REMBUK TUGU PAHLAWAN
KAMIS, 9 DESEMBER 2010
Semanggi Room Graha Pena, Jawa Pos, Surabaya
Nama saya BUKAN ABUBAKAR BAWASIR dari Ngruki, BUKAN SYEH PUJI dari Ungaran. Nama saya Suparto Brata, lahir di SURABAYA (DELTA) PLAZA, dekat MONUMEN KAPAL SELAM, hari Sabtu Legi Februari 1932.
Saya hidup dengan kiat hidup menulis buku (sastra). Masyarakat sastra TIDAK MUDAH DILIHAT, DAN TIDAK MUDAH DIDENGAR. Masyarakat sastra, ya membaca buku (diam-diam di kamar), dan menulis buku (diam-diam di kamar). Tidak terlihat wajahnya atau pikirannya dan tidak terdengar suaranya.
Saya kenal PRAMUDYA ANANTA TUR, MARAH RUSLI, ANDREA HIRATA, MIRA W, V LESTARI, MARGA T, KHO PING HOO, GAN KL, SANDRA BROWN, SIDNEY SHELDON, GEORGES SIMENON, GUSTAVE FLAUBERT, EMILE ZOLA, PLATO, bukan karena melihat mereka dan bukan karena mendengar suara mereka. Saya bisa mengetahui suasana dan pikiran PRESIDEN KENNEDY, NAPOLEON BONAPARTE, EIN STEIN, DALE CORNEGIE bukan karena saya melihat gambarnya, dan bukan karena mendengar ucapannya. Melainkan karena saya membaca buku tentang mereka-mereka itu. Karena mereka menjadi “anggota” masyarakat sastra, masyarakat membaca buku dan menulis/ditulis dalam buku.
Saya sama dengan Saudara-saudara, bisa kenal LUNA MAYA, AGNES MONICA, NIKITA WILLY, RAFLY DAN YUNI SARA, IRFAN BACHDIM, RONALDO, kalau saya mau nonton TV. Saya kenal dengan Isa Anshori (maaf namanya saya dengar kurang jelas, mungkin ejaannya salah) ketika nyetel SSS. Saya kenal Doris Day, Conny Fransis, Gombloh, Waljinah, Musmulyadi, kalau saya mau MENDENGARKAN RADIO. Sekarang tidak punya radio, jadi ya tidak kenal orang-orang yang bisa didengar lewat radio. Saya juga kenal lagu musik TIGER SHARK ketika saya masih berumur 12 tahun.
Kalau Saudara-saudara TIDAK BERBUDAYA MEMBACA BUKU (DAN MENULIS BUKU), ya tidak kenal saya. Dan itu kelebihan saya daripada Saudara. Saya bisa berbuat seperti Saudara, yaitu bisa menyerap pengertian dengan cara MELIHAT dan MENDENGAR, dan BERBUDAYA MEMBACA BUKU/MENULIS BUKU, Saudara hanya hidup dengan kekuatan KODRAT belaka, yaitu melihat dan mendengar. Saya hidup SASTRAWI (modern), Saudara hidup KODRATI (primitif).
Bulan Oktober adalah bulan bahasa. Bulan Oktober yang lalu saya sibuk sekali menerima undangan-undangan untuk hadir yang berhubungan erat dengan sastra atau bahasa. Diundang BALAI BAHASA SURABAYA, PSJB BOJONEGORO, MENERIMA TAMU DARI PUSAT BAHASA DIKNAS JAKARTA, MENGHADIRI BEDAH BUKU AIRLANGGA DI UNIVERSITAS AIRLANGGA, mendapat tugas dari ROB VAN ALBADA menyusun kamus bahasa Jawa-Belanda, mendapat kiriman dokumen dari Respati van de Bunt lewat email. Rapat di Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur merembuk Kongres Bahasa Jawa V. Saya betul-betul orang sastra.
Bulan November 2010, tiba-tiba saya dari sastrawan menjadi sejarawan. Nama saya hampir tiap hari dimuat di koran, utamanya Jawa Pos. Nama saya ditulis, ya karena saya telah menulis buku tentang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dengan ditulisnya nama saya di suratkabar, Saudara-saudara jadi kenal nama saya, karena MEMBACA. Bukan karena MELIHAT gambar saya. Bukan karena MENDENGAR suara saya. Maka dari itu, kesempatan ini paling dulu saya mengenalkan diri, beginilah tampang saya, dan beginilah suara saya. Semoga diingat dengan baik.
Merujuk materi acara sekarang tentang Rembuk Tugu Pahlawan, saya tetap berpegang pada buku yang saya tulis tentang Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Di lampiran lain sudah saya bikin ikhtisar kronologis peristiwa di Surabaya sejak 17 Agustus 1945 sampai Desember 1945. Kalau Saudara MEMBACA ikhtisar itu, Saudara bisa jadi paham peristiwa-peristiwa yang terjadi selama 100 hari di Surabaya berhubung dengan pertempuran 10 November 1945. Kalau Saudara faham, maka Saudara mengenal betul tentang kejadian-kejadian waktu itu dari MEMBACA TULISAN saya. Untuk lebih mengenal lagi peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, sebaiknya Saudara MEMBUDAYAKAN DIRI MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Lalu carilah buku-buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Di makalah ini hanya saya catat nama dan peristiwa yang saya perlukan agar saya tidak lupa. Selanjutnya karena kehadiran Saudara-saudara ini untuk MENDENGARKAN dan MELIHAT, bukan untuk MEMBACA dan MENULIS, maka dari catatan nama dan peristiwa ini saya coba MENDONGENG bagaimana sehingga Tugu Pahlawan itu dibangun untuk pertama kalinya. Semoga SUARA saya bisa menarik perhatian Saudara-saudara. (Bersuara sebenarnya bukan bakat saya, mohon maaf kalau tidak bisa memikat perhatian Saudara).
Maj.Gen..E.C.Mansergh, Commander Allied Land-Forces East-Java.
Panglima Devisi ke-5 Infanteri India.
28 November – Desember – 1 Januari 1946 Surabaya diperintah oleh A.M.A.C.A.B (Allied Military Administration Civil Affairs Branch).
Misi A.M.A.C.A.B. selesai, pemerintahan diserahkan kepada (Kota Surabaya kosong, ditinggal ngungsi orang-orang Indonesia akibat pertempuran 10 November 1945) pemerintah Belanda (NICA = Netherlands Indiës Civil Administration), yaitu sekutu Inggris-Amerika ketika Perang Dunia II melawan Jerman dan Jepang. Pemerintahan Belanda untuk Kota Surabaya waktu itu dinamai K.B.Z. (Kantoor Bevolking Zaken). Terjemahan bebasnya barangkali Kantor Urusan Kependudukan. Jadi yang paling penting mengurusi penduduk Surabaya yang masih tinggal. Banyak rumah kosong. Penduduknya sedikit sekali. Sedang sandang-pangan penduduk diurusi lewat pelabuhan (mendatangkan bahan dari muatan kapal, karena dari darat tidak mungkin). Tidak bakal kekurangan sandang-pangan.
Nafsu pemerintahan NICA (dibaca nika) untuk menghancurkan Republik Indonesia terus bergolak. Tanggal 21 Juli 1947 tentara Belanda NICA melancarkan serangan (Agresi I) ke daerah Republik, di Jawa Timur, Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah. Di Jawa Timur dari Banyuwangi, Malang hingga sebagian dari Kediri diduduki oleh tentara Belanda NICA.
Sejak itu (1947) orang-orang sipil yang berada di kota pengungsian, pada kembali ke Kota Surabaya. Bukan saja orang yang dulunya punya rumah di Surabaya, tetapi juga orang sipil atau pengangguran lainnya, pada mencari “keselamatan” masuk kembali ke Surabaya. Urusan kependudukan Kota Surabaya jadi lebih sibuk mengatur urusan perumahan. Yang dulu punya rumah ya didaftar dan ditempatkan kembali ke rumahnya (yang sudah rusak). Yang tidak punya rumah tapi pekerjaannya diperlukan di Kota Surabaya ya dicarikan rumah. Maka dibentuk panitia perumahan rakyat. Tahun 1948, panitia perumahan KBZ berhasil membangun perumahan rakyat, antara lain Panti Darmo dan Darmo Rakyat. Rumah-rumah seperti itu berhasil untuk menampung para pegawai sipil yang bisa bermanfaat untuk kehidupan kota Surabaya, upamanya guru, pegawai pemerintah dan swasta lainnya.
