HOUSE OF SAMPOERNA
Saya terima
Sebetulnya saya telah lama ingin sekali mengunjungi House of Sampoerna, bukan saja karena perubahan fungsi gedung itu, tetapi terutama karena banyaknya kenangan saya pada masa lalu saya sering berada di sekitar gedung tadi.
Situated in “old
Tahun 1950-an gedung tadi untuk bioskop, saya seringkali menonton ke situ. Sehari (seperti gedung bioskop lainnya di
Tahun 1952 – 1960 saya bekerja di Kantor Telegrap. Pegawai telegrap yang menerima dan menyampaikan berita telegrap lewat langganan telepon banyak nonik-nonik
Pergaulan akrab saya dengan orang-orang
Tahun 1960 – 1967 saya bekerja di Perusahaan Dagang Negara (PDN) Djaya Bhakti, mula-mula kantornya di Jalan Rajawali 54, kemudian pindah ke Jalan Penjara 21, di sebelah kiri Penjara Kalisosok. Waktu itu saya sudah menulis cerita-cerita dalam bahasa Jawa, dan berkenalan dengan Basuki Rachmat. Basuki Rachmat rumahnya di Dapuan, yaitu kampung di belakang kompleks Sampurna Theatre. Rumahnya kecil, dindingnya anyaman bambu, berdempetan dengan tetangganya. Namun saya, ketika istirahat kantor, seringkali bertamu ke situ (dari Jalan Penjara ke Dapuan dekat) sering sampai disuguh makan segala. Pergi ke Dapuan selalu melewati belakang kompleks Sampurna, meskipun saya tidak pernah melihat khusus dalamnya saya tahu kompleks itu untuk pabrik rokok.
Sejak saya menang lomba penulisan cerita sambung di Panjebar Semangat (saya pemenang pertama dengan cerita Kaum Republik, Basuki Rachmat pemenang ke tiga dengan cerita Candhikala) saya juga mengisi cerita di Jaya Baya (kantornya sama dengan Panjebar Semangat, dan lain-lain penerbitan pers, yaitu di Gedung Pers Nasional, Jalan Penghela 2 Surabaya) dan kenal dengan Pak Tadjib Ermadi (direktur/pendiri Jaya Baya) dan pemimpin redaksinya M. Radjien. Karena Pak Tadjib Ermadi tidak mau diajak memupuk kekayaan dengan adanya subsidi kertas untuk penerbitan pers dan buku dari pemerintah, maka M. Radjien mendirikan CV Warga, penerbitan buku sendiri (mendapat subsidi kertas), dan minta mundur dari jabatannya sebagai pemimpin redaksi Jaya Baya. M. Radjien menunjuk saya sebagai sulihnya, disetujui oleh Pak Tadjib. Tetapi karena penghasilan saya di PDN Djaya Bhakti cukup makmur, saya menolak, dan saya menganjurkan Basuki Rachmat menjadi pemimpin redaksi Jaya Baya. Disetujui. Saya tetap membantu menyiapkan teks, setsel handpres, dll. penyelenggaraan penerbitan majalah Jaya Baya.
Tahun 1962, para wartawan/seniman
Setelah peristiwa G30S/PKI 1965, Basuki Rachmat kembali menjadi pemimpin redaksi Jaya Baya. Oleh Totilawati Tjitrawasita (anggota redaksi Jaya Baya saat itu) Basuki Rachmat diperkenalkan dengan Pejabat Walikota Surabaya R. Soekotjo, menjadi penulis pidatonya. Sejak itu kecakapan Basuki Rachmat mengelola kesenian dan kebudayaan sangat menonjol, berpengaruh benar pada Bapak Walikota Surabaya, sehingga Pemda mengirimkan 4 lakon drama dari Surabaya ke TIM Jakarta, yang berlanjut dengan pembentukan Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972. Itu atas pengaruh besar Basuki Rachmat. Basuki Rachmat juga yang menciptakan semboyan Surabaya Kota Indamardi (Industri, Dagang, Marine dan Pendidikan).
