Konsep Cantik Versi Suparto Brata pada
Ser! Randha Cocak
oleh: Karti Tuhu Utami, guru SMP Negeri I Bangil, Pasuruan
‘Ser! Randha Cocak’ merupakan judul buku terbaru Suparto Brata edisi 2009. Buku tersebut berisikan kumpulan 3 roman berbahasa Jawa, yakni ‘Ser! Ser! Plong!’, ‘Mbok Randha Saka Jogja’, dan ‘Cocak Nguntal Elo!’
Roman ‘Ser! Ser! Plong!’ pernah dimuat sebagai cerita bersambung pada majalah Jaya Baya Surabaya (No. 37, Mei 2006 – No.52, Agustus 2006). Roman ‘Mbok Randha Saka Jogja’ pernah dimuat pada majalah Djaka Lodang, Yogyakarta (No. 11, 12 Agustus – No.26, 25 November 2006). Sedangkan roman ‘Cocak Nguntal Elo!’ pernah dimuat pada majalah Damar Jati, Jakarta (No.31, 19 Oktober 2006 – No.48, 1 Agustus 2006).
Ada yang menarik dari ketiga roman yang bertemakan umum jodoh di tangan Tuhan tersebut, yakni:
Pertama, penamaan para pelaku yang begitu njawani, seperti Amrik Ngambarwangi, Wangi Lestari, Patut Raharja, Linuwih (dalam Ser! Ser! Plong!); Darorini, Citraresmi, Martiyas, Martinjung, Darbe Sampurna (dalam Mbok Randha Saka Jogja); dan Sekar, Mawardi Jalin, Wisnugraha, Wening Perbani, Surahana (dalam Cocak Nguntal Elo). Dengan membaca atau hanya mendengar nama-nama tersebut, kita semakin akrab dengan budaya Jawa.
Kedua: penerapan unen-unen Jawa (parikan atau paribasan) dalam konten cerita, misalnya: tir padha irenge – sir padha senenge; jamu pisan rasane kecut – ketemu pisan rasane kepencut; jamu pisan kerajut taline – ketemu pisan kepencut atine; rindhik asu digitik, tumbu oleh tutup (dalam Ser!Ser! Plong!). Mengkeret kaya bekicot nlolor diuyahi; mbalang tai embuh kepriye dadine; kaya orong-orong kepidak (dalam Mbok Randha Saka Jogja). Unen-unen semacam ini cukup membantu untuk mengurangi verbalisme dalam pembelajaran bahasa Jawa.
Ketiga, penerapan candra kecantikan wanita seperti:
“…. rumangsa ayu, dedege lencir, lengene nglegena mrusuh, cothange dawa. Praupane sumeh dlenger-dlenger, rambut mustika sirahe ireng ketel – dhadhane ndegeg, susune menthek-menthek, bangkekane nglungit, cethike goyang ngiwa-nengen ngiwa-nengen, ngedolake bokonge, bokong kang kaya mesine vespa” (halaman 11-12).
“…. rupane ayu, rambute ireng ketel, gulune ngolan-olan, baune weweg, payudarane mlenthu menthek. Pawakan ora nguciwani. Solahe sidik lan trengginas….” (halaman 83-84).
“…. pasuryane lancap, rambute ketel ngrembyak sangisor pundhak, janggane gilig, awake weweg, payudarane menthek, roke abang mbranang gulon amba, katon lengene sing kuning mrusuh….”(halaman 225). Hal demikian ini juga berguna untuk memperkecil verbalisme, sehingga mengkonkritkan konsep penguasaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Jawa.
Selanjutnya, kesan njawani tersebut tidak dibiarkan larut dalam kekunoannya, Suparto Brata mendampingi kesan kuno atau ketinggalan jaman itu dengan penerapan bahasa Inggris. Belanda dan Jepang. Perhatikan cuplikan-cuplikan bahasa asing dalam ‘Ser! Ser! Plong!’ berikut ini! –the gentleman from Amsterdam (halaman 13); Ik ben verliefd op jou! How are you today? (halaman 58); I rememberd the night, I was dancing, with my darling to the Tennessee waltz (halaman 62); first love never dies, doesn’t it (halaman 70). Demikian pula dalam ‘Mbok Randha Saka Jogja’. Selain penerapan bahasa Inggris juga ditemukan bahasa Jepang. Perhatikan cuplikan berikut! This is my wife, Martinjung, that is director of Marketing Devision, Hardanung, and his secretary, Citraresmi. At your service, Sir (halaman 127); Watakushi no chichi wa shonin de wa arimasen, ginko-in desu (halaman 129); Anata no niisan wa Gaikoku-go-gakko de Indonesia-go wo benkyo shite imasu kara, sukoshi wa jozu ni natta dhesho (halaman 130); dan sebagainya.
