BERSEKOLAH UNTUK APA?

| |

100_0965

Saya masuk sekolah tahun 1938, zaman Belanda. Di sekolah desa, Angka Loro, di Sragen. Sekolah Angka Loro adalah sekolah yang paling rendah. Bahasa pengantar bahasa Jawa, 5 tahun tamat. Tidak diajar bahasa Belanda. Pada zaman itu mencari murid di desa agar mau masuk sekolah sangat susah. Banyak sekali anak desa teman-temanku bermain tidak mau masuk sekolah. Takut. Mengapa aku tidak takut? Sebab saudara-saudara sepupuku yang tinggal di Solo semua bersekolah. Sekolah HIS, yang pelajarannya pakai bahasa Belanda, tamat kelas 7. Jadi aku kalau sudah umur 6-7 tahun ya harus bersekolah. Sebab di desa adanya hanya sekolah Angka Loro (5 tahun tamat), bukan HIS (7 tahun tamat), tidak diajari bahasa Belanda, aku tetap harus masuk sekolah agar BISA MEMBACA DAN MANULIS
.

Orang desa banyak yang tidak bersekolah, tidak bisa membaca dan menulis. Hidup bertani atau berjualan. Sejak kecil sudah dibiasakan cari sandang-pangan agar bisa hidup. Masih bocah sudah harus membantu mencangkul di sawah, atau berjualan hasil bumi di pasar. Penghidupannya sehari bernilai dua sen (f0,02) sampai sebenggol (f0,025). Saya pernah mengalami (menyaksikan) sendiri orang-orang desa yang bekerja ber-pocok tebu (batang tebu yang panjang sudah pada tumbuh daun muda pada pangkal ruas-ruasnya, harus dipenggali pendek-pendek jadi beberapa pangkal ruas tumbuhan, siap ditanam di sawah), bekerja hingga sore hari mendapat bayaran f0,02. Mandornya terima f0,025. Upama bisa bekerja sampai berlangsung sebulan mereka bisa memperoleh bayaran 30Xf0,02 = f0,60, yaitu 6 ketip, atau 60 sen. Tapi ber-pocok tebu begitu biasanya pada satu petak sawah, dikerjakan 3-4 hari selesai. Jadi siburuh tani harus cari pekerjaan lain atau di tempat lain. Kehidupan yang sangat primitif. Tidak pernah dapat pekerjaan begitu (f0,02 sehari) sebulan penuh (30 hari).

Membaca buku dan menulis adalah sandaran hidup.

Kalau orang bisa membaca dan menulis, dapat bekerja jadi tukang sapu di kantor. Tidak di sawah atau di pasar. Tapi HARUS BISA MEMBACA DAN MENULIS. Gajinya sebulan bisa mencapai f6,- alias 6 rupiah, atau 600 sen. Bisa lipat 10 kali dari petani yang tidak bisa membaca dan menulis. Kalau bisa tamat sekolah Angka Loro bisa jadi opas, gajinya bisa f8,- (800 sen). Kalau lulusan HIS (bisa membaca, menulis dan berbahasa Belanda) bisa jadi jurutulis, gajinya mencapai f15,- (1500 sen). Itu sudah makmur sekali. Masuk kantor naik sepedah Releigh atau Fongers, rem tromel, pakai selop kainnya batik diwiru, baju lengan panjang warna putih pakai dasi, ikat kepalanya batik. Di sekolah juga dibelajari berhitung, ilmu bumi, menggambar, nembang (menyanyi bahasa Jawa), apakah itu juga perlu untuk dikuasai kalau mau jadi opas atau jurutulis? Tidak perlu dikuasai; yang pokok dikuasai harus BISA MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS.

Kian tinggi sekolahnya dan banyak ilmu dan bahasa yang dipelajari, kian bisa meraih pangkat yang tinggi dan menerima gaji yang lumayan. Yang bersekolah tinggi sampai punya gelar sarjana (Mr, Ir, Dr) pasti sudah menguasai betul membaca buku yang tebal-tebal dalam berbagai bahasa dan menulis, juga menguasai banyak bahasa (bahasa Jawa Kuna, Jawa Modern, Melayu, Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, pembelajaran bahasa sebanyak itu sudah dipembelajarkan di sekolah tingkat AMS-SMA bagian A). Kalau bagian B yang diajarkan lebih menjurus ilmu pasti, bisa menjadi jaksa, arsitek, dokter, bupati. Tetapi membaca buku dan menulis surat dan bahasa Belanda serta bahasa Inggris harus sudah lancar dituturkan, membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari. Penghasilan yang diterima (gaji) sebulan bisa mencapai f400,- atau 40.000 sen. MEMBACA BUKU DAN MENULIS MENJADI SANDARAN MENCAPAI KEHIDUPAN YANG MEWAH. Bandingkanlah dengan penghasilan orang bisa membaca buku dengan yang tidak bisa membaca buku: Bupati (regent) 40.000 sen, petani buta huruf 60 sen. Padahal orang Jawa sejak dahulu kala hingga sekarang ini yang hidup bersandarkan kemampuannya membaca buku tebal-tebal masih sangat jarang. Menurut riset Taufik Ismail 1996, remaja Indonesia lulusan SMA buku yang dibaca 0 judul buku. Mereka yang tidak membaca buku dan menulis sebagai sandaran hidup seperti itu jika ditarik pada tahun 1940-an (zaman Belanda) hidupnya senilai dengan 60 sen sebulan atau f0,02 sehari. Hidup sebagai orang primitif. Jadi sampai hari ini (tahun 2010, abad ke XXI) orang Indonesia yang hidupnya senilai dua sen sehari atau sebagai orang primitif masih sangat banyak.

Bagaimana agar hidup seorang manusia (atau suatu bangsa) terangkat derajatnya? Terangkat nilai hidupnya? Ya harus diupayakan agar bisa punya kemampuan MEMBACA BUKU YANG TEBAL-TEBAL DAN MENULIS-NULIS. Di mana dan bagaimana caranya yang gampang dan lancar belajar membaca buku dan lancar tulis-menulis? Ya di sekolah. Setidaknya bersekolah selama 12 tahun awal umurnya diajari membaca buku dan menulis tiap hari tanpa jeda. Jadi jelas, guna sekolah (12 tahun) adalah agar anak manusia (bangsa) bisa mampu dan lancar membaca buku dan lancar tulis-menulis. Jangan sampai seperti hasil riset Taufik Ismail 1996, sudah bersekolah 12 tahun (lulus SMA), putera bangsa tidak bisa atau tidak biasa membaca buku sama sekali! Tidak biasa membaca buku hidupnya hanya bernilai f0,02 sehari.

Di Sekolah Diajari Apa?

Mengapa anak petani desa takut bersekolah? Karena gedung sekolah meskipun bangunannya dari anyaman bambu terlihat agung. Di situ kelompok anak-anak harus diajar dan belajar, harus punya kewajiban mengikuti pelajaran sekolah bersama, tidak lepas bebas sekehendak hatinya. Tidak bebas, itulah yang ditakuti anak-anak desa pada zamanku. Anak-anak desa teman-temanku bermain waktu itu bebas mandi di sungai, bebas main layang-layang, bebas adu cengkerik dan mencari cengkerik di kebun atau di sawah (mencari cengkerik biasanya malam hari), bebas nonton wayang. Kalau bersekolah kebebasan-kebebasan seperti itu terpaksa harus dibatasi, separoh siang hari kebebasannya diperam di sekolah. Itu sangat berat dilakukan. Seperti dihukum saja. Apalagi di sekolah harus mengikuti pelajaran yang harus dicerna, dan nanti diuji menghafal di depan kelas, harus menjadi kebiasaan atau berbudaya dalam hidupnya selanjutnya. Wah, berat sekali. Anak-anak desa takut. Lain daripada itu, anak desa sejak kecil sudah dibiasakan membantu-bantu kehidupan orangtuanya. Misalnya disuruh mencarikan rumput untuk makan ternak sapinya, disuruh menggembala kambing, atau momong (mengawasi main) adiknya agar orangtuanya bisa bekerja cari sandang-pangan. Maka anak desa banyak tidak berani bersekolah, karena khawatir kebebasannya bermain terbatas dan “dihukum” disuruh belajar membiasakan menghafalkan ilmu.

