Lahirnya Karesidenan Surabaya

| |

Memperingati 17-8-1945 tahun 2012
LAHIRNYA KARESIDENAN SURABAYA
Tulisan S.Hardjadinata, kisah sekitar tanggal
17 Agustus 1945 di Surabaya bersama para
pejabat pemerintahan Kota Surabaya.

Pada waktu itu penulis ada di Surabaya. Sebagai salah seorang pengurus Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang diketuai Doel Arnowo. Keadaan dalam Kota Surabaya biasa saja pada awal Agustus itu. Perang Dunia ke-2 atau dengan memakai istilah Dai Nippon (Jepang Raya) disebut Perang Asia Timur Raya (Dai To-A Senzo) berlangsung terus dengan dahsyatnya. Tak ada tanda-tanda perobahan tercium oleh penulis.

Tanggal 14 Agustus 1945 penulis menerima surat kawat dari Jakarta. Bunyinya, “Segera datang Jakarta. Penting”. Pengirimnya Mbah. Penulis kenal pengirim ini. Seorang teman lama sebelum perang. Namanya Soediro (bukan Gubernur DKI). Soediro alias Mbah ini di waktu itu bekerja dengan Mr.Ahmad Soebardjo. Kantornya di Prapatan Gambir Jakarta. Surat kawat itu juga untuk Doel Arnowo. Karena itu kita berdua merundingkan bagaimana kita akan melaksanakan panggilan itu. Kantor BPP ini ada dibawah pengawasan Syutjokan (Residen Jepang). Kalau kita berdua pergi, harus ada ijin dari pembesar Jepang itu. Ini yang harus dihindari. Sebab kita mempunyai keyakinan bahwa panggilan ini ada hubungannya dengan perjuangan kita. Perjuangan bangsa Indonesia. Akhirnya diputuskan penulis yang pergi ke Jakarta memenuhi panggilan itu. Doel Arnowo tetap mengurus kantor menunggu laporan dari penulis sekembalinya dari Jakarta.

Hari itu juga penulis berangkat. Sekira pukul 14.30 penulis pergi dari rumah Embong Blimbing 1 dengan naik becak menuju ke Stasiun Kota (Semut). Di setasiun keadaan masih sepi. Yang menarik perhatian penulis yalah tidak banyak serdadu Jepang kelihatan di peron. Penulis sedang melihat-lihat sesuatu, datanglah Dr. Samsi, seorang tokoh pergerakan nasional sejak menjadi mahasiswa di luar negeri. Dr. Samsi juga menerima surat kawat seperti yang penulis terima.

Dalam perjalanan semalam tidak ada hal-hal yang menarik perhatian. Pukul 10 keesokan harinya, tanggal 15 Agustus, kereta masuk Stasiun Gambir. Tak ada yang menjemput kita. Kita berdua terus menuju ke rumah Soediro alias Mbah, yang ada di bagian belakang kantor Mr.Ahmad Soebardjo (Prapatan Gambir). Tak lama kita di situ, sebab terus diantar ke Kebonsirih. Ke sebuah rumah besar tetapi kelihatan agak kosong, karena tidak banyak perabot rumahnya. Di ruangan muka hanya ada beberapa pasang kursi, sedang bagian tengah kosong. Kanan kiri ruangan tengah ini terdapat beberapa kamar. Pada waktu kita masuk tertutup semua, sehingga kita tidak mengetahui isinya. Ruangan belakang agak besar dan panjang. Sebelah kanan ruangan (waktu kita masuk) diisi dengan sebuah meja panjang, dikelilingi beberapa puluh kursi. seingat penulis dalam ruangan itu tidak terdapat perabot lain. Rupanya ruangan ini dipakai khusus untuk pertemuan-pertemuan. Penulis semula tak mengetahui siapa yang menjadi penghuni rumah besar itu. Sebab tak ada seorangpun yang datang menjemput kita. Rumah itu adalah tempat pondokan kita selama di Jakarta. Baru lama sesudah itu penulis mengetahui bahwa rumah itu ditempati beberapa orang Jepang dari Angkatan Laut, pembantu-pembantu Laksamana (Muda) Maeda.

