LKBN ANTARA DAN RRI
Hari Jumat 30 Mei 2008 jam 0900 saya terima telepon dari Sdr. Uki, wartawan LKBN Antara Jl. Kombes Pol Duryat 41A Surabaya.
Semula dia mendapat undangan dari Bonari untuk bercangkrukan dengan PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) dan Dr. George Quinn (dari
Australia) di Balai Bahasa Surabaya (alamat Buduran Sidoarjo) tgl. 2 Juni 2008 jam 1900. Uki diberitahu Bonari bahwa George Quinn juga berkunjung ke rumah saya (Jl. Rungkut Asri Surabaya). Uki tanya kepadaku, siapakah George Quinn?
Dr. George Quinn lahir di Tekuiti, Selandia Baru, 22 Juli 1943, tamat Wellington College (SMA) 1961; M.A di Victoria University of Wellington, 1965; B.A di Universitas Gadjah Mada, 1973. Taun-taun 1967-1970 jadi dosen (bahasa Inggris) di Universitas/IKIP Setya Wacana, Salatiga. Tahun 1971-1973 dosen bahasa Inggris (part-tame) di Universitas Gadjah Mada. Tahun 1974-1980 dosen muda di Universitas Sydney, berlanjut jadi dosen di Universitas
Sydney 1981-1984.
Tahun 1984 ketika PSJB (Pamardi Sastra Jawi Bojonegoro) Bojonegoro menyelenggarakan Sarasehan Jatidiri Sastra Daerah yang membicarakan keadaan bahasa-bahasa daerah-daerah Indonesia seperti bahasa Batak, Minangkabau, Melayu, Sunda, Bali dan Jawa, George Quinn juga diundang dan datang. Beliau berceramah tentang Romantisme Sebagai Unsur Pokok Dalam Jatidiri Novel Jawa.
Sudah beberapa lama George Quinn tidak berkabar dengan sastra Jawa. Baru beberapa minggu lalu saya dapat email dari beliau bahwa nanti pada hari Minggu 1 Juni 2008 beliau bertamu ke rumah saya. Dan menurut Bonari, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, tanggal 2 Juni 2008 jam 1900 PPSJS bersama George Quinn cangkruk di Balai Bahasa Surabaya. Dari emailnya alamat beliau sekarang Head, Southeast Asia Centre, Faculty of Asian Studies, College of Asia and the Pacific Australian National University, Canberra ACT 0200, Australia.
“Keperluannya dengan Pak Parto apa?” tanya Uki di telepon.
Beliau hanya tanya buku-buku saya yang terbit baru apa. Untuk itu saya sudah menyiapkan beberapa buku saya untuk beliau.
“Buku baru Pak Parto apa saja?”
Saya sibuk menyiapkan roman-roman bahasa Jawa yang pernah saya tulis untuk saya siapkan diterbitkan menjadi buku. Untuk tahun 2008 ini saya siapkan roman-roman detektip Handaka saya, yaitu Kunarpa Tan Bisa Kandha (Mayat toh tidak bisa bicara); Garuda Putih (nama penjahat); dan Tretes Tintrim (
Kota Tretes yang sunyi). Masing-masing pernah dimuat di majalah bahasa Jawa Jaya Baya 1992, Panjebar Semangat 1974, dan Jaya Baya 1964.
“Mengapa selalu bahasa Jawa?”
Karena saya ingin roman bahasa Jawa juga jadi bacaan masyarakat, sehingga sastra Jawa tetap eksis. Saya pilihkan cerita detektip sebab pada sastra Jawa cerita detektip punya keunikan lain, tidak romantisme sebagai unsur pokok. Sebenarnya saya juga ingin menerbitkan cerita saya yang bukan detektip, dan juga karangan baru (dimuat majalah bahasa Jawa 2006) tetapi karena untuk menerbitkan buku-buku bahasa Jawa tetap masih harus keluar uang (belum menguntungkan secara komersial) maka penerbitannya harus disesuaikan dengan keuangan saya pribadi dulu.
Uki menghaturkan terima kasih dan telepon diputus.
Siang harinya, jam 11.30, ada tamu dari RRI Surabaya, Ani dan Benny.
Mereka saya temui di kamar saya. Mereka bertanya khusus mengenai Bung Tomo. Kata seorang profesor (mereka lupa namanya) saya adalah teman Bung Tomo, karena itu dalam rangka menyambut hari jadi Kota Surabaya ke 715, RRI Surabaya memerlukan menyiarkan nama-nama yang pernah berjuang untuk Surabaya. Pertanyaan berupa wawancara (direkam) mereka menanyakan mengapa Bung Tomo sampai sekarang tidak diakui sebagai Pahlawan Nasional? Saya disuruh bercerita tentang Bung Tomo.