Bulan Desember 1949, Republik Indonesia dinyatakan merdeka. Pemerintah Belanda harus pergi. Surabaya kembali ke kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Januari 1950, yang jadi Walikota Surabaya Dul Arnowo. Urbanisasi dari daerah pedalaman Republik Indonesia kian banyak menuju ke Surabaya. Yang paling penting menampung mereka yang datang ke Surabaya. Yaitu menyiapkan perumahan. Reruntuhan bekas Gedung Kenpeitai di depan Kantor Gubernur salah satu pilihan untuk membangun perumahan rakyat.
Tapi dari masyarakat ada yang ingin membuat monumen tentang pertempuran 10 November 1945. Pikir-punya-pikir, sebaiknya ya bekas Gedung Kenpeitai yang sudah rusak itu digunakan untuk mendirikan monumen itu. Hal itu dilaporkan Dul Arnowo kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno setuju. (maaf, saya tidak bisa menerangkan ide membangun monumen 10 November 1945 itu ide siapa, tapi jelas hal itu diketahui dan disetujui oleh Presiden Sukarno).
Setelah mendapat kata sepakat dari Presiden Sukarno, maka pada tanggal 10 November 1951 diletakkanlah batu pertama dari suatu rencana raksasa, membangun Tugu Pahlawan, setinggi 45 meter. Letaknya di tengah-tengah Kota Surabaya, di reruntuhan gedung di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Bersamaan dengan peletakan batu pertama itu juga ditanamkan sebuah piagam, yang berbunyi:
Pada hari ini, Hari Pahlawan 10 November 1951, di Kota Surabaya, P.Y.M.Presiden Republik Indonesia Dr. Ir.Sukarno, dengan disaksikan oleh rakyat Indonesia di Surabaya, berkenan meletakkan batu pertama untuk mendirikan Tugu Pahlawan guna memperingati pengorbanan pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia pada tanggal 10 November 1945.
Semoga Tugu ini, yang diselenggarakan atas nama penduduk Kota Surabaya oleh Kepala Daerah Kota Besar Surabaya, Dul Arnowo, menjadi peringatan rakyat Indonesia sehingga akhir zaman.
Presiden Republik Indonesia
Dr.Ir.Sukarno,
Gubernur Jawa Timur,
Samadikun.
Walikota Surabaya
Dul Arnowo.
Pendirian Tugu Pahlawan ini sebetulnya juga dapat perlawanan dari sebagian dari rakyat Surabaya. Yang dibutuhkan waktu itu sesungguhnya perumahan rakyat. Tetapi setelah dilakukan peletakan batu pertama, maka pembangunan Tugu Pahlawan segera bisa dimulai. Seorang utusan pergi ke Jakarta membawa design (ontwerp). Presiden tidak setuju dengan ontwerp itu. Yang diinginkan bentuknya seperti “paku”.
Kemudian seorang berbadan besar, berkacamata, meneruskan usaha mendirikan bangunan tugu itu. Dia tidak lain adalah Walikota Surabaya yang baru, Mustajab Sumowidigdo. Walikota Surabaya Dul Arnowo dipindahkan ke Jakarta menjabat sebagai anggota Komite Nasional Pusat (sama dengan DPR). Oleh Walikota yang baru ini juga diutuslah orang ke Jakarta yang membawa ontwerp sebanyak 12 gambar yang sudah menurut petunjuk-petunjuk dari Presiden. Salah satu ontwerp disetujui, tetapi masih juga ada yang diubah-ubah. Antara lain yang diubah, tiang bendera yang terpancang di atas tugu harus dihilangkan.
Terus terang, waktu itu Walikota Mustajab bingung. Tugas harus dilaksanakan, tetapi anggarannya tidak ada. Untungnya para pejabat pemerintah maupun swasta serta rakyat di Surabaya mau saiyek saekapraya membantu pembeayaannya, sehingga dengan segala kesibukan yang amat sangat Tugu Pahlawan Surabaya berhasil dibangun. Tugu Pahlawan yang peletakan batu pertamanya tanggal 10 November 1951, baru dimulai penggarapannya (tunggu dapatnya uang) pada 20 Februari 1952, dengan pertama-tama menggali tanah sebanyak 620 M3 untuk pondasi. Lalu disusul dengan pengecoran beton untuk “werkvloer” (pekerjaan pemeluran) seluas 247 M2 dengan tebal 6 cm. Beton yang disusun pakai perbandingan 1:3:6. Selesai pada 15 April 1952. Besi beton yang dihabiskan untuk membuat pondasi 19 ton. Pengecoran beton harus diselesaikan sekali gus, maka untuk itu 4 buah mesin pencampur beton harus dikerahkan dengan tenaga 120 orang yang bekerja bergiliran selama 40 jam nonstop. Pekerjaan selesai pada 3 Juni 1952. Lalu mulai membangun batang tubuh tugu. Sampai ketinggian 30 meter, berakhir tepat pada tanggal 17 Agustus 1952, yaitu setelah 2 bulan terus-menerus dikerjakan. Pekerjaan selanjutnya menjadi harus dikerahkan lagi untuk mengejar waktu penyelesaiannya. Dikerahkan sampai 80 orang, tapi hasil pengecoran sehari hanya 5 M3. Ini disebabkan makin tinggi memanjat ke pengecoran, makin susah pengerjaannya. Kesulitan-kesulitan ini menimbulkan pikiran baru, yaitu menggunakan semacam ‘lift’. Dengan bekerja sangat keras, penuh kesulitan dan rintangan, dan terpaksa acak-acakan. Dan pada tanggal 10 November 1952 Presiden yang sama meresmikan pembukaan Tugu Pahlawan itu. Yang ternyata tingginya cuma 45 yard.
Itulah yang saya tulis di suratkabar Surabaya Post 10 November 1976. Saya mendapatkan bahannya ketika saya “kebetulan” menjadi pegawai Humas Pemkot Surabaya. Sebagai seorang penulis, masuk ke kantor Pemkot begitu saya nglithis sekali. Suka bongkar-bongkar arsip. Lalu mendapatkan dokumen-dokumen yang tampaknya tidak dibaca lagi oleh pegawai atau pejabat pemkot. Dan tidak dikuasai isi maknanya.
Bagaimana “kebetulan” saya masuk ke gedung pemkot, ceritanya begini. Tahun 1969 saya dipanggil masuk kantor Walikota karena pejabat Walikota Surabaya yang mantan Komandan Korem Let.Kol R.Sukotjo membutuhkan orang yang bisa menulis pidato, dan saya dipanggil untuk menerima “pekerjaan” itu. Waktu dipanggil itu saya sedang tekun menulis cerita silat di rumah, cerita silat itu selalu akan diterbitkan jadi buku oleh Penerbit Gema di Solo pimpinan Kho Ping Hoo. Ya daripada tekun mengetik di rumah, saya pun menerima pekerjaan sebagai penulis pidato Walikota Surabaya R. Sukotjo. Waktu saya masuk gedung Kantor Walikota Surabaya, para pegawai pemkot sedang membuangi dokumen-dokumen yang berkenaan dengan kegiatan Walikota Surabaya zaman NASAKOM, Walikota komunis. Semua dokumen pemerintahan Walikota Komunis dibuangi, dibakari. La saya grèsèk-grèsèk (memulung) kertas-kertas yang dibuangi itu. Ternyata yang dibuangi itu dokumen-dokumen penting, yang bisa saya jadikan bahan penulisan saya. Begitulah cara saya mencari dan menemukan bahan-bahan tulisan saya, termasuk tentang Tugu Pahlawan ini.
Ya dari buangan-buangan dokumen itulah saya menemukan hal-hal yang bisa saya jadikan bahan tulisan. Dari bahan-bahan dokumen tadi, yang semula tidak “berbunyi”, tidak bermakna, saya susun menjadi cerita yang bisa dipahami dan saya kirimkan ke masmedia dan juga saya tulis untuk diterbitkan jadi buku, menjadi bahan yang berguna. Dalam menulis, saya berusaha jujur dan benar. Saya tulis tidak merasa ditekan, kecuali karena menulis itu jadi tugas pekerjaan saya, menjadi kiat hidup saya. Namun, tentu saja bagaimana pun juga kejujuran seseorang dalam menulis, faktor subjektivitasnya pasti ikut bicara. Dan kalau tulisan saya sudah saya umumkan, maka hak memberi komentar sudah tidak lagi 100% menjadi hak saya. Hak pembaca. Saya tetap bertanggung jawab atas tulisan saya tadi. Bukan komentar pembacaku.
Demikian dongeng saya, suara saya, profil saya hari ini. Semoga memuaskan.
Surabaya, 9 Desember 2010.
Suparto Brata.
