dengan kaum nasionalis di Jakarta seperti Ir.Soekarno, Mr.Soebardjo, Laksamana Maeda (angkatan laut Jepang yang simpati dengan bangsa Indonesia merdeka), karena itu juga akrab dengan Laksamana Shibata Yaichiro yang menjabat angkatan laut di Surabaya. Dr.Samsi sering dipanggil ke Jakarta, sehingga bisa menghadiri penulisan naskah dan mengumumkan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di Jakarta, serta menyaksikan penandatanganan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 di Jakarta.
Tanggal 1 Oktober 1945 adalah awal kedatangan tawanan wanita Belanda dari Semarang. Kebetulan Huiyer dari Angkatan Laut Belanda yang sudah merebut Pangkalan Angkatan Laut di Ujung/Tanjungperak secara administrasi hitam di atas putih datang lagi di Surabaya. Dia melaporkan ikut sibuk mengurusi baik tentang misinya sebagai utusan Helfrich, maupun kedatangan tawanan wanita dari Semarang tadi. Ia melapor kepada Residen Sudirman yang waktu itu kepala pemerintahan tertinggi di Surabaya. Huiyer datang naik pesawat terbang khusus, pinjaman dari Hellfrich. Tapi tanggal 1 Oktober itu lapangan terbang Morokrembangan sudah dikuasai oleh pemuda Indonesia. Huiyer tidak bisa lagi terbang. Ia nanti ketahuan kedoknya sebagai orang Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia. Sebelum ditangkap oleh pemuda, Huiyer melarikan diri dengan naik keretaapi dari Stasiun Gubeng ke Jakarta. Sampai di Nganjuk, dicurigai sebagai orang Belanda NICA (musuh rakyat Indonesia), dia ditawan oleh pemuda di sana. Dan dikembalikan ke Surabaya, ditawan oleh Ketua TKR Jawa Timur Drg. Mustopo, dimasukkan Penjara Kalisosok.
Peran PRI sangat mendukung gerakan merebut kekuasaan Jepang. Kini PRI juga bersenjata. Maka untuk menyempurnakan urusan organisasi, Sumarsono menduduki Simpang-club (Balai Pemuda) dijadikan sebagai Markas Besar PRI Surabaya.
Bung Tomo yang dipilih sebagai urusan penerangan PRI pergi ke Jakarta untuk ikut rapat KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat = Dewan Perwakilan Rakyat) dengan sangu senjata rampasan cukup banyak.
12 Oktober 1945.
Para petinggi Surabaya menjemput Gubernur Jawa Timur RMTA Suryo di perbatasan Surabaya-Bojonegoro. RMTA Suryo adalah Gubernur Jawa Timur yang dipilih oleh Pemerintah Pusat Jakarta. RMTA Suryo dulunya adalah Syutjokan (Residen) Bojonegoro, tingkatnya lebih tinggi dari Fuku Syutjokan Surabaya Sudirman. Sudirman hanya wakil Syutjokan (wakil Residen di Surabaya), Residennya Yasuoka, orang Jepang. Dengan datangnya Gubernur Suryo menunaikan tugas di Surabaya, kian kuatlah organisasi pemerintahan di Jawa Timur dalam suasana Indonesia Merdeka tanpa tentara asing menginjak bumi Jawa Timur.
Bung Tomo pulang dari Jakarta membawa oleh-oleh pikiran bagaimana menghimpun massa dan bagaimana mendirikan pemancar radio. Dengan kedua pemikiran yang diperoleh dari pemimpin-pemimpin di Jakarta itu, Bung Tomo yang semula bertugas sebagai seksi Penerangan PRI pusat, membentuk sendiri kekuatan massa dengan nama Barisan Pemberontakan Rakyat Surabaya bermarkas di Jalan Biliton 7 Surabaya, serta bersama ahli-ahli teknik radio RRI Surabaya mendirikan pemancar radio dengan nama yang sama di Jalan Mawar 10 Surabaya.
15 Oktober 1945.
Pemerintah Belanda NICA (Netherlands Indies Civil Administration, adalah pemerintah pengungsian Hindia Belanda di Australia bentukan Dr.H.J.van Mook 10 Desember 1944), dengan tujuan akan kembali menjajah Indonesia setelah Perang Dunia II selesai dan kemenangan di pihak Sekutu. Pemerintah Belanda ikut sebagai pemenang karena membantu Sekutu. Untuk menjajah Indonesia kembali Dr.H.J.van Mook kian cemas melihat perkembangan di Surabaya. Setelah melalui Intercross, RAPWI, bahkan Mistiff Carbolic Party dan petualangan P.J.G.Huiyer tidak berhasil menguasai Surabaya, mereka mencoba mendaratkan angkatan lautnya dengan sekoci-sekocinya di Kedungcowek. Tapi segera ketahuan oleh penduduk, dan diteriaki “Siaaap!”, mereka gagal mendarat.