Tahun 1967, karyawan PDN Djaya Bhakti harus masuk Soksi (embrio Golkar). Saya mengundurkan diri, dan ingin melulu menulis sebagai penghasilan utama. Ternyata tidak bisa hidup hanya dengan menulis. Maka 1969, oleh Basuki Rachmat saya dijadikan pengelola majalah Gapura, majalah resmi yang diterbitkan oleh Pemda Surabaya. Dan tentu saja juga bersama membangun penerbitan majalah Jaya Baya yang kami cintai. Atas hasil usaha kami (terutama Basuki Rachmat) majalah Jaya akhirnya bisa berkantor redaksi/administrasi di Embong Malang (pusat perbelanjaan), punya percetakan di Rungkut Industri, dan dibuka oleh Menteri Penerangan Harmoko. Meskipun bantuan saya dalam membangun majalah Jaya Baya besar, namun Basuki Rachmat melarang saya untuk menjadi ‘karyawan’ Jaya Baya. Dia lebih mendorong saya untuk menjadi pegawai negeri, alasannya karena mencari kehidupan di majalah Jaya Baya tidak menjamin kemakmuran kelestariannya. Yang selanjutnya saya menjadi pegawai Humas Kota Surabaya.
*
Sayang, undangan dari House of Sampoerna itu pada jam 18.00. Selama ini saya jarang sekali pergi keluar rumah malam hari, selain mata menjadi kurang awas, saya selalu ingin melakukan aktivitas saya seorang diri (tidak merepotkan orang lain). Pergi keluar rumah memenuhi undangan pada malam hari selain susah untuk mendapatkan kendaraan umum (mata tidak awas memilih kendaraan), atau harus mengganggu orang lain, minta diantar-jemput. Jadi, kalau minta diantar dan dijemput oleh anak atau menantu, harus mencari selanya mereka sedang sibuk atau tidak.
Tanggal 2 Mei 2008, siang hari saya terima telepon, menyebut namanya Amel, dari House of Sampoerna. Menanyakan apa saya sudah terima undangan. Sudah, dan karena undangan malam hari, mungkin saya tidak bisa hadir. Amel kelihatannya kecewa.
Merasa mengecewakan Amel, sejak itu keinginan saya memenuhi undangan ke House of Sampoerna jadi lebih bersemangat. Maka saya siasati, saya berangkat dari rumah jam 16.00. Naik angkutan
Sampai di museum masih sepi. Setelah bertanya-tanya, sambil menanti acara saya dipersilakan masuk museum (yang dulu Sampurna Theatre). Di
Saya terpikat sama koleksi bekas bungkus korek api. Bekas bungkus korek api seperti itu dengan gambar atau merknya masing-masing, dulu pernah saya koleksi juga. Ketika zaman Belanda, bungkusnya hanya satu macam, yaitu yang ada tulisannya PALMTREE, gambarnya pohon kelapa yang hijau, di tengah ada seorang kulit hitam legam memikul sesuatu. Konon kabarnya itu korek api import dari Swedia, dan pemerintah Hindia-Belanda biasanya memberi hak monopoli atau sangat terbatas macamnya untuk peredaran barang import begitu. Sebagai contoh, mesin jahit hanya merk Singer, barang elektronik hanya buatan Philips. Saya bergairah mengoleksi tempat korek api justru pada zaman Jepang. Membuat api pada zaman Jepang susah (karena bensin tidak ada maka korek api pakai bensin tidak ada lagi), tapi justru beredar korek api yang dikemas seperti Palmtree, tapi gambarnya beraneka warna. Antaranya banyak berkenaan dengan persenjataan perang saat itu. Misalnya gambar pesawat terbang, tank, kapal perang, bendera Hinomaru (bulatan merah). Bekas bungkus korek api yang saya koleksi pada zaman Jepang tidak ada diragakan di museum situ, sayang. Mungkin karena bukan produk Sampoerna.