Lampiran makalah saya:
Dan
***
KESAN DAN PESAN SETELAH REMBUK
TIDAK harus mempersiapkan naskah maupun ketentuan tema, saya datang ke Graha Pena tetap menyiapkan makalah yang saya garap malam menjelang keberangkatan. Makalahnya seperti di atas. Selain makalah, saya juga memperbanyak fotocopy naskah-naskah (artikel) yang saya buat sebelumnya yang saya garap untuk keperluan tertentu, yaitu “Kronologi Peristiwa Surabaya Agustus-Desember 1945” dan “Dari Surabaya Untuk Indonesia”. Saya perlukan memfotocopy makalah tadi masing-masing 5X, ini karena pemahaman saya, bahwa suatu pertemuan (seminar, diskusi) kalau narasumber tidak membagikan buah pikirannya berwujud tulisan kepada peserta, pulang dari diskusi para peserta sudah lupa materi yang asik dirembug. Pemahaman saya ini juga karena mempertimbangkan perbandingan dan fungsinya kekuatan ingatan kita antara manusia kodrati (hanya mengandalkan kekuatan melihat, mendengar, berbudaya tutur melulu) dan manusia sastrawi (berbudaya membaca dan menulis). Menonton dan mendengar kesannya lebih cepat menguap, membaca tulisan bisa diulang, bahkan abadi. Maksud saya, makalah dan naskah itu nantinya diperbanyak, lalu dibagikan kepada para peserta. Jadi meskipun bergelora waktu hadir di ruangan diskusi, pulang masih bisa punya catatan apa yang dikatakan oleh narasumber. Seperti tatkala menonton Ilnul Daratista menyanyi dan ngebor di panggung, gegap gempita penonton bertepuk tangan, namun selesai dan keluar dari ruangan, apa yang bisa diceritakan baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain? Akan hilang dari ingatan beberapa hari kemudian. Ya mungkin setahun kemudian. Menonton dan mendengar hanya kenikmatan sesaat, baik untuk dirinya sendiri maupun bersama-sama. Jelas keasikan menonton dan mendengar tadi tidak bisa diwariskan kepada anaknya. Apalagi kepada generasi cucunya.
Selain makalah dan naskah artikel tadi, untuk mempertanggungjawabkan kagiatan saya sebagai penulis buku, saya bawa juga buku-buku garapan saya yang diterbitkan baik ketika saya sebagai pegawai HUMAS Pemkot, maupun buku sejarah yang saya rencanakan untuk diterbitkan.
Ternyata segala persiapan tertulis maupun buku-buku yang kubawa, sama sekali tidak pernah dilihat oleh panitia dan tetap dalam tas. Saya lebih jadi maklum, bahwa rembuk kali ini gebyar tontonan dan mendengarkan. Bangsa kita memang masih berbudaya lisan (primitif), belum berbudaya baca-tulis (modern). Inilah hal yang saya perjuangkan sampai sekarang, yaitu agar bangsa kita hidup modern, maka MEMBACA BUKU DAN MENULIS (BUKU) HARUS JADI KURIKULUM UTAMA awal umur sekolah, dari klas 1 SD hingga klas 12 SMA.
BENAR seperti yang saya persiapkan hingga saya tulis dari awal makalah saya, tentang bangsa kita hanya berbudaya lisan (melihat dan mendengar), dan tidak berbudaya baca-tulis. Bahwa masyarakat sastra yang saya tekuni yang menjadi kiat hidup saya adalah masyarakat yang sulit dilihat (tokohnya) dan sulit didengar suaranya. Saya datang setengah jam sebelum jam acara dibuka (sebelum jam 12 siang). Saya ikut banyak orang berbondong menuju ruangan rapat. Mereka pada mencatatkan diri di daftar hadir. Ternyata nama-nama mereka sudah ditulis dalam daftar, sehingga tinggal tandatangan. Jadi saya tidak perlu mendaftar. Panitia berhalo-halo mengumumkan para narasumber dan pejabat penting sudah pada hadir. Saya temui dia, saya tanya yang namanya Dimas Ginanjar, wartawan yang punya prakarsa dan gawe besar hari itu. Panitia mengatakan orangnya gemuk. Saya lihat di ruang lain orang pada makan Saya dipersilakan ke sana, makan siang. Masuk ke ruangan makan saya ketemu dengan orang-orang penting yang sudah mengenal saya, terutama yang bulan Oktober-November ini pernah melihat penampilan saya di depan umum dengan wajah berjenggot putih begini.
“Hallo Pak Parto. Saya Lorenzo, yang kemarin telepon Pak Parto.” Seorang pemuda pelajar berseragam SMA menegur saya dengan akrap.
“O? Mana teman-temanmu? Dulu kamu ke rumah saya bersama teman-temanmu, bukan? Berapa orang? Lima orang, ya?”
“Saya belum pernah ke rumah Bapak, kok. Ya baru sekali ini ketemu Bapak.”
“Tapi kok langsung mengenali dan menegur saya. Dari mana tahunya?”
“Dari media…!” Ini aneh. Media yang pernah menampilkan wajah saya berjenggot, hanya di internet, suratkabar Surya, majalah bahasa Jawa Jaya Baya. Atau dalam bulan Oktober dan November ini saya memang tampil di forum-forum pameran dan diskusi dengan pakaian begini. “Kapan-kapan saya wawancara ke rumah Bapak, ya? Saya mau menulis tentang kepahlawanan di Surabaya.”
Selanjutnya saya lihat Lorenzo giat berbicara dengan para tokoh penting yang hadir di situ. Dia selalu didampingi seorang yang lebih tua, mungkin guru pembimbingnya. Ketika para hadirin diharapkan segera masuk ruang diskusi karena acara akan dimulai, Lorenzo dan “gurunya” duduk di kursi paling depan. Kelihatan sekali kegiatan dan perhatiannya yang menonjol.
Saya mengira Lorenzo pelajar dari Sekolah Ciputra yang pernah bergaul dengan saya di sekolahnya, atau pernah wawancara bersama teman-temannya di rumah saya. Atau berkirim e-mail kepada saya. Sebab hanya dari pelajar SMP-SMA Ciputra saja yang pernah perhatian dan wawancara dengan saya sebagai sastrawan. Mereka disuruh gurunya untuk menulis “paper” tentang sastra, dan mereka memerlukan mendatangi rumah saya, bertanya tentang Pramudya, tentang Alisyahbana, untuk ditulis di papernya. Ada yang karya-tulisnya dikirimkan kepada saya, dan saya tayangkan di internet saya (tentang budaya kraton buku Gadis Tangsi dan Kerajaan Raminem). Begitu banyaknya jumlah mereka yang berperhatian pada sastra, bersekolah di Ciputra. Sekolah Ciputra merupakan sekolah Internasional, bahasa pengantarnya Inggris, hampir semua etnis Tionghoa. Foto pergaulan saya dengan mereka saya pasang di blogspot saya. Dan Lorenzo juga berwajah bukan Indonesia aseli.
Dulu, sepuluh tahunan yang lalu, pernah beberapa pelajar mata sipit dari SMA Gapena Gubeng, datang ke rumah saya, juga dalam rangka membuat tulisan. Objeknya Monumen Mayangkara. Saya menyimpan berkas-berkas hasil karyanya.