24 Oktober 1945.
Pada tanggal 24 Oktober 1945 sekira jam 11.00 pagi tampak sebuah pesawat terbang melayang-layang di tepi laut Tanjungperak. Ternyata pesawat tadi mengawal iring-iringan konvoi terdiri sekitar 6 destroyer dan kapal sejenis LST dan sejumlah kapal biasa sebanyak ± 60 buah. Di antaranya ada yang langsung mendarat di Rotterdamweg (Jl.Zamrut) Tanjungperak. Kapal perang yang lain mendarat di gedung Armada Moderlust. Itulah pendaratan pasukan Inggris ke Surabaya yang dipimpin oleh Brigadir AWS Mallaby. Tugas Mallaby adalah mengangkut keluar para tawanan perang asing dari Surabaya, baik orang asing yang ditawan oleh Jepang dulu (yang jumlahnya cukup banyak ± 4000 orang), maupun orang Jepang yang sudah takluk. Sebetulnya beberapa hari sebelumnya, Menteri Penerangan Mr.Amir Syarifuddin telah memberi instruksi kepada Drg Mustopo bahwa akan tiba pasukan Inggris yang bertugas menjemput tawanan perang, jangan dihalang-halangi. Namun ketika mendapat laporan bahwa pasukan Inggris pimpinan Brigadir AWS Mallaby mendarat dengan begitu banyak kapal perang, Mustopo sebagai Ketua BKR Jawa Timur merasa tidak nyaman ada tentara asing menginjakkan kakinya di Surabaya. Malam hari itu, dikawal oleh Dr.Sugiri, Brigadir AWS.Mallaby menemui “pemerintah” Surabaya di Kantor Gubernur. Sebagai pusat pemerintahan, di situ piket Drg. Mustopo, M.Yasin, Bung Tomo dengan mikrofonnya. Di situ untuk pertama kalinya Mallaby bertemu deengan Mustopo. Mustopo bilang, kalau mau mendarat di Surabaya harus mendapat izin dari pemerintah. Mallaby tanya, “From whome we have to get permission to land our troops?” Dijawab Mustopo, “From the Minister of Defence of The Republic of Indonesia.” Mallaby, “Where can I meet your Minister of Defence?” Mustopo, “He sits before you.” Langsung Mallaby menyebut Mr berubah menjadi “Your Excellency”. Setelah itu dirundingkan bagaimana pasukan Mallaby bisa menunaikan tugas menjemput tawanan di Surabaya. Mustopo menganjurkan pasukan Mallaby tidak perlu mendarat lebih dari 800 meter dari pelabuhan. Nanti pasukan Indonesia saja yang mengantarkan para tawanan ke pelabuhan. Tapi Mallaby menolak tawaran ini dan akan terus menerjunkan pasukannya memasuki Kota Surabaya.
24 – 31 Oktober 1945.
Setelah pertemuan itu hari-hari atau malam hari Mustopo beberapa kali bertemu dengan Mallaby atau stafnya. Mallaby tetap bersikeras menerjunkan pasukannya ke pusat kota. Pernah mereka bertemu dengan kapasitasnya sebagai tentara di Prapatkurung, tidak dapat persetujuan. Pernah juga Mustopo diculik dari markasnya di Gedung HVA diharuskan membebaskan para interniran di penjara Kalisosok. Para tawanan asing, termasuk Huiyer, dibebaskan. Dalam keadaan panik Mustopo mengumumkan akan pidato di RRI, menolak kehadiran tentara Inggris di Surabaya. Siang hari sebelum pidato, Mustopo disertai para BKR anak buahnya berkeliling naik kendaraan mengumumkan penolakannya terhadap pendaratan tentara Inggris. Para Arèk-arèk Surabaya yang sudah merasa merdeka dan punya senjata, dengan berapi-api mendukung penolakan Mustopo. Ketika berpidato di RRI sanja harinya, Mustopo hanya berteriak, “Nica! Nica! (baca nika) Jangan mendarat! Kamu tahu aturan! Kamu tahu aturan, Inggris! Kamu sekolah tinggi! Jangan mendarat!” Tetapi pasukan Mallaby secara beregu maupun berkelompok lebih banyak, dengan senjata lengkap memasuki kota, menduduki tempat-tempat yang strategis seperti: Gedung Internatio (Jembatan Merah), gedung BPM (pertamina Jl. Veteran), Gereja Kristen dan Kantor Polisi di Bubutan, Kompleks SMAN Wijayakusuma, RRI Surabaya Jl. Simpang (depan rumahsakit yang sekarang jadi Surabaya Plaza), Konsulat Inggris dan Gedung olahraga dayung di Kayun, Rumahsakit Darmo dan sekitarnya, Kantor BAT Ngagel. Dengan keadaan seperti itu Mustopo menganjurkan kepada rakyat Surabaya supaya menghalang-halangi tentara asing itu menduduki bumi Surabaya yang merdeka. Mustopo sendiri lalu mengatur siasat Himitsu senso sen (perang rahasia) dikombinasikan dengan Senga sen (perang kota). Untuk melakukan siasat itu Mustopo pergi keluar Surabaya, singgah dulu ke Markas Besar PRI di Simpangs-club. Di sana diinterogasi oleh pemuda-pemuda PRI antara lain Sumarsono. Menuju keluar Surabaya, Mustopo melalui Wonocolo, memberi instruksi perang kepada kelompok BKR di sana (pabrik kulit Wonocolo), lalu ke Sidoarjo, Krian, Mojokerto, hendak menuju ke Gresik. Di Mojokerto ditawan oleh anggota PTKR Sabarudin, ditawan di Mojosari. Baru tanggal 30 Oktober 1945 dibawa oleh Sabarudin menghadap Bung Karno/Bung Hatta di rumah Gubernur Simpang (Grahadi).