Pelajaran di sekolah (waktu saya sekolah, zaman Belanda 1938) yang diteter adalah MEMBACA BUKU DAN MENULIS. Klas 1, pelajaran membaca buku (huruf Jawa) dan menulis. Dimulai dari huruf nglegena. Semua huruf berbunyi A. Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Bentuk bacaan huruf nglegena disusun jadi kata yang berarti serta dua tiga kata dirangkai. Misalnya SADA, LARA MATA, NATA BALA SAYA DAWA. Setelah murid sekelas (sekelas isi 30 murid), mulai ditambah sandangan wulu, yaitu bunyi huruf A menjadi I. Juga dihafalkan membacanya dan menulisnya. Juga dirangkai jadi kalimat pendek yang punya arti: NINI LARA MATA, SIWA DIPA SILA. Setelah hafal membacanya dan menulisnya, ditambah dengan sandangan suku, bunyi huruf jadi U, ditambah sandangan taling bunyi huruf jadi É, ditambah sandangan taling tarung, jadi O. Selanjutnya sandangan pepet, layar, cecak, wignyan, pingkal, pangku. Begitu seterusnya. Untuk menghafal membaca dan menulis seperti itu tidak mungkin bisa dicapai hanya dalam waktu tiga bulan. Harus diajarkan tiap hari DI SEKOLAH bersama-sama anak sekelas. Jadi pelajaran sekolah klas 1 tiap hari harus belajar MEMBACA BUKU DAN MENULIS. Buku bacaan dibagikan, tiap anak satu buku. Seorang anak membaca dengan lantang, lainnya menyemak. Apabila salah membaca, murid yang lain menegur dengan teriak, “Salah!”. Dan sering saja anak yang membaca disuruh berhenti membaca oleh guru, bacaan selanjutnya disuruh baca pada murid lainnya. Jika murid lain tadi tidak menyemak dengan teliti, tentu tidak bisa meneruskan bacaannya. Jadi jangan sampai terjadi begitu. Maka tiap anak harus menyemak betul apa yang dibaca oleh murid yang membaca lantang.

Cara membaca buku seperti itu berlanjut dari klas 1, 2, 3, 4, 5. Buku bacaannya yang berganti-ganti. Dan tidak hanya satu macam buku saja. Di klas 2 buku bacaannya lebih tebal, sudah merupakan buku cerita, misalnya buku Siti Karo Slamet.

Selain membaca buku, juga caranya menulis diajarkan. Klas 1 menulis di sabak dengan anak batu tulisnya (grip) sebagai pensilnya. Anak batu tulisnya diberi gratis. Murid disuruh mencoto tulisan di papantulis yang ditulis oleh guru. Menulis halus. Selain bentuk tulisannya yang harus menurut aturan (tebal tipis, miring) hingga hasil tulisannya bisa dibaca oleh orang lain, juga caranya pegang pensil (grip), tegaknya badan, jauhnya mata dengan tulisan, diupayakan dengan cara yang sehat. Jarak mata dengan tulisan ataupun bacaan setidaknya 30 cm. Itu diajarkan, dan setiap kali jaraknya mendekat, guru menegurnya. Begitu juga cara memegang grip. Tidak boleh sembarangan. Harus ujung jari telunjuk dan ujung ibu jari yang menjadi pengemudi jalannya menulis. Klas 1 menulis di sabak, diberi angka dengan kapur oleh guru. Juga dicatat oleh guru di bukunya. Untuk mengisi rapotnya nanti. Selain caranya menulis (menulis halus) juga diajarkan mengeja yang benar, yaitu dengan cara dikte. Dengan cara didikte, murid menulis, nanti dikoreksi oleh guru benar dan tidaknya ejaan tulisannya. Pelajaran seperti itu diajarkan setiap hari. Membaca buku dan menulis itu pasti ada setiap hari. Mulai klas 1 sampai klas 5. Nanti klas 6 dan selanjutnya (klas 12) caranya menulis sudah baik (bisa dibaca oleh orang lain), dan ejaannya sudah betul, tinggal melancarkan (diperbanyak) membaca buku dan menulis cerita (mengarang).

Selain tiap hari diajari membaca buku dan menulis, di klas 1 juga diajari nembang (menyanyi) dan ndongeng (mendengarkan cerita guru). Menyanyi lagu-lagu dolanan dan mendongeng hanya diberikan satu kali dalam seminggu, biasanya pada hari Sabtu. Pelajaran mendongeng bukan saja guru yang mendongeng, tapi para murid juga disuruh menghafal cerita guru tadi, yaitu pada jam pelajaran mendongeng berikutnya para murid yang disuruh mendongeng di depan kelas, mendongengkan cerita yang diceritakan oleh guru minggu yang lalu. Mendongeng di depan kelas, ya diberi angka oleh guru, yang mempengaruhi kenaikan kelasnya si murid.

Naik klas 2, selain mambaca buku huruf Jawa (Hanacaraka), juga mulai diajari huruf Latin (ABC). Membaca buku kian sibuk setiap hari. Begitu pula pelajaran menulis. Bukan saja menulis huruf Jawa, juga huruf Latin, menulis halus, dan dikte, kini tidak lagi di sabak, melainkan di buku tulis. Guru seringkali memberi conto tulisan halus pada buku-buku tulis murid-muridnya, agar caranya menulis bisa halus seperti tulisan gurunya. Di klas 2 pelajaran menyanyi (nembang), mendongeng, tetap berlangsung.

Naik klas 3, kesibukan membaca buku dan menulis kian ketat sekali. Ada buku bacaan kelas yang huruf Hanacaraka, misalnya Kembang Setaman (ada 4 jilid tebal-tebal, isi buku tentang kumpulan cerita sehari-hari, misalnya Manyang Borobudur, menceritakan bepergian ke Borobudur dari Jogja, saya masih ingat sepotong-sepotong kalimat pada cerita itu: “Tangi esuk iku cepak rejekine”, “Aja nganti reged ora bisa, nanging aja tansah reged kuwi bisa”. Kalimat-kalimat seperti itu dengan sendirinya ~ dari kebiasaan membaca cerita, mengukir diri menjadi landasan pengetahuan dan pekerti pembaca/murid klas 3). Selain buku Kembang Setaman di klas 3 juga harus membaca seklas bersama buku Ngrewangi Apa Ngrusuhi (ada beberapa jilid, tiap jilid menceritakan tentang kehidupan binatang, misalnya anak bajing yang dinamai Perkis, jilid yang lain bercerita tentang nyamuk yang dinamai Klentreng, jilid yang lain tentang ular. Berjilid-jilid dirangkai dalam judul buku tulisan Hanacaraka Ngrewangi Apa Ngrusuhi? Maksudnya binatang-binatang tadi membantu atau mengganggu kehidupan manusia?). Di klas 3 itu juga, ada buku yang harus dibaca bersama di kelas yang hurufnya ABC, yaitu buku cerita yang judulnya Tataran. Menceritakan tentang kehidupan sehari-hari keluarga anak desa, bernama Kuncung dan Bawuk. Tiap judul buku dibaca dalam klas bersama-sama punya jam pelajaran sendiri-sendiri. Jadi bisa saja pada jam pelajaran I membaca buku Kembang Setaman (45 menit), pada jam pelajaran II membaca bersama buku Ngrewangi Apa Ngrusuhi (45 menit). Mengaso. Jam pelajaran III membaca bersama lagi buku Tataran. Pendek kata, bersekolah itu gunanya untuk murid menjadi lancar membaca buku.

Ada buku kumpulan cerita huruf ABC berjudul Ontjen-ontjen. Ceritanya menarik dan lucu-lucu, sehingga murid belum disuruh membaca bergiliran sudah pada membacai cerita selanjutnya secara diam-diam. Malah kemudian buku Ontjen-ontjen ini diminta oleh para murid supaya bisa dibaca waktu mengaso, diperkenankan oleh guru, sehingga waktu beristirahat anak-anak klas 3 pada membaca buku tadi di luar kelas. Jadi ramai menjadi pembicaraan setelah pada membacanya. Ada cerita tentang Petruk dan Gareng serta Bagong yang mau bepergian naik pesawat terbang, ceritanya Petruk kupingnya kemasukan semut. Dikorek-korek semut tidak bisa keluar dari kuping, maka diakali dengan memasukkan daging dendeng sebagai pancing ke dalam lubang telinganya. Kalau daging dendeng itu telah digigit semut yang di dalam telinga, maka daging dendeng tadi ditarik seperti halnya pancing. Tapi ternyata daging dendeng tadi masuk semua ke lubang telinganya. Susah ditarik keluar. Maka Petruk pun mencari tikus, dimasukkan ke lubang telinganya, agar mengambil daging dendengnya. Ternyata tikus tadi juga masuk ke lubang telinganya. Maka Petruk mencari kucing, agar menubruk tikus di lubang telinganya…..! Begitu antara lain yang diceritakan pada buku Ontjen-ontjen buku bacaan bahasa Jawa huruf ABC klas 3 murid Sekolah Angka Loro di Sragen 1940.