Tapi belum pernah pelajar dari SMP/SMA Negeri atau swasta yang berwajah Indonesia aseli wawancara tentang sastera atau berkarya tulis-menulis dengan saya. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa selalu etnis Tionghoa yang “berbudaya” tulis-menulis? Seperti kita ketahui, dalam segala ranah kehidupan, etnis Tionghoa lebih makmur daripada kaum pribumi. Juga tampak ketika Gus Dur mengumumkan bahwa rakyat Indonesia bebas melaksanakan budaya masing-masing, termasuk mengembangkan bahasa ibunya. (Baca blogspot: Bermula Juga Dari Gus Dur). Ini tentu ada kesalahan kurikulum atau cara mengajar pada kurikulum nasional di mana anak negeri aseli menjadi tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku. Tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku berarti kiat hidupnya kodrati, alias sama dengan orang-orang primitif. Seperti para petani zaman baula, bisa menanam padi dengan subur karena melihat dan mendengar cara menanam padi tetangganya, lalu ditiru dilakukan. Itu bukan kiat hidup modern. Seorang sopir angkot bisa hidup dengan profesinya sebagai sopir angkot, bisa hidup pada zaman kini, keterampilannya menyopir didapat dari melihat dan mendengar bagaimana caranya mengemudikan mobil; sopir angkot itu juga bukan profesi modern. Sebab, seperti halnya petani zaman kuna tadi, orang-orang zaman kuna pun bisa menjadi sopir angkot, andaikata pada zaman kuna itu sudah ada mobil. Jadi yang “modern” adalah tehnologinya, barangnya, alat-alat penyelenggara hidupnya. BUKAN MANUSIANYA. Profesi hidup modern artinya cagak uripé (profesinya, kiat hidupnya) dilambari budaya membaca buku dan menulis buku. Misalnya dokter, insinyir, hakim, dosen. Dokter, insinyir, hakim, dosen itu profesi modern. Kalau mereka tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku apa bisa menyandang profesi itu? Kalau untuk menyandang profesi modern putera bangsa kiat hidupnya harus membaca buku dan menulis buku (sasterawi) mestinya bangsa ini harus menyadari bahwa ada kesalahan pada kurikulum nasional pada pembelajaran di awal-awal sekolah 12 tahun. Yaitu bahwa pelajar sekolah awal 12 tahun tidak diajari membudayakan menempuh hidup modern, yakni tidak diajari membudayakan membaca buku dan menulis buku. Kalau sadar bahwa kurikulum dasar nasionalnya salah, ya seyogyanya kurikulum nasionalnya diubah menjadi yang benar, yaitu bahwa keperluan dasar anak bersekolah adalah untuk menempuh hidup modern, yaitu BERBUDAYA MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Atau, kalau tidak diubah, apa dibiarkan putera bangsa Indonesia hidup primitif di zaman modern seperti sekarang ini terus berlanjut? DAN AKAN SELALU KALAH CERDAS, KALAH ULET BERUSAHA, KALAH MAKMUR HIDUPNYA DIBANDING DENGAN MEREKA YANG BERSEKOLAH DI SEKOLAH CIPUTRA alias etnis Tionghoa, karena mereka sejak kelas 1 hingga kelas 12 awal sekolah dididik tiap hari berbudaya membaca buku dan menulis buku. Lepas sekolah kelas 12 (SMA) mereka sudah berbudaya membaca buku dan menulis buku alias menjadi manusia sasterawi, manusia modern.
*
WAKTU makan di ruang makan, saya juga bertemu Johan Silas. Teguran pertamanya, saya kok bertampilan pakai jenggot. Kami pun bicara asik sambil makan.
Selesai makan, saya ke toilet. Keluar dari toilet, HP saya berbunyi. Saya angkat, “Ini Pak Parto di mana? Saya Dhimas Ginanjar.” Ya saya jawab, saya sudah di situ. Agaknya baik panitia, maupun Mas Dhimas Ginanjar tidak mengenal wajah saya. Wajah masyarakat sastra, memang sulit dilihat dan sulit didengar. Ya baru saat saya mengaku itu, wajah saya bisa dikenali, bisa ditonton dan didengar oleh panitia. Termasuk Mas Dimas Ginanjar, yang selama bulan November 2010 ini memperkenalkan nama saya sebagai sejarawan dengan tertulis, bukan gambar yang bisa ditonton. Mas Dimas sendiri belum pernah melihat saya.
*
AKHIRNYA lengkaplah sudah siapa-siapa yang akan berbicara di Rembuk Tugu Pahlawan siang itu, dihadiri 150 peserta dan undangan dari beragam kalangan dan lintas generasi: pelajar, mahasiswa, dosen, pengusaha, tokoh masyarakat, anggota dewan, pejabat eksekutif, LSM, mantan pejuang. Sebagai resminya acara Rembuk Tugu Pahlawan, sebelum mendengarkan 4 orang pengupas materi yang telah ditetapkan, yaitu Prof.Ir.Johan Silas (pakar tata kota), Suparto Brata (sejarawan dan budayawan), Ir. Sugeng Gunadi, MLA (perancang kompleks Tugu Pahlawan), dan Karsono (Ketua DHC 45 Surabaya), pembawa acara mempersilakah lebih dulu para pejabat Jawa Pos (yang punya gawe) dan pejabat Pemerintah Kota Surabaya memberikan sambutan pembukaan acara ini.
Redaktur senior Jawa Pos, Muhammad Elman:
Pihaknya sama sekali tidak memiliki agenda apa pun menyangkut Tugu Pahlawan ke depan. Belakangan Jawa Pos memang gencar memprovokasi pembaca. Namun itu merupakan sikap untuk ikut menjaga dan menghidupkan berbagai aset berharga seperti Tugu Pahlawan. Sebagai tetenger di Kota Pahlawan, bangunan tersebut harus mendapatkan perhatian ekstra. Ini adalah semangat bersama untuk melestarikan sebuah warisan. Tentang dibangunkannya Tugu Pahlawan, dia pernah baca tulisan Suparto Brata yang diuraikan dengan sangat jelas.
Dhimas Ginanjar, ketua panitia:
Acara ini sebagai salah satu tindak lanjut rembuk, pihaknya berencana membuat sebuah buku khusus tentang Tugu Pahlawan dari masa ke masa.
Wiwiek Widayati, Kepala Disbudpar Surabaya:
Menyambut baik prakarsa Jawa Pos punya gawe seperti ini. Yaitu masmedia yang berada di Kota Surabaya, mengikutsertakan masyarakat merembuk pengembangan budaya warisan tempatnya berada yaitu Surabaya. Acara seperti ini diharapkan mampu menjaring saran dan pendapat dari segenap lapisan warga Surabaya. “untuk membangun pemanfaatan ke depan,” katanya.
Baktiono, Ketua Komisi D DPRD Surabaya:
Hasil rembuk ini setidaknya menjadi cermin karakter warga Surabaya yang blak-blakan dan egaliter. Dengan lebih terbuka dan pagarnya tidak semasif sekarang, masyarakat rupanya lebih senang.
Ir. Bambang Harnoto, mantan kepala dinas petamanan pemkot:
Dia paling lama menjabat Kepala Dinas Petamanan. Termasuk saat kompleks Tugu Pahlawan direhab pada 1991. Dia memberikan kesaksian bahwa sebetulnya perubahan wajah Tugu Pahlawan hingga seperti sekarang ini telah melalui tahap panjang. Juga melalui sayembara desainnya. Panitia sayembara maupun penggarapannya diselenggarakan Pemkot bekerja sama dengan pihak ITS. Penggarapannya menelan beaya berapa juga dicatatkan dan dibacakan oleh mantan kepala dinas petamanan ini.
Catatan: Seingat saya, kepanitiaan perubahan/pembangunan kawasan Tugu Pahlawan 1991 ketika mengadakan sayembara desain, hasilnya tidak ada pemenang yang nomer satu. Sehingga disepakati pembangunannya juga diambil yang terbaik, namun juga ditambah atau dikurangi. Lalu dibentuk lagi panitia penyelenggara pembangunan hasil sayembara yang disepakati itu. Panitia penggarapan pembangunan ini, saya tidak tahu pentingnya diri saya (karena sudah pensiun, bukan pegawai pemkot aktif lagi), kok diikutsertakan jadi panitia. Saya ingat ketuanya Pak Sugeng Gunadi. Tapi saya hanya sekali dua kali ikut rapat, setelah itu saya pindah ke Jogyakarta (1989-1993) mencari pembeayaan kebutuhan rumah tangga, karena uang pensiun saya tidak mencukupi. Tiga orang anak masih dalam proses belajar SMA ke perguruan tinggi, dan masih harus mencicil rumah yang kami tempati (YKP). Secara praktis saya tidak ikut menyelenggarakan pembangunan Tugu Pahlawan, karena saya tidak berada di Surabaya.
Saya lupa tahun berapa, tapi jelas sesudah pensiun, dan ada di Surabaya, saya diajak oleh Pak Bambang Harnoto untuk membangun prasasti-prasasti mengenai Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Kalau ini jelas, mengapa saya diikutsertakan dalam membuat prasasti (meskipun sudah pensiun), karena saya telah menulis buku Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (bersama Pak Aminuddin Kasdi dan almarhum Pak Soedjijo, terbit 1986 ketika saya masih aktif di pemkot). Sebab hanya lewat buku itulah prasasti di mana diletakkan dan bangaimana ceritanya bisa terwujud. Pembangunan prasasti-prasasti tersebut selesai sampai tuntas. Ada 12 atau 15 prasasti yang kami buat dan kami bangun di titik-titik terpenting dalam peristiwa kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya. Prasasti itu berbentuk batu marmer yang ditulis di situ peristiwa apa yang terjadi secara singkat. Semua tulisan di prasasti saya yang menyusun kalimatnya. Beberapa yang saya ingat dan saya menghadiri pembukaannya atau pembuatannya adalah prasasti-prasasti di Gedung Sekolah St.Louis Jl. Dr.Sutomo 7, Gedung Sekolah Santa Maria Jl.Raya Darmo, Rumah Sakit Darmo, Bekas Gedung Nirom Jl.Embong Malang, Sekolah Don Bosco di Pacuan Kuda, Gedung RRI depan Surabaya Plaza, Gedung PELNI Jl.Pahlawan, bekas Gedung Surabaya Post Jl.Pahlawan. Itu yang saya ingat dan saya saksikan peresmiannya (saya lihat telah selesai pembangunannya). Saya tidak tahu apa karya Pak Ir. Bambang Harnoto itu sekarang masih terpelihara dan bisa bermanfaat bagi generasi muda sebagai tetenger perjuangan rakyat Surabaya dalam pertempuran 10 Noivember 1945, atau hilang digilas oleh nafsu-nafsu pembangunan kepentingan generasi muda berikutnya. Misalnya prasasti di Gedung Nirom Embong Malang. Seingatku dulu tidak jauh di sekitar prasasti dibangun terdapat kuburan Cina. Kini tidak ada lagi kuburan Cina. Yang ada Gedung Hotel J.W.Marriott.
