Supato Brata, Pengarang gila dari Surabaya
Oleh Sunaryono Basuki Ks
Saya bilang pengarang gila sebab dia punya dua hari lahir, pertama pada Sabtu Legi 27 Februari 1932 di Delta Plaza Surabaya yang waktu itu berupa Rumah Sakit Umum Simpang, Surabaya.
Hari lahir kedua 16 Oktober 1932m hari lahir karangannya sendiri yang dipakai secara resmi di KTP Seumur Hidupnya. Ketiga, dia sudah menulis 130 buku baik dalam bahasa Jawa maupun Indonesia. Pada usia tuanya dia masih bepergian ke Thailand untuk menerima SEA Write Award dari Raja Thailand, sementara anugerah-anungerah lain banyak diterimanya semisal Anugerah dari yayasan Rancage pimpinan Ajip Rosidi untuk sastra Jawa.
Pada tahun lima puluhan karangannya yang berbahasa Jawa selalu kami tunggu dimuat di Majalah Penyebar Semangat. Saya masih ingat Lara Lapane Kaum Republik, Kadurakan sakidule Dringu. Sanja Sangu Trebela , Emprit Abuntut Beduk dan sebagainya. Dia malahan menulis cerita detektif Garuda Putih yang dibukukan pada waktu itu, mungkin mau bersaing dengan Naga Mas karangan Grandy’s.
Saya benar-benar ingat saat bulan Maret 1964 kami kontingen Jawa Timur peserta Konperensi Karyawan Pengarang se Indonesia berkumpul di Wisma Haji Surabaya, ketika saya tanya: “Mas, kenapa menulis?”. Jawabannya mengejutkan saya:
”Gatel Dik” dan kemudian dilanjutkan : “Ingat kalau memulis nama saya Suparto Brata bukan Suparto Broto.
Entah mengapa dia mengeja namanya dengan cara berbeda, mungkin mau mengkritik ejaan bahasa Indonesia yang kadang menulis a atau o untuk bunyi yang sama.
Namanya juga tercatat dalam Five Thousand Personalities of the World Sixth Edition,1988, terbitan The American Biographical Institute. Inc. Novelnya yang berjudul Republik Jungkir Balik yang diterbitkan Penerbit Narasai Yogyakarta harus diberi embel-embel Sebuah Novel Berlatar Belakang Perang Kemerdekaan karena dikhawatirkan dianggap mengekor acara Republik- macam-macam yang jadi trend di TV atau novel Maling Republik ( Mizan 2005) yang sudah terbit duluan.
Di dalam e-mail yang dikirim kepada saya terima, dia menulis:
“Dik, tokoh tokoh di dalam novel saya bukanlah para elite politik, pahlawan, sarjana, tetapi hanyalah orang-orag biasa yang mungkin tidak bermoral, licik, tetapi adalah watak manusia seutuhnya yang berhadapan dengan situasi sulit yang kalau dipikir memang tak punya pilihan lain selain selain yang dikerjakannya. “
Di dalam Republik Jungkir Balik kita disodori tokoh keluarga Kartijo, terpelajar namun lari mengungsi ke Probolinggo karena keahliannya dalam bidang listrik, namun ketika Probolinggo diduduki Belanda, dia keluar dan tak bisa bekerja dan punya penghasilan. Untuk makan sehari-hari dia mendapat bantuan dari Saputra, tetangganya yang beristrikan Sumini, bekas pelacur dan Saputra sendiri bekas pelanggangannya.
Sebagai istri, Sumini membuang kebiasaanya menjual diri dan hidup santun dan lemah lembut sampai Kartijo sekeluarga menghargai mereka. Ketika Saputra ditangkap Belanda dan ditahan di loji, persediaan beras Saputra menipis dan Sumini terpaksa bekerja sebagai tukang masak Belanda di loji. Suatu hari Sumini diperkosa oleh salah seorang dari mereka dan lama kelamaan oleh mereka semua dengan imbalan beberapa kepimg uamg. Dengan uang itu dia beras.
Selama Saputra ditahan, Edi diberi tugas menjaga Sumini malam harinya karena oleh ibunya dia dianggap masih kecil. Dan dari Sumini dia menikmati cinta buat pertama kali, disesali namun diulang-ulang.
Ketika novel Kremil ( Pustaka Pelajar, 2002)terbit saya tertarik membelinya dengan dua alasan: pertama saya kenal pengarangnya dan kedua novel tebal itu diterbitkan dengan sampul tebal. Kenapa penerbit berani menerbitkan buku tebal itu dalam sampul tebal dan harga yang relaif mahal saat itu? Di dalam novel Kremil itu saya menemukan sosok tokoh-tokoh yang kelak disebut oleh Suparto Brata sebagai orang-orang biasa, yang tak harus bermoral tinggi. Kisah tentang seoarg gadis yang melarikan diri dari rumah lantaran “dicemburui” oleh ibu kandungnya sendiri. Kemesraan anak dan ayah yang ditunjukkannnya ditentang keras oleh ibunya, dan dia akan dinikahkan dengan seorang lelaki bukan pilihannya, yang kelak diketahuinya menjadi pelangganggan Kremil, kompleks pelacuran di Surabaya. Ketika ibunya telah meninggal, ayahnya mencarinya sampai ke Kremil dan disambutnya dengan peluk cium bibir namun perempuan itu tetap membatasi diri dengan peluk cium saja,. Kalau ayahnya perlu perempuan untuk menemaninya, dia bisa minta temannya untuk melayaninya, namun ayahnya menolak. Kisah ini dirangkai dengan kecurigaan bahwa Kremil dijadi tempat menyembunyikan granat dan dipakai oleh kaum komunis untuk melaksanakan aksinya. Mungkin ini hanya tembahan imajinasi dari pengarangnya atau fakta?
Novel Mencari Sarang Angin ( Grasindo 2005), pernyataan Suparto Brata mengenai tokoh-tokohnya yang bukan orang-orang penting terpatahkan. Walau pun mereka orang-orang kebanyakan ( setter di percetakan, pewarta di koran kecil) namun mereka adalah tokoh-tokoh penting di dalam kisah perjuangan kemerdekaan, sejak sebelum jaman pendudukan Jepang sampai perjuangan melawan Jepang dan akhirnya tokoh dalam perjuangan kemerdekaan. Yang seorang, tokoh “gagal” sebagai tukang setter yang ingin menyamai tokoh pewarta yang memang cerdas, akhirnya menjadi tokoh PKI dan berusaha menunjukkan kekuasaannya namun akhirnya dipatahkan oleh tentara.
Tahun dua ribuan nampaknya merupakan tahun produktif untuk penerbitan bukunya, baik berbahasa Jawa maupun Indonesia. Untuk penerbitan bukunya berbahasa Jawa, Suparto Brata rela mengorbankan isi koceknya untuk membiayaninya. Buku-bukunya antara lain Saksi Mata ( Buku Kompas 2002), Aurora Sang Pengantin ( Grasindo 2003), Saputangan Gambar Naga ( Grasindo, 2003), Gadis Tangsi ( Buku Kompas 2004), Donyane Wong Culika (Narasi, 2004) Lelakone Si Lan Man ( Narasi, 2005) dan banyak lagi. Layaklah kalau dia dijuluki “pengarang gila”, gila kerja kreatif. Kita yang muda-muda pasti merasa malu kalah olehnya yang bekerja keras sejak muda, lantaran “:gatal”.
****
Sunaryono Basuki Ks, pengarang kelahiran Jawa Timur beralamat di salmaks@yahoo.com