Selain bungkus korek api, ada juga bermacam-macam bungkus rokok sigaret. Mungkin yang dikoleksi di situ hanya bungkus rokok yang pernah diproduksi oleh Sampoerna dan kerabatnya. Dan bungkus rokok sigaret seperti itupun mengingatkan saya pada zaman Jepang. Bungkus rokok sigaret zaman Jepang sangat populer bagi anak-anak sebaya saya, karena bungkus rokok tadi bisa dibuat mainan sebagai uang (kalau mengoleksi bungkus korek api tadi hanya saya pribadi, kalau bungkus rokok sigaret ini dikoleksi anak-anak pada umumnya). Seperti permainan monopoli menggunakan uang palsu, maka bungkus rokok zaman Jepang populer sekali bagi anak-anak sebagai uang pembayaran dalam permainan. Hanya ada 4 macam bungkus rokok sigaret (orang
Keempat bungkus rokok yang mengingatkan nostalgia saya pada zaman Jepang itu pun tidak ada dipamerkan atau diragakan di House of Sampoerna.
Tapi saya masih penasaran mencari lembar atau bungkus rokok yang diproduksi Sampoerna, yang juga pernah menjadi koleksi saya ketika saya masih kecil. Saya ingin bernostalgia dengan cap-cap atau gambar waktu itu. Ternyata juga tidak ada di
Tahun-tahun 1937-1939, ada rokok sigaret Djie Sam Soe yang bungkusnya kertas bening. Isinya mungkin 10 atau 12 batang, karena besarnya seperti produk-produk rokok zaman sekarang yang isinya sekian itu. Sebagai identitasnya bahwa itu Djie Sam Soe, dalamnya diseliti selembar kertas yang ada simbulnya seperti huruf H diceret tengahnya warna merah (Chinese character “Wang” means “King”). Waktu itu, saya dan teman-teman (saya klas satu SR) bersemangat sekali mencari bekas bungkus rokok itu. Karena di balik simbol Djie Sam Soe tadi terdapat gambar dua orang badut, yang bermain akrobat (zaman itu namanya standen), kedua orang tadi membentuk huruf. Misalnya dua orang tadi membentuk huruf S, huruf O, huruf E. Tiap lembar simbul Djie Sam Soe (dibaliknya) ada satu huruf. Kami anak-anak bersemangat mencari bekas tempat rokok Djie Sam Soe tadi, karena kata orang kalau pengumpulan huruf-huruf badut tadi bisa berbunyi Djie Sam Soe, maka si pengumpul akan dapat hadiah besar. Saya mencari bungkus rokok Djie Sam Soe tadi sampai di pasar-pasar hewan, tempat-tempat sampah tepi jalan, bahkan ibu saya yang tidak merokok Djie Sam Soe pun saya suruh beli rokok merk itu, perlunya untuk memburu gambar huruf pada badut di balik simbol Djie Sam Soe. Ternyata tidak pernah dapat lengkap. Yang paling banyak huruf S. Yang paling tidak ada huruf I dan J. Tapi saya pernah dapat huruf J, dan sangat senang sekali, saya kabarkan kepada teman-teman yang juga memburu bekas bungkus rokok Djie Sam Soe.
Soal memburu-buru gambar huruf pada bungkus rokok Djie Sam Soe yang saya alami itu, pernah saya tulis/singgung dalam novel saya Mencari Sarang Angin (PT Grasindo 2004). Yang mencari gambar huruf rokok itu Darwan, tokoh utama novel Mencari Sarang Angin, novel sejarah
*
Keinginan saya menggali kenangan dengan House of Sampoerna yang semula karena kenangan saya secara fisik sering mendatangi sekitar gedung tadi, ternyata menemukan yang lebih berarti dan aktual bagi saya (semoga bagi Anda juga). Yaitu ketika saya masuk museum.
Halaman sebelah kanan (halaman 15) terbaca artikel sebagai berikut: (saya ubah ejaan baru)
DARI BURUH ROKOK MENJADI RAJA ROKOK.