Masih ada lagi buku wajib baca bersama bergiliran di klas 3, selain buku-buku yang saya sebutkan tadi. Wajib baca bersama dituntun dan diberi nilai dalam jam-jam pelajaran kelas. Klas 3 mulai diajari bahasa Melayu. Selain buku pelajaran bahasa Melayu, ada juga buku bacaannya yaitu (judul buku) Matahari Terbit. Ada beberapa jilid, jilid-jilid berikut nanti dibaca di klas 4. Cerita-ceritanya tentang anak-anak sekolah di Sumatera. Buku ini penuh dengan gambar-gambar, sehingga sangat menarik untuk dibaca oleh anak sesama umur dan sekolah klas 3, namun disesuaikan karena bahasanya Melayu, ceritanya juga di Tanah Sumatera. Pada gambar di buku anak-anaknya (juga orang laki-lakinya) pakai kupluk, orang perempuannya pakai baju kurung dan kerudung. Pakaian seperti itu tidak lazim di Sragen. Dan yang paling mencolok, rumah-rumahnya pakai tiang, tidak di atas tanah. Jelas terbayang cerita bacaan itu bukan terjadi di Sragen. Kebetulan sekarang ini saya punya buku Matahari Terbit jilid I, inilah contoh kalimat awal dari bacaan kelas 3 Sekolah Angka Loro di Sragen 1940:

Kitab jang baharoe.
Kemarin kami disekolah. Djam jang ketiga kami akan membatja.
Tetapi kitab batjaan tak ada. Kitab jang lama soedah tammat.
Dipapan toelispoen tak poela ada batjaan.
Kami amat heran. Kami memandang kepada goeroe. Ia menoeng-
goe sampai kami diam sekaliannja. Soedah itoe ia pergi kelemari.
Apa dikeloearkannja dari dalam lemari itoe?
Kitab jang baharoe sesoesoen. Kitab-kitab itoe dibagi-bagi-kannja,
Seboeah seorang anak. Kitab itoe bagoes roepanja. Kami letakkan
kitab itoe dibangkoe dimoeka kami.
Kemoedian goeroe berkata: “Kamoe sekarang soedah menerima ki-
tab. Gambarnja banjak benar. Nanti dapat kamoe lihat semoeanja.
Kitab ini amat mahal harganja. Djangan kamoe kotorkan! Batja-batja-
lah selaloe kitab ini! Nistjaja kamoe lekas pandai. Siapa ingin hendak
pandai?”
Sekalian moerid menoendjoek sambil berkata: “Saja, saja, engkoe.”

Begitulah isi buku lembar pertama Matahari Terbit jilid I yang menjadi wajib bacaan murid klas 3 Sekolah Angka Loro di Sragen 1940. Dari tahun 1940 itu, kami sudah diajari membaca buku bahasa Melayu dengan cara membacai kitabnya dengan tekun dan berulang-ulang sehingga akhirnya kami fasih berbicara maupun membaca dan menulis bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia. Membaca berulang-ulang itu tidak membuat jemu atau kesal, sebab susunan kalimatnya begitu sederhana, dan ceritanya sesuai dengan umur-umur pengetahuan kami. Kami mempelajari bahasa Melayu dengan enak, tidak bersusah payah harus menghafalkan arti kata demi kata. Hanya dengan kebiasaan membaca buku, membaca cerita (sastra), kami bisa bertabiat berbahasa Melayu dengan baik dan benar. Dan kian banyak membaca buku, kian banyak kata-kata yang sendirinya kami ketahui artinya dan bisa kami berucap dan menulis dengan benar. Misalnya waktu itu kalau kami disuruh bicara bahasa Melayu di kelas, kami menyebut guru dengan kata “Engku”, sesuai dengan bacaan di buku Matahari Terbit. Padahal dalam kehidupan sehari-hari berbahasa Jawa, kami tidak pernah menyapa guru dengan “Engku”. Setelah dewasa zaman kebetulan berubah menjadi bangsa Indonesia merdeka, kami fasih berbahasa Indonesia tidak hanya bertutur, tetapi juga membaca dan menulis. Sekalipun dalam kehidupan sehari-hari di Sragen waktu itu (1940) kami tidak berbahasa Melayu, namun kami pandai berucap, membaca dan menulis bahasa Melayu. Lain dengan orang Sragen kebanyakan yang tidak pernah bersekolah (misalnya kaum tani maupun pedagang).

Dari pelajaran ini, kalau ditanya Apa gunanya bersekolah? Atau Bersekolah untuk apa? Jawabnya jelas: Agar terbiasa membaca buku dan menulis (buku).
Saking banyaknya macam atau jenis buku yang harus kami baca bersama, rasanya tidak ada lagi pelajaran yang lain kecuali membaca buku dan menulis buku.

Coba, dalam satu minggu setidaknya ada tiga buku pelajaran yang harus dibaca bergiliran dan disemak bersama di kelas (bukunya sebanyak murid di kelas tidak dibawa pulang murid, tiap kali pelajaran dibagi, dibaca, selesai pelajaran ditumpuk, disimpan di almari kelas). Sangat sulit mencari sela sehari tidak ada pelajaran membaca buku. Selain membaca bergiliran dan disemak bersama, sering-sering ditanyai artinya, sehingga tiap murid faham betul apa arti yang dibaca dalam satu bab bacaan buku tadi. Dalam kecepatan membaca dan tanya jawab artinya itulah guru memberi nilai kecakapan murid dalam hal bacaan buku yang mempengaruhi angka di rapot dan kenaikan kelas. Oleh karena itu cara-cara membaca dengan suara lantang, bagaimana lagunya, intonasinya, dituntun oleh guru. Kalau ada tanda tanya bagaimana harus mengucapkan bacaannya, kalau tanda seru, bagaimana pula. Bagaimana pula murid bisa cepat membaca, juga diajari oleh guru. Kalau membaca kepalanya jangan ikut geleng-geleng, tetapi hanya ekor matanya yang bergerak mengikuti baris-baris huruf yang dibaca. Latihan-latihan seperti itu terus dituntun dalam pelajaran membaca buku.
Kalau suatu bab sudah lancar dan difahami artinya oleh para murid, maka pindah bab berikutnya. Seringkali setelah buku dibagikan dan disemak, guru menyuruh para murid membaca batin bab baru, sepuluh-limabelas menit bersama-sama. Juga dituntun bagaimana caranya membaca batin. Bibir tidak boleh bergerak, kepala tidak menggeleng, hanya ekor mata yang membaca batin. Pembacaan bab baru dibatin selesai, anak-anak satu persatu ditanyai artinya atau kisahnya, diberi angka. Kalau tidak membaca batin tentu tidak bisa menjawab dengan baik.

Selain membaca buku juga diajari membiasakan menulis.
Selain pelajaran membaca buku bersama, membaca suara lantang ataupun batin, juga diajari caranya menulis. Di klas 3 menulisnya sudah tidak di sabak lagi, tapi di buku tulis. Buku tulis, tinta, pena, semua diberi gratis. Bagaimana menulis pakai tangkai pena, bagaimana tulisannya harus halus dan terbaca, semuanya diberi conto oleh guru. Di dinding-dinding kelas, juga ada gambar-gambar tulisan tangan indah. Tulisan tangan (Latin) beda dengan tulisan cetak di buku.
Juga diajari bagaimana mengeja tulisan dengan benar, yaitu dengan pelajaran dikte. Guru berucap, murid menulis yang diucapkan guru. Itu juga diperiksa dan diperhatikan oleh guru. Dan juga disuruh mengarang. Kadang di buku Gelis Pinter Maca ada gambar 4 atau 6 frame, yang isinya 1-6 merupakan cerita gambar (seperti komik), misalnya gambar anak main layang-layang. Dengan melihat gambar 4 frame itu murid disuruh bikin cerita tertulis. Tulisan dikumpulkan, dikoreksi oleh guru, dan diberi angka. Jadi menulis dan mengarang, juga selalu diajari sejak kelas 3 hingga berlanjut kelas 4 dan 5.
Selain itu juga diajari cara menulis surat. Surat ada bermacam-macam. Ada surat pendek yang bahasa Jawanya bernama kitir. Kalau menulis surat dalam bahasa Jawa, paling depan harus ada kata “Nuwun wiyosipun….” Kalau surat ditujukan kepada orangtuanya, harus diakhiri, “sembah pangabekti keng putra….”. Kalau surat dinas, setelah ditulis tempat dan tanggalnya, harus ditulis nomer surat, pokok isi surat, lalu alamat yang dikirimi surat, barulah isi surat yang dimaksud. Juga cara menulis di sampul surat, kepada siapa harus di mana menulisnya, nama pengirim lengkap harus di mana diletakkan di sampul. Semua tadi diajarkan, diajarkan, diajarkan sejak klas 3 sampai lulus sekolah. Menulis (surat, catatan maupun buku) selalu diajarkan, dipraktekkan, dan diberi angka oleh guru.
Apa sekolah dasar zaman sekarang ada pelajaran membaca dan menulis seperti itu?
Jadi selain dibiasakan mambaca buku, bersekolah itu gunanya juga untuk lancar menulis-nulis. Membaca buku dan menulis jadi kurikulum yang utama!