Apa instruksi Mustopo dilaksanakan benar oleh Arèk-arèk Surabaya di segala lapisan, baik yang masuk organisasi masa seperti PRI, Hisbullah, BPRI, BKR kota, maupun sebagai orang kampung perorangan. Jalan-jalan besar seluruh Kota Surabaya yang pada zaman Jepang tidak pernah dilalui kendaraan (karena kendaraan bermotor hanya untuk berperang), maka kini dirintangi dengan segala barang tak berguna, misalnya batang pohon yang ditebang, almari atau kursi, dan di perempatan jalan selalu berkerumun rayat untuk menghalangi kendaraan asing yang lewat. Selain jalan, juga rakyat banyak tadi mengepung tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Inggris yang jumlahnya hanya beberapa regu saja. Karena tegang, kemudian tidak lagi ada kesabaran, terjadilah tembak-menembak antara rakyat Surabaya yang mengepung gedung, dengan seregu-empat regu pasukan Inggris yang di gedung. Aliran listrik dan air dimatikan. Meskipun pasukan Inggris dilengkapi dengan senjata yang ditembakkan ke rakyat yang mengerumuni gedung hingga timbul korban di antara rakyat yang mengepung, tapi rakyat Surabaya mati satu tumbuh seribu. Pengepungan rakyat tidak bakal surut. Selama tiga hari (27-28-29 Oktober) terkurung di gedung, tentara Inggris tentu tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Peluru habis, makan habis, minta pertolongan lewat udara tidak mungkin, lari lewat darat juga tidak mungkin lagi. Sebentar lagi pasti hancur. Kadung banyak korban dan kebencian, dendam rakyat Surabaya tidak bisa dibendung. Misalnya di Gedung RRI yang gedung depannya tingkat dua. Semula dengan senjata otomatis pasukan Inggris (kebanyakan sewaan dari India yang disebut Gukha) bisa membunuh rakyat yang berkerumun di depan gedung, ditembaki dari tingkat dua. Namun akhirnya rakyat yang dibantu oleh Polisi Istimewa, dapat membakar gedung RRI itu dari tingkat bawah. Tentu tentara Gurkha yang di tingkat dua akan terbakar juga. Mereka terpaksa lari keluar lewat ruang bawah yang terbakar. Yang selamat bisa melintasi kobaran api diterima oleh rakyat yang sudah terlalu banyak menderita korban jiwa. Jadi mereka yang lari dari gedung juga langsung saja dibunuhi oleh rakyat. Tanpa ampun.
Tanggal 28 Oktober 1945, baru dikurung dua hari saja, pasukan Inggris bisa dipastikan akan hancur seluruhnya. Brigadir Mallaby jadi was-was. Dia harus menghentikan kehancuran ini. Kepada siapa harus minta tolong? Minta tolong berdamai dari pihak pemerintah Surabaya tidak mungkin. Satu-satunya jalan minta tolong ke markas pusatnya di Jakarta. Minta dikirimkan orang yang bakal dipatuhi oleh Arèk-arèk Surabaya. Siapa? Setelah dirunding-runding, akhirnya jatuh pilihan mendatangkan Presiden Soekarno. Padahal pasukan Sekutu pemenang perang belum mengakui adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tapi akhirnya memenuhi permintaan Mallaby, mereka meminta Presiden Soekarno mendamaikan pertempuran di Surabaya. Kabar kedatangan Presiden Soekarno sudah diumumkan. Tapi rakyat Surabaya sudah tidak mau lagi percaya dengan janji-janji orang Inggris. Sudah beberapa kali sebelum tembak-menembak di Surabaya, patinggi bangsa Indonesia di Surabaya berunding dengan pihak Mallaby, sudah disepakati sesuatu, tapi kemudian dilanggar. Maka kabar bakal datangnya Presiden Soekarno juga harus diwaspadai. Radio Pembrontakan Rakyat Surabaya dengan suara Bung Tomo yang selalu memantau perkembangan pertempuran bersuara keras, para pemuda di Lapangan Terbang Morokrembangan harus sigap. Kalau yang turun bukan Presiden Soekarno, harap ditembak saja dengan penumpangnya yang lain.