Saya bukan teman Bung Tomo. Ketika Bung Tomo berapi-api untuk mengobarkan semangat Arek-arek Surabaya melawan Pasukan Inggris (Surabaya diduduki tentara Inggris dan NICA Oktober 1945 yang berlanjut dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby dan yang berlanjut lagi dengan gempuran pasukan Inggris oleh Majen Mansergh sejak 10 November 1945) saya masih berumur 12 tahun, masih bocah, dan lari mengungsi bersama Ibu dan Kakak saya ke Probolinggo. Di Probolinggo, pertempuran Surabaya terus berlanjut, pidato Bung Tomo jadi pedoman kekuatan Arek-arek Surabaya lewat Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya. Jadi saat itu yang kutahu tentang Bung Tomo ya pidatonya yang menggeledek, bersiaran tiap magerip.
Kemudian tahun 1987 saya mendapat tugas menulis buku Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya oleh Kertua DPRD Jawa Timur, Blegoh Soemarto. Penulisan bersama Drs. Aminuddin Kasdi (sekarang Prof. DR.) dan Drs. Soedjijo. Di situ saya baru tahu apa peranan Bung Tomo. Dari wartawan Kantor Berita Domei (Kantor Berita Jepang) yang letaknya dekat dengan kantor surat kabar Suara Asia, Bung Tomo salah seorang yang menerima berita tentang Proklamasi Kemerdekaan RI beberapa jam setelah proklamasi 17 Agustus 1945, yang dikirim (oleh Domei) dari Jakarta. Setelah menerima berita itu, berita diteruskan ke suratkabar Suara Asia (terbit sore) untuk diberitakan di suratkabar. Tapi disensor oleh redaktur Jepang dan tidak dimuat. Bung Tomo dan teman-temannya menyiarkan berita itu ke masyarakat Surabaya. Sejak itu Bung Tomo mulai berjuang untuk merdeka. Berita tentang merdeka beredar di masyarakat
Surabaya, suasana berubah. Kantor berita Domei tutup, Bung Tomo beserta beberapa kawannya (antara lain Tuty Azis yang kemudian mendirikan suratkabar Surabaya Post bersama suaminya) ikut mendirikan kantor berita Berita Indonesia Antara yang kantornya di Tunjungan 100 (di depan Oranye Hotel). Ketika peristiwa 19 September 1945 orang-orang Belanda yang bebas dari interniran berhimpun di Oranye Hotel, mereka menaikkan bendera Belanda Merah Putih Biru, rakyat Surabaya mulai bergolak untuk menurunkannya. Di situ Bung Tomo mulai berkiprah, berteriak di atas atap kantornya, memberikan semangat kepada rakyat
Surabaya untuk menurunkan bendera Belanda tadi. Selesai peristiwa penyobekan warna biru dari bendera Belanda, Bung Tomo masih di atas atap kantornya meminta rakyat menyanyikan lagu Indonesia Raya dipimpin olehnya. Begitu selanjutnya saya baca riwayatnya (ada buku tulisan Bung Tomo) untuk kami susun dalam buku Pertempuran 10 November 1945. Bung Tomo juga mendirikan Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya di jalan Mawar 10. Radio tadi berjasa besar ketika terjadi pertempuran tiga hari antara Pasukan Inggris pimpinan Brigjen Mallaby dengan rakyat
Surabaya (tanggal 28-29-30 Oktober 1945). Pasukan Inggris mulai masuk Kota Surabaya 25 Oktober, menduduki tempat-tempat strategis di
kota. Tugas yang sebenarnya sebagai pemenang Perang Dunia II, pasukan Mallaby datang ke Surabaya untuk mengangkut para tawanan perang (orang asing yang ditawan Jepang selama perang) dikembalikan ke negerinya dan sekalian mengangkut tentara Jepang yang sudah takluk. Tapi rakyat
Surabaya yang baru merdeka, tidak mau begitu saja menerima mereka, apalagi tanpa seizin, tidak berunding dulu dengan pejabat pemerintahan di
Surabaya. Tetapi pasukan Inggris ketika itu menganggap pemerintahan sedang masa peralihan, vakum, kemerdekaan RI tidak dianggap. Mantan Daidan-tjo Peta (Peta = Barisan Pembela Tanah Air semacam kursus ketenteraan tingkat perwira zaman Jepang dengan tujuan menghasilkan perwira tentara pribumi di tempat asal masing-masing untuk mempertahankan tanahair bila musuh menyerang daerahnya) Drg. Mustopo yang waktu itu jadi Pemimpin TKR (sebelumnya bernama BKR = Badan Keamanan Rakyat, tetapi sejak 1 Oktober 1945 menjadi TKR = Tentara Keamanan Rakyat, tentara resmi RI) Provinsi Jatim, dengan menggebu melarang pasukan Inggris mendarat di Surabaya. Tanggal 24 Oktober sebelum pasukan Mallaby mendarat, kesibukan turun dari kapal-kapal perang telah tampak di Ujung, Tanjungperak, Drg. Mustopo mengendarai mobil berkeliling