Hari itu juga diadakan pertemuan. Ternyata yang datang dari daerah banyak juga. Penulis menjumpai Sidik Djojosoekarto dari Kediri, Wahjudi dari Jombang, Asmo dari Jember, Sajuti Melik, Wikana, Soekarni, Kr. Lawi dari Semarang, Solo, Jogja, Jawa Barat dan daerah-daerah lain. Penulis sudah tidak ingat lagi nama-nama mereka. Kurang lebih ada 30 orang berkumpul di ruangan itu. Pertemuan dipimpin oleh Mr.Soediro (Mbah). Dalam bukunya “Lahirnya Republik Indonesia” Mr. Soebardjo tidak menyebut kejadian ini. Dalam buku itu hanya dinyatakan “banyak orang berkumpul disitu”.

Tengah pertemuan itu berjalan penulis melihat B.M.Diah masuk ruangan dari pintu sebelah agak tergesa-gesa. Kepalanya berbalut kain agak kotor. Ada berita dibisikkan, bahwa ada sejumlah pemuda yang menyerbu gedung Hoshokyoku (Radio Nirom dulu), tetapi gagal. Karena penjagaan oleh tentara Jepang di tempat itu amat ketat. Penulis tidak ingat lagi semua pembicaraan dalam pertemuan tersebut. Yang dikemukakan oleh pimpinan pertemuan pokoknya ialah supaya kita dari daerah siap-siap menunggu kejadian-kejadian yang akan datang. Tidak dinyatakan secara terang-terangan kekalahan penyerahan Jepang. Tetapi dinyatakan bahwa kita harus siap menghadapi segala kemungkinan bila perang selesai.

Pertemuan itu tidak berlangsung lama. Sebab tengah berkumpul itu di ruangan muka ada seorang masuk untuk menemui Mr.Soebardjo. Tamu itu berpakaian biasa (tidak seragam). Penulis tak dapat mengenal muka tamu tadi karena jarak antara ruang muka dan tempat kita berkumpul agak jauh. Mr.Soebardjo kemudian membubarkan pertemuan dan terus menjumnpai tamu. Juga Soediro ikut meninggalkan ruangan.

Buat kita disediakan kamar-kamar di belakang ruangan ini. Agak banyak juga. Penulis mengajak beberapa teman untuk pergi berjalan-jalan. Melihat-lihat keadaan dalam kota. Tetapi ada yang mencegah. Karena keamanan dinasihati agar tidak berkeliaran di kota. Terutama tamu-tamu dari daerah. Memang kita merasa ada sesuatu yang menyebabkan suasana di Jakarta tegang di waktu itu. Yang berkumpul dalam gedung itu semua orang dari daerah. Tak mengetahui banyak mengenai situasi di Jakarta.

Malam berlalu. Penulis dapat tidur nyenyak. Karena selama perjalanan dari keretaapi semalam tak dapat memejamkan mata sedikitpun. Tanggal 16 Agustus kita berkumpul lagi di ruangan yang besar itu. Tetapi kelihatan tidak semua yang kemarin ada, sekarang hadir. Soekarni dan Wikana tidak nampak. Mr.Soebardjo juga tidak ada.

