MEMBACA DAN MENULIS ITU BUKAN KODRAT

| |

Anak umur 3 tahun menonton televisi, sudah bisa mengerti artinya dan menikmati (konsumtif) siaran televisi. Sebab televisi adalah alat hasil rekayasa teknologi yang mempertajam atau memperpeka melihat dan mendengar. Dan melihat dan mendengar adalah kodrat indrawi, tiap manusia lahir normal tentu bisa melihat dan mendengar.

Putra bangsa umur 18 tahun lulus SMA diberi setumpuk buku, dapatkah membaca dan menikmati gunanya buku? Menurut riset Taufiq Ismail 1996, putera bangsa Jerman lulus SMA rata-rata telah membaca buku 22 judul, putera New York 32, Rusia 12, Belanda 30, Swiss 15, Jepang 15, Singapur/Malaysia 6, Brunei 7, putera Indonesia 0. Mengapa? Karena buku bukan alat yang mempertajam atau memperpeka melihat, mendengar, merasa atau kodrat indrawi yang lain. Untuk menikmati (konsumtif) atau menggunakan buku sama dengan alat buatan manusia lain seperti piano, mobil dan lain-lain. Yaitu dengan pembelajaran atau pelatihan bagaimana cara-cara menggunakan alat-alat tadi (kreatif).

Untuk bisa menggunakan atau menikmati mobil orang harus belajar dulu satu dua minggu, lalu bisa, dan sekarang berapa banyak putera bangsa yang menikmati mengemudikan mobil (konsumtif dan kreatif)? Tak terhingga. Betapapun banyaknya mobil diproduksi, segera dinikmati oleh putra bangsa. Karena mobil juga alat hasil rekayasa teknologi yang sudah dilengkapi begitu rupa sehingga cara menikmatinya cukup dengan latihan beberapa minggu saja. Sedang untuk bisa menggunakan piano, perlengkapan teknologinya (masih terus diusahakan kemudahan penggunaannya) tidak semudah mobil. Untuk menikmati menggunakan harus ada tambahan kekuatan dasar lain dari manusia pengguna, yaitu bakat. Bakat juga unsur kodrat, tiap orang pasti punya, hanya jenis atau besarnya tiap orang tidak sama. Untuk mengemudikan mobil pun perlu juga bakat, tetapi rekayasa teknologi telah terlengkapi sedemikian rupa hingga untuk mengemudikan mobil tidak perlu bakat khusus. Bakat itu pun tidak berkembang tanpa ada pembelajaran atau pelatihan. Jadi untuk menggunakan dan menikmati bermain piano harus ada pengenalan alat dan penikmatinya, pembelajaran, pelatihan dan bakat khusus yang cukup besar. Sebaliknya, meski berlatih dan belajar bertahun-tahun, kalau tidak punya bakat khusus yang cukup besar, ya kemampuannya main piano tidak terlalu baik. Tetapi tetap bisa bermain piano karena bertahun-tahun belajar tadi. Oleh karena itu produksi piano tidak bisa sebanyak produksi mobil, karena putera bangsa yang berbakat khusus main piano juga terbatas jumlahnya. Lingkungan hidup, seni budaya setempat, konvensi masyarakat dan lain-lain ikut mendorong kemampuan dan semangat mencurahkan bakat. Buku? Untuk menggunakan dan menikmati buku, juga harus ada pengenalan bendanya dan penikmatinya, pembelajaran dan pelatihan. Hanya, pembelajarannya sedini usia manusia, latihannya harus terus-menerus, sehingga menjadi kebiasaan, tradisi atau budaya. Jadi untuk menggunakan atau menikmati buku dibutuhkan pembelajaran (membaca dan menulis), pelatihan terus-menerus, sehingga menjadi budaya (konsumtif dan kreatif).

 

Jangan Paksa Masyarakat Baca Buku! 