kota sambil berteriak-teriak, “Inggris jangan mendarat! Inggris, NICA jangan mendarat! Kamu orang terpelajar, tahu tata krama! Jangan mendarat!”. Tetapi ketika pertempuran antara rakyat Surabaya dengan pasukan Inggris yang menduduki tempat-tempat strategis di kota dimulai (tgl 28) Mustopa membuat barisan pertahanan berlapis di sekitar luar kota Surabaya (Sidoarjo-Mojokerto-Gresik), di Mojokerto rombongannya ditangkap dan sandera oleh Sabarudin (tentang Sabarudin, kalau ada waktu akan saya tulis cerita singkatnya), baru diantar oleh Sabarudin ke Surabaya menghadap Presiden Sukarno pada tanggal 30 Oktober ketika Bung Karno dan rombongan didatangkan dari Jakarta untuk mengakhiri pertempuran di Surabaya. Selanjutnya Mustopo yang mengaku sebagai Menteri Pertahanan, oleh Bung Hatta disebut sebagai pemicu pertempuran yang mestinya tidak perlu terjadi, hari itu dipecat oleh Bung Karno langsung dipensiun. Sebagai menteri pertahanan untuk sementara dijabat oleh Sukarno sendiri. Kedatangan Presiden Sukarno dan rombongan ke
Surabaya untuk mengadakan gencatan senjata pertempuran antara rakyat Suraby dengan pasukan Inggris pimpinan Mallaby. Selanjutnya Mustopo tidak ikut bertempur di
Surabaya pada pertempuran November dan seterusnya.
Setelah pertempuran berjalan dua hari (tanggal 28 dan 29), terlihat pasukan Inggris yang menduduki tempat strategis di kota, tidak dapat bergerak apa-apa karena dikerubungi rakyat
Surabaya. Mereka tidak bisa bergerak keluar dari gedung bangunan yang diduduki (misalnya Gedung Radio Surabaya di Simpang), setelah dua hari tidak ada air, amunisi habis, minta drop-dropan dari udara juga tidak mungkin, akhirnya gedung RRI yang didepannya tingkat dua dan tingkat atas digunakan oleh pasukan Inggris menembaki rakyat yang mengepung gedung, akhirnya tingkat bawah dibakar oleh rakyat, maka tentara Inggris di situ lari semburat keluar dan ditangkapi oleh rakyat dan dibunuh (karena mereka juga sudah banyak membunuh, menembaki rakyat dari tingkat dua gedung). Hal seperti itu juga terjadi di tempat-tempat yang diduduki oleh pasukan Inggris lainnya dalam
kota
Surabaya. Tidak bisa keluar dari tempat mencari bantuan, karena dikepung oleh rakyat. Melihat keadaan itu Mallaby cari solusi untuk menghentikan pertempuran. Yang bisa memerintah rakyat
Surabaya hanya pemimpin
Indonesia yang punya kewibawaan besar. Yaitu Bung Karno dan Bung Hatta. Meskipun mereka belum diakui oleh dunia International sebagai Presiden negara merdeka (termasuk belum diakui oleh Inggris), mereka didatangkan ke
Surabaya pada 29 Oktober 1945. Disepakati mengumumkan gencatan senjata. Diumumkan lewat mana? Lewat RRI tidak mungkin karena Studio RRI Simpang sudah dibakar. Yang ada adalah Radio Pemberontakan Rakyat Surabaya punya Bung Tomo di Jalan Mawar 10. Maka pengumuman gencatan senjata oleh Bung Karno dan Mallaby diudarakan di situ. Namun, dengan radio kurang efektip, karena orang yang punya radio di Surabaya hanya sedikit, ada radio umum (peninggalan Jepang) tetapi selama pertempuran dengan Inggris 2 hari listrik (yang abunemen listrik juga sedikit) dimatikan. Radio tidak bisa disetel di
Surabaya. Keesokan harinya, siang hari 30 Oktober diadakan perundingan antara pihak Indonesia dipimpin Bung Karno, dan pihak Inggris dipimpin oleh Mayor Jendral D.C.Hawthorn (panglima pasukan Inggris di Indonesia, berkedudukan di Jakarta), dibentuk Kontak Biro (biro kerja sama mengendalikan keadaan, terutama tugas pasukan Inggris mengangkut para tawanan asing dan orang Jepang yang takluk). Karena masih terdengar tembak-menembak permusuhan di kota (pengumuman genjatan senjata tidak efektip), maka pada sore hari tanggal 30 Oktober 1945 itu Kontak Biro dua belah pihak (setelah rombongan Bung Karno dan Hawthorn terbang kembali ke Jakarta) melakukan keliling ke tempat-tempat yang tentara Inggris masih dikurung dan aktip tembak-menembak. Perjalanan mereka (anggota Kontak Biro pihak Inggris dan Indonesia di Surabaya) berangkat dari Kantor Gubernur menuju ke Jembatan Merah. Di
sana (gedung Internatio) pasukan Inggris masih bercokol. Sebentar didamaikan (Mallaby menemui pemimpin pasukan Inggris di depan gedung), lalu dilanjutkan ke gedung lain. Rombongan sampai di ujung barat Jembatan Merah, terdengar letusan senapan dari gedung Internatio lagi. Pihak Inggris mengutus Kapten Shaw untuk kembali memasuki gedung, bicara dengan pemimpin pasukannya, diiringi pihak Indonesia R.Muhammad Mangundiprojo (TKR, mantan Daidan-Tjo Sidoarjo) serta TD.Kundan (warga India di Surabaya) sebagai penterjemah. Sepuluh menit para utusan masuk gedung, maka tembakan bertubi terdengar dari gedung. Para pemimpin
Indonesia yang menunggu di ujung barat Jembatan Merah buyar menyelamatkan diri. Dan di situ pagi harinya ditemukan Brigjen Mallaby tewas di mobilnya.