Pada hari Jumat tgl 10 Agustus telah meninggal dunia Tuan Liem Seeng Tee, raja rokok yang namanya tidak asing lagi, teristimewa di Jawa Timur.Tuan Liem, sesudah jadi buruh rokok sekian tahun lamanya, lalu memulai pabrik rokoknya yang besar, NV. Sampoerna dengan modal “gilingan” rokok dari kayu, dengan dua orang buruh, ialah Tuan Liem sendiri dan isterinya.
Itulah yang saya baca di lembar sebelah kanan, yang merupakan halaman dalam halaman 15. Sedang pada lembar sebelah kiri yang merupakan halaman depan atau sampul, terbaca berita seperti ini (saya ubah ejaan yang disempurnakan):
Pemandangan Dalam Negeri.
Maaf, hanya itu yang bisa saya kutip dan ada di
Selain kutipan di atas, pada halaman itu juga tertera gambar karikatur. Gambar tadi memperlihatkan rangkaian gerbong keretaapi yang ditarik lokomotip. Di lokomotip ada wajah: Ali Sastroamidjaya. Di luar gerbong ada “rakyat” yang berkata: “Lho sudah lewat 5 bulan kok belum kelihatan bergerak!”
Di bawah gambar (caption) tertulis: Setelah bekerja 5 bulan, apakah hasil yang dicapai oleh kabinet pertama setelah pemilihan umum?
Begitulah kesan sekilas kunjungan saya ke Museum House of Sampoerna. Merupakan kunjungan nostalgia tetapi juga menggugat pemikiran untuk masa depan. Misalnya tentang “Otonomi Daerah”, ternyata sudah jadi wacana pemikiran “leluhur” pemimpin bangsa kita sejak tahun 1956. Kini aktual lagi, dan agaknya mengalami krusial yang sama. Bangsa kita tidak mau belajar dari sejarah, oleh karenanya akan selalu mengalami kesalahan-kesalahan yang sama. Apa lagi mau belajar dari museum, yang bersemboyan “Jelajahi Bumi Kita, Temukan Jejak Kehidupan di Dalamnya”.
Karena tekun mencatat artikel tadi, saya terlena tidak tahu bahwa persiapan acara pembukaan pameran “Museum Geologi: Sarana Pembelajaran dan Berpariwisata” yang akan dibuka oleh Walikota Surabaya sudah akan dilaksanakan. Tamu-tamu penting sudah datang, dan sedang berbincang dengan pemimpin pembawa acara. Ketika saya mendekat, pemimpin tadi, seorang wanita cantik bertubuh tinggi semampai, menyambut saya dengan sapaan, “Pak Suparto Brata. Terima kasih, mau berkunjung ke tempat kami.” Saya tercengang. Kok kenal saya? Apa dia itu Amel, yang telepon saya kemarin? Karena masih dikurung para tamu penting, antara lain utusan Walikota, maka saya tidak sempat bicara lagi dengan dia.
Waktu pembukaan acara dengan banyak pidato-pidato, terlalu lama berdiri, saya pun cari tempat duduk di lain ruangan.
Nama dan sukses Steffy Tjia di negeri orang saya pinjam menjadi tokoh pada buku novel saya Donyane Wong Culika (State of the Deceitful People). Dalam novel, ketika Steffy mau mengabdikan diri pada bangsanya, mendirikan rumah sakit di
Negara tidak melindungi hak-hak hidup warga negaranya tidak hanya terjadi pada 1964. Juga terjadi pada sepanjang tahun kemerdekaan. Bangsa ini tidak mau belajar dari sejarah, maka akan selalu melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Yaitu nekrofilia. Potensi bangsa tidak untuk membangun bersama, melainkan digunakan untuk menjegal pemimpin yang sedang berusaha membangun kesejahteraan bangsa. “Pemimpin itu sesat, karena yang memimpin bukan aku (golonganku)”.
