MELANTJONG PETJINAN SOERABAIA “TJING BING” biasa dieja Qing Ming

| |

*

*

Eka Mayasari, aku ingat. Beberapa kali namanya masuk emailku. Pernah juga telepon. Mengundang mengikuti acara yang diselenggarakan oleh House of Sampoerna. Misalnya Pameran foto “sosok” Surabaya karya Hariyong (saya jadi salah seorang model sosoknya); Seminar sejarah napak tilas muhibah Hayamwuruk; Menjajal Surabaya Heritage Track (sayang undangannya per telepon tidak saya catat tempat dan waktunya, karena dijanjikan undangan tertulisnya menyusul, namun tidak saya terima, jadi saya tidak bisa hadir).

Paulina Mayasari masuk emailku 8 Maret 2010. Tanya tentang bukuku bahasa Jawa GEDHONG SETAN, berapa harganya dia mau beli. Saya jawab, belum terbit, rencananya terbit 2010, oleh Penerbit Narasi Jogjakarta. Tanya saja langsung ke Narasi, kapan dicetak dan berapa harganya. Mayasari bukan satu-satunya penggemar sastra Jawa yang tanya tentang buku bahasa Jawaku lewat email. Jawabanku tentang buku bahasa Jawaku pasti begitu. Tanya langsung saja ke Penerbit Narasi Jogja.

Tanggal 20 April, Paulina Mayasari ngemail saya lagi, subjeknya Re Gedhong Setan. Wah, antusias betul mau membaca buku sastra Jawa. Saya buka, isinya begini:

Pak Suparto Brata yang baik, Waktu saya browsing2 mengenai makam cina, saya menemukan blog Bapak lagi hehehe. Apakah Bapak tahu informasi mengenai kuburan Tionghoa yang tersebar di Surabaya? Boleh saya dibagi informasi Pak? Terimakasih. Salam. Maya.

Heh, kiranya Mayasari bukan penggemar buku sastra Jawa, wong yang diperhatikan tentang kuburan Cina. Buku saya Gedhong Setan memang menceritakan tentang gedung yang terletak di kawasan Banyuurip/Pasarkembang Surabaya tahun 1941 (zaman Belanda) waktu itu gedung tadi dianggap angker ditinggalkan oleh pemiliknya, dan lahan di sekitarnya sudah rapat dikelilingi kuburan Cina. Mungkin ini Mayasari yang berhubungan dengan sejarah Surabaya, yaitu staf dari House of Sampoerna. Emailnya saya reply: Secara fisik saya tahu. Tentang kuburan Cina saya pernah ditanyai secara khusus oleh Pak Sarkawi, dosen Sejarah Unair. Saya tidak tahu untuk apa, tentunya untuk karya ilmiah. Saya juga pernah ditanyai lewat telepon oleh Pak Nurinhwa mengenai orang-orang Tionghoa zaman dulu yang miskin sekitar Kedungdoro-Pasarkembang. Juga saya jawab per telepon. Dengan Pak Nurinhwa saya sering bekerja sama menulis bukunya, termasuk jadi narasumber buku-buku beliau. Sangat mungkin jawaban saya per telepon juga dijadikan bahan penulisan bukunya masa mendatang. Pernah juga saya diwawancarai sebagai narasumber tentang pendidikan (sekolah) Tionghoa di Surabaya tahun 1950-an. Ini untuk penulisan tesis Ibu Shinta Devi, dosen Unair. Wawancara dilakukan di rumah anak saya di daerah Jatiwaringin Jakarta Timur, ketika saya sedang menunggui rumah itu. Dari Surabaya Ibu Shinta datang bersama tiga orang mahasiswa yang sama-sama mau menulis skripsi tentang sejarah Surabaya.

Keesokan harinya Mayasari menanggapi lewat email: Re Gedhong Setan. Pengetahuan Bapak tentang makam Tionghoa di Surabaya jelas lebih luas daripada saya. Boleh saya bertemu Bapak untuk mengetahui lebih lanjut soal itu. Bagaimana kalau hari Jumat atau Sabtu 23 atau 24 April? Kami mau mengadakan wisata petjinan Soerabaia, mau anjangsana ke makam-makam Tionghoa.

Langsung saya reply: Senang sekali bisa bertemu. Tapi terus terang, saya sudah tua, sangat enggan keluar dari rumah. Meskipun “terpenjara” di rumah, saya sibuk sekali. Agenda kerja saya ketat. Jadi kalau “bertemu” saya harus keluar rumah, saya keberatan. Lalu-lintas kota sudah tidak saya kuasai, juga pembangunan fisik Surabaya sudah tidak bisa saya semak lagi.

Direply Mayasari: Posisi saya sekarang di Jakarta. Saya usahakan bertemu di rumah Bapak. Tolong diberi alamat rumah serta teleponnya.

Sejak itu, Mayasari menyatakan mau berkunjung ke rumah lewat telepon. Ditetapkan hari Jumat siang. Tidak datang, dia telepon minta maaf belum bisa datang siang, bagaimana kalau malam harinya. Waktu itu sudah sore dan rumah saya hujan lebat. Saya tolak. Lebih baik siang hari saja. Jadi hari Sabtu besoknya. Jam 10. Ditunda jam 2 siang. Jam 3 dia telepon sedang macet di Jalan Kartini. Mungkin jam 5 baru sampai rumah saya. Akhirnya jam 5 sore Mayasari datang di rumah, mengendarai mobil sendiri.

Ternyata dia bukan Mayasari yang saya bayangkan semula, yaitu Mayasari yang dari House of Sampoerna. Bukan. Meskipun sama-sama menyelenggarakan wisata sejarah masa lalu Surabaya, Paulina Mayasari (yang lebih suka dipanggil Maya) menyelenggarakan Melantjong Petjinan Soerabaia atas ide dan prakarsanya sendiri. Dibantu oleh sanak kerabatnya. Melantjong Petjinan Soerabaia yang sekarang diselenggarakan hari Minggu 25 April 2010 (besok paginya dari kedatangannya di rumah), dengan tema Tjing Bing, yaitu adat orang Tionghoa bersih-bersih makam leluhurnya. Wisata Tjing Bing ini adalah Melantjong Petjinan Soerabaia yang diselenggarakan Mbak Maya yang ke tiga kalinya.

Ngobrol lama dengan saya (jam 5-9 malam) dan mengetahui “pekerjaan” saya (yaitu menulis segala pengalaman hidup yang saya ingat, lebih-lebih tentang Surabaya karena saya menjalani hidup lama di Surabaya), dia minta dengan sangat agar saya mau ikut wisata Tjing Bing ini. Saya akan dijemput pagi-pagi (jam 06.00), ikut wisata dengan segala fasilitasnya, serta nanti diantarkan pulang.

Saya putuskan ikut setelah dia berkali-kali pamit, tapi masih juga minta saya ikut untuk dijadikan narasumber dalam wisata Tjing Bing ini, karena pengetahuan saya tentang Tionghoa di Surabaya jauh lebih luas daripada para peserta yang ikut wisata dan objeknya ini. “Ditulis bagus, Pak. Tapi kan makan waktu lama. Dan juga yang baca nantinya juga terbatas. Pengetahuan Bapak ini perlu juga diceritakan secara lisan, sebab kaum muda Indonesia sekarang lebih gampang menyerap ilmu pengetahuan lewat melihat dan mendengar.” Pengetahuan ilmu hidup orang Indonesia masih berbahasa lisan, bukan tulisan.

*

Minggu 25 April 2010, lain dengan hari-hari kebiasaanku, yaitu pagi