Pelajaran membaca sastra (karya tulis).
Selain membaca buku dan menulis yang diajarkan sebagai kurikulum yang paling utama, sejak di kelas 3 pelajaran berhitung, nembang, mendongeng, juga tetap diajarkan, tetapi tidak setiap hari. Berhitung hanya 3 X seminggu. Nembang dan ndongeng, sekali seminggu. Pelajaran nembang, sudah lain dengan di klas 1 maupun klas 2. Di klas 1 maupun klas 2, biasanya diajarkan “menyanyi” lagu-lagu dolanan atau sajak yang dilagukan. Misalnya: Ilir-ilir, Kate-kate dipanah, Pendhisil, Jalak-jalak Pita. Baik pantunnya (syair) maupun lagunya sudah tetap.
Sedang pelajaran nembang di klas 3 sudah mulai mempelajari tembang yang digubah maupun distandarisasikan dengan keagungan sastra Jawa. Misalnya lagunya harus digubah dengan panutan guru lagu, guru wilangan, guru gatra. Itulah sastra Jawa lama yang harus dikuasai maknanya oleh para murid sejak klas 3 sekolah dasar. Tembang sudah menjadi bagian dari keharusan mencipta sastra Jawa lama. Jenis lagu ada Kinanthi, Pangkur, Sinom dan lain-lain, yang caranya menggubah sastra Jawa hal-hal semacam itu harus diterapkan. Sebagai bahan ajar tembang, biasanya guru menulis sebait tembang di papan tulis lengkap huruf Hanacaraka, para murid mencatat boleh, tidak pun boleh. Lalu Guru mengajarkan melagukan dengan suara tutur, dan marid menirukan. Begitu hingga murid hafal. Kalau sudah hafal (biasanya dua kali mata jam pelajaran murid-murid sudah hafal, karena suasana berbahasa Jawa waktu itu menjadi percakapan sehari-hari), murid satu per satu disuruh nembang di depan kelas. Dan hafalan syair maupun cara melagukan tembangnya diberi angka yang mempengaruhi kenaikan kelas. Begitu sudah lazim (tidak ada secara khusus ulangan umum). Mereka bisa menyanyikan luar kepala.
Jenis tembang yang diajarkan, kalau yang satu sudah hafal, maka yang diajarkan oleh guru berganti jenis tembang yang lain. Misalnya setelah tembang Pucung (pucung bait tembang yang paling sederhana), sudah diajarkan dan dihafal oleh murid-murid, maka ganti tembang Mijil, Dhandhanggula, Sinom, Gambuh dan lain-lain yang diajarkan dan disuruh menghafal murid-muridnya, baik baitnya, guru lagu-wilangan-gatra, serta menyanyikan lagunya. Semua murid harus hafal syair-syairnya, dan cara menyanyikan tembang-tembangnya. Jadi seandainya tanpa kata-kata yang berarti (misalnya hanya la-la-laaa, tapi membentuk lagu, guru maupun orang lain tahu itu lagu tembang Pangkur, atau Kinanthi, atau yang lain. Sama-sama lagu Kinanthi tapi itu menggunakan iringan nada lain, bisa juga disidik).
Biasanya yang dijadikan pelajaran nembang, dikutip dari sastra Jawa unggulan (yang populer dan berisi nasihat maupun pelajaran budi pekerti). Dan lewat hafalan pelajaran nembang begitu anak-anak klas 3 sudah diperkenalkan dengan kitab-kitab sastra Jawa unggulan, sehingga nantinya setelah dewasa, isi sastra Jawa unggulan tadi sudah dijiwai dan membentuk karakter pada diri putra bangsa. Ketika dewasa mereka menemukan isi buku selengkapnya sastra Jawa unggulan tadi, menjadikan dirinya lebih berbudi pekerti menurut isi tembang sastra unggulan tadi. Tidak bedanya orang Inggris dengan hafal luar kepala syair-syair gubahan pujangga Shakespear, orang Jawa pun hafal menyanyikan syair-syair unggulan sastra Jawa. Sastra menjadi panutan karakter bangsa.
Misalnya pelajaran nembang Dhandhanggula. Yang dijadikan conto oleh guru tembang karangan Mangkunegara IV; Yogyaniru kang para prajurit, ingkang bisa sira anulada…dan seterusnya. Atau tembang Mijil: Dedalane, guna lawan sekti, kudu andhap asor….. dan seterusnya. Anak-anak Jawa kelas 3 sekolah dasar 1940, sudah diajari dan menjiwai benar sastra Jawa unggulan. Bukan hanya dari sekolah, melainkan juga dari mendengarkan dongeng orang tua maupun menonton wayang. Cerita wayang purwa merupakan panutan tingkah laku dan pemikiran orang Jawa, dari kanak-kanak sehingga orang tua.
Jadi sejak kecil, sejak sekolah di sekolah dasar, orang Jawa sudah diperkenalkan dengan sastra (tulis). Tembang-tembang yang diajarkan tadi menjadi populer dan abadi karena sudah ditulis dan dicetak beribu buku penerbitan.
Sekali lagi, bersekolah gunanya untuk membudayakan membaca buku (sastra).

Apa ada pelajaran yang tidak berkaitan dengan membaca buku?
Apa ada pelajaran di sekolah yang tidak berhubungan dengan membaca buku dan menulis buku? Ada. Di klas 3 diajari juga berhitung, menggambar, pekerjaan tangan, olah raga, budi pekerti. Berhitung, meskipun tidak ada hubungannya dengan membaca dan menulis, tetapi juga diajarkan berhitung yang tertulis. Artinya pertanyaannya ditulis, dan garapan murid jawabannya juga ditulis. Tidak dilingkari memilih A atau B seperti zaman sekarang. Artinya meskipun tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis, pelajaran berhitung pun dibiasakan dengan kebiasaan tulis-menulis. Membaca dan menulis tetap menjadi mata pelajaran yang tidak bisa diabaikan selama sekolah klas 1 s/d klas 12 (SD-SMA) zaman itu.
Pelajaran menggambar, buku gambar diberi gratis oleh sekolah. Beraneka pensilnya (oliekreit, pensil warna) dipinjami oleh sekolah, dipakai ganti-gantian.
Pelajaran pekerjaan tangan, ada waktunya anak-anak disuruh membuat tangkai pena (dari kayu apa saja, boleh dikerjakan di rumah, nanti kalau sudah akhir pelajaran dua tiga kali, tangkai pena hasil pekerjaan tangannya dikumpulkan, diberi angka oleh guru). Atau diajari menganyam kipas (kipas dari bambu menganyamnya bagaimana) bahannya disediakan oleh sekolah. Atau membuat keset (di sekolah ada alatnya untuk memintal tali dan sabut kelapanya yang digunakan untuk pelajaran pekerjaan tangan disediakan oleh sekolah. Untuk membuat keset, dikerjakan secara kelompok, dan kalau sudah jadi keset, diberi angka oleh guru. Hasil pekerjaan tangan memintal keset akhirnya menghasilkan berpuluh-puluh keset, dan itu entah dijual atau disetor ke mana saya tidak tahu. Saya hanya mengerti dengan pelajaran membuat keset demikian anak sekolah sudah diberi sangu keterampilan hidup membuat pekerjaan sendiri).
Pelajaran olahraga, seingat saya hanya ada pertandingan kasti (untuk satu kelas). Itu dilangsungan di halaman belakang sekolah.
Pelajaran Budi Pekerti biasanya diberikan oleh Kepala Sekolah. Selama sekolah Angka Loro, yang mengajar di tiap kelas hanya seorang guru, mengajar segala macam pelajaran. Hanya pada pelajaran Budi Pekerti yang diajarkan semenjak kelas 3, yang mengajari Kepala Sekolah. Apa yang dihasilkan dari pelajaran Budi Pakerti? Banyak yang saya ingat dan saya terapkan dalam hidup saya. Misalnya, apabila habis berhubungan dengan seseorang, apapun yang terjadi, biasakanlah berucap ‘TERIMA KASIH’. Biasakanlah menyebut orang lain jangan njangkar (langsung menyebut nama), melainkan berilah awalan tingkat sosialnya terhadap dirimu. Yaitu dengan awalan Bapak, Ibu, Mbakyu, Kangmas, Dhimas, Nakmas, Nimas, Dhiajeng, Kangjeng, Gusti, Ndara, Raden, Tuan, Haji. Sampai sekarang pun saya memanggil Mas (Nakmas) kepada anak-anak saya. Dan saya panggil Ibu (Bu) atau Mbakyu (Mbak) terhadap semua perempuan. Itu didikan Budi Pekerti yang saya serap sejak klas 3 Sekolah Angka Loro.
Segala jenis pelajaran selain membaca buku dan menulis, hanya diberikan satu kali atau dua kali jam pelajaran dalam seminggu. Olah raga dua jam pelajaran yang digabung. Berhitung hanya tiga kali jam pelajaran dalam seminggu. Jadi kalau ditanya Bersekolah untuk apa? Jawab yang mendasar: BERSEKOLAH UNTUK MEMBUDAYAKAN MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Pelajaran yang lain hanyalah muatan lokal. Atau muatan ilmu yang bisa diganti-ganti menurut zamannya atau pasarannya.