Kemudian masuk ruangan pertemuan seorang Jepang, berpakaian preman. Ia menghampiri kita. Tak berkata apa-apa, hanya, “Oh, baik, baik”. Kemudian pergi meninggalkan kita. Selang beberapa tahun kemudian penulis baru mengetahui, bahwa orang Jepang itu ialah Laksamana Maeda. Hari itu kita mendengar bahwa Jepang kalah perang. Penulis tidak ingat siapa yang membawa berita itu. Tetapi semua orang yang ada dalam gedung itu menyadari, bahwa kini perjuangan berat ada di hadapan kita. Di hadapan bangsa Indonesia. Kecemasan bahwa Belanda akan kembali memerintah di Indonesia meliputi pikiran kita. Ada berita juga, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta di-“amankan” oleh sekelompok pemuda. Dibawa keluar kota. “Untuk menghindari penangkapan oleh Balatentara Jepang”. Apakah kita yang ada dalam gedung ini telah masuk perangkap Jepang? Larangan untuk keluar seolah-olah memperkuat dugaan itu. Mr.Soebardjo maupun Soediro tidak nampak sehari itu.

Malam harinya ada berita bahwa kita akan menyatakan kemerdekaan Indonesia. Lega hati kita, di samping kecemasan tentang kemungkinan adanya pembalasan dari tentara Jepang yang tidak menyetujui perjuangan bangsa Indonesia. Semalam itu boleh dikata tak ada yang pergi tidur. Kita berkelompok-kelompok membicarakan situasi. Sekira pukul 04.00 pagi (tanggal 17 Agustus) ada berita, bahwa pernyataan atau proklamasi kemerdekaan akan disiarkan pukul 16.00 hari itu. Usaha mencari Soediro tidak berhasil. Dr.Samsi, Sidik Djojosoekarto dan penulis duduk di ruangan besar, membicarakan keadaan di Jawa Timur. Terutama mengenai orang-orang yang sekembali kita nanti dapat diajak bekerja untuk kepentingan perjuangan menghadapi Jepang dan musuh-musuh perjuangan bangsa Indonesia pada umumnya. Kalau pernyataan kemerdekaan itu benar-benar sudah disiarkan, maka sebaiknya kita lekas-lekas kembali untuk menyiapkan tugas-tugas di daerah.

Tanggal 17 Agustus pukul 9 pagi kita berkumpul, duduk sekeliling meja panjang. Jumlah yang hadir lebih kurang dari pertemuan pertama dan kedua. Tak kelihatan Soekarni, Wikana, Sajuti Melik dan beberapa orang lagi. Penulis juga tidak melihat Dr.Samsi ada di ruangan. Penulis tak ingat lagi apa yang dikatakan sebagai pembuka pertama. Yang mengesan pada penulis hanya kata-kata seorang Jepang yang juga hadir pada pertemuan itu. Ia berpakaian preman, katanya antara lain, “Perang telah selesai. Orang-orang Nippon (Jepang) semua akan dipulangkan. Oleh karena itu bangsa Indonesia harus mengurus sendiri persoalannya setelah perang selesai. Kalau bangsa Indonesia ingin kemerdekaan Indonesia, Tanah Air Tuan-tuan, Tuan-tuan harus berani berjuang. Pemuda-pemuda bangsa Indonesia harus bersedia untuk pengorbanan ini. Kalau tidak begitu, banyak juga orang-orang Nippon yang bersedia memberikan darahnya untuk menyuburkan tanah Indonesia”.

Secara spntan kata-kata terakhir dari orang Jepang itu ditolak oleh hadirin. Penulis tak mengetahui nama orang Jepang itu. Mungkin Mr.Soebardjo masih ingat ucapan itu dan mengenal orang yang mengucapkannya. Contoh “Nippon seizin” atau semangat bangsa Jepang, sekalipun sudah kalah perang! Kira-kira tengah hari pertemuan tersebut diselesaikan. Ini merupakan pertemuan terakhir. Kemudian kita dipanggil seorang demi seorang ke sebuah kamar di ruangan tengah. Mr.Ahmad Soebardjo menerima kita di situ. Waktu giliran penulis tiba, Mr.Soebardjo duduk dekat sebuah meja kecil. Mengulurkan tangan sambil berkata, “Dari Surabaya!” Masih mengenal rupanya, sekalipun selama perang penulis menjenguk di kantornya hanya 2 atau 3 kali dengan diantar oleh Soediro Mbah!
Mr.Soebardjo menerangkan, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah diucapkan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Kita dinasihati untuk segera saja dan langsung kembali ke daerah masing-masing. Kita dipesan supaya waspada dan berhati-hati diperjalanan pulang. Balatentara Jepang masih bertugas sebagai penjaga keamanan sampai tentara Sekutu datang. Dalam keadaan seperti itu pribadi kita masing-masing dinilai penting untuk dengan selamat sampai di daerah meneruskan tugas-tugas perjuangan. Kecerobohan bagaimana pun sekecilnya dapat menggagalkan rencana perjuangan ini. Penulis mencari Dr.Samsi, satu-satunya teman dari Surabaya. Karena sehari itu penulis tidak menjumpainya.