*
Ketika saya belajar di SMAK St.Luis, yang menjadi direktur Broeder Rosarius. Beliau juga mengajar sejarah dunia. Caranya mengajar sangat memukau, sehingga saya menjadi sangat berperhatian dengan sejarah. Ketika menerangkan sejarah Napoleon Bonaparte, begitu rinci ceritanya hingga terkesan sekali peristiwa-peristiwa itu di hatiku. Antara lain ketika Napoleon Bonaparte memerangi bangsa-bangsa di Eropa, berkata kepada para prajuritnya, “Hai, prajuritku. Empat abad mendatang orang sedang menatapmu apa yang sedang kamu kerjakan sekarang!” Itu saya catat dari cara Broeder Rosarius mengajarkan sejarah.
Dan pada tahun 2003, saya membaca buku Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong, (Penerbit Buku Kompas, Oktober 2002) karya Ong Hok Ham. Pada halaman Pengantar (halaman XIX), terbaca begini:
Sejak usia muda saya sudah tertarik pada sejarah. Setamat dari ELS (
Ya. Ternyata saya dan Pak Ong Hok Ham menjadi suka sejarah antara lain karena kami mendapatkan ajaran dari guru yang sama.
Kunjungan saya untuk memenuhi undangan House of Sampoerna hari itu, memang mengaduk-aduk ingatan, kenangan, dan ingin mencatatnya guna pelajaran agar untuk memperbaiki masa depan kehidupan bangsa dan negara kita tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Maka saya tulis artikel ini.
Begitu teraduk-aduknya ingatan saya sehingga acara khusus hari itu, “Pembukaan Pameran Museum Geologi: Sarana Pembelajaran dan Berpariwisata” tidak bisa saya simak dengan saksama. Namun tidak mengapa, karena saya pernah mengunjungi Museum Geologi aslinya di Jalan Diponegoro 57
Semoga bermanfaat bagi pembelajaran kita semua.
Sangat bagus sekali tulisan mbah Parto – saya juga menyukai tulisan-tulisan yang lain terutama cerita pendek dan cerita sambung yang dimuat di majalah. Tetapi saya belum pernah beli bukunya.
Ada satu hal yang saya tidak percaya dari tulisan di atas, yaitu Mbah parto masih naik angkutan umum ke/dari acara tersebut. Seorang penulis/budayawan terkenal masih mau naik angkutan umum. Begitu sederhananya sosok seorang Soeparto Broto.
Padahal seorang anggota DPR yang suka teriak-teriak sebagai wakil rakyat selalu bermewah-mewah suka ganti-ganti mobil.
Bapak Suparto yang baik, jadi ingat, waktu saya telepon bapak, itu adalah pertama kalinya saya menelepon para undangan untuk konfirmasi bisa datang atau tidaknya. Jadi, waktu bapak ragu-ragu untuk bisa datang, saya tidak bisa menutupi rasa kecewa, hehe, maklum pak masih bingung…masih gugup juga
Saya jauh lebih tercengan karena memori bapak akan Kawasan House of Sampoerna yang masih tajam, wow, bapak bisa sangat detail sekali, saya salut pak.
Jujur ya pak, Saya belum pernah tau karya-karya bapak, tapi sehabis baca web dan blog bapak, serta komen-komen yang ada, saya jadi tertarik, mudah-mudahan saya bisa baca karya-karya bapak, secepatnya.
Bapak, terima kasih banyak telah menyempatkan dan bela-belain datang di Pameran bulan Mei kemarin, semoga kalau ada event lagi saya bisa berkenalan dengan bapak. Selamat berkarya terus pak!
sampai dengan saat ini, satu-satunya novel yang pernah aku baca sampai tamat adalah novel karya bapak yang berjudul ‘Mencari Sarang Angin’. Salam buat mas Darwan, hehe….
Apa kabar Pak?hehehe salam kenal dari saya, sebenarnya ini perkenalan kedua kita, waktu bapak datang ke acara House, kebetulan saya yang sedang in charge sebagai part time disana. Tak henti saya berucap kagum dalam hati saat bertemu bapak, saya masih ingat betul bagaimana sangat besar ketertarikan bapak terhadap sejarah. Sebagai guide, saya merasa sangat beruntung karena yang sedang saya pandu adalah orang yang tau banyak tentang sejarah. sukses selalu buat Bapak.