Itulah judul tulisan Muhidin M. Dahlan, kerani di Indonesia Buku, yang dimuat Jawa Pos Minggu 18 Mei 2008. Saya kutip potongan-potongan kalimat selanjutnya: Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, memiliki buku bukan perkara mudah. Selain karena tradisi lisan (dan menonton) lebih dominan, penetrasi buku hanya berlangsung di perkotaan. // Yang saya herankan juga membiak semacam anggapan dari kelompok yang sombong diri ini (maksudnya orang-orang IKAPI = Ikatan Penerbit Indonesia) bahwa tidak membaca buku adalah “dosa”. // Membaca buku, mengapa harus jadi keharusan! Heran. Lalu mereka mengecam dengan semena-mena bahwa segala malapetaka ini disebabkan oleh televisi. Mereka tuding televisi sebagai sumber gegarbudaya, kotak idiot, kotak dungu, tuhan kedua, bahkan setan jahat citra. Padahal, televisi bagi keluarga Indonesia saat ini sudah menjadi kebutuhan utama keluarga.Televisi sejatinya hanya pengulangan paling modern dari tradisi visual yang sudah berkembang turun-menurun di Indonesia. Panggung yang biasanya terbuka di lapangan kini dipersempit hanya dalam sebuah kotak kecil di tengah ruang keluarga. Bagi aktivis perbukuan yang sombong dan angkuh itu, televisi tak lain hanyalah sebuah kedangkalan berpikir. 

Kado Pahit di Peringatan Hari Buku 

Itulah judul tulisan Edy Firmansyah, Peneliti Institute of Research Social, Politic and Democracy Surabaya di Jawa Pos (Metropolis) Senin 19 Mei 2008. Saya kutipkan beberapa kalimat tulisannya: Berdasarkan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo Provensi Jawa Timur menduduki peringkat pertama jumlah penduduk buta aksara di antara seluruh provinsi di Indonesia. Setidaknya, sekitar 4,5 juta jiwa penduduk Jatim berusia 15 tahun ke atas mengalami buta aksara. Jumlah tersebut merupakan 11,97 persen dari total jumlah penduduk Jatim atau dua kali lipat lebih tinggi dari target nasional pengentasan buta aksara yang ditetapkan, yakni lima persen. // Jatim memiliki jumlah universitas paling banyak se-Indonesia. Sebut saja Universitas Airlangga, Institut Tehnologi Sepuluh Nopember, Universitas Jember, Universitas Brawijaya, Universitas Islam Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya, dan beberapa sekolah tinggi agama Islam negeri yang menyebar hampir di setiap kabupaten dan kota. // Harus diakui bahwa realitas kelompok buta aksara adalah cenderung miskin, bodoh, dan terbelakang. Mereka juga rendah untuk berpikir maju, sulit menghadapi tantangan dan perubahan, serta sulit menerima informasi pembaharuan (adopsi-inovasi), termasuk partisipasi pembangunan. Satu-satunya hal yang mampu menggerakkan mereka melakukan perubahan hanyalah faktor ekonomi. 

Seribu Orang Baca Buku Bersama 

Itulah judul berita di Jawa Pos (Metropolis) Senin 19 Mei 2008. Saya kutipkan beberapa beritanya: Sekitar seribu orang dari berbagai kalangan dan profesi menghelat aksi membaca buku bersama kemarin (18/5). Aksi Indonesia Membaca itu merupakan rangkaian peringatan Hari Buku Nasional, HUT Ikapi, HUT Kota Surabaya, dan HUT Perpustakaan Nasional yang jatuh pada 18 Mei. Di Surabaya, aksi diadakan di Taman Flora. Para peserta serius membaca buku yang disediakan oleh panitia. Selesai membaca, mereka diminta membuat resume. “Dengan begitu, mereka tahu tentang inti bacaan yang sudah dibaca,” ujar Dyah Litasari, direktur Kubaca, salah satu elemen dalam gerakan tersebut. Beberapa penulis kondang menghadiri acara itu untuk berbagi pengalaman. Di antaranya, Agus Mustofa dan Lan Fang. // Menurut Dyah, konsentrasi merupakan salah satu unsur penting dalam membaca buku. Selami dulu judul buku, pengarang, dan kata pengantarnya. Niscaya, itu akan membantu memahami gambaran isi buku yang dibaca. “Melihat daftar isi juga penting untuk menuju ke pokok persoalan,” terangnya. Teknik tersebut dikenal dengan scheming. “Ketika sudah memilih pokok, bahasan penting buku itu, bacalah dengan pelan dan usahakan memahaminya,” katanya. Dyah menambahkan, pembaca juga bisa menandai bagian-bagian penting buku dengan memakai pena atau stabilo.

Dyah sempat bertanya kepada hadirin, buku apa yang sekarang sedang populer? Jawab hadirin ‘Ayat-Ayat Cinta’. Dyah minta maaf kepada Agus Mustofa dan Lang Fang, karena itu suara publik.

 

Saya juga hadir di Taman Flora pagi itu (Minggu, 18 Mei).

Dalam menceritakan pengalamannya Agus Mustofa mengatakan, dia mulai gemar menulis setelah di perguruan tinggi, menjelang menulis skripsinya (Teknik Nuklir UGM, 1987). Dia mulai gemar menulis, bisa, dan skripsinya lulus dengan baik. Maka ia kebablasan gemar menulis. Menulis di koran, ditawari menjadi wartawan (1990), jadi wartawan Jawa Pos, di situ kian dapat gemblengan cara-cara menulis (caranya bikin berita cepat memburu deadline, bikin berita yang tidak membosankan, cara bikin judul, cara menyusun dan memilih bahasa dan lain-lain), lalu mulai menulis buku, terbit bukunya Pusaran Energi Ka’bah kok laris. Waktu itu memang sedang boom buku-buku Islam dalam bahasa Indonesia. (Ustad) Agus Mustofa mengamati buku-buku Islam itu kok terjemahan dari karangan orang-orang Timur Tengah dan kebanyakan tulisan masa lalu. Itulah yang menggelitik nurani Ustad Agus Mustofa untuk menulis buku Islam dengan versi sekarang yang sesuai dengan penguasaan ilmunya (tehnik nuklir), yaitu Islam dipahami secara scientific. Buku kedua Ternyata Akhirat Tidak Kekal (judul yang kontroversial, tetapi dia tidak menipu pembaca lho), juga laris. Maka dia keluar dari wartawan, dan membuat penerbitan buku sendiri (PADMA press). Sekarang sudah tidak bisa lagi berhenti menulis buku, tiap hari 20 lembar, tiap 3-4 bulan sekali terbit bukunya. Selama 4 tahun ini ia sudah menerbitkan bukunya 17 judul, dan semuanya laris manis.

Lan Fang (pengarang novel Perempuan Kembang Jepun – Gramedia 2006) merasa bahagia bulan Mei ini, karena Mei ternyata merupakan hari-hari pusat perayaan ulang tahun yang berkenaan dengan buku. Dan Hari Kebangkitan Nasional, Hari Buruh Internasional. Perayaan Hari Jadi Kota Surabaya beberapa tahun belakangan ini sudah secara tradisi melibatkan para penulis, yaitu dalam kegiatan Festival Seni Surabaya menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi (yang dikarang khusus dan baru) karya sastrawan Surabaya dan mengadakan Malsasa (Malam Sastra Surabaya). Juga Gubernur Jawa Timur, Imam Utomo tiap menjelang 1 Syawal memberikan hadiah kepada para seniman Jawa Timur, termasuk para pengarang atau sastrawannya. Lan Fang mengharap “tradisi” itu diteruskan oleh para Gubernur penggantinya, tapi waktunya jangan tiap menjelang 1 Syawal, melainkan tiap bulan Mei, sekalian disatukan dengan perayaan-perayaan hari ini. Bulan Mei juga dekat dengan peringatan Hari Chairil Anwar, seorang sastrawan besar Indonesia.

 

Bersekolah adalah Sistem Pembudayakan Membaca Buku dan Menulis Buku. 

Selesai upacara-upacara pembukaan, saya dikerubuti gadis-gadis berpakaian sama (kaos putih lengan oranye), minta foto bersama, ada yang berkelompokan, ada pula yang minta berduaan khusus dengan saya (dengan HP masing-masing atau kamera digital). Berbuat begitu tentu saja karena mereka kenal saya. Saya tanya seorang, dia dari mana. Mahasiswi FISIP Unair. Teman-temannya juga mahasiswi yang sama. Tentu saja ada juga wartawan. Dilihat dari model kameranya maupun bajunya yang bukan kaos putih lengan oranye.

Ada yang nyelentuk bertanya, “Bagaimana pendapat Bapak mengenai acara Seribu Orang Baca Buku Bersama ini?” Ini tentu pertanyaan wartawan, karena dia memerlukan wawancara khusus (pisah dari kelompok), dan mendengarkan jawaban saya dengan menyodorkan tape-recorder. (Syukurlah kalau itu juga mahasiswi FISIP Unair, yang mewawancarai khusus bukan untuk disiarkan di media massa, melainkan untuk penelitian di bidang sosial kemasyarakatan yang dia pelajari). Saya jawab dengan terbata-bata, mungkin kurang jelas. Namun pokoknya saya tulis saja berikut ini:

 

“Acara ini hanya gebyar Indonesia Membaca. Hanya suatu simbol atau slogan. Belum memenuhi sasaran kenyataan, bahwa bangsa Indonesia bertabiat membaca buku. IKAPI maupun penerbit buku lainnya masih bersusah payah berusaha menjual bukunya agar laku dan mendapat keuntungan komersial.”

“Ada kiat lain bagaimana agar penjualan buku laris seperti yang diinginkan?”

“Ada. Yaitu bangsa Indonesia harus punya budaya membaca buku dan menulis buku. Di mana membudayakan membaca buku dan menulis buku? Di sekolah dan selama bersekolah setidaknya 12 tahun, sehingga lulus sekolah putera bangsa sudah berbudaya membaca buku dan menulis buku…..”

 

Lalu saya menerangkan hal berikut:

Di Negeri Belanda, 100% orang dewasa tentu berbudaya membaca buku dan menulis buku. Bahkan bukan saja berbicara dan menulis bahasa Belanda, tapi fasih bicara dan menulis dengan baik bahasa-bahasa lainnya, yaitu Inggris, Prancis, Jerman. Di mana mereka itu akhirnya berbudaya membaca buku dan menulis buku? Di sekolah. Sejak masuk hingga lulus sekolah 12 tahun kemudian.

Orang Jepang selain huruf katakana dan hiragana, mempunyai huruf kanji sebanyak 5000 gambar huruf, yang digunakan untuk menulisan buku atau masyarakat umum yang tergolong melek baca (tidak buta huruf ~ huruf bukan untuk pembelajaran baca-tulis saja). Setelah menjadi mahasiswa, tidak mungkin mereka berbuat seperti Ustad Agus Mustofa, tiba-tiba gemar menulis buku dan membaca buku. Tidak mungkin mereka menghafal 5000 huruf kanji baru setelah jadi mahasiswa. Di mana mereka menghafal sehingga menjadi berbudaya membaca buku dan menulis buku, menghafal huruf kanji sebanyak 5000? Di sekolah. Sejak masuk awal hingga lulus sekolah setidaknya 12 tahun kemudian (sebelum jadi mahasiswa).

Jadi bersekolah adalah sistem membudayakan putera bangsa (Belanda, Jepang, Jerman, dan lain-lain bangsa maju) membaca buku dan menulis buku. Apabila membaca buku dan menulis buku menjadi budaya putera bangsa, maka menjual buku akan laris, setidaknya memenuhi keinginan penerbit buku.

Manusia itu adalah binatang yang menjalani hidupnya dengan alat dan pikiran. Untuk memenuhi kepuasan hidupnya, atau kemakmurannya atau kesejahteraannya, manusia menggunakan alat dan pikiran. Alat diciptakan oleh pikiran untuk mempermudah perolehan kemakmurannya, dan agar alat yang telah terciptakan memenuhi fungsinya, maka manusia harus berlajar, berlatih terus-menerus agar bisa menggunakan alat tadi untuk mencapai kemakmurannya. Jadi untuk memenuhi kepuasannya atau kemakmuran hidupnya, selain mengandalkan kodratnya, manusia menggunakan alat dan pikiran sebagai sarana pencapaian itu. Penggunaan alat dan pikiran tadi namanya kawruh, atau ilmu pengetahuan. Manusia hidup untuk mencapai kemakmurannya harus disaranai ilmu pengetahuan. Alat dan pemikiran sebagai ilmu pengetahuan selalu bertambah-bertambah untuk menyiasati kemudahan hidup. Alat diciptakan oleh pikiran, direkayasa sedemikian rupa agar manusia bisa mencapai kemakmurannya dengan lebih mudah dengan menggunakan alat ciptaan baru tadi. Dan penciptaan alat ini terus-menerus tidak berhenti selama manusia ingin mencapai kemakmuran hidupnya. Dulu kala orang pergi hanya dengan berjalan kaki (menurut kodratnya), kemudian diciptakan kereta yang ditarik kuda, kemudian diciptakan mobil, bepergian menjadi lebih mudah, kemudian diciptakan pesawat terbang, begitu seterusnya. Dulu orang bicara keras untuk sampai pada pendengaran orang lain, kemudian diciptakan radio dan telepon, kemudian alatnya direkayasa lagi menjadi televisi, sehingga dari jarak jauh sekali pun orang bisa bicara yang terdengar dengan yang dituju.

Manusia adalah binatang yang menjalani hidupnya dengan kekuatan kodratnya, untuk mencapai kemakmuran hidupnya disarani alat dan pikirannya. Kalau orang menjalani hidupnya hanya dengan kekuatan kodratnya (anak umur 3 tahun menonton televisi, konsumtif) maka dia adalah…..(?). Katakan saja dia adalah manusia primitif (alat dan pikiran belum/tidak dikembangkan, masih konsumtif, belum/tidak kreatif).

Pengembangan alat dan pemikiran yang disebut ilmu pengetahuan, tidak bisa tidak harus menjadi sarana orang untuk mencapai kemakmuran hidupnya (diaktifkan, kreatif). Untuk hidup makmur manusia harus menguasai ilmu pengetahuan. Kalau tidak disaranai ilmu pengetahuan, ia hidup hanya dengan kemampuan kodratnya (konsumtif), ia tidak mungkin mencapai kemakmurannya pada hidup duniawi yang ilmu pengetahuan sudah menjadi sarana umum menurut perubahan zamannya. Ilmu pengetahuan harus dikuasai oleh manusia untuk mencapai kemakmuran hidupnya pada zamannya. Di mana bisa memperoleh ilmu pengetahuan? Bisa dari pengalaman, bisa berguru dari orang yang punya ilmu pengetahuan. Tetapi perkembangan alat dan pemikiran manusia dari zaman ke zaman, semuanya sudah direkam dalam buku. Jadi orang bisa memperoleh ilmu pengetahuan tentang alat (perkembangan teknologi) dan pemikiran zamannya dengan membaca buku. Dengan membaca buku, orang akan memperoleh ilmu pengetahuan (sarana memudahkan pencapaian kemakmuran hidup) lebih dalam dan handal daripada hanya berguru kepada orang lain. Sebanyak guru yang ditemui secara fisik dan indrawi untuk memperoleh ilmu pengetahuannya, masih akan kalah baik kuantitas maupun kualitasnya dari orang menyerap ilmu pengetahuan dari membaca buku, sebab buku bisa diperoleh banyak sekali dan ditulis oleh para ahli yang kedalaman ilmunya benar-benar bisa dikaji. Dengan kata lain, orang yang berjuang mencapai kemakmuran hidupnya dengan hanya mengandalkan kodrat adalah primitif (konsumtif), yang disaranai dengan membaca buku (berarti mengikuti perkembangan perolehan ilmu pengetahuan dari zaman ke zaman) adalah modern (konsumtif dan kreatif).

Orang hidup supaya mapan mengikuti perubahan zamannya, selain dengan kemampuan kodratnya, harus disertai penguasaan ilmu pengetahuan. Misalnya ilmu pengetahuan pertanian bagi petani, ilmu pengetahuan kesehatan bagi dokter. Kalau ilmu pengetahuan telah dikuasainya, maka orang bisa hidup mapan dengan ilmu pengetahuan sebagai profesinya. Kalau hidup tanpa menguasai ilmu pengetahuan apa-apa, bisa dipastikan orang tadi bodoh, miskin dan hidupnya sengsara, karena menjalani hidupnya (profesinya) hanya dengan kekuatan kodratnya (primitif)..

Di zaman modern (mutakhir ini) segala ilmu pengetahuan sudah direkam dalam buku. Ilmu pengetahuan apa saja, bisa dipelajari, akhirnya dikuasai dengan jalan membaca buku tentang ilmu pengetahuan itu. Sampai di mana pun kekuatan seseorang untuk menguasai ilmu pengetahuan bisa diambil dari membacai buku. Hal ini (kiat hidup modern = hidup dengan menguasai ilmu pengetahuan lewat membacai buku) sudah dimulai sejak Plato (428 – 347 SM) mendirikan Akademus, ketika Plato berusia 29 tahun menulis karya Socrates (gurunya yang telah tewas dihukum minum racun) Apologi, karya yang sebelumnya hanya diucapkan oleh Socrates. Sejak itu kalau orang mau hidup mapan makmur mengikuti zamannya (saya sebut hidup modern) harus disertai menguasai ilmu pengetahuan yang telah terekam dalam buku. Termasuk beragama, supaya mapan kukuh makmur, harus membaca kitab suci. Itulah awal kata akademis, orang yang menjalani hidupnya termasuk profesinya dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari membacai buku-buku.

 

Itu yang saya coba menerangkan kepada “wartawan” di Taman Flora itu.

Komentar si wartawan, “Sayang, anggaran untuk pendidikan belum memenuhi seperti bunyi UUD, sehingga sekolah di Indonesia masih terlalu susah.”

“Bukan itu persoalannya. Seperti UNAS dinargetkan mencapai 5,4 atau 6,0 sekalipun, tidak meningkatkan kecerdasan putra bangsa. Karena untuk menempuh UNAS putra bangsa tidak disaranai budaya membaca buku dan menulis buku. Menggarap UNAS meskipun bodoh bisa lulus kalau jawabannya tepat, dan ketepatan itu bisa ditolong orang lain (cari bocoran), karena putera bangsa tidak usah bisa membaca buku dan menulis buku. Mereka menggarap ujian dengan kekuatan kodratnya belaka, mendengarkan dan melihat guru di sekolah. Coba soal ujian tadi harus dengan menulis prosesnya hingga hasilnya, maka kebocoran atau pertolongan orang lain, tidak mungkin terjadi.

“Misalnya soal ujian penghabisan SMP pada zamanku. Saya lulus sekolah SMP 1950. Hari pertama ujian (Jumat, 11 Agustus 1950, jam 8 – 10) mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang diujikan: Mengarang. Yang jadi judul karangan boleh pilih satu dari lima judul, yakni: 1. Mengenangkan temanku yang gugur, 2. Belajar dan berjuang, 3. Kitab yang indah, 4. Tanah airku Indonesia, 5. Berani karena benar. Apa bisa guru atau joki menolong saya dengan SMS atau krepekan hasil jawaban? Dengan catatan, kalau Bahasa Indonesia (2 mata pelajaran ujian: Mengarang dan Pengetahuan Bahasa, yang diujikan Sabtu, 12 Agustus 1950 jam 9.30 – 11.) dapat nilai 4 mata ujian lain dapat 10 pun tidak lulus. Dari materi ini dapat disimpulkan bahwa seumur saya bersekolah, yakni sejak zaman Belanda (1938), zaman Jepang, zaman Perjuangan RI di pengungsian, sepanjang waktu sekolah itu saya dan teman seangkatan dibudayakan membaca buku dan menulis buku.”

“Jadi bagaimana pendapat Bapak agar pendidikan di Indonesia ini bisa mencerdaskan putera bangsa?”

“Ya putera bangsa harus dibudayakan membaca buku dan menulis buku. Sejak kapan, di mana? Sejak masuk sekolah, di sekolah.”

“Apa kalau putera bangsa bisa masuk sekolah 12 tahun gratis baru hal itu tercapai? Itu yang diperjuangkan bersama saat ini.”

“Persoalannya bukan itu. Persoalannya bersekolah di Indonesia keluar dari sistem. Bersekolah 12 tahun di Indonesia tidak dimanfaatkan agar putera bangsa berbudaya membaca buku dan menulis buku. Karena itu setelah lulus sekolah 12 tahun, mereka tidak hidup dengan kiat hidup modern, mencari ilmu pengetahuan untuk kiat hidupnya tidak sarana membaca buku dan menulis buku, hanya menggunakan kekuatan kodratnya (antara lain melihat dan mendengarkan, konsumtif), dan oleh karena itu hidupnya tetap bergantung kepada pertolongan orang lain, tidak mandiri. Bisa kita lihat dari sejarah bangsa setelah merdeka, karena hidup sebagian rakyat hanya mengandalkan kekuatan kodratnya saja, konsumtif, tidak kreatif, maka kekuatan berbangsa dan bernegara pun konsumtif, tergantung pertolongan bangsa lain. Tidak bisa hidup dengan kekuatan bangsa sendiri.”

“Jadi sebaiknya harus bagaimana?”

“Bersekolah 12 tahun dikembalikan kepada fitrahnya, yaitu ‘Bersekolah 12 tahun adalah sistem membudayakan anak manusia membaca buku dan menulis buku’. Yaitu sekolah adalah tempat menggembleng manusia primitif agar punya budaya membaca buku dan menulis buku. Karena membaca buku dan menulis buku adalah kiat hidup modern, mencapai kehidupan mapan makmur dengan disaranai penguasaan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itu apa saja sudah direkam dalam buku, maka untuk menguasai ilmu pengetahuan tadi tidak bisa lagi hanya dengan kekuatan kodratnya saja, melainkan harus sarana membaca buku dan menulis buku. Tanpa membaca buku dan menulis buku, sama saja dengan anak berumur 3 tahun menonton televisi, yaitu menjalani kehidupan zaman kini (modern) hanya dengan kekuatan kodrat indrawinya (melihat dan mendengar, primitif, konsumtif). Kalau bangsa 90% rakyatnya hidup konsumtif, ya pasti hidupnya tergantung melulu dari pertolongan bangsa lain. Apa lagi jumlahnya 200 juta lebih! Kesuburan tanahairpun akan habis dikonsumsi dalam beberapa tahun saja.”

“Kalau anggaran pendidikan telah memenuhi UUD dan anak Indonesia selama 12 tahun sekolah gratis, apa hal itu tidak memperbaiki taraf hidup bangsa Indonesia?”

“Kalau bersekolah 12 tahun tidak dikembalikan pada fitrahnya, siapapun menteri pendidikannya, siapa pun presidennya, bangsa Indonesia tetap mengalami keterpurukan sosial dan intelektual, tidak mungkin menyamai kemakmuran negara lain yang rakyatnya telah punya budaya membaca buku dan menulis buku. Meskipun bersekolah 12 tahun sesusah sekarang, tetapi bersekolah jadi sistem pembudayaan anak manusia membaca buku dan menulis buku, lulusan SMA pun akan memperoleh kemakmuran hidupnya (bisa berdiri sendiri tanpa tergantung pertolongan orang lain, menjalankan profesinya dengan ilmu yang didapat dari membaca buku dan menulis buku ~ meskipun bukan sastrawan/pengarang buku) karena bersarana ilmu pengetahuan yang dikuasainya (dari budayanya membaca buku dan menulis buku).”