Ternyata betul. Yang datang Bung Karno diikuti Wakil Presiden Mohamad Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin. Turun dari pesawat mereka disambut oleh pemuda, dinaikkan kendaraan, dibawa lari masuk kota dengan bendera Merah-Putih selalu dikibarkan di konvoi mubil. Waktu itu Kota Surabaya sedang hujan peluru, dan jalan-jalan besar dihalangi baik oleh barang, maupun gerombolan pemuda. Namun rombongan Presiden Soekarno bisa dilarikan ke rumah Residen Sudirman di Van Sandictstraat (Jl. Residen Sudirman). Di sana rombongan Presiden diberi laporan dulu situasi Kota Surabaya oleh pihak pemerintah Indonesia.
Baru keesokan harinya berunding dengan Mallaby di rumah dinas Gubernur (Grahadi). Sebelum Mallaby tiba, datang dulu Drg.Mustopo yang digiring oleh Sabaruddin. Oleh para petinggi negara, antara lain Wakil Presiden Mohammad Hatta, Drg.Mustopo dianggap sebagai pemicu pertempuran dengan pasukan Inggris di Surabaya. Perbuatan yang salah. Makanya langsung dipecat dari jabatannya oleh Presiden Soekarno. Mustopo dipindahkan ke Jakarta sebagai penasihat Presiden.
Hasil perundingan dengan Mallaby, harus secepatnya diumumkan gencatan senjata. Pengumuman tadi harus segera disiarkan. Di siarkan lewat mana, wong RRI Simpang sudah terbakar hangus? Akhirnya diumumkan lewat siaran Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya Jalan Mawar 10. Bung Karno dan Mallaby bersama staf pergi ke sana untuk mengumumkan gencatan senjata.
Baru keesokan harinya (30 Oktober) diadakan perundingan yang mengatur jalan tugasnya Mallaby mengangkut para tawanan keluar Surabaya. Perundingan diadakan di Kantor Gubernur. Harus menunggu kedatangan Panglima Divisi India 23 pasukan Inggris, Mayor Jendral D.C.Hawthorn, atasan Mallaby. Hawthorn tiba dengan pesawat dari Jakarta jam 09.15.
Sementara itu para pemuda Surabaya berdemonstrasi di depan tempat berunding, mereka dengan gagah mengendarai tank rampasan dari Jepang, berputar-putar tak berhenti di depan bekas gedung Kenpeitai yang sudah menjadi gedung PTKR. Arèk-arèk Surabaya saat itu sebagai pihak yang menang perang!
Diperoleh hasil, bahwa pasukan Mallaby diperbolehkan mengangkut tawanan dengan mobil-mobil pasukan Inggris dari segala tempat tawanan perang. Tawanan bangsa Eropa terbanyak di Rumah Sakit Darmo, sedang prajurit Jepang di Jaarmarkt (Hitech Mall) dan Penjara Koblen. Jalan-jalan besar yang akan dilalui mobil angkutan harus dibuka lebar. Untuk mengawasi penyelenggaraan itu maka dibentuk Kontak Biro, yaitu yang terdiri dari petinggi pasukan Inggris dan petinggi pemerintah Kota Surabaya. Anggota Kontak Biro (Contact Bureau) Inggris adalah: Brigadir AWS Mallaby, Colonel LPH Pugh, Mayor M.Hodson, Capten H.Shaw, Wing Commander Groom. Dari Indonesia: Sudirman (Residen), Dul Arnowo, Atmadji, HR.Mohamad, Sungkono, Suyono, Kusnandar, Roeslan Abdulgani, T.D.Kundan.
Jam 13.00 Kontak Biro sudah selesai disusun, ditandatangani oleh Hawthorn dan Presiden Soekarno. Karena Kontak Biro sudah terbentuk, tinggal pelaksanaannya saja, maka Mayor Jendral D.C.Hawthorn dan rombongan Presiden Soekarno meninggalkan tempat terbang kembali ke Jakarta.
Kontak Biro terus berunding, akan bekerja menurut aturan yang ditetapkan. Rencana bekerja selesai jam 16.30. Waktu itu di sana-sini masih terdengar tembak-menembak. Maka harus dicegah. Gencatan senjata harus dilaksanakan. Maka para perunding langsung bekerja akan mendatangi tempat yang masih terdengar tembak-menembak. Yaitu yang pertama di Jembatan Merah. Dengan beberapa mobil dari depan gedung Gubernur tempat mereka berunding, mereka menuju pertama kali ke Jembatan Merah. Waktu melalui jalan Societeitstraat (Jl.Veteran), rombongan mobil sering dihadang oleh pemuda-pemuda Surabaya yang memprotes mengapa harus gencatan senjata, wong kita menang. Tentara Inggris harus meninggalkan gedung, agar aman. Mendapat hadangan begitu ganti-berganti Dul Arnowo, Residen Sudirman maupun Mohamad memberikan penerangan tentang pentingnya gencatan senjata. “Ya, tentara Inggris harus meninggalkan gedung, baru aman!”