Inikah wujud generasi sekarang menghargai karya pendahulunya yang juga mengenang perjuangan kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya? Tahukah generasi sekarang apa yang terjadi pada 10 November 1945 di tempat prasasti itu dibangun 1945? Atau, mereka itu hidup ngawur, tidak tahu sejarah bangsa, tapi meneriakkan menghargai pahlawan bangsa? Saya yakin, generasi muda ini tidak tahu sejarah bangsa, karena tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku. Dan membaca prasastinya sebagai tetenger sejarah perjuangan bangsa pun tidak. Sampai hari rembuk bongkar pagar Tugu Pahlawan, sepatah kata pun saya tidak dengar perihal tetenger prasasti itu. Tahunya sejarah (10 November 1945, Tugu Pahlawan Surabaya) hanya dari dongeng lisan orang tua, seperti waktu saya masih kanak-kanak mendengarkan nenek ndongeng tentang Andhé-andhé Lumut. Itu cerita dongeng apa sejarah beneran? Kayaknya sejarah juga, karena disebutkan nama Kerajaan Jenggala.
SETELAH sambutan-sambutan para pejabat, maka dimulailah pokok acara Rembuk Tugu Pahlawan, yaitu mendengarkan uraian 4 pembicara utama yang telah ditetapkan. Untuk memandu acara, agar suasana “segar” dan tidak terlalu tegang menjemukan, maka oleh pembawa acara dipilihkan Priyo Aljabar. Priyo Aljabar adalah pembawa acara di JTV yang sangat populer dengan acaranya Cangkrukan, karena dalam acara itu bisa dihadirkan para pejabat pemerintahan (bupati, walikota, kepala dinas, dosen) yang dipandu dengan cara dan bahasa yang spontan dan blak-blakan, blaka suta. Banyak kepala daerah ataupun kepala instansi penting tergagap menjawab wawancaranya, karena pertanyaan yang diajukan dengan gaya bahasa sama drajat (egaliter) tapi lebih berhak menguasai waktu dan ruang karena Priyo adalah pemandu acaranya. Pertanyaannya bisa berbelok ke mana-mana, diputus, disusuli, diajukan yang lain, tidak tersiapkan oleh para pejabat yang bersangkutan. Pertanyaan yang gagah dijawab dengan geragapan menimbulkan suasana kocak dan menarik untuk ditonton dan disoraki.
Saya pernah jadi “pasien” diundang di tayangan “Cangkrukan”, yaitu pada hari Minggu 13 Juni 2010, jam 18.00. Karena tidak pernah ke JTV saya berangkat dari rumah jam 16.00. Maksud saya apa kira-kira yang harus saya siapkan dalam acara tadi, biar apik ditonton dan didengar. Setahu saya, segala acara “tontonan” itu biasanya dirancang dengan skenario, bahkan untuk sandiwara, skenarionya tertulis, pemain harus bicara seperti yang tertulis. Itu pengetahuan saya. Apa masih dipraktekkan sampai zaman kini, itu yang saya lakukan mengapa saya berangkat ke studio siang-siang. Ternyata saya terlalu awal sampai di JTV. Dan tidak tahu harus menghubungi siapa, karena di studio ruangannya dikotak-kotak, dan saya dipersilakan menunggu di ruang tempat keluar-masuknya lift. Banyak orang keluar masuk, namun mereka punya pekerjaan sendiri-sendiri. Saya merasa lega setelah Lan Fang muncul. Karena acara Cangkrukan saya bersama tiga pengarang buku sastera, yaitu saya, Lan Fang, dan Rohana Handaningrum. Lan Fang saya kenal akrab, bicaranya ceplas-ceplos, tulisannya memukau, berbobot. Rohana itu siapa, saya juga belum kenal dan belum tahu baik wajah maupun tulisannya. (Kemudian saya beli bukunya, “Serimpi”, dan baru tahu karangannya yang diterbitkan oleh Jaringpena, penebar manfaat tanpa batas, JP BOOK, Januari 2009). Pada acara “Cangkrukan” tadi saya mengaku kepada pemandu acara (Priyo Aljabar), bahwa saya tidak pernah sekali pun menonton acara Cangkrukan di TV. Sebab saya memang membatasi benar menonton TV. Padahal, menurut pemandu acara, acara “Cangkrukan” mendapat rating tertinggi di acara JTV. “Jancuk temen, gak tau nontok acaraku!”.
Priyo Aljabar:
DISEBUT namanya dan dipersilakan memandu acara inti Rembuk Tugu Pahlawan, muncullah Priyo Aljabar dengan pakaiannya yang nyentrik ke arena, diiringi tepuk tangan para hadirin. “Sebetulnya saya tidak sukak disuruh memandu acara ini…,” awal kata Cak Priyo, yang langsung disambut sementara hadirin, “Karena honornya kecil…!” teriakan publik. “Jancuk! Gak ngono Rèk…!” (Catatan: kata jancuk kini sudah tidak dimaknai sebagai umpatan, melainkan ekpresi keakrapan saling menyapa khusus Surabaya). Dengan gaya seperti itu Cak Priyo memandu acara Rembuk Tugu Pahlawan ini. Ia memang tidak suka dengan pagar yang mengelilingi Tugu Pahlawan. Itu dipaparkan Cak Priyo pada awal panduannya. Antara lain karena tidak bisa melihat Tugu Pahlawan akibat dihalangi oleh pagar kelilingnya, maka pagarnya dikencingi saja. “Dolur, mari kita rembuk bagaimana keadaan Tugu Pahlawan ini di sini secara matang, secara baik-baik, sehingga betul-betul menjadi baik seperti yang kita sepakati di akhir rembuk ini. Kita dengarkan paparan dari segala pihak di forum ini, baik yang menjelek-jelekkan, maupun yang memuji-muji kebaikannya. Dengan harapan akan menemukan hal yang paling baik. Sebab sejelek-jelek orang ada baiknya, sebaik-baik orang ada jeleknya. Maka dalam rembuk ini kita petik hikmahnya yang terbaik.”
Oleh karena waktu pun bertambah sore, sedang para peserta yang hadir dan mau ikut urun rembug banyak, maka para pembicara inti dipersilakan segera menempati mimbar yang tersedia. Cak Priyo mempersilakan para pembicara inti memaparkan pandangannya. Pembicaranya urut tua. Dipersilakan paling dulu Pak Karsono dari DHD 45 (pejuang). Dibatasi waktunya 15 menit.
Karsono, pejuang 1945 (Ketua DHD 45):
Kompleks Tugu Pahlawan yang ada sekarang ini ibarat gadis yang belum selesai memoles diri. Karena itu perlu dilanjutkan. Pak Karsono menceritakan hal ikhwal Tugu Pahlawan dengan membaca teks makalah yang telah dipersiapkan baik-baik sebanyak 10 lembar halaman, dibaca dengan pelan dan suara lirih (karena sudah tua) sehingga memakan waktu panjang. Berkali-kali Cak Priyo menghentikan, karena sudah melampaui 15 menit, namun Pak Karsono merasa apa yang mau dikatakan dalam rembuk ini belum tuntas, maka pembacaan diteruskan. Bahkan pada akhir pembacaan makalahnya Pak Karsono minta agar seseorang yang dikenal dari generasi muda, diperbolehkan berbicara, karena Pak Karsono sudah melihat wakil generasi muda itu sudah siap dengan flashdisk yang dipampangkan di sidang.
Cak Priyo menjawab, sebetulnya juga diberi hak bicara, namun waktunya 15 menit sudah dihabiskan oleh Pak Karsono.
Suparto Brata:
Setelah Pak Karsono, saya yang ditunjuk untuk berbicara.