Akhirnya esok harinya (tanggal 18 Agustus), penulis berangkat sendiri, pulang ke Surabaya.

Keesokan harinya, tanggal 19 Agustus, penulis menjumpai Doel Arnowo di Kantor BPP Julianalaan (Jalan Cendana Kaliasin, sekarang Jl.Kombespol Duryat). Rupanya belum ada berita perobahan keadaan yang merembes di kalangan rakyat ramai. Keadaan di kota masih sama seperti waktu penulis meninggalkannya, lima hari yang lalu. Tetapi memang sudah tidak banyak pekerjaan militer Jepang tidak kelihatan mencolok dengan sikap yang galak seperti sediakala. Kalahnya Jepang dalam perang dirahasiakan benar-benar oleh pengusaha Jepang setempat. Dengan sendirinya surat-surat kabar di waktu itu tidak memuat kabar apa-apa. Semuanya disensor. Juga Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus belum dimaklumi oleh masyarakat secara nyata.

Sebagaimana diketahui, pemerintahan di Pulau Jawa ada dibawah pengawasan Angkatan Darat Jepang, yang keras dan tidak kenal perikemanusiaan. Keadaan demikian itulah membuat kita berhati-hati dan selalu waspada. Sebagai pimpinan pemerintah Jepang di Surabaya duduk seorang Syutjokan, mengurus daerah yang sebelum perang disebut “residentie Soerabaia”. Seorang Indonesia diangkat sebagai Fuku Syutjokan atau “pembantu” Syutjokan. Yaitu R.Soedirman. Sebelum perang ia merupakan tokoh pergerakan nasional yang dipimpin oleh Dr.Soetomo.

Pagi itu penulis membicarakan dengan Doel Arnowo mengenai segala sesuatu yang bertalian dengan Proklamai Kemerdekaan ini. Karena dalam kantor banyak orang lain yang kita belum mengenal, kita membicarakan hal-hal itu di bagian belakang gedung. Di bawah sebuah tangga loteng kantor BPP. Kita sepakat untuk pertama-tama mengumpulkan orang-orang yang benar-benar dapat dipercaya.

Rencana tersebut lebih dulu akan kita kerjakan di kalangan pemuda. Dengan Prawirosoegondo, teman lama dari sebelum perang penulis pergi ke rumah Roeslan Abdulgani di Kampung Kranggan Gang Sumur. Namanya itu demikian, karena di gang itu ada sebuah perigi (sumur) yang dipakai mandi orang-orang di kampung itu. Setelah menceritakan kepadanya tentang Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus yang lalu penulis meninggalkan pesan, supaya dapat dipersiapkan tenaga-tenaga di kalangan pemuda yang terpercaya dan militan. Untuk keperluan perjuangan ini, Roeslan Abdulgani adalah “Arèk Surabaya” yang sebelum perang pernah memimpin “Indonesia Moeda”. Dari sana kita pergi ke rumah Dr.Samsi di Kampung Jagalan gang III. Kebetulan ia juga sudah kembali dari Jakarta.