Gedung Internatio di sebelah barat lapangan Jembatan Merah, diduduki tentara Inggris. Mereka dikurung oleh rakyat Surabaya, tapi masih saja melawan. Maka rombongan mobil Kontak Biro melalui Herenstraat (Jl.Rajawali) mendekati gedung Internatio. Berhenti di pertiga depan gedung. Hanya mobil Mallaby yang menuju depan gedung. Di sana, komandan pasukan Inggris Mayor Venu Gopal (Gurkha) keluar di teras, bercakap-cakap dengan Mallaby. Setelah itu, Mallaby dengan mobilnya berangkat lagi ke utara, lalu belok ke timur melalui Willemplein Noord (jalan sebelah utara lapangan) menuju Jembatan Merah. Sepanjang perjalanan dikerumuni para pengepung gedung Internatio, minta supaya tentara Inggris angkat kaki dari gedung. Sampai di ujung barat Jembatan Merah bertemu lagi dengan rombongan mobil dari Kontak Biro Indonesia. Permintaan rakyat kian ramai, sehingga rombongan sulit berjalan. Maunya meneruskan misi ke daerah Kembangjepun yang juga masih terdengar tembak-menembak. Tetapi karena penuh sesak dikerumuni rakyat, para pihak Kontak Biro berunding di tempat. Akhirnya Mallaby setuju mengutus stafnya datang ke gedung, untuk membicarakan hal meninggalkan gedung. Yang diutus Kapten Shaw, perwira penyelidik yang sudah beberapa kali ikut berunding dengan pihak Indonesia. Kepergian Kapten Shaw akan diikuti oleh utusan dari Indonesia. Dipilih HR.Mohamad, yang berpakaian tentara dan yang paling tua. Untuk mengetahui bahasa mereka di gedung, pihak Indonesia menyertakan TD.Kundan (warga Surabaya keturunan India) sebagai jurubahasa. Ketiga orang tersebut menyeberangi taman Willemplein (Taman Jayengrono), lalu masuk ke gedung. Namun belum sampai 15 menit, terlihat TD Kundan lari keluar dari gedung, dan menyuruh orang bertiarap atau berlindung. Akan ada tembakan. Belum jelas teriakan TD Kundan, ternyata benar terdengar rentetan tembakan dari dalam gedung. Maka gemparlah pengepung gedung di lapangan. Termasuk para anggota Kontak Biro Indonesia. Mereka pada menyelamatkan diri, kebanyakan terjun ke Kalimas, dan menyeberang ke sebalah timur. Karena sudah berunding begitu lama (dari pagi sampai magrip) dengan akhir begitu, para petinggi Kontak Biro Indonesia tidak bertemu lagi malam itu, masing-masing pulang sendiri-sendiri. HR. Mohamad masih terkurung di dalam gedung. (Baru keesokan harinya dilepas oleh tentara Inggris di gedung itu). Keesokan harinya (31 Oktober 1945) mobil Mallaby ditemukan hancur di tempat, Dan Brigadir Mallaby tewas di dalamnya. Konon ditemukan oleh Dr. Sugiri, dan jenasah Mallaby dibawa ke Rumah Sakit Simpang Surabaya.
Hari Rabu 31 Oktober 1945, Jendral Christison selaku Panglima Tentara Sekutu untuk urusan bekas jajahan Belanda (AFNEI = Allied Forces in the Netherlands East Indies) mengeluarkan pengumuman yang mengandung ancaman (Warning to Indonesian), Presiden Soekarno mendapat perintah untuk datang jam 11 di Markas Besar Jendral Christison di Jakarta. Diberi tahu bahwa Brigadir AWS Mallaby telah dibunuh secara keji sekali, ketika menjalankan tugas berunding dengan pemimpin extremis Indonesia (siaran berita Kantor Berita Belanda ANP). Dul Arnowo memberikan laporan berdasarkan kenyataan. Malam itu juga Presiden Soekarno berpidato melalui radio, menyesalkan kejadian tersebut. Dalam pidatonya antara lain mengemukakan: Surabaya merupakan satu kekuatan nasional kita. Di Surabaya TKR tersusun sangat baik. Pemuda dan kaum buruh telah membentuk persatuan-persatuan yang sangat teguh. Tapi sayang melakukan tindakan yang gegabah.
1 – 10 November 1945.
Hari-hari selanjutnya keadaan Kota Surabaya tidak banyak bergolak. Pelaksanaan pengangkutan tawanan perang berjalan lancar-lancar saja seperti yang telah dikukuhkan pada rapat-rapat Kontak Biro yang lalu. Gubernur RMTA Suryo melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Pertama kali mengatur perekonomian rakyat Jawa Timur. Mengundang para pejabat pemerintahan Jawa Timur datang rapat ke Kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya, diadakan arahan.