Naik kelas 4, membaca buku bersama di kelas kian berkurang. Tetapi bukunya kian tebal-tebal. Buku-buku Kembang Setaman (jilid lanjutan), Matahari Terbit (jilid lanjutan), terus dibaca bersama. Kurangnya buku bacaan bersama di kelas diganti dengan pelajaran muatan ilmu lainnya, antara lain: Ilmu Bumi, Berhitung (Aritmatika), Olah Raga, Budi Pekerti.
Pelajaran Ilmu Bumi disuruh menggambar peta. Menggambar peta, dimulai dari menggambar peta wilayah Kabupaten Sragen. Pelajaran menggambar peta menghabiskan waktu beberapa kali jam pelajaran (berminggu-minggu). Pelajaran menggambar peta wilayah Kabupaten Sragen diulang menggambar berkali-kali. Buku gambar diberi oleh sekolah. Setelah tiga empat kali menggambar peta Kabupaten Sragen (tiap gambar diberi nilai oleh guru), berganti meningkat menggambar peta Kerajaan Surakarta. Juga beberapa kali menggambar dan memakan waktu beberapa kali jam pelajaran. Selanjutnya lalu menggambar peta Provinsi Jawa Tengah. Akhirnya pelajaran menggambar peta Pulau Jawa. Setahun di klas 4 hanya berakhir bisa menggambar peta Pulau Jawa. Tetapi pelajaran Ilmu Bumi waktu itu kami harus menghafal keadaan tanahnya berupa apa (pegunungan, hutan, sungai, hasil bumi), penduduknya berapa, penghasilannya apa, pemerintahannya apa atau bagaimana. Tiap kali juga diuji oleh guru kelas, dan diberi angka yang mempengaruhi kenaikan kelas murid yang bersangkutan. Tidak ada ulangan umum/khusus. Tiap guru klas pasti tahu benar kualitas para murid asuhannya. Kenaikan kelas dipercayakan kepada guru kelas seorang.
Di kelas 4 meski pelajaran membaca buku bersama berkurang, tetapi membaca buku di luar pelajaran sekolah bertambah. Para murid klas 4 diperbolehkan meminjam buku di perpustakaan sekolah (buku-buku Balai Pustaka). Tempat buku perpustakaan ada di ruang klas 5, pinjam-meminjam dicatat oleh pegawai sekolah di klas 5. Bukan diperkenankan tetapi wajib meminjam buku, buku boleh dibawa pulang, dipinjam selama 2 minggu, boleh pinjam sekaligus 2 buku. Buku apa yang dipinjam dicatat juga oleh guru kelas 4. Dan setelah selesai dibaca di rumah, ada jam pelajaran tertentu seminggu sampai 2-3 kali bagi para murid klas 4 yang pinjam buku di perpustakaan sekolah, agar berdiri di depan kelas untuk menceritakan buku-buku yang habis dipinjamnya. Cara menceritakan buku yang habis dipinjam dan dibaca juga diberi angka. Guru klas tahu benar, buku yang dipinjam tadi betul-betul dibaca atau tidak.
Pada galibnya setelah naik klas 4 membaca buku sudah menjadi budaya para murid. Mereka meminjam buku di perpustakaan sekolah dengan gairah, berebutan meminjam buku-buku yang telah populer di kalangan mereka yang sudah membacanya. Di perpustakaan (Balai Pustaka) ada beberapa jenis buku, yaitu kelompok A buku bahasa Jawa untuk permulaan, kelompok B buku bahasa Jawa baik tulisan ABC maupun Hanacaraka, kelompok C buku-buku bahasa Melayu. Murid-murid klas 4 temanku, sudah pada keranjingan pinjam buku dari kelompok mana saja. Kelompok A dan B sangat diminati. Setelah membaca bukunya, mereka sama bercerita tentang kegairahannya membaca cerita-cerita itu. Saling didiskusikan ketika mengaso di luar kelas.
Jadi masih di kelas 4 saya dan teman-teman sudah membaca buku-buku dari Balai Pustaka antara lain: Abimanju Kerem, Alap-alap Surtikanthi, (cerita wayang huruf Hanacaraka), Pak Banjir Jamu Turu, Kraton Marmer, Ni Wungkuk, Sri Kumenyar, Ngulandara (bahasa Jawa tulisan ABC). Saya dan banyak teman bahkan mencari bacaan buku di luar sekolah (luar Balai Pustaka), yaitu pinjam di Perpustakaan Swasta, menemukan buku-buku Tarzan Kethek Putih, Solo Peteng, Topeng Emas, dan lain-lain. Membaca buku sudah menjadi budaya anak-anak klas 4 Sekolah Angka Loro 1941. Banyak membaca buku juga banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang mengukir watak pembacanya. Bahkan ilmu apa saja itu adalah (ditulis) dalam buku. Ilmu sastra = buku. Ilmu tehnik = buku. Ilmu kedokteran = buku. Jadi siapa gemar membaca buku dialah orang yang menguasai ilmu yang dibaca dari buku.

Andaikata tamat Sekolah Angka Loro saya terus bekerja jadi opas, apa pelajaran berhitung, ilmu bumi, menggambar, nembang juga diperlukan dalam saya bekerja jadi opas sehari-harinya? Tidak. Yang paling penting bekerja sebagai opas adalah: LANCAR MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Dan pelajaran budi pekerti justru yang harus diterapkan ketika bekerja menjadi opas.
Jadi bersekolah itu untuk apa? Bersekolah untuk membudayakan (membiasakan) anak manusia (putera bangsa) dari hidup primitif sebagai kodratnya menjadi lancar MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Biasa membaca buku dan menulis-nulis nilai harkat hidupnya tidak lagi f0,02 sehari.