Dr.Samsi menganjurkan supaya menghubungi golongan pemuda lainnya juga. Memang di waktu pemerintahan militer Jepang pemuda-pemuda kita dikelompokkan dengan berbagai macam bentuk. Ada pemuda Seinendan, Seinen Kurensho, Keibodan, Suisintai, dari asrama-asrama latihan pertanian, pelayaran, dan sebagainya. Mereka mendapat bidang pekerjaan, juga kemiliteran sedikit-sedikit. Pada malam berikutnya, tanggal 20 Agustus, kita kumpulkan sejumlah pemuda ini. Kalau tidak salah ada kira-kira 30 orang yang dapat memenuhi panggilan untuk berkumpul di Kantor BPP. Pertemuan penulis dengan para pemuda ini, Doel Arnowo hanya menjenguk sebentar, kemudian pergi berlangsung di ruangan bawah kantor BPP di Julianalaan sampai sekira pukul 22.00 malam. Pembicaraan dilakukan dengan suara rendah untuk tidak terdengar dari luar gedung. Pemuda-pemuda yang berkumpul itu sebagian berasal dari Kediri, Malang, Bojonegoro dan Jember. Mereka kebetulan ada di Surabaya karena mendapat libur dari asrama latihan yang mereka ikuti. Dengan demikian pekerjaan mengumpulkan ini agak dipermudah.

Dengan sekedar bekal keuangan yang ada pada penulis, pemuda-pemuda itu diminta untuk kembali ke daerahnya masing-masing untuk menyebarluaskan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini dan mengusahakan pengibaran Sang Merah Putih oleh rakyat setempat. Sepanjang pengamatan penulis pemuda-pemuda tadi termasuk tenaga-tenaga yang dapat dipercaya dan cukup berani.

Tanggal 21 Agustus, hari keempat Proklamasi Kemerdekaan, nampak Sang Dwiwarna berkibar. Hanya di kampung-kampung dan di beberapa daerah kota-tengah. Belum merata. Dengan kendaraan jeep terbuka kita mengelilingi kota. Doel Arnowo, A.Wahab (bekas Shodantjo Peta, kemudian pensiun Letkol TNI), penulis dan seorang namanya agak lupa (Ronodipoero?). Ronodipoero ini kemudian tewas dalam satu kecelakaan mobil sebagai perwira TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Mojoagung Jombang, setelah kita semua keluar dari Surabaya.

Pengibaran bendera ini makin meluas baik dalam kota maupun di kota-kota kabupaten sekitar Surabaya.

Tanggal 22 Agustus diterima kabar, bahwa sejumlah orang Belanda (Indo) bekas serdadu KNIL (Koninglijke Nederlandsch Indisch Leger) ada dalam kota. Selama perang berlangsung mereka ditawan oleh Jepang. Mereka kini dibebaskan oleh balatentara Jepang yang kalah perang itu. Juga ikut dibebaskan orang-orang Belanda-Indo lainnya, laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Dalam buku penulis yang berjudul “Surabaya Berjoang” (terbitan Pustaka Rakyat Kediri tahun 1946 dicetak kembali tahun 1968) keadaan di waktu itu ditulis sebagai berikut, “Ketika beberapa gerombolan dari tempat pengasingannya, datang kembali di Surabaya, keadaan makin menggenting, yang disebabkan karena mereka mulai pula bersikap congkak dan berlagak seperti yang berkuasa pula sebagai di waktu lampau. Belanda-belanda itu mulai mengumpat anak-anak dan orang-orang perempuan Indonesia yang mengenakan lencana merah-putih. Mereka mulai mengejak Sang Merah-Putih yang berkibar di seluruh kota. Menghina semboyan-semboyan perjuangan yang ditempelkan oleh pemuda kita di tembok toko dan rumah. Di sana-sini mereka telah berani menggedor rumah-rumah bangsa Indonesia yang letaknya di jalan raya dan di bagian kota yang sebelum perang menjadi lingkungan kediaman orang-orang Eropa. Di beberapa tempat provokasi mulai dijalankan oleh Belanda-belanda itu dengan percobaan menurunkan bendera kebangsaan Indonesia. Tetapi niat ini dikerjakan dengan cara yang amat licik, misalnya memberi “perintah” dengan telpon atas nama Kenpeitai (Polisi Militer Jepang) atau Kantor Syu (Karesidenan), supaya bendera Merah-Putih diturunkan!”