Hari Rabu 7 November 1945, Roeslan Abdulgani selaku sekretaris Kontak Biro menerima telepon dari Wing Commander Groom, pengganti Kapten Shaw, menyampaikan undangan kepada Gubernur Suryo bersama pemimpin dan anggota Kontak Biro untuk datang ke Bataviaweg (Jl.Jakarta) berkenalan dengan Jenderal Mansergh, pengganti Brigadir Mallaby. Jam 12.00 dengan berkendaraan mobil anggota Kontak Biro dan Gubernur Suryo menuju Bataviaweg. Kolonel Pugh dan Wing Commander Groom menerima rombongan di ruang sidang. Mayor Jenderal Mansergh yang berbadan tegap dan mengempit tongkat komando di tangan kiri masuk ruangan. Setelah berjabatan tangan dengan rombongan, semua dipersilakan duduk. Mansergh lalu mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya dan minta agar TD.Kundan untuk menterjemahkan akan apa yang dibacanya. Isi surat yang bernomor G-5 12-1 semula tertanggal 3 November 1945 dicoret dengan tinta dan diganti menjadi 7 November 1945 itu menuduh bahwa telah diinsafi sepenuhnya oleh seluruh dunia, bahwa orang-orang yang tidak bertanggung jawab dibiarkan membawa senjata, dibiarkan merampok, melakukan pengkhianatan dan pembunuhan terhadap wanita-wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata, dan melakukan lain-lain tindakan keganasan yang sangat biadab. Itu semua menjadi tanggung jawab Tuan (Gubernur Jawa Timur). Mansergh minta supaya diatur lebih lanjut mengenai evakuasi warga negara asing yang ingin dipulangkan, dan supaya semua tentara Sekutu yang luka dan hilang, truk, peralatan dan sebagainya dengan segera dikembalikan.
Semua tuduhan Mansergh disangkal oleh Gubernur Suryo dengan tegas tapi sopan.
Kemudian Mansergh meninggalkan sidang dan minta Kolonel Pugh untuk mewakili fihak Inggris. Perbuatan ini ditiru oleh Gubernur Suryo. Ia berdiri dan meninggalkan sidang dan menugaskan Dul Arnowo dan Sungkono untuk meneruskan pembicaraan atas nama Indonesia. Perundingan dilanjutkan dengan suasana tegang.
Secara diam-diam Sekutu memperkuat posisinya. Tanggal 1 November pukul 08.00 Laksamana Muda Patterson dengan kapal perang HMS Sussex tiba di Surabaya, 1500 pasukan didaratkan dengan kapal Carron dan Cavallier. Tanggal 3 November menyusul pula Mayor Jendral E.C.Mansergh, Panglima Divisi ke-5 Infanteri India, tiba di Surabaya dengan membawa 24.000 pasukan, lengkap dengan panser, satu divisi arteleri dilindungi dari Tanjungperak dan Ujung oleh satu kruiser dan empat destroyer dengan meriam jarak jauh yang lengkap, ditambah 21 Sherman tank dan meriam yang dilindungi 24 pesawat terbang jenis Mosquito (pemburu) dan Thunderbolts (pelempar bom). Pesawat-pesawat ini berpangkalan di kapal-kapal perusak yang mengadakan straffing serta menjatuhkan bom-bom di Surabaya. Kekuatan laut yang dikerahkan oleh Inggris terdiri dari jenis kapal LST destroyer. Kapal itu dibawah komando Naval Commander Force 64 yang dipimpin oleh Captain RCS. Carwood. Beberapa buah kapal ini sudah beroperasi sejak kedatangan Inggris 25 Oktober 1945. Dan banyak lagi kekuatan Inggris dari laut, udara dan darat untuk menyerbu Surabaya 10 November 1945.
Esok harinya, Kamis 8 November 1945, Gubernur Suryo menerima sepucuk surat dari Mayor Jendral Mansergh disampaikan melalui kurirnya. Isinya menuduh bahwa Kota Surabaya telah diduduki oleh para perampok, pihak Indonesia tidak menepati janji yang telah dimupakati bersama. Indonesia menghalangi tugas melucuti senjata Jepang. Oleh karena itu ia dengan tentaranya akan menyerbu Surabaya dan sekitarnya, demikian juga daerah lain Jawa Timur, untuk melucuti ‘gerombolan yang tak mengenal aturan tertib hukum itu’. Pada akhir surat Mansergh “memanggil” Gubernur Suryo untuk datang di kantornya hari Jumat 9 November 1945 jam 11.00 pagi.
Gubernur Suryo membalas kedua surat itu bernomer 1-KBK tertanggal 9 November 1945 menjawab satu per satu secara singkat apa yang dituduhkan itu. Surat itu diantarkan ke kantor Mansergh oleh Residen Sudirman, Roeslan Abdulgani dan TD Kundan, tiba di tempat Mansergh jam 11.00. Mansergh tidak mengira yang datang hanya utusannya, bukan Gubernur Suryo sendiri. Begitu menerima suratnya, Mansergh lalu memberikan dua dokumen (yang sudah dipersiapkan), yaitu satu ultimatum kepada “All Indonesians of Surabaya” dengan “instruction”. Yang satu lagi adalah surat penjelasan atas ultimatuim tersebut yang dialamatkan kepada RMTA Suryo, tertanggal 9 November 1945 dengan nomor G-512-11.