Pelajaran Membaca dan Menulis Zaman Jepang.
Sejak klas 4 saya pindah ke Surabaya. Waktu itu zaman Jepang. Sekolah dasar sudah dirombak menjadi satu model, tidak lagi ada HIS (7 tahun), ALS (7 tahun), Angka Loro (5 tahun), tetapi semua jadi sekolah rakyat (kokumin gakko) 6 tahun tamat. Model itu berlaku sampai sekarang.
Di Surabaya buku bacaanku kian menjadi-jadi. Ya yang tulisan Hanacaraka, tulisan ABC, bahasa Jawa, bahasa Indonesia, buku terjemahan bahasa asing. Di klas tidak diajari membaca bersama lagi, tetapi teman-teman sekelasku sudah sama gemar membaca buku pinjam dari perpustakaan sekolah (buku Balai Pustaka). Buku perpustakaan apa saja sudah saya delajahi hingga ludes. Saya tidak sendirian. Teman-teman sekolah juga pada membacai buku-buku yang saya baca. Cerita apa saja setelah sama-sama membaca bukunya, jadi topik diskusi kami. Buku-buku yang dulu disebut bahasa Melayu (kelompok C), waktu di Sragen belum banyak saya sentuh, menjadi bacaan kami: Teman Bergeloet, Tjinta Jang Membawa Maoet, Anak Perawan Disarang Penjamoen, Sitti Noerbaja, Salah Asoehan. Bayangan kami tentang Tanah Sumatera menjadi lebih jelas, karena rumah-rumahnya seperti yang digambar pada buku Matahari Terbit. Dan kami pun mulai diperkenalkan dengan bacaan sastra dunia lewat pembacaan buku-buku terjemahan: Tiga Orang Panglima Perang (Alexandre Dumas), Graaf de Monte Cristo (Alexandre Dumas), Anjing Setan (Sir Arthur Conan Doyle), Hilang Tak Tentoe Rimbanja (Sir Arthur Conan Doyle), Angin Barat Angin Timoer (Pearl Buck), Sebatang Kara (Hector Mallot), Don Kisot (Miguel de Cervantes), Patjar Merah, Litjin Sebagai Beloet, Beloet Kena Randjau (seri cerita Pacar Merah karangan Baroness Orczy), Tom Sawyer Anak Amerika (Mark Twain). Meskipun waktu itu zaman Jepang, segala yang berbau Inggris-Amerika-Belanda (dan sekutunya) dianggap musuh dan harus dihancurkan, tapi kami berhasil membaca buku-buku karangan orang Eropa, rasanya ikut merasakan peradaban hidup pada zaman-zaman cerita buku yang kami baca. Kami merasakan hidup di zaman Revolusi Prancis ketika membaca Patjar Merah, apalagi ada gambarnya kereta pengungsi yang digunakan para bangsawan Prancis yang lari dari Kota Paris. Gambar tadi sangat berkesan. Kami merasa bagaimana kejamnya pisau guillotine yang dicipta pada zaman revolusi untuk memenggali leher para bangsawan Prancis termasuk Prameswari Marie Antoinette.
Membaca buku cerita (sastra) bisa merasakan kehidupan dan peradaban manusia seperti yang diceritakan pada buku, dan melupakan sejenak pengalaman kami yang dilanda penderitaan hidup di zaman Jepang yang tidak kalah sengsaranya. Bisa membanding-bandingkan kesengsaraan hidup, hati kami menjadi lebih bijak.

Apa yang diajarkan di klas 4-6 zaman Jepang? Membaca bahasa Jepang dan menulis huruf Jepang katakana. Huruf Jepang ada tiga macam. Katakana, hiragana dan kanji. Seminggu 7 jam pelajaran bahasa Nippon. Padahal seminggu hanya ada 5 hari belajar di klas. Hari Sabtu Kingrohoshi no Do-yobi, hari kerja bakti.
Guru menulis cerita di papan tulis huruf katakana: “Kono kami wa takõ gozaimasu ka? Kono kami wa takõ gozaimasen”. Murid menconto di buku catatannya. Murid disuruh membaca, disuruh mengapalkan cerita tadi dalam bahasa Jepang, disuruh bicara apalan di depan kelas, diberi angka. Setelah semua murid mendapat giliran berbuat begitu, dan semua sudah hafal, maka guru menulis lagi cerita baru di papan tulis huruf katakana: “Kono hon wo hajime kara shimai made gozaimashita”. Murid-murid disuruh mencatat dan menghafalkan. Tulisan guru di papan tulis biasanya huruf katakana, namun seringkali disela menggunakan huruf kanji. Huruf katakana itu seperti huruf hanacaraka, satu suku kata ditulis satu huruf. Kalau huruf kanji, satu kata rata-rata gambarnya hanya satu. Jadi kalau ditulis katakana upama kata YAMA, menulisnya katakana ya huruf Ya dan huruf Ma. Kalau ditulis huruf kanji, YAMA gambarnya hanya satu. Dalam satu cerita yang ditulis guru di papan tulis, di antara huruf-huruf katakana, sering-sering disela huruf kanji, tiga sampai lima huruf kanji. Murid harus menulisnya pada buku catatannya masing-masing dan disuruh menghafalkan baik caranya menulis maupun suara bacanya dan artinya. Tiap jam pelajaran bahasa Nippon selanjutnya (hari Senin dan Kamis ada dua jam mata pelajaran bahasa Nippon yang digabungkan, 2X45 menit = 90 menit), murid disuruh membaca ceritanya (pada catatannya sendiri), dan juga disuruh menghafal. Disuruh bercerita hafalan bahasa Nippon tadi di depan kelas. Sering juga untuk koreksi, murid disuruh menulis huruf kanji di papan tulis, guru atau murid lain yang memberi perintah. Kalau semua murid sudah dapat giliran dan hafal, guru menulis lagi cerita baru di papan tulis: “Mukashi, mukashi, oji-san to obã-san ga arimashita”. Tulisan katakana disela huruf kanji tiga atau empat kata. Selanjutnya murid disuruh belajar seperti tadi. Membaca, menulis, menghafal huruf dan bicara bahasa Nippon. Tujuh jam pelajaran dalam 5 hari di kelas sekolah, membaca, menulis, membaca, menulis bahasa dan huruf Jepang.
Jadi pelajaran bahasa Jepang waktu itu tidak lain ya MEMBACA-MENULIS-MEMBACA-MENULIS cerita huruf bahasa Jepang begitu. Di antara cerita yang ditulis huruf katakana, disela menulis dan menghafal beberapa huruf kanji. Kalau tiap cerita yang ditulis guru di papan tulis huruf katakana disela huruf kanji sebanyak 4 huruf, dalam setahun ada 10 cerita, maka selama kelas 4 kami hafal membaca dan menulis 40 huruf kanji. Klas 5 tambah huruf kanji 40 lagi, klas 6 tambah 40 huruf kanji lagi, andaikata sampai mahasiswa maka saya sudah harus hafal huruf kanji sebanyak 2000 kata bahasa Jepang.
Kalau orang Jepang punya kata sebanyak 2000 kata, ya berarti punya 2000 gambar huruf kanji yang harus dihafalkan. Huruf kanji adalah huruf yang digunakan dalam buku-buku bacaan, dipakai untuk menulis di suratkabar atau majalah, dan tulisan umum lainnya. Semua huruf kanji. Menghafalkan 2000 kata ditulis pada huruf kanji begitu tidak mudah. Oleh karenanya harus dicicil seperti yang saya alami tadi, yaitu sejak di kelas 4-5-6 diajari menghafal huruf kanji, tiap tingkatan kelas 40 huruf kanji. Sampai di mahasiswa sudah bisa membaca buku dan suratkabar yang hurufnya kanji semua. Orang Jepang bisa pandai oleh kandungan ilmunya ya kalau sudah biasa membaca buku huruf kanji tadi.
Jadi gunanya bersekolah zaman Belanda dan zaman Jepang dulu itu, yaitu agar bocah BISA MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Tidak hanya zaman dulu. Tanyakan di Negara Belanda dan Negara Jepang, sekolah 12 tahun awal mula bersekolah gunanya yang paling penting untuk apa? Ya untuk putera bangsa lancar berbudaya MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Misalnya di Jepang, andaikata membaca dan menulis huruf kanji TIDAK dicicil diajarkan di sekolah dasar selama 12 tahun sekolah awal, apa bisa setelah jadi mahasiswa tiba-tiba lalu hafal 2000 gambar huruf kanji? Tidak mungkin. Jadi di Jepang sejak zaman dahulu sampai sekarang, bersekolah awal 12 tahun gunanya untuk mempelajari dan melancarkan MEMBACA BUKU DAN MENULIS (HURUF KANJI). Ilmu pelajaran lain (misalnya matematika atau IPS) yang diajarkan di sekolah hanyalah sebagai muatan lokal belaka.
Bersekolah (12 tahun) untuk apa? Bersekolah 12 tahun awal umur manusia untuk membudayakan anak manusia LANCAR MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS. Tanpa diajari membaca buku sejak usia dini, sangat tidak mungkin setelah remaja mereka tiba-tiba pandai membaca buku. Harus ada latihannya, harus ada pembelajarannya sampai diri punya kebiasaan membaca buku.

Lulus UNAS untuk apa?