(Maaf, cerita ini saya uraikan luar kepala direkam oleh Benny, wartawan RRI, dan saya ketik ulang di sini juga luar kepala).
“Mengapa Bung Tomo tidak diakui sebagai pahlawan nasional? Apa pendapat bapak? Apa kira-kira setelah merdeka Bung Tomo tidak setuju dengan
Presiden RI?” tanya Ani memutus cerita saya.
Ya. Saya bukan pemerintah. Kurang tahu alasannya. Tetapi menurut apa yang saya saksikan, waktu hebatnya pertempuran Surabaya, Bung Tomo adalah mesin penggerak rakyat
Surabaya dalam bertempur melawan Inggris. Radionya bergemuruh tiap magerip sampai senja menyemangati rakyat
Indonesia (sampai di Jawa Barat juga) untuk bertempur di
Surabaya melawan pasukan Mansergh (Inggris). Seperti diketahui, pertempuran di
Surabaya berakhir bulan Desember 1945. Pemerintah maupun rakyat
Surabaya keluar dari
Surabaya. Kota Surabaya diduduki pasukan Inggris, kemudian kekuasaan pemerintahan diberikan kepada Belanda (www.supartobrata.blogspot.com: Radio Suara Surabaya). Setelah pertempuran di
Surabaya itu Bung Tomo tidak terdengar lagi suaranya. Bahkan ketika Perang Kemerdekaan I dan II di wilayah luar
Surabaya ramai berkecamuk (tahun 1946 – 1949) tidak terdengar lagi kegiatannya.
Ada ucapannya yang tidak terbukti, misalnya saat pertempuran
Surabaya sedang berkecamuk, Bung Tomo bilang tidak akan kawin sebelum Indonesia Merdeka 100%. Tapi menikah sebelum merdeka 100%. Hal itu mengurangi kepopulerannya. Meskipun Biro Perjuangan Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia pimpinan Bung Tomo (boleh punya pasukan dan senjata) tetap ada, tetapi tidak militan seperti PKI, Pesindo, FDR. Dan setelah pemulihan kedaulatan RI 1949, suara Bung Tomo semakin tenggelam.
“Mengapa demikian? Apa bapak punya pendapat?”
Bagi saya, pertempuran Surabaya itu suatu moment di mana rakyat
Indonesia menjadi edan. Para pemimpin bangsa di daerah, rakyat di seluruh Indonesia, sama bergairah menuju ke Surabaya untuk bertempur melawan penjajahan, baik Inggris yang menapakkan kakinya di Surabaya, maupun Belanda yang dengan tersamar mau menjajah lagi Indonesia. Orang-orang di
Surabaya seperti edan semua, berani kurban nyawa untuk mengusir penjajah tanpa pikir panjang,
bondha nekat (Bonek). Lihat saja orang-orang PRI di Balai Pemuda (antara lain Soemarsono, yang kemudian mengumumkan berdirinya Negara Komunis di Madiun 1948), Bung Tomo, Mustopo, Muhammad Mangundiprojo, RMTA Soerio, Dul Arnowo. Keputusannya dan tindakannya
edan-edanan, betul-betul bandha nekat. Bung Tomo waktu itu bisa berpidato dengan menggeledek. Mustofa waktu itu (tanggal 24 Oktober 1945) berkeliling
kota mengendari mobil berteriak-teriak menggunakan megafon:
“Nica, Inggris, jangan mendarat! Kamu orang terpelajar! Tahu tatakrama. Jangan mendarat! Jangan mendarat!” Ketika akhirnya berpidato di RRI yang diucapkan juga hanya itu. Pidatonya untuk siapa, tetapi bagaimana juga pidato itu membakar hati rakyat
Surabaya yang mendengarkannya untuk melawan tentara Inggris yang mau mendarat tanpa izin pemimpin pemerintahan
Surabaya (apa orang Inggris mendengar seruan tersebut?).
