De gentleman-bandiet-nya Marije Plomp
Si Kakek menceritakan pengalamannya hidupnya kepada Si Bapak, bagaimana sewaktu kecil hidup menderita di zaman penjajahan Belanda, beranjak dewasa kurang sandang kurang makan di zaman Jepang, dan berjuang untuk kemerdekaan negara melawan penjajah. Meskipun diceritakan berulang kali, cerita itu selesai tak berkesan setelah diucapkan. Si Bapak bercerita kepada Si Anak, bagaimana susahnya hidup Si Bapak sebagai kanak-kanak pada zaman Jepang, dan berjuang mengentaskan dirinya dari penderitaan melalui zaman Orla dan Orba. Cerita itupun selesai setelah didongengkan. Cerita Si Kakek pun tak tersentuh dalam dongengan itu, karena memang sudah selesai terucapkan oleh Si Kakek. Si Anak kini berpolitik praktis mencalonkan diri jadi caleg atau capres, ingin memimpin bangsa, karena ‘gregeten’ mengalami, menyaksikan, merasakan betapa susahnya rakyat hidup bergulat dengan kemiskinan dan kebodohan. Dengan pengalamannya itu Si Anak punya angan-angan memimpin negara, karena ia tersadar merasa punya solusi, punya kemampuan untuk menyejahterakan rakyat kalau ia punya kekuasaan menyelenggarakan negara. Si Anak sadar merasa bisa melakukan angan-angannya, dengan modal mengalami sendiri faktanya yaitu rakyat menderita karena kesalahan penguasa negara pada zamannya. Sejarah kehidupan dan perjuangan Si Bapak, apalagi Si Kakek, tidak perlu dijadikan modal pengetahuan. Si Anak hanya punya kesadaran pengetahuan hidup masa kini dan melamunkan masa depan. Si Anak tidak punya sejarah leluhurnya, sangat mungkin sekali Si Anak akan berjuang persis seperti jurus-jurus yang dilakukan oleh Si Kakek dan Si Bapak, berjalan di tempat cara mengentaskan kemiskinan dan kebodohan rakyat bangsanya. Tidak ada kiat-kiat baru, siasat baru, dicovery dari perjuangan Si Kakek dan Si Bapak. Hasilnya masa depan? Sama! Karena apa? Karena rakyat yang bakal dipimpinnya juga seperti rakyat zaman kolonial Belanda atau zaman penjajahan Jepang, rakyat yang tidak punya sejarah kehidupan sosial leluhurnya.
(Kondisi Indonesia 2008 ternyata tidak jauh berbeda dari kondisi 1860. Misalnya, perilaku dan mentalitas pejabat kita saat ini tak berbeda jauh dari Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara yang bermental KKN sebagaimana dilukiskan dalam buku Max Havelaar. ~ Endang Suryadinata, Jawa Pos 16-08-08).
Untuk membaca selengkapnya silahkan klik disini