Lulus UNAS untuk apa?Bersekolah 12 tahun awal usia manusia Indonesia zaman sekarang untuk apa?
Bersekolah di Indonesia yang paling penting, belajar 6 tahun di SD harus dapat lulus dan masuk ke SMP. Belajar 3 tahun di SMP harus bisa lulus UAS dan masuk ke SMA. Belajar 3 tahun di SMA harus bisa lulus UNAS. Kalau tidak lulus dianggap bodoh, murid, guru, orangtuanya malu. Supaya bisa lulus UNAS harus menguasai ilmu apa? Matematika, IPS, bahasa Indonesia, bahasa Inggris. Sesudah lulus UNAS, nasib anak bagaimana? Apakah ada berubahan takdir bila dibanding yang hanya lulusan SMP atau SD? Akan mengubah takdir harus meneruskan sekolah di perguruan tinggi. Tapi supaya lulus di perguruan tinggi orang harus menulis skripsi dan membaca-baca buku banyak sekali. Maka meskipun lulus UNAS tetapi tidak lancar dan tidak punya kegemaran MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS, ya nasibnya tidak berubah. Sama dengan orang petani zaman Belanda yang tidak bisa membaca dan menulis itu, nilai hidupnya f0,02 atau dua sen sehari. Siasia bersekolah 12 tahun awal umur manusia apabila tidak diajari dibiasakan MEMBACA BUKU DAN MENULIS-NULIS (BUKU). Apabila sampai selesai bersekolah 12 tahun anak manusia (putera bangsa) tidak punya kebiasaan membaca buku dan menulis buku, ya artinya anak tadi tidak berubah takdirnya. Tidak lepas dari kobodohan dan kemiskinan, nilai hidupnya sama dengan orang petani yang tidak bisa membaca dan menulis pada zaman Belanda, yaitu f0,02. Meskipun lulus UNAS, pandai matematika, mengerti ilmu sosial, bisa berbahasa Indonesia, mengerti bahasa Inggris, tetapi kalau tidak punya kebiasaan membaca buku dan menulis-nulis, nasibnya ya tidak berubah dari takdirnya, hidup tetap sengsara, sulit cari pekerjaan yang mapan. Meneruskan sekolah di perguruan tinggi ya susah, sebab syaratnya lulus harus menulis skripsi, harus banyak membaca buku dan menulis buku.
Jadi bersekolah (12 tahun) itu untuk apa, yang paling mendasar? Untuk memperdayakan anak manusia (bangsa mana pun, zaman apa pun) berbudaya membaca buku dan menulis buku. Sebab dengan kemampuan membaca buku dan menulis buku itu dapat mengubah takdir, dari hidup primitif menurut kodratnya (penggunaan panca indera ~ mengalami, merasa, melihat, mendengar) berubah menjadi hidup yang lebih nyaman karena kiat hidupnya selain kodrati ditambah mampu membaca buku dan menulis (buku), mudah mendapatkan pekerjaan (atau usaha mandiri), lebih banyak lapangan kerja yang bisa dimasuki. Dari hidup bernilai 2 sen sehari bisa berubah jadi 20 sen sehari (itu kalau lulus SD; kalau lulus SMA bisa jadi wedana, gajinya f60,- sebulan alias 200 sen sehari. Wah itu sudah hidup mewah).

Kendaraan dan muatannya.
Pelajaran membudayakan membaca buku dan menulis (buku) di awal sekolah 12 tahun itu adalah bagaikan membangun infrastruktur jalannya kehidupan di masa mendatang. Bisa digambarkan sebagai membangun kendaraan pengangkut (bahasa Belandanya kruiwagen = gerobag dorong). Sedang ilmu lain yang diajarkan pada kurikulum sekolah adalah bagaikan (barang) muatan. Ilmu yang diajarkan di sekolah, misalnya bahasa Jawa, bahasa Belanda, bahasa Jepang, bahasa Indonesia, adalah (barang) muatan. Oleh karena itu bisa diganti-ganti menurut zamannya atau pasarannya. Pada zaman Belanda, yang diajarkan di sekolah bahasa Belanda, pada zaman Jepang yang diajarkan bahasa Jepang, pada zaman Orde Lama bahasa Jawa juga diajarkan di sekolah 12 tahun, pada zaman Orde Baru hanya diajarkan satu bahasa, bahasa Indonesia. Begitu juga ilmu muatan yang lain, misalnya pada zaman Orde Lama di sekolah diajarkan aritmatika, sedangkan pada zaman Orde Baru diganti matematika. Ilmu itu semua muatan dalam pembelajaran di sekolah. Tetapi membudayakan membaca buku dan menulis (buku) di sekolah setidaknya selama 12 tahun, bukanlah muatan ilmu, melainkan kendaraan pengangkut ilmu. Untuk mencerdaskan muatan ilmu bahasa, diperlukan kelancaran membaca buku dan menulis, untuk belajar memahami ilmu matematika, diperlukan kelancaran membaca buku dan menulis, untuk mempercepat atau mendalami ilmu sosial diperlukan kelancaran membaca buku dan menulis. Segala ilmu yang kita pelajari akan menjadi lebih cepat terserap kalau kita berbudaya membaca buku dan menulis (buku). Sebaliknya, segala ilmu yang kita pelajari kalau tidak didukung dengan infrastruktur membaca buku dan menulis (buku), hanya kita serap dengan kodrat kita (yaitu kekuatan inderawi: mengalami, merasakan, mencicipi, mendengar dan melihat) maka sama saja kita berbalik menjadi orang kuno. Para petani kita zaman dahulu kala, bisa menanam padi dengan baik, panen dengan baik, karena meniru perbuatan petani lainnya (melihat dan mendengar). Ilmu hidup yang seperti itu, memang mudah diserap, tapi juga mudah dilupakan. Tetapi kalau dicatat (ditulis) dan dibaca lagi (membaca buku) ilmu itu akan bisa diingat dan kembali diingat, dan menjadi ilmu yang kita fahami betul manfaatnya.
Seseorang lulus sekolah 12 tahun sudah terbiasa membaca buku dan menulis-nulis sama dengan dia sudah punya kendaraan untuk dimuati ilmu pengetahuan apa saja dan digunakan untuk merintis kehidupan yang lebih baik. Sedang pelajaran ilmu berhitung, matematika, ilmu bumi, sejarah, IPA, IPS, semua tadi ilmu muatan. Kian banyak muatan ilmu yang dimuat di kendaraan, kian gampang orang tadi mencari kehidupannya yang lebih baik.
Kebalikannya, meskipun sudah diajari matematika, ilmu bumi, sejarah selama sekolah 12 tahun, tetapi tidak punya kebiasaan membaca buku dan menulis-nulis, ilmu itu akan hilang dan tidak berguna dalam perjuangan orang tadi merintis kehidupannya. Ia akan berjuang merintis kehidupannya dengan cara-cara seperti kaum petani kuna zaman dahulu, memperjuangkan kehidupannya hanya diinstrumeni kodrat (panca-indera: mengalami, merasakan, melihat, mendengar). Itu cara hidup orang primitif. Ya. Kalau memperjuangkan kehidupannya hanya dengan kodratnya (hanya menggunakan panca-inderanya), maka orang akan tetap seperti orang primitif, kuno atau kolot, bodoh, miskin, ketinggalan zaman. Nilai hidupnya f0,02 sehari. Tidak ada gunanya sekolah 12 tahun. Nasibnya tidak berubah dari takdirnya sebagai orang primitif, (sebagai orang bodoh, miskin, hidup zaman bahaula, selalu terbelakang di zaman modern).

Apa gunanya bersekolah 12 tahun awal kehidupan manusia?
Membaca dari awal artikel ini, bisa disimpulkan:
Pada zaman Belanda, bersekolah sejak awal kehidupan anak manusia untuk DIBUDAYAKAN MEMBACA BUKU DAN MENULIS (BUKU).
Pada zaman Jepang, bersekolah sejak di Kokumin Gakko seterusnya DIBUDAYAKAN MEMBACA HURUF KANJI DAN MENULIS HURUF KANJI.
Pada zaman Orde Lama, sejak awal sekolah DIBUDAYAKAN MEMBACA CERITA (SASTRA) DAN DIAJARI BERBAGAI BAHASA.
Pada zaman Orde Baru, tidak dibiasakan membaca cerita/sastra (pelajaran sastra digabung dengan pelajaran bahasa Indonesia, jam pelajarannya dihabiskan untuk bahasa Indonesia saja, membaca cerita/sastra tidak memperoleh jatah). Kurikulum sekolah hanya muatan ilmu-ilmu saja, yang harus dipelajari sungguh-sungguh, agar anak-anak SD dapat meneruskan bersekolah di SMP, agar anak lulus SMP (dengan ujian ilmu yang diajarkan) bisa masuk ke SMA, agar anak SMA bisa lulus UNAS. Kalau sudah lulus UNAS, ingin ke perguruan tinggi, rata-rata kalau hanya dengan pelajaran sekolah 12 tahun saja tidak bisa lulus ke perguruan tinggi. Paling afdol harus ditambahi pelajaran di bimbingan belajar, lamanya setahun atau setidaknya 6 bulan. Kalau tidak jangan harap bisa lulus. Maka tujuan bersekolah 12 tahun di Indonesia untuk apa?.