“Lalu, apa bapak setuju bahwa Bung Tomo memang tidak diakui sebagai pahlawan nasional?”
Bagi saya, beliau tidak diakui sebagai pahlawan nasional tidak mengapa. Tetapi bagi Surabaya, beliau itu pahlawan
Surabaya. Biar di
kota lain tidak ada jalan Bung Tomo, tetapi sebagai penghormatan terhadap beliau, di Surabaya harus ada gedung, atau supermarket, atau nama Jalan Bung Tomo. Saya kira itu lebih menghormati daripada nama seperti (maaf) BGJunktion. Memang Walikota mau membuat stadion di barat
kota bernama Stadion Bung Tomo. Tapi masih cita-cita. Bagi saya lebih baik ada nama Jalan Bung Tomo dulu, tapi jalan itu jangan disembunyikan, harus tempat yang strategis. Saya pernah mengusulkan Jalan Indrapura dinamakan Jalan Bung Tomo. Mengapa? Di situ pada 9 November 1945 termasuk tempat rakyat
Surabaya yang pegang senjata harus menyerahkan senjatanya kepada Pasukan Inggris dalam ultimatum Manserg (di antara Masjid dan rel keretaapi). Sekarang jalan itu jadi urat nadi
kota (lama). Dan lagi sekarang di situ ada bangunan Gedung DPRD Jawa Timur. Ya gedung itu saja dinamakan Gedung Bung Tomo sekalian, yang terletak di Jalan Bung Tomo.
“Bapak pernah mengusulkan begitu?”
Pernah saya usulkan, tetapi oleh Cak Kadaruslan (Ketua Pusura, beliau lebih tahu tentang keluarga Bung Tomo daripada saya) tentang Bung Tomo tidak usah dijadikan nama jalan. Katanya sudah ada komitmen dengan pihak keluarga.
“Adakah barang atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Bung Tomo berjuang di
Surabaya? Selain Gedung Pers di Jalan Tunjungan 100?”
Bagi saya tanda yang paling jelas adalah buku. Beliau menulis buku 10 November (diterbitkan Balapan Jakarta 1950). Juga bisa dilihat dari buku Pak Ruslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya (Yayasan Idayu, Jakarta 1964), Barlan Setiadidjaja, Merdeka atau Mati di Surabaya 1945, Nugroho Notosusanto Pertempuran Surabaya (mutiara Sumber Widya, Jakarta 1984), dan lain-lain beserta foto-fotonya yang Bung Tomo kelihatan. Bacai buku-buku itu, maka perjuangan Bung Tomo bisa ketahuan. Kalau gedung, ya Jalan Mawar 10 (tempat Radio Pembrontakan Rakyat Surabaya) dan Jalan Biliton 7 tempat Markas Barisan Pemberontakan Rakyat
Indonesia pimpinan Bung Tomo.
Ada lagi lagu pembuka dan penutup pidatonya Bung Tomo setiap kali bersiaran. Judul lagu kalau tidak salah
Tiger Shark. Jadi untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November 1945, di Surabaya harus paling hebat. Saya usulkan lagu
Tiger Shark terus-menerus diputar didengungkan selama perayaan. Syukur ada disertai
tape recorder suara pidato Bung Tomo. Kalau tidak ada ya mbok direkayasa menirukan hal itu, teknik rekayasa sekarang
kan memungkinkan. Itu semua sebagai penghormatan kita terhadap Bung Tomo. Bung Tomo, mungkin tidak diakui oleh pemerintah nasional, tetapi Bung Tomo sudah pasti Pahlawan Kota Surabaya, dari awal Indonesia merdeka hingga habisnya Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Bung Tomo meninggal dunia di Saudi Arabia ketika naik haji. Pemerintah
Saudi Arabia saja menghormati, kok, mengirimkan jenazah beliau ke
Indonesia (
Surabaya). Masa Arek Surabaya yang sekarang hidup kepenak (dan berkuasa) di
Surabaya tidak menghormati? Karena tidak tahu sejarahnya?
Harap dimaklumi, peristiwa 10 November 1945 di Surabaya adalah peristiwa monumental, peristiwa pertama kalinya pemberontakan rakyat negara jajahan melawan bersenjata terhadap penjajah kolonial Eropa yang berhasil memerdekakan negara. Kalau tidak ada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, mungkin kemerdekaan RI ini bukan karena direbut dengan pertumpahan darah, melainkan mendapat hadiah dari negara yang menjajah. Makna kepahlawanannya lain. Kemudian peristiwa itu ditiru oleh bangsa-bangsa
Asia dan Afrika, merebut kemerdekaan negaranya dengan perlawanan rakyat bersenjata. Peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabayalah yang pertama, rakyat negeri terjajah berontak melawan penjajah dengan senjata dan berhasil.