Niat tersebut tak pernah terkabul karena kesiap-siagaan Arèk-arèk Surabaya! Dengan bantuan beberapa pegawai dari Hoshokyoku (dulu Radio Nirom) dari Embong Malang dapat diambil sebuah pesawat pemancar (zender). Dengan bantuan seorang teknik radio juga pegawai Hoshokyoku (namanya penulis lupa) siaran pertama dapat dilangsungkan di sebuah rumah kecil, yang letaknya di daerah Karangmenjangan-Karangmenur. Dulu daerah ini masih ditumbuhi pohon-pohon besar dan semak-belukar. Letaknya tepat di belakang sebuah “butai” (markas) tentara Jepang yang di waktu itu sudah kelihatan sepi. Pemancar itu menurut keterangan orang teknik tadi cukup kuat untuk penyiaran ke luar negeri. Penulis tak ingat gelombang yang dipakai.

Penulis diminta untuk mengadakan “call” dan menyatakan bahwa bangsa Indonesia sudah mendirikan Republik Indonesia kepada dunia luar. Ikut pada kejadian tersebut ialah Doel Arnowo, Soemarmo (sekarang pegawai tinggi, bertugas di Irian Jaya) dan tekniker yang membantu kita itu.

Tetapi pemancar ini tak lama ada di sistu, sebab harus dipindah lagi ke lain tempat agar tidak jatuh di tangan polisi Jepang, yang masih giat “menjaga keamanan” untuk Sekutu.

Makin hari keadaan di dalam kota makin tegang dan menjadi genting dengan makin banyaknya orang-orang Belanda dikeluarkan dari tempat tawanan. Mereka menunjukkan sikap sebagai pihak yang menang perang (Sekutu) dan mencoba mempengaruhi pembesar-pembesar Jepang dan mendesakkan maksud-maksud mereka agar dapat bantuan dari pihak Jepang. Di antara orang-orang Belanda yang dikeluarkan dari tawanan terdapat seorang tokoh I.E.V (Indo Europeesch Verbond) sebuah organisasi politik sebelum perang. Anggota-anggotanya adalah orang-orang Belanda-Indo dan banyak juga orang-orang Belanda yang mempunyai tempat kelahiran di Indonesia (Hindia Belanda). Ia seorang tokoh dalam bebagai organisasi sosial dan perdagangan di Surabaya.

Pada tanggal 25 Agustus disampaikan kepada kita sebuah berita, yaitu bahwa mereka orang-orang Belanda akan mengibarkan bendera tiga warna (bendera Belanda) pada tanggal 31 Agustus. Yaitu pada hari kelahiran Ratu Belanda (Wilhelmina). Makin banyak jumlah mereka yang ada dalam kota, makin beranilah mereka berbuat sesuatu yang mengarah kepada kembalinya kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Rakyat di kampung-kampung, pemuda, kelompok-kelompok buruh di berbagai perusahaan, BKR dan lain-lain badan perjuangan yang dibentuk di Surabaya, sudah siap untuk menghadapi apa yang direncanakan oleh orang-orang Belanda itu.

Andaikata tidak ada kejadian lain yang memberi jalan keluar, mungkin di Surabaya pada waktu itu sudah terjadi pertempuran dan banjir darah. Pada tanggal 27 Agustus kita menerima kawat dari Jakarta, bahwa KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) akan membuka sidangnya yang pertama. Berhubung dengan itu maka kepada seluruh penduduk diminta pada tanggal 29 dan 30 Agustus mengibarkan Sang Merah-Putih. Kesempatan ini kita pakai untuk mengumumkan pengibaran bendera Nasional sampai pada tanggal 1 September berikutnya dan demi ketertiban dilarang mengibarkan bendera selain Sang Merah-Putih.