Saya juga sudah siap naskah makalah. Namun sudah sejak semula, saya tidak akan membaca makalah itu urut seperti yang dilakukan Pak Karsono. Sudah saya hafalkan urutannya dan masalahnya. Perkenalan diri. Buku sejarah tulisan kami. Tentang pembangunan Tugu Pahlawan yang pertama kalinya, baik maksudnya dan kesulitan pembangunannya. (lihat makalah di atas). Saya paparkan betapa dahsyatnya pertempuran 10 November 1945 yang telah saya hafal (tapi tidak saya tulis di makalah). Saya ceritakan betapa Kota Surabaya selama 1946-1950 diperintah oleh Belanda, dan sibuk mengurusi penduduk yang masuk ke Surabaya setelah tahun 1947 (agresi Belanda), maka yang diurusi benar-benar adalah perumahan rakyat. Ketika tahun 1950 Surabaya kembali ke kedaulatan Republik Indonesia, Dul Arnowo mau mengikuti jejak pemerintah Belanda, yaitu membangun perumahan rakyat, sekitar reruntuhan bekas Gedung Kenpeitai mau dijadikan kompleks perumahan rakyat, urung karena ada ide untuk membangun monumen mengenang peristiwa pertempuran 10 November 1945, maka tempat itu tidak jadi dibangun untuk perumahan rakyat, tapi Tugu Pahlawan. Pada tanggal 10 November 1951, P.Y.M. Presiden Republik Indonesia Dr.Ir.Sukarno, disaksikan oleh rakyat Indonesia di Surabaya, meletakkan batu pertama pembangunan Tugu Pahlawan. Penanaman batu pertama tadi juga disertai penanaman piagam tentang peristiwa hari itu, piagam ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Dr.Ir.Sukarno, Gubernur Jawa Timur Samadikun, Walikota Surabaya Dul Arnowo.
Sampai di sini Cak Priyo memberi tanda-tanda saya harus berhenti. Kedatangan saya jadi pembicara Rembuk Tugu Pahlawan sebenarnya belum cukup, belum menyentuh urun rembuk pandangan saya mengenai Tugu Pahlawan yang sekarang dan akan datang. Tetapi karena saya tidak ingin melampaui batas waktu berkepanjangan seperti Pak Karsono, maka bicara saya saya akhiri. Ada dua kekecewaan yang mengganjal. Pertama: bundel naskah makalah yang kusiapkan tidak sampai kepada para peserta rembuk. Kedua, bagaimana urun rembukku untuk Tugu Pahlawan (dan pagarnya) yang sekarang juga tidak tersampaikan (belum saya uraikan).
Johan Silas, ahli tata kota:
Dia bukan kelahiran Surabaya seperti saya, tetapi cukup lama berada di Surabaya. Rumahnya di Pandegiling, bersekolah di SMPN II Jl.Kepanjen (1951-1954), tiap hari ke sekolah naik trèm listrik melewati Jalan Alun-alun (sekarang Jl.Pahlawan), melihat ada pembangunan sesuatu di muka Kantor Gubernur. Tidak tahunya monumen Tugu Pahlawan. Johan Silas kagum. Pada negara yang masih belum pulih dari pengorbanan rakyatnya karena perang, kok di Surabaya sudah dibangun monumen yang menghormati dan mengenang para pahlawannya. Mengenang dan menghormati para pahlawan dengan melihat bangunan Tugu Pahlawan sekarang ini, Johan Silas mengemukakan dua hal: Merasa menjadi pemilik Tugu Pahlawan, sehingga ikut peduli, termasuk upaya menghidupkan kompleks Tugu Pahlawan. Dan merasa mewarisi ikon kepahlawanan. “Kalau memang mewarisi, akan dijaga dan akan dipelajari.” (karena bicaranya singkat, tidak sampai distop oleh Cak Priyo).
Sugeng Gunadi, (tim arsitek Tugu Pahlawan):
Sebelum memaparkan keadaan kompleks Tugu Pahlawan yang menjadi karya tanggungjawabnya, memprotes Cak Priyo bahwa uraiannya tidak bisa dibatasi hanya 15 menit. Karena yang paling penting dalam rembuk hari ini adalah ketidaktahuan masyarakat (yang protes pagar dibongkar) apa arti kompleks Tugu Pahlawan yang jadi karyanya itu. Pak Gunadi menerangkan bahwa ada makna filosofinya menyengker (mengamankan) Tugu Pahlawan dengan tembok yang mengelilinginya, yaitu segala yang dihormati itu dirumat dengan baik, bukan dipamer-pamerkan sembrono rawan kotor, rawan rusak dan rawan hilang. Bentuk tugu pahlawan dan pagar sekelilingnya merupakan yoni pria-wanita yang disakralkan pada peradaban manusia siapa pun, kapan pun, dan di mana pun juga. Selanjutnya Pak Gunadi menjelaskan hebatnya Tugu Pahlawan karyanya itu lewat gambar-gambar yang sudah disiapkan. Digunakan untuk lomba drum band (tidak terusik keramaian lalu-lintas di sekitarnya), untuk upacara khidmad, untuk festival seni, anak sekolah berkunjung dan bebas bermain sambil melihat patung-patung para pahlawan (Bung Tomo, Bung Karno dan Bung Hatta, dll) serta alat-alat perang yang digunakan zaman perang 10 November 1945. Dan banyak lagi yang bisa dinikmati tanpa harus terganggu kebisingan sekitarnya. Dengan begitu apakah Tugu Pahlawan mengakibatkan kemacetan lalu-lintas? Apakah ada rakyat Surabaya yang menjadi kelaparan karena Tugu Pahlawan yang berpagar sekelilingnya begitu? Dan garapan-garapan itu belum selesai semuanya. Masih berlanjut, misalnya relief sejarah perjuangan Raden Wijaya belum digarap, patung Ruslan Abdulgani juga belum dibuat. Sebenarnya sudah dibangun air terjun buatan, namun mesin pompanya belum terbeli (usul kepada Pak Baktiono, anggota DPRD Surabaya yang hadir di forum, agar dianggarkan pembelian pompa itu sehingga air terjunnya bisa berfungsi).
*
SELESAI uraian para panelis, diajukan tanggapan dari para hadirin. Banyak sekali yang mengacungkan jari tangan, tapi tentu saja tidak semua bisa bicara. Mereka yang diberi prioritas bicara di depan mimbar, sering justru sulit berbicara (misalnya seorang veteran yang diprioritaskan karena tua, dan Lorenzo yang diprioritaskan karena berpakaian seragam SMA). Karena semua tanggapan itu diuraikan secara suara dan kebanyakan bukan bersifat pertanyaan kepada para panelis, maka susah saya melaporkan dalam tulisan ini. Namun ada seorang guru dari Sidoarjo, Suwarno, memaparkan pentingnya penulisan buku tentang Tugu Pahlawan dan peristiwa 10 November 1945, “Di buku-buku konvensional saat ini, jarang ada yang mengupas secara detail tentang keduanya. Berbeda dengan zaman dahulu (ketika sejarah diajarkan di sekolah) yang masih banyak tersedia buku sejarah, utamanya untuk pembelajaran di sekolah. Karena Pak Suwarno duduk di kursi terdepan dan berbicara tentang buku, saya jadi memperhatikan. Pembicara yang lain sangat sulit saya mencatatnya. Menurut 100 angket yang disebar panitia Rembuk Tugu Pahlawan kepada hadirin, hasilnya 48,5% setuju pagar dibongkar, 33,7% tidak setuju dibongkar, sisanya tidak jelas. Angket disebarkan dan dikumpulkan sebelum rembuk selesai tuntas.
Di antara yang mendapat prioritas berbicara di depan mimbar adalah Prof. Dr.Aminuddin Kasdi. Beliau adalah penulis buku Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, buku yang ditulis bersama Drs. Soedjijo (almarhum) dan Suparto Brata, 1987. Sekarang beliau juga menjabat di Tim Cagar Budaya. Sewajarnyalah beliau mendapat kehormatan untuk berbicara. Antara lain diceritakan bahwa pada buku kami (Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya), ada pesan agar tempat-tempat bersejarah dipelihara yang sebaiknya. Dua tempat yang ditulis di buku itu disarankan untuk dipelihara adalah kawasan Tugu Pahlawan, dan Taman Surya. Pada waktu kami menulis buku tadi, keadaan kawasan Tugu Pahlawan (Jalan Tembaan sebelah selatan Tugu Pahlawan masih merupakan rumah-rumah toko yang kumuh) dan Taman Surya sangat kumuh, digunakan orang untuk berjualan makanan maupun sex. Keadaannya sekarang sudah sangat lebih bagus daripada waktu itu.