“
Ada unek-unek bapak yang lain yang kurang memuaskan dengan peranan Bung Tomo pada peristiwa 10 November 1945?”
Ya. Sayang sekali peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, termasuk peranan Bung Tomo seperti itu, kurang dipahami oleh generasi-generasi sesudahnya, termasuk generasi sekarang. Banyak orang berhasil mendapatkan kemakmuran hidupnya di Surabaya, tetapi tidak mengetahui kisah-kisah tentang sejarah kota, sehingga tindakannya atau kekuasaannya seringkali justru menghancurkan situs-situs sejarah
kota. Sehingga sejarah
kota tidak dijadikan pembelajaran atau kejiwaan untuk membangun
kota masa depan. Untuk mengetahui sejarah
kota, sekarang ini paling jelas adalah membaca buku sejarah
kota. Sayangnya buku sejarah
kota Surabaya (meskipun di
Surabaya ada Fakultas Sastra dan Sejarah) kurang sekali. Dan minat baca buku orang
Indonesia juga sangat rendah, sehingga banyak mempelajari sejarah
kota hanya dari melihat, mendengar dan mengalami sendiri (kodrat indrawi) bukan dari cara modern (membaca buku). Menulis sejarah pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya saja saya kira terakhir buku saya,
Pertempuran 10 November 1945, yang diterbitkan 1986. Tidak ada lagi yang meneliti dan menerbitkan bukunya. Pada hal di negeri lain, buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya itu juga telah ditulis oleh bangsa-bangsa lain, terutama mereka yang mengalami peristiwa itu di Surabaya. Misalnya buku tulisan Laksamana Muda Laut Shibata Yaichiro. (Maaf, saya lupa judulnya yang dalam bahasa Inggris, kalau tidak salah
Memoire of Shibata Yaichiro). Shibata menceritakan secara rinci bagaimana perebutan kekuasaan yang dilakukan TKR pimpinan Sungkono, merebut Markas Angkatan Laut (Kaigun) di Gubeng Pojok pada tanggal 2 Oktober 1945, yang banyak memakan kurban dari pihak
Indonesia (terburuk ke-2 perebutan kekuasaan, yang pertama perebutan kekuasaan di Gedung Kenpeitai (sekarang Tugu Pahlawan). Ini saya kutipkan sedikit memoirenya seperti yang ditulis oleh W. Meelhuijsen:
“When I received the Imperial Proclamation accepting the Potsdam Declaration, at midday on 15 Augustus, I quietly shed a few tears.It was the first crushing defeat of the Japanese Empire, since its foundation, and it caused me to be overcome by a flood of inexplicable emotions. (Shibata Yaichiro).
Juga buku tulisan dari pihak Inggris, misalnya G.R.Stevens: The 9th Gurkha Rifles, Anthony Brett James: Ball of Fire, J.G.A.Parrott: Who killed Brigadier Mallaby?
Penerbitan buku tentang peristiwa 10 November 1945 di Surabaya di Negeri Belanda lebih hebat lagi. Tiap kali ada yang menulis jadi buku. Contohnya, buku Macaber Soerabaja 1945, de werfstraatgevangenis, tulisan-tulisan pengalaman di
Surabaya 1945 dikumpulkan oleh Richard L. Klaessen. Klaessen sendiri adalah orang Belanda yang lolos dari kematiannya sebagai tawanan di penjara Kalisosok, Hidup di Surabaya ketika
Surabaya diduduki oleh tentara Inggris, lalu ikut perang menyerbu daerah Republik 1947. Setelah hidup di Negeri Belanda, ia pasang iklan kepada siapapun mereka yang hidup tahun 1945 di Surabaya anggar menulis pengalamannya dan dikirimkan kepadanya untuk diterbitkan jadi buku. Maka terkumpul sampai 26 Juni 1990, lalu diterbitkan jadi buku. Kumpulan tulisan itu ada yang ditulis dengan tangan, mesin ketik, ada yang bahasa Belanda, bahasa Inggris, dari segala tempat misalnya Australia, Amerika, Inggris, di Belanda sendiri. Yang ditulis bermacam-macam kahidupan waktu itu di
Surabaya. Dan Klaessen sendiri juga sacara tlaten mengumpulkan dokumen-dokumen resmi, foto-foto, berita-berita koran atau majalah yang beredar sejak zaman Jepang hingga zaman perang 1945 di
Surabaya. Dan juga menulis sendiri tentang sejarah pengalaman singkat orang di Surabaya tahun-tahun 1583, 1595, 1596, 1602 dan seterusnya (sampai kira-kira 70 angka tahun peristiwa Surabaya yang dianggap penting), diakhiri tahun 1945:
Pada 14 Agustus 1945 Jepang takluk, serahterima, perjanjian Potsdam. Pada 17 Agustus 1945 Republik
Indonesia diproklamerkan oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Buku kumpulan itu diterbitkan lagi tahun 2004, tebalnya 304 halaman.