Tanggal 31 Agustus berlalu dengan tidak ada insiden. Pada tanggal 3 September kita berkumpul di Kantor BPP Julianalaan. Yang hadir: Doel Arnowo, Dr.Angka Nitisastro, Mr.Dwidjosewojo dan penulis. Mereka adalah anggota KNI Surabaya. Pembicaraan berkisar mengenai apa yang harus dipersiapkan atau diadakan untuk memungkinkan kita mengambil tindakan-tindakan yang tegas terhadap tiap-tiap usaha yang merugikan Negara yang masih amat muda ini.

Sebenarnya sampai hari itu kita belum mempunyai alat kekuasaan atau pemerintahan daerah sendiri. Pengusaha-pengusaha Jepang masih mengurus segala sesuatu. Peraturan-peraturan militer Jepang masih terpakai. Tiap-tiap persoalan daerah yang menyangkut bidang pemerintahan masih diurus lewat pengusaha-pengusaha Jepang atau yang diangkat oleh pemerintah militer Jepang.

Maka oleh pertemuan itu diputuskan untuk segera membentuk aparat pemerintahan sendiri. Sesuai dengan bunyi Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Pertama kali kedudukan Syutjokan Jepang harus diganti dengan seorang Residen Indonesia.

Untuk itu penulis diminta mendatangi R.Soedirman (yang masih berkedudukan sebagai Fuku Syutjokan (pembantu Residen). Rumahnya di Van Sandickstraat (sekarang Jalan Residen Sudirman). Daerah Surabaya Syu akan diumumkan menjadi daerah Karesidenan Surabaya dari Republik Indonesia. Diusahakan supaya R.Soedirman nanti suka menandatangani pengumuman itu selaku Residen Surabaya yang kita angkat.

Penulis berangkat. Ditemani oleh tiga orang bekas shodantjo Peta, yang cepat-cepat diambil dari rumahnya masing-masing. Mereka adalah A.Wahab (sudah disebut di muka), Isa Idris (kini mungkin sudah pensiun sebagai perwira tinggi) dan Jahja (pengusaha). Dengan mengendarai sebuah Opel kecil kita berangkat berempat. Teks pengumuman yang sudah disiapkan ada pada kita. Kita buat teks itu rangkap tiga. Sayang selembar tembusan teks yang ada pada penulis tak terbawa sewaktu keluar dari Surabaya pada tanggal 14 November 1945. Tetapi di tengah jalan penulis mengubah rencana sedikit. Yaitu tidak langsung pergi ke Van Sandickstraat, tetapi kantor suratkabar “Suara Asia” yang ada di Pasar Besar (sekarang Jalan Pahlawan, ditempat suratkabar Surabaya Post sekarang). Kita berempat naik tangga menemui redaksi. Setelah memberi keterangan seperlunya selembar dari teks tersebut kita tinggalkan dengan pesan demikian: teks supaya disiapkan, di-zet. Tetapi jangan dicetak dulu. tunggu berita telpon setelah teks pengumuman itu sudah ditandatangani oleh R.Soedirman, sebagai Residen Surabaya yang kita angkat. Semuanya berjalan lancar. Kita pun cepat-cepat meninggalkan kantor “Suara Asia” itu, dan terus ke Van Sandickstraat. Sebab janji sewaktu berangkat yalah bahwa kita berempat yang membuka pembicaraan dengan R.Soedirman, baru kemudian teman-teman yang lain itu menyusul.

Penulis merasa lega waktu datang di Van Sandickstraat. Karena kita datang lebih dulu daripada teman-teman yang lain itu.