Bahasa dialek Suroboyoan tak ketinggalan dituangkan dalam konten cerita, seperti: gendheng klelegen wedokan (halaman 41); lek wong wedok bisa manak ngono, aku ya bisa (halaman 113); edan klelegen tekek (halaman 203). Semuanya itu menambah semakin nges jalannya cerita. Selain tersebut ada pula yang lucu terkait dialek Suparto Brata ini sehingga penulis dan mungkin pembaca lainnya bisa tertawa. Perhatikan dialog pada halaman 125 ini! “Kae, sidane wonge metu. Waspadakna, tangane kiwa teles apa ora. Yen teles, ya bener Suryani, pancen mentas cawik,” ujare Peni – “Gae ngerti tas cawik apa nggak, ambunen ae tangane ika. Lek pesing, ya ngoyuh, lek kaya entut, ya entas ngesing!” Dulmawi melu ngomong.
Suparto Brata juga seorang kreatif dan inovatif, ada-ada saja bahasa baru yang beliau ciptakan, misalnya: nguyuh telung dina neng Tokyo – untuk menyatakan tinggal selama 3 hari di Tokyo; sibu mundhut putu pira daklembure – untuk menyatakan bersetubuh; kaum rok – untuk menyatakan kaum wanita; polahe kaya calon bupati kalah pilkada – untuk menyatakan sangat-sangat sedih/susah sekali, gedrug-gedrug kaya wong miskin ora keduman BLT – untuk menyatakan amat bingung, dan sebagainya.
Penulis berpendapat bahwa secara umum roman telu Suparto Brata merupakan cerita berbobot, menarik dan bersifat idealis. Berbobot, dalam arti pengarang mampu menghimpun semua komponen ke dalam karyanya (njawani tetapi menyeimbangkan dengan masa kini; dialog-dialognya ada relevansi dengan sikon yang sedang berkembang; tidak mengabaikan dialek yang beliau miliki; budaya yang beliau sajikan tidak lagi alam pedesaan tetapi sudah beralih ke industri, dan sebagainya).
Menarik, mengandung pengertian bahwa jalan cerita membikin pembaca penasaran untuk segera merampungkan kegiatan membacanya (lebih-lebih dalam roman Cocak Nguntal Elo), dan yang terpenting pembaca ketrembesan inovasi yang pengarang sajikan (ini amat bermanfaat bagi para guru dan mahasiswa jurusan bahasa Jawa).
Tentang sifat roman yang idealis atau belum realistis, penulis perlu uraikan sedikit di sini. Dalam tiga judul roman, pengarang selalu melukiskan tokoh-tokoh utamanya secara perfek (cantik, cerdas, cekatan, mumpuni, berpendidikan, berkendaraan mewah; dari keturunan keluarga kaya/terhormat, berjodoh dengan kalangan sederajatnya, dsb). Bukankah yang demikian ini langka adanya? Sejatinya isi dunia itu sebuah keseimbangan, misal: yang cantik – tidak cerdas; yang berparas cantik tidak menguntungkan – tapi anak orang kaya; yang miskin – tapi bisa sukses, dan sebagainya. Realita demikian tidak penulis lihat dalam tiga roman tersebut. Pembaca bukan berarti tidak suka menggambarkan kebenaran, bukan sekedar imajinasi atau bayang-bayang kesempurnaan pengarangnya.
Selain itu dalam mengungkapkan hasil karyanya, pengarang masih belum bebas mempergunakan beberapa kosakata tertentu. Beliau masih terikat dan ngugemi nilai rasa kosakata bahasa Jawa itu sendiri. Atau bisa pula dikatakan malah sebaliknya, beliau berani mempergunakan kosakata tersebut. Perhatikan bahasa dalam kalimat ini! “….dhadhane ndegeg, susune menthek-menthek….” (halaman 11-12). “…. payudarane mlenthu menthek.” (halaman 188); “….susune dikotangi riyin (halaman 180); “… lengene mrusuh, payudarane menthek….” (halaman 188); “…. awake weweg, payudarane menthek….” (halaman 225). Simpulan: pengarang masih mempertimbangkan penggunaan kata ‘susu’ dan lebih memilih kata ‘payudara’ yang berasal dari bahasa Kawi tersebut. Buktinya, ‘payudara’ disebut lebih banyak daripada ‘susu’. Sebab nilai rasa bahasanya memang lebih halus ‘payudara’ daripada kata ‘susu’.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa cerkak, cerbung, roman, guritan, dsb telah bertebaran di beberapa majalah berbahasa Jawa dan bahkan ada yang telah berupa buku-buku. Ibarat air mengalir, air tsb meluncur begitu saja menuju tempat yang lebih rendah dan mungkin hingga sampai pada samodra. Sebelum air sampai pada tujuan akhirnya, penulis mencoba mencegahnya dengan trancangan plastik berlubang-lubang, tetapi bukan dengan kain kasa. Dengan demikian nantinya akan didapatkan air yang berguna bagi penyegaran hasil karya sastra Jawa, bukan air yang terbuang percuma dan sia-sia. Mudah-mudahan segera menyusul karya sastra dalam kritik dan esaiku serta kritik dan esaimu di kesempatan berikutnya.