Surat ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya agar menyerahkan segala senjata yang mereka miliki. Semua pemimpin pemerintahan, pemuda, badan-badan perjuangan, diharuskan melapor dan menyerahkan diri kepada tentara Inggris. Surat itu juga berisi instruksi cara-cara mereka harus menyerahkan diri. Sedang surat untuk Gubernur Suryo juga dijelaskan macam senjata apa saja yang harus diserahkan. Tidak hanya senapan, pistol, tank, granat, meriam, mortir, tetapi juga “spears, knifes, swords, sarpened bamboos, keris, blow-paper, poisoned arrows and darts”
Sudah ada usaha mencegah dilaksanakan ultimatum oleh RH.Mohamad dan Residen Sudirman, dan juga oleh Dokter Sugiri dan Roeslan Abdulgani. Tetapi tidak berhasil. Surat Gubernur Suryo tidak diperdulikan.
Pada siang hari jam 12.00 pesawat terbang Inggris menyebarkan pamflet di atas Kota Surabaya. Isinya juga ultimatum itu tadi.
Para pimpinan di Surabaya segera mengadakan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Maksudnya melaporkan kepada Presiden agar Presiden mendesak Inggris untuk mencabut ultimatumnya. Sore hari itu Gubernur Suryo, Residen Sudirman dan Dul Arnowo berkumpul di Pension Marijke Embong Sawo untuk membicarakan keadaan yang genting itu. Berkali-kali hubungan telepon ke Jakarta baru bisa sambung 19.30 lansung dengan Presiden Soekarno. Presiden sudah berusaha dan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo juga sudah menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta. Presiden minta agar para pimpinan di Surabaya menanti hasil pembicaraan Menteri Luar Negeri Soebardjo. Sampai jam 21.00 belum ada kabar. Pukul 22.00 baru Dul Arnowo berhasil mengadakan kontak lagi dengan Jakarta. Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo sudah bertemu dengan Christison, tetapi tidak berhasil mengubah pendirian pimpinan tentara Inggris agar mencabut ultimatumnya itu. Achmad Soebardjo akhirnya bilang, “…. saya tidak dapat menilai keadaan di Surabaya, kalau Saudara berpendapat dapat mempertahankan kota itu, pertahankanlah!”
Dengan adanya keputusan Pemerintah Pusat melalui Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo, maka Gubernur Suryo dibantu oleh Dul Arnowo yang sedang di Kantor Gubernur segera menyusun teks pidato. Teks pidato tadi kemudian disiarkan oleh Gubernur Suryo lewat pemancar RRI Surabaya yang ada di Embong Malang (sekarang jadi hotel JW Marriot).
“Saudara-saudara sekalian,
Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.
Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap itu. Kita tetap menolak ultimatum itu.
Dalam menghadapi kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara Pemerintah, Rakyat, TKR, Polisi dan semua Badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta Rahmat dan Taufik dalam perjuangan.
Selamat berjuang!
Demikian isi pidato Gubernur Suryo yang dibacakan dengan tenang, tetapi tegas dan mantap. Pidato itu telah mendapat sambutan rakyat Surabaya dan menambah semangat berjuang mereka. Lebih-lebih sesudah mendengarkan siaran Radio Pemberontakan Rakyat pimpinan Bung Tomo.
Keesokan harinya tanggal 10 November 1945, mulai jam 06.00 Kota Surabaya dihujani peluru dari laut, darat dan udara. Para pemuda dengan bersenjata seadanya melawan serangan-serangan Inggris yang menggunakan granat, mortir, tank raksasa. Yang dihadapi oleh para pejuang hanya jatuhan bom, peluru dan meriam. Orang Inggrisnya tidak kelihatan.
Meskipun begitu, Kota Surabaya yang diperkirakan akan hancur perlawanannya dan takluk selama gempuran satu minggu selesai, ternyata bertahan hingga akhir November 1945. Akhir November 1945, para pejuang Indonesia baru angkat kaki dari Gunungsari dan Waru. Pada bulan Desember 1945, masih ada sisa-sisa perlawanan di Gedangan dan Krian.
Tidak ada lagi pemerintahan bangsa Indonesia di Kota Surabaya sejak itu (akhir November 1945). Sejak itu Kota Surabaya diperintah oleh A.M.A.C.A.B (Allied Military Administration Civil Affairs Branch) alias pasukan Inggris. Yang dikuasai A.M.A.C.A.B hanya Kota Surabaya. Gedangan, Sepanjang, Tandes, Kalianak menjadi garis demarkasi. Di luar itu seluruh daerah masih menjadi daerah pemerintahan Republik Indonesia. Di Surabaya, pemerintah A.M.A.C.A.B terus melakukan pengangkutan para pengungsi keluar dari Surabaya hingga selesai. Karena boleh dikata Kota Surabaya kosong, yang tinggal hanya penduduk aseli yang mempertahankan sawahnya, maka A,M.A.C.A.B hanya membentuk Sektor ketentaraan. Tidak mengurusi penduduk. Setelah misi pasukan Inggris selesai, pemerintahan kota diberikan kepada pemerintah Belanda yang selalu setia membantu gerakan pasukan Inggris memusuhi pasukan Indonesia.