Kita berempat diterima oleh R.Soedirman yang didampingi oleh putra menantunya, Dr.Moersito, di ruangan muka. Setelah penulis menceritakan tentang Proklamasi Kemerdekaan yang telah diucapkan pada tanggal 17 Agustus yang lalu, dan diterangkan maksud kedatangan kita berempat yang nanti disusul pula oleh beberapa orang anggota KNI. Maka terjadilah soal-jawab antara R.Soedirman dengan penulis yang agak menegang. Pertanyaan yang diajukan kepada kita “Apakah demikian itu tidak menyinggung Syutjokan?” dan “Apakah dasar hukum dari tindakan ini?” Tidak kita jawab. Tak lama kemudian Doel Arnowo datang. Diikuti oleh Mr.Dwidjosewojo dan Dr.Angka Nitisastro.

Akhirnya R.Soedirman menandatangani Pengumuman itu sebagai Residen Surabaya tertanggal Surabaya, 3 September 1945.

Pejabat pertama Pemerintah Republik Indonesia untuk Karesidenan Surabaya telah ditetapkan untuk mengganti pemerintahan militer Jepang.

Begitu pengumuman ditandatangani, penulis mengangkat telpon untuk memberitahu kepada “Suara Asia” bahwa pengumuman sudah dapat dicetak. Belum lagi selesai berbicara, suara dari pucuk kawat sebelah sana menukas, “Pengumuman sudah dicetak sekian puluh ribu dengan bendera Merah-Putih sekalian”. Wah, mereka mendahului perintah! Tetapi lebih cepat lebih baik.

Sore itu sampai malam hari kita berdua, Doel Arnowo dengan penulis, mengunjungi beberapa tempat di daerah karesidenan itu! Di antaranya yang kita datangi ialah Drg. Moestopo (sekarang Prof. Dr. Moestopo bekas Daidantjo Peta di Gersik). Ia menyambut kita dengan antusias dan setelah beberapa waktu berbicara kita pulang kembali ke Surabaya. Pagi hari tanggal 4 September 1945, kita berkelompok pergi ke Kantor Syu yang telah menjadi Kantor Karesidenan (sekarang gedung Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur) di Pasar Besar. Sekarang namanya Jalan Pahlawan. Untuk menyaksikan pelaksanaan Pengumuman kemarin hari, Syutjokan sudah tidak kelihatan di kantor. Yang ada Naiseibutyo (“sekretaris” Syutjokan) yang tidak mengganggu kita.

Dengan khidmat tetapi waspada Sang Merah-Putih dinaikkan di atas gedung Pemerintah Daerah. Tepat di muka hidung Markas Kenpeitai di seberang jalan. Sebagaimana diketahui Kenpeitai menempati gedung yang sebelum perang dipakai Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi Hindia Belanda). Letaknya seberang menyeberang dengan gedung Pemerintah Daerah ini. Kini gedung bekas Kenpeitai sudah dibikin rata dengan tanah. Di atasnya menjulang tinggi ke angkasa Tugu Pahlawan, sebagai kenangan perjuangan dan pengurbanan. Menjadi kebangaan Arèk-arèk Surabaya.

PS. Tulisan di atas ditulis oleh S.Hardjadinata 10 September 1974. Naskah tulisannya saya terima pada tahun 1986, ketika saya (Suparto Brata) sedang dapat tugas menulis buku sejarah Pertempuran 10 November 1945, Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia Di Surabaya, bersama Drs.Aminuddin Kasdi dan Drs.Soedjito. Saya tayangkan di sini sebagai penyebaran informasi bagaimana suasana 17 Agustus 1945, menurut cerita pengalaman sekali gus pelaku saat itu. Catatan ini menjadi sangat penting, karena sangat jarang bangsa kita menuliskan sendiri pengalamannya, apalagi pengalaman ketika menjalani perubahan zaman yang penting itu. Semoga tulisan ini bermanfaat. Suparto Brata.

Posted by admin on Sunday, July 8th, 2012. Filed under catatan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*