Akhirnya acara Rembuk Tugu Pahlawan dengan segala tanggapannya mencukupi, sebelum dilakukan membuka lembaran angket yang terkumpul serta penghargaan-penghargaan baik untuk peserta maupun para pembicara inti, para pembicara inti diberi kesempatan untuk menyampaikan kesan-kesan.
Johan Silas:
“Coba kita putar balik ke 65 tahun yang lalu. Saya ini mengenal Suparto Brata sejak sekolah di Sint Louis. Bahkan satu kelas. Kemudian ketemu lagi ketika dia bekerja di Humas Pemkot, saya ada proyek-proyek tata kota yang berhubungan dengan pemkot, misalnya Proyek Perbaikan Kampung, pembuatan Master Plan Surabaya 2000. Kami berdua bekerja sama. Lalu sekarang kami bertemu lagi dalam satu forum: pembenahan Tugu Pahlawan.
“Kita sama-sama tahu betapa hebatnya Kota Surabaya dalam perjuangan kemerdekaan NKRI. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, waktu itu tentara Jepang masih galak memegang senapan, rakyat Indonesia di Surabaya sudah berani mengibarkan bendera Merah-Putih bersama-sama naik becak keliling kota. Belum ada rakyat Indonesia yang seberani itu waktu itu. Lalu cerita tentang pertempuran 10 November 1945. Sepuluh hari setelah tanggal 10 November 1945, di jalan-jalan di Kota Surabaya seperti Gemblongan, Tunjungan, terdapat mayat-mayat bergelimpangan. Korban rakyat Surabaya untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut perhitungan Ktut Tantri (wanita Amerika yang punya nama samaran begitu, dan mengikuti perjuangan Bung Tomo, juga berbicara di radio Pemberontakan Rakyat Surabaya milik Bung Tomo) jumlah korban mati di segala tempat di Surabaya antara 35.000-an orang lebih. Pengorbanan rakyat Surabaya untuk mempertahankan kotanya dengan jiwa raga sebegitu banyaknya. Mestinya Surabaya juga harus diperlakukan istimewa di negeri ini. Coba, bandingkan saja dengan Jogjakarta yang sedang hangat diperbincangkan saat ini. Jogja hanya dengan serah terima saja sudah menjadi Daerah Istimewa. Surabaya ini dengan korban jiwa begitu banyaknya, tanpa pamrih lain kecuali untuk merdeka. Kota lain belum ada yang berani berkorban seperti itu pada awal-awal Indonesia merdeka. Ya, keistimewaan Surabaya bukan seperti yang dialami oleh Jogja sekarang ini. Perlakuan keistimewaan terhadap Kota Surabaya misalnya pada tiap bulan November di Surabaya diselenggarakan sesuatu yang melibatkan seluruh provinsi di Indonesia. Misalnya peringatan 10 November 1945 diselenggarakan secara nasional di Surabaya.”
Suparto Brata:
Saya lanjutkan pemaparan saya tentang pembangunan Tugu Pahlawan seperti yang tertulis di teks makalah saya, yang tadi belum saya paparkan karena distop oleh Cak Priyo. Saya ceritakan betapa kesulitan Walikota Mustajab membangun proyek Tugu Pahlawan yang batu pertamanya beserta piagamnya sudah diletakkan oleh Presiden, Gubernur dan Walikota, lalu Walikotanya dipindah ke Jakarta, proyeknya tidak ditinggali uang sama sekali. Betapa sulitnya Walikota Mustajab mencari anggaran untuk membangun Tugu Pahlawan itu. Untungnya para kepala instansi pemerintah maupun swasta yang ada di Surabaya mau bergotong-royong mengumpulkan modal untuk membangun proyek peninggalan Walikota Dul Arnowo, untuk membangun monumen yang sangat berharga untuk menghormati para pahlawan kita. Saya tunjukkan gambar rancangan Tugu Pahlawan waktu itu, juga perolehan beayanya yang dikumpulkan dari masyarakat Surabaya.
Peristiwa yang dialami oleh Walikota Mustajab dialami juga oleh Pak Sugeng Gunadi. Mendapat tugas untuk membangun Tugu Pahlawan dengan kawasannya. Sudah dirundingkan dengan masak-masak. Pelaksanaannya kekurangan beaya. Sehingga sudah berjalan 20 tahun, kawasannya belum selesai 100%.
Ternyata apa yang sudah digarap oleh Pak Sugeng Gunadi dan sudah direncanakan masak-masak, kini diprotes oleh masyarakat Surabaya. Terjadilah Rembuk Tugu Pahlawan hari ini.
Saya menginginkan rembuk ini tidak berhenti sampai hari ini. Forum ini beserta mereka yang ikut cawe-cawe dalam geger Tugu Pahlawan selama bulan November 2010 ini (termasuk yang kirim SMS) berembuk selanjutnya bagaimana kemauannya mengenai kawasan Tugu Pahlawan. Yang paling heboh tentang pagar sekeliling Tugu Pahlawan, dibongkar atau tidak. Forum ini berlanjut berembuk hingga kemauan mereka direncanakan sampai detailnya. Bagaimana kawasannya, bagaimana pagarnya, bagaimana desain yang betul-betul dimufakati oleh forum ini, desainnya jangan beberapa tapi hanya satu saja yang dimupakati bersama, lalu dihitung berapa ongkosnya membongkar pagar, berapa ongkosnya membangun kawasan baru Tugu Pahlawan yang baru, dan agar ketertiban terjaga setelah kawasan baru Tugu Pahlawan jadi, membutuhkan perawatan bagaimana diongkosi selama 5 tahun pertama setelah kawasan baru terselenggara. Bahkan dirunding dan disepakati pula siapa yang bakal mengerjakan pembangunannya, siapa kontraktornya, dengan begitu sudah jelas berapa beaya yang akan dianggarkan. Setelah semua selesai dan dimupakati bagaimana kawasan Tugu Pahlawan dibangun, maka proyek itu diajukan kepada Walikota. Misalnya seluruh beaya pembongkaran pagar keliling dan pembangunan kawasan baru Tugu Pahlawan tadi menghabiskan 10 milyar, dan tahun 2011 harus sudah selesai. Ini harus dilaksanakan oleh Pemkot karena ini suara rakyat.
Walikota menolak. Anggaran sebegitu besarnya tidak mungkin direncanakan untuk 2011. Terlalu banyak. Untuk pembuatan jalan lingkar barat saja hanya 1,5 milyar tahun 2011, dan nanti dianggarkan lagi untuk 2012. Tapi karena ini suara rakyat, Walikota mengusulkan ke DPRD. DPRD-nya juga menolak. Karena untuk keperluan Kunjungan Kerja saja APBD-nya sudah defisit.
Ya, forum ini harus perwira seperti halnya masyarakat Surabaya membangun Tugu Pahlawan yang pertama. Walikota Mustajab tidak bisa membangun, masyarakat Surabaya yang urun beaya membangunnya. Untuk membangun kawasan Tugu Pahlawan yang butuh beaya 10 milyar, Jawa Pos menyumbang 5 milyar. Diajukan ke Walikota, Walikota tetap tidak bisa membujetkan 5 milyar. Saya anjurkan panitia rembuk bongkar Tugu Pahlawan jangan mundur. Datang lagi ke Walikota dengan anggaran 10 milyar untuk membongkar pagar keliling Tugu Pahlawan serta merenovasi seperti kehendak forum, Walikota tidak usah mengeluarkan beaya sesen pun, seperti halnya Walikota Surabaya Mustajab tahun 1952. Yaitu Jawa Pos urun 5 milyar, sisanya yang 5 milyar ditanggung dari para yang setuju pagar keliling Tugu Pahlawan saat ini dibongkar. Mereka tahun 2011 akan urun tiap orang 50-juta. Alamat mereka kan sudah diketahui. Terhitung pengirim SMS yang setuju pagar keliling Tugu Pahlawan dibongkar. Alamatnya sudah diketahui. Walikota dan DPRD tinggal memberikan Perda resmi pembongkaran pagar keliling Tugu Pahlawan serta penataan kawasannya seperti kehendak masyarakat Surabaya. Dibandhani dhèwèk mbarèk Surabaya! Turune Pahlawan, haré!
Dengan begitu, bereslah geger rembuk Tugu Pahlawan selama November 2010 ini.
Begitu pesanku mengakhiri Rembuk Tugu Pahlawan di Semanggi Room Graha Pena Jawa Pos Kamis 9 Desember 2010 hari ini.