Tahun 2000, ada buku lagi terbit tentang petempuran 10 November 1945 di Surabaya. Oleh W. Meelhuijsen. Buku ini bahkan menjurus khusus tentang peristiwa 10 November 1945, judulnya Revolutie in Soerabaja, 7 agustus – 1 desember 1945. (ejaan bahasa Belanda terakhir, nama hari dan bulan tidak ditulis dengan huruf kapital). W. Meelhuisen lahir di Malang 1928, tahun 5 juli 1942 hingga 4 juni 1946 tinggal di Brantasstraat 5 (sekarang Jalan Irian Barat), sehingga bisa dengan awas memperhatikan kehidupan atau pergerakan hidup tentang revolusi di Surabaya sejak A sampai Z. Buku ini ditulis selain pengalamannya dan kesaksiannya sendiri secara indrawi maupun intelektual (baca buku) dengan referensi banyak sekali buku tulisan orang lain (termasuk tulisan saya Pertempuran 10 November 1945, terbitan 1986). Ditulis secara njlimet dan detil, urut dari peristiwa ke peristiwa, mulai dari Agustus 1945 (10 mata peristiwa ditambahi keterangan-keterangan dan gambar-gambar foto terperinci, misalnya peristiwa proklamasi, pemerintahan Indonesia, berita radio dan pamlet, aksi pengibaran bendera merah putih). Bulan September (10 mata peristiwa, misalnya Orang Belanda keluar dari tahanan, kedatangan RAPWI = panitya pengangkutan tawanan perang, memori Shibata Yaichiro, peristiwa bendera di Oranye Hotel), Bulan Oktober (14 mata peristiwa, misalnya perebutan kekuasaan terhadap Jepang, Surabaya setelah itu, awal revolusi, Senin berdarah, Bung Tomo tentang aksi di Kenpeitai, Radio Pembrontakan). Begitu seterusnya hingga buku ini berakhir pada halaman 304. Sebagai prakata ditulis oleh Prof. dr. H. Roeslan Abdulgani. Secara tersendiri pula juga didaftar pemeran-pemeran penting pada Revolusi Surabaya 1945 ini. Antara lain (dilengkapi dengan biografi singkatnya, lahir di mana, kapan, jabatannya apa): RMTA.Soerio, Doel Arnowo, Raden Soedirman, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Drg. Moestopo, Soetomo, Soengkono, Soemarsono.
Saya tahu di Negeri Belanda tentang sejarah 10 November 1945 di
Surabaya terus ditulis, ditulis lagi, oleh orang lain dengan orientasi pandang yang berbeda. Buku-buku tersebut diterbitkan tahun-tahun 2000-an. Bahkan tahun 2005 ada terbit buku yang judulnya
Bersiap! Yang mengisahkan seluruh daerah
Indonesia selagi Masa Bersiap. Teriakan
“Siaap!! Bersiaap!” yang artinya memperingatkan orang Indonesia melawan musuh terdengar pertama ya di Surabaya! Kemudian menjadi nama zaman.
Kalau buku tadi diterbitkan tahun 2000-an, tentu saja para mahasiswa atau bahkan anak SMA bangsa Belanda, bisa membacanya, dan mengetahui persis seperti cerita buku bagaimana peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya tadi. Sedangkan para pejabat
kota atau mereka yang berwenang di
Surabaya belum tentu bisa membayangkan bagaimana suasana
Surabaya pada waktu itu, sehingga mungkin sekali kebijaksanaan yang diambil justru tidak berjiwakan perjuangan Arek-arek
Surabaya waktu itu.
Misalnya tentang Bung Tomo. Ani dan Benny dari RRI Surabaya tidak tahu kisah tentang Bung Tomo, hingga mengajukan pertanyaan: Apakah benar Bung Tomo pernah berjuang di Surabaya? Apa bukti-buktinya. Dan mengapa tidak diakui sebagai pahlawan nasional? Apabila (misalnya saja) mereka membaca bukunya W. Meelhuijsen, tentu sudah mantep tahu bahwa Bung Tomo berjuang di Surabaya, wong terdaftar di pemeran-pemeran penting dalam Revolusi Surabaya 1945. Sebagai buku sejarah, ada didaftar nama-nama yang disebutkan dalam buku, misalnya nama Abdoelgani, bisa dilihat pada halaman 120-122. Abdoellah, 128, 221. Abdoellah (ex.KNIL) 234. Boeng Tomo (Soetomo), 26, 28, 40 ….(ada 70-an halaman yang memuat nama Bung Tomo). Itu mengalah jumlah halaman yang memuat nama Abdulgani, Roeslan (52 halaman), Arnowo, Doel (37 halaman), Moestopo (41 halaman). Dari jumlah halaman yang memuat nama Bung Tomo ini saja sudah jelas bahwa peranan Bung Tomo dalam Revolusi Surabaya 1945 menurut W. Meelhuijsen mantap, paling banyak namanya dimuat pada halaman-halaman buku itu..