Boleh dikata sejak tanggal 1 Desember 1945 Kota Surabaya diperintah kembali oleh penjajah Belanda. Sifatnya masih dalam kesiagaan perang, banyak tentara kolonial Balanda ikut menangani pemerintahan. Karena dalam keadaan kosong penduduk, struktur pemerintahan dicurahkan pada pembentukan K.B.Z. (Kantoor Bevolking Zaken = Kantor Urusan Kependudukan). Banyak yang waktu pendudukan pasukan Inggris sebagai Sektor diubah menjadi Wijk sebagai organisasi pemerintahan terendah (sekarang mungkin setara dengan kelurahan). Pemimpin Wijk (lurah) disebut Wijkleider, orang Jawa yang tertinggal di Surabaya, yang bersekolah paling tinggi di daerah Wijk.
Ternyata pemerintahan Belanda (NICA) masih terus berambisi merebut kembali seluruh jajahannya dulu sebelum perang. Maka persiapan berperang terus disiapkan di Surabaya. Dan setelah sepanjang tahun 1946 memerintah Kota Surabaya sambil mempersiapkan peperangan, maka pada tanggal 21 Juli 1947 pasukan Belanda NICA mengadakan agresi menyerang melebarkan daerah penjajahannya ke daerah yang masih dikuasai Republik Indonesia, yang dinamai oleh Belanda politieneel actie (aksi penertiban polisi), daerah Republik Indonesia dianggap wilayah jajahan yang tidak tertib polisi, maka diadakan penertiban. Oleh pihak Republik Indonesia dianggap agresi tentara Belanda, Perang Agresi Belanda, alias Perang Kemerdekaan Indonesia. Dari Surabaya yang berhasil diduduki tentara Belanda adalah seluruh sudut timur Pulau Jawa sampai separoh timur Kabupaten Kediri. Sejak itu Kota Surabaya menjadi ibukota pemerintahan Recomba Jawa Timur. Dengan dibedahnya Jawa Timur jadi pemerintahan kolonial Belanda, maka Kota Surabaya terbuka menjadi kota tujuan urbanisasi penduduk di Jawa Timur. Banyak penduduk Surabaya lama yang kembali masuk ke Kota Surabaya. Kota Surabaya menjadi ramai kembali.
Eh, tulisan ini sudah melampaui bulan Desember 1945, melampaui kronologis Revolusi Surabaya 1945. Tapi biarlah saya tambahkan sedikit lagi.
Selanjutnya tentara Belanda NICA kembali melancarkan agresinya menyerbu Ibu Kota Republik Indonesia Jogjakarta, pada Perang Kemerdekaan II tanggal 19 Desember 1948. Meskipun secara fisik tentara Belanda berhasil menduduki seluruh daerah Republik Indonesia dalam suatu gerakan penyerbuan, tetapi tidak bisa mengamankan seluruh negeri yang diduduki ini. Bahkan daerah-daerah yang semula sudah aman (seperti Surabaya) menjadi kacau karena ditelusupi para gerilyawan Indonesia. Penyerbuan ke Jogjakarta menjadi bumerang bagi pemerintahan Belanda NICA. Setahun setelah tidak bisa mengamankan Republik Indonesia, menurut keputusan sidang PBB, Belanda harus memerdekakan Indonesia. Bulan Desember 1949 pemerintah Indonesia kembali menguasai Indonesia. Semula bentuknya Uni Indonesia-Belanda. Surabaya menjadi ibukota Negara Jawa Timur. Namun dalam waktu dekat, para penduduk Negara Jawa Timur menyatukan diri dengan Republik Indonesia, jadilah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti amanat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan Undang Undang Dasar 1945.
Kota Surabaya baru kembali ke Pemerintah Republik Indonesia tahun 1950. Awalnya sebagai Ibu Kota Negara Jawa Timur, tetapi segera menjadi Ibu Kota Provinsi Jawa Timur, bagian dari provinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945. Maka pada kota ini berlaku Undang-undang nomor 22 tahun 1948 dan Undang-undang nomor 16 tahun 1960. Setelah penyerahan/pengakuan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh PBB, para penjabat Pemerintah Kota kembali dari pengungsian dan terjadilah pengambil-alihan pemerintahan dari KBZ (pejabat kolonial) kepada pejabat-pejabat yang berjiwa Republikein. Nama Wijk diganti dengan Lingkungan. Rakyat Surabaya memilih Doel Arnowo, Wakil Gubernur Jawa Timur, sebagai Walikota Surabaya, yang kemudian disahkan juga pengangkatannya oleh Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Selanjutnya jabatan-jabatan penting di lingkungan kota juga diduduki oleh para pegawai non-cooperator termasuk kedudukan para Kepala Lingkungan yang dulu disebut Wijk.
Demikian, catatan saya tentang kronologis peristiwa di Surabaya zaman Revolusi Surabaya 1945 alias peristiwa sejak Agustus 1945 sampai dengan Desember 1945. Cerita ini sudah saya perbaiki daripada yang saya tulis 10 November 2010. Semoga terkoreksi dan lebih bermanfaat. Amin.
Surabaya, Jumat 13 Juli 2012.