Meskipun pembongkaran pagar keliling dan pembangunan kawasan dengan cara saya itu rasanya akan beres seperti yang diinginkan oleh masyarakat Surabaya hari ini, namun saya masih juga mengingatkan: Bahwa apa yang dibangun di kawasan Tugu Pahlawan nantinya sangat pas dengan keinginan masyarakat masa kini, belum tentu akan dianggap merasa pas untuk masa anak cucu kita. Mungkin sekali anak cucu kita pada tahun 2030 akan mengumpati kita, “Jancuk embah-embah jaman 2010 iku, nggaé monumen aé koyok entut! Bongkar! Bongkar!” Persis seperti kita mengumpati pagar keliling Tugu Pahlawan bikinan Pak Sugeng Gunadi sekarang ini. Hal itu mungkin saja terjadi, karena pada tahun 2030 anak cucu kita sudah meninggalkan Abad Informasi, tehnologi zaman itu sudah mencapai tarap hidup manusia zaman Demensi Ke-empat.
Cak Priyo:
Wah, usulane sing mburi iku mbendhol gak enak.
Karsono:
Tidak komentar lagi.
Sugeng Gunadi:
Pagar keliling Tugu Pahlawan akan dibongkar, kalau itu kehendak masyarakat Surabaya, silakan saja. Kawasan dan Tugu Pahlawan itu bukan milik Pak Gunadi, milik Pemerintah Kota Surabaya. Pak Gunadi tidak rugi apa-apa. Ya hanya merasa eman, karena selama ini proyek itu menjadi tanggungjawabnya yang didukung oleh berbagai pihak lembaga dan instansi selama ini.
*
SETELAH itu acara Rembuk Tugu Pahlawan dinyatakan selesai. Acara berikutnya adalah pemberian penghargaan. Bagi para pembicara inti mendapat piagam dan patung kaca Suro Ing Boyo, bagi peserta yang dapat undian juga mendapat yang setarap. Dilakukan juga potret-potretan.
Selagi belum beranjak dari duduk di mimbar, ada seseorang yang khusus memotret Johan Silas dan saya berdekatan, sambil tanya-tanya: “Betul, ya? Keduanya dari St. Louis?”
Merasa bahwa apa yang saya siapkan berupa bundel-bundel naskah/makalah tidak akan sampai pada peserta, 5 bundel masih tetap tertutup di tas saya, saya jadi tidak puas, maka saya panggil saja Lorenzo yang duduk paling depan, saya beri satu bundel. Bundel yang lain yang saya urai ada gambarnya denah Tugu Pahlawan serta beaya pembuatannya, diminta oleh Johan Silas. Bundel lain saya berikan kepada seorang dari Tim Cagar Budaya (maaf saya tidak ingat namanya, waktu itu dia pakai baju dasar putih lorek-lorek merah). Bundel yang lain lagi saya berikan kepada Guru dari Sidoarjo yang menginginkan sejarah Tugu Pahlawan serta peristiwa 10 November 1945 di Surabaya lebih banyak ditulis lagi jadi buku. Saya datangi tempatnya duduk (juga pada deretan kursi paling depan), bundel naskah saya berikan. Bundel yang satu saya bawa pulang, saya tayangkan di website ini.
Setelah bubaran, saya mencari Pak Ir. Bambang Harnoto, mau saya minta naskah atau makalah yang tadi dibaca. Terutama saya ingin memperoleh catatan beaya-beaya yang dipergunakan untuk membangun Tugu Pahlawan pada generasi Pak Sugeng Gunadi. Itu saya belum punya. Tetapi saya tidak berhasil menemukan Pak Bambang Harnoto. Pada waktu itu memang hari sudah sore, banyak pejabat yang tergesa pergi karena ada tugas lain hari itu, misalnya Ir.Johan Silas, juga harus pergi ke kampus.
Ada beberapa orang yang menemui saya, minta alamat saya, saya beri kartu nama. Ada mahasiswi sejarah Unair, Hiyang, ingin wawancara dengan saya, dia mau menulis skripsi tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Saya juga bertemu dengan Ajeng mahasiswi sastera Inggris Unair, kami memang sudah bergaul akrap, dia menolong membawakan barang-barang bawaan saya. Saya sungkan.
Waktu di depan lift mau turun pulang, saya melihat Mas Aminuddin Kasdi sedang bicara sama Lorenzo. Lorenzo yang wajahnya Indo pergi dengan mengucap, “Salamualaikum!”. Kok kenal, apa muridnya Mas Aminuddin Kasdi? Saya tanya. “Bukan. Dia dari SMA Katholik Frateran, Jalan Kepanjen Surabaya.” Ternyata Lorenzo bukan dari SMA Ciputra yang sudah banyak yang akrap dengan saya. Dan bukan dari SMAN, dan bukan berwajah pribumi Jawa. Yang berminat dan berbudaya membaca buku dan menulis buku selalu para pelajar seperti itu (bukan dari SMPN-SMAN, bukan berwajah pribumi. Ke manakah mereka?).
*
BEGITULAH kesan yang saya tangkap, ketika saya bulan Oktober sebagai bulan bahasa menjadi sibuk sebagai sasterawan, pada bulan November tiba-tiba nama saya hampir tiap hari dimuat di Jawa Pos berubah sebagai sejarawan. Akhirulkalam saya menghargai benar hikmah semboyan Cak Priyo Aljabar, “Sak èlèk-èlèké uwong onok beciké, sak becik-beciké uwong onok èlèké. Ayo kita ambil yang becik saja. Begitu juga dalam tulisan ini, silakan menyaring sendiri mana yang jelek dan yang baik. Seperti layaknya sasterawan, apa pun karyanya yang telah diumumkan, penilai baik-buruknya terserah kepada pembacanya. Nuwun.
terimakasih banyak pak, sudah menulis ini, jadi yg tidak bisa hadir bisa “merasakan” hadir hehehe…
sungguh sangat disayangkan kalo sebuah diskusi tanpa ada makalah/materi berupa tulisan yg bisa dibagikan, budaya membaca dan menulis memang masih sangat perlu digalakkan ya pak
hanya sekedar pendapat pribadi saya saja, katakanlah unek2… menurut saya tidaklah usah itu pagar tugu pahlawan dibongkar….. kenapa harus dibongkar? apakah masyarakat surabaya masih membutuhkan ruang hijau? bukankah saat ini sudah banyak taman2 kota yg dibangun? dan taman2 kota surabaya sekarang ini sudah bagus2 ….
biarlah tugu pahlawan seperti itu adanya, kita jalan jalan masuk tugu pahlawan itu untuk mengenang heroisme perjuangan para pahlawan, agar lebih khidmat , kita bisa merasa lebih tenang tanpa harus terganggu suara bisingnya lalu lintas dan suara klakson bersahutan….
mungkin belum banyak warga surabaya yg tahu,begitu banyak korban pejuang yg berguguran di tempat itu, di gedung kempetai, markas PTKR pimpinan hasanuddin pasopati….
dan mungkin juga banyak warga surabaya yg tidak tahu bahwa kawasan tugu pahlawan juga merupakan makam dari para pahlawan yg gugur tak dikenal…
untuk mudahnya mungkin bisa dilihat hebatnya pertempuran di lokasi ini pada lukisan karya m sochieb dalam bukunya “perang 10 nopember dalam lukisan”, dimana lukisan ini bisa juga kita lihat di museum tugu pahlawan dan gedung DHD45
maka mari kita perhatikan, kita perlakukan, tempat itu dengan layak, dengan hormat,
demi mengenang mereka yang berjuang,
demi mereka yang mempertaruhkan kedaulatan…
demi mereka yang berguguran…….
-maaf bila ada kata yg kurang berkenan, ady roodebrug soerabaia-
Mungkin yang diperlukan adalah tugu pahlawan itu lebih terbuka untuk aktivitas publik.Memang beberapa sekolah memanfaatkan pelataran parkir untuk kegiatan olah raga di hari-hari biasa serta tiap hari libur banyak warga yang berolahraga di komplek tugu pahlawan.Fungsi tugu pahlawan saat ini hampir sama dengan stadtuin(alun2 kota) yang sekarang sudah dibangun kantor Bank Indonesia.Memang sudah sejak dulu kawasan ini jadi tempat berkumpul warga kota Surabaya.Saya jadi teringat foto Stadtuin tahun 1920-1930-an dimana setiap minggu korps musik KNIL selalu bermain musik di sana atau anggota SI yang menggelar demo sambil memakai caping di stadtuin.Beragam aktivitas dilakukan warga kota di sekitar tugu pahlawan dari dulu,terserah apakah tugu pahlawan mau dijadikan ruang yang lebih terbuka untuk publik (ada tembok atau tak ada tembok) atau sekadar menjadi monumen kota yang tertutup.salam buat pak parto