Tanpa berbudaya membaca buku dan menulis buku, bangsa Indonesia tidak bakal bisa mengubah takdir. Kiat kehidupannya hanya dengan apa kodratnya (mengandalkan kekuatan indrawinya: mengalami, merasa, melihat, mendengar, menikmati), sama dengan orang primitif, atau petani kuno yang juga tidak dapat membaca buku dan menulis buku.
Sedangkan bangsa-bangsa yang maju, bersekolah awal 12 tahun digunakan untuk membudayakan anak manusia (putera bangsa) MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Dengan begitu hidup putera bangsa mereka setelah dewasa (lepas dari sekolah 12 tahun), kiat hidup mereka tidak hanya menurut kodratnya, melainkan diinstrumeni atau diinfrastrukturi budaya MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Ilmu-ilmu pengetahuan mereka ditulis dalam buku dan dipelajari oleh putera bangsa keturunannya juga dari membacai bukunya. Dengan membacai buku-buku, hidup mereka bisa mengubah takdir, bisa mencapai kehidupan yang lebih baik dengan ilmu-ilmu yang dibacai dari buku-buku, sehingga mereka bisa menguasai dunia, atau hidup mapan.
Untuk hidup mapan diperlukan berbudaya membaca buku dan menulis buku. Untuk berbudaya membaca buku dan menulis buku, diperlukan berlatih di sekolah selama 12 tahun. Itu harus dibiasakan dengan pengajaran di sekolah. Itulah gunanya bersekolah 12 tahun pada awal umur anak manusia, agar ketika tumbuh dewasa punya kiat hidup membaca buku dan menulis buku, mengubah takdir (dari orang bodoh ke terpelajar). Dan untuk bisa berbudaya membaca buku dan menulis buku, tidak bisa dimasukkan ke bimbingan belajar selama setahun atau 6 bulan. Coba, apa bisa lewat bimbingan belajar satu tahun putera bangsa lalu lancar menulis dan membaca hanacaraka dari aksara yang nglegena sampai yang bersifat menerapkan guru lagu, guru wilangan dan guru gatra? Untuk lancar membaca hanacaraka saja saya memerlukan sejak klas 1 sampai klas 4 Sekolah Angka Loro, dilatih dan diajari tiap hari tanpa jeda. Tidak mungkin diserahkan kepada bimbingan belajar selama satu tahun agar bisa berbudaya membaca buku hanacaraka dengan lancar. Andaikata kelancaran membaca buku dan menulis (buku) itu diujikan di UNAS, tidak mungkin masuk bimbingan belajar selama satu tahun bisa menolong meluluskan. Karena membaca buku dan menulis buku itu budaya, bukan muatan ilmu.

Kesimpulan.

Lulus UNAS untuk apa?
Tulisan pengalaman saya ini bermaksud, agar bersekolah 12 tahun awal umur putera bangsa ini betul-betul dimanfaatkan untuk membudayakan membaca buku dan menulis buku, seperti halnya bangsa-bangsa maju yang lain. Jangan putera bangsa tetap bersekolah sukar dan mahal, tetapi kehidupannya tetap bernilai f0,02 sehari (bodoh dan miskin). Sudah bersusah payah dengan biaya mahal bersekolah 12 tahun, lulus UNAS kiat hidupnya masih saja hanya mengandalkan kekuatan panca-inderanya. Berarti sama saja dengan bapak tani zaman kuno, bisa sukses menanam padi hanya karena menconto dan meniru perbuatan orang lain yang bisa dipelajari dari dilihat dan didengar. Kiat hidupnya tidak disaranai dengan membaca buku.
Oleh karena itu saya punya ungkapan istilah seperti berikut:
Manusia yang kiat hidupnya hanya mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya saya namai MANUSIA KODRATI. Artinya dia mencapai kepuasan hidupnya seperti halnya orang primitif, yaitu dengan hanya mengandalkan kekuatan kodratnya, yaitu: melihat, mendengar, mengalami, meraba, merasakan. MANUSIA KODRATI adalah manusia primitif yang hidup zaman sekarang.
Manusia yang kiat hidupnya selain mengandalkan kekuatan indranya atau kodratnya juga disaranai kekuatan MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU, saya namai MANUSIA SASTRAWI. Artinya dia mencapai kepuasan hidupnya dengan cara-cara menggunakan ilmu yang didapat dari MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Hidup sebagai MANUSIA SASTRAWI akan lebih gampang mencapai kemakmurannya pada masyarakat global bertehnologi modern seperti zaman sekarang ini. Hidup Manusia Sastrawi bisa sesuai dengan kemajuan zamannya.

MANUSIA KODRATI = manusia primitif yang hidup pada zaman modern sekarang. Sarwaketinggal zaman.
MANUSIA SASTRAWI = manusia modern yang hidup pada zaman modern sekarang. Sesuai dengan zamannya.

Maka dari itu, saya mohon kepada Menteri Pendidikan Nasional maupun pemerintah yang membidangi sekolah (12 tahun), masukkanlah kurikulum membaca buku dan menulis buku sebagai kurikulum pokok dalam bersekolah 12 tahun awal umur putera bangsa. Pelajaran membaca buku dan menulis (buku) harus menjadi kurikulum utama dalam bersekolah 12 tahun awal umur putera bangsa. Karena kemudian lanjutan usia putera bangsa, MEMBACA BUKU DAN MENULIS (BUKU) HARUS MENJADI KIAT PENCAPAIAN KEMAKMURAN KEHIDUPAN BANGSA BERSAMA MAUPUN PERORANGAN.
Semoga terkabul. Amin..

Posted by admin on Saturday, July 24th, 2010. Filed under catatan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

3 Comments for “BERSEKOLAH UNTUK APA?”

  1. Tulisan yang panjang tapi tetap satu semangat dengan ide dasar pak Suparto Brata, yaitu bahwa pelajaran membaca dan menulis sangat penting untuk bekal kehidupan yang lebih baik.

    Manfaatnya memang sangat terasa, bukan sekedar untuk lulus namun juga untuk bisa berkembang. Kalau rajin membaca, ada lebih banyak ide yang bisa dipelajari dan diterapkan.

    Bisa saja sekolah di tempat yang sama, guru yang sama, lingkungan yang sama, namun hasilnya berbeda antara anak yang mendapat wawasan tambahan dari bacaan dibandingkan dengan anak yang hanya menyerap ilmu dari gurunya.

    Terima kasih untuk semangat dan pelajarannya pak.

  2. saya sangat menikmati tulisan ini, dan manggut2 selama membacanya. Bagus sekali, saya sangat setuju. Membaca buku sangat penting.
    Dimasa saya sekolah, saya merasa sekolah hanya untuk menjawab soal-soal.
    Orientasi utamanya adalah bisa menjawab soal. Jadi esensi ilmu dan praktik kurang sekali.
    Tak pernah diajarkan (diwajibkan) baca buku. Jadi pengetahuan hanya terbatas pada ulasan sekilas di buku pelajaran.
    Jadi saya hanya geleng2 kepala ketika membaca pada masa bapak di sekolah angka loro sudah tau buku hasil terjemahan.
    Jaman sekarang, di SD-SD lingkungan saya, jangankan muridnya, gurunya pun saya yakin jarang baca buku.

  3. tulisan yang membuat saya lebih bersemangat untuk belajar, walaupun insya Allah, 2 tahun lagi akan pensiun. Eyang saya mohon ijin seratan penjenengan baik di PS, maupun di blog akan saya sampaikan kepada murid saya yang merupakan wajib dibaca anak kelas 9. Kemungkinan akan saya kutip sebagian kalimat yang membuat murid saya bersemangat lagi membaca. Kalau tidak salah eyang Parto alumni SMP 2 Surabaya.apakah betul?

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*