Jangankan membaca buku dan menulis buku menjadi budaya bangsa, menjadi kiat kehidupan bangsa dalam mengarungi zaman modern, sekarang ini saja sekitar 4,5 juta jiwa penduduk Jatim berusia 15 tahun ke atas masih mengalami buta aksara, primitif. Antara buta aksara dengan berbudaya membaca buku dan menulis buku masih amat jauh, masih diperlukan 12 tahunan secara intensip diajarkan, dilatih, ditradisikan berkelanjutan untuk berbudaya membaca buku dan menulis buku. Saya prihatin. Harus diakui bahwa realitas kelompok buta aksara adalah cenderung miskin, bodoh, dan terbelakang. Mereka juga rendah untuk berpikir maju, sulit menghadapi tantangan dan perubahan, serta sulit menerima informasi pembaharuan (adopsi-inovasi), termasuk partisipasi pembangunan (Edy Firmansyah, Jawa Pos 19 Mei 2008).

Cucuku, Yafi Nabil Pradibta, bulan Juli tahun 2008 ini dari TK akan masuk ke SD Mohamadiyah IV Pucang Surabaya. Untuk itu bulan lalu dites kriterianya masuk ke sekolah tersebut, antara lain membaca. Lulus. Artinya Yafi tidak buta huruf. Namun untuk menempuh hidupnya mencapai kemakmurannya atau kesejahteraannya di kemudian hari, ia disaranai kiat membaca buku dan menulis buku atau tidak, masih harus kita nantikan 12 tahun prosesnya membudayakan di sekolah itu. Kalau pengajaran mencari ilmu pengetahuan di sekolah masih seperti sekarang ini, bersekolah bukan sistem membudayakan anak manusia membaca buku dan menulis buku, maka Jafi (kalau tidak dipengaruhi kemauan otodidak) akan menjadi warga negara yang primitif-konsumtif, mencari sandang pangannya tidak dengan kiat membaca buku dan menulis buku. Dia akan bersemangat hidup hanya dengan mengandalkan kodrat indrawinya. Akan sulit diajak bersama membangun bangsa, dan kalau pemimpin negara tidak sesuai dengan emosi perkembangan kodratnya, ia dan kelompoknya (generasinya) akan justru menjegali kebijaksanaan pemimpin bangsa yang sedang mengatur negara. Nekrofilia.

Ah, semoga cucuku tidak demikian. Semoga bersekolah 12 tahun di Indonesia kembali pada fitrahnya, yaitu bersekolah adalah sistem membudayakan anak manusia membaca buku dan menulis buku. Itu sistem bersekolah di seluruh dunia, barangkali kecuali di Indonesia. Semoga pemimpin bangsa segera menyadari hal ini. Amin! Amin! Amin!

Posted by admin on Monday, June 9th, 2008. Filed under Article. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

1 Comment for “MEMBACA DAN MENULIS ITU BUKAN KODRAT”

  1. Tulisan bapak benar-benar menggetarkan hati. Bagaimana mungkin saya baru mengenal sosok seperti bapak pada tahun-tahun belakangan ini saja (meski itupun tidak saya sesali karena saya bisa belajar banyak dari bapak melalui buku-buku).

    Semestinya tulisan ini dibaca dan diresapi oleh banyak orang. Jika dia pejabat dibidang pendidikan, mestilah hatinya tergerak untuk merealisasikan ide ini. Jika yang membaca bukan dari kalangan pejabat / pemerintahan seperti saya, artikel ini memberikan ide membangun bangsa dengan cara mendorong generasi muda membaca buku.

    Kita kan tidak perlu jadi pejabat dulu, atau harus tergantung pada pemerintah dulu untuk mau merealisasikan ide ini. Kita bisa mulai dari adik dan kakak, dari keluarga, dari teman dan dari lingkungan sekitar.

    Mudah-mudahan saya bisa menjadi salah satu pembaca yang merealisasikan visi dan ide bapak ini.

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*