Ketika Jalan Viaduct diganti nama Jalan Mustopo, saya lega, sebab kecuali Drg Mustopo pada zaman Jepang menjadi Daidan-tjo (jabatan tertinggi Peta) beliau juga jadi dosen Ika Daigaku (Perguruan Tinggi Kedokteran Gigi, yang tempatnya di jalan itu). Tetapi ketika nama Bung Tomo tidak dijadikan nama jalan yang strategis di
Surabaya, hati saya jadi tidak enak. Ditakar jasa perjuangannya Drg. Mustopo dengan Bung Tomo di Surabaya 1945, sangat jauh. Betul Mustopo menjadi pemicu pertempuran Arek-arek
Surabaya melawan pasukan Brigjen Mallaby yang menduduki gedung-gedung strategis di
kota, yang berakhir dengan kekalahan pasukan Mallaby. Tetapi waktu pertempuran 3 hari tadi (tgl. 28, 29, 30 Oktober 1945), Mustopo (bersama Wiwik Hidayat dan Sulaimanhadi ~ wartawan, dan Sudibio ~ mahasiswanya Moestopo) ditawan oleh Sabarudin di Mojokerto), dan selanjutnya dipensiun oleh Bung Karno tanggal 30 Oktober 1945. Moestopo tidak berperan lagi di
Surabaya. Jadi, pendapat saya, Jalan Mustopo tetap di
sana, dan Jalan Bung Tomo di Jalan Indrapura.
Ada lagi yang tidak mengenakkan hati saya, yaitu soal penerbitan buku-buku tentang 10 November 1945 di Surabaya oleh orang-orang Belanda yang terus-menerus ditulis lagi, ditulis lagi oleh orang lain. Meskipun yang ditulis adalah pengalaman nyata atau menurut penelitian, bahkan dengan gambar-gambar foto yang menyakinkan (misalnya gambar truk terbakar hangus di Sonokembang) tetapi harap diingat yang menulis adalah orang Belanda yang terluka, yang kalah dan kecewa pada akhirnya dari peristiwa 10 November 1945 itu. Tentu banyak kisah negatip (untuk bangsa
Indonesia) yang ditulisnya. Dan dengan ditulis dalam buku, cerita (negatif atau positif) bisa dibaca oleh mata dunia. Dari pembacaan buku tadilah mata dunia menilai apa kegiatan bangsa Indonesia di Surabaya tahun 1945. Kalau yang ditulis negatif, ya mata dunia menilai negatif. Misalnya apa sebabnya truk terbakar di Jalan Sonokembang itu? Semua buku yang saya baca terbitan orang Belanda ada kisah itu dan gambar itu. Buku W. Meelhuijsen tentang
De Bloedige Maandag (hal. 97). Tentu tidak enak didengarkan oleh Arek-arek
Surabaya sekarang. Tapi itu kenyataan. Saya sendiri mendapat cerita lisan dari Mas Wiwik Hidayat ketika menulis buku
Pertempuran 10 November 1945, tahun 1986 itu. Apakah peristiwa
De Bloedige Maandag akan kita tulis kemudian hari oleh bangsa
Indonesia? Atau tidak?
Oh, belum sampai pikiran yang begitu. Yang saya pikir masih, apakah generasi muda masih ada yang berminat meneliti dan menulis buku sejarah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya? Dengan tulisan-tulisannya dalam buku, setidaknya bisa menyanggah atau menjelaskan kepada mata dunia bagaimana cerita dan gambar truk terbakar di Jalan Sonokembang itu versi
Indonesia.
Oh, jangankan menulis. Membaca buku-bukunya (sejarah
Surabaya 1945) saja enggan. Lebih mudah dan praktis untuk mengetahui perjuangan Bung Tomo di Surabaya, ya tanya saja kepada orang yang tahu, seperti yang dilakukan Ani dan Benny ini.
Demikian keterangan saya kepada Sdr. Ani dan Benny dari RRI Surabaya di kamarku. Saya tulis lagi secara luar kepala, mudah-mudahan sesuai dengan keterangan saya. Setidaknya tulisan ini bisa menyumbang pengetahuan generasi sekarang tentang Bung Tomo, seperti yang ditanyakan oleh Ani dan Benny.

Posted by
admin
on Sunday, June 1st, 2008. Filed under
catatan.
You can follow any responses to this entry through the
RSS 2.0.
You can leave a response or trackback to this entry
wow…im kind of embarassed that i just wasted my time reading all these comments. this was and is definitely one of the greatest childrens shows of all time. hopefully it will continue to teach any child that has to be babysat by the television that everyone is equal and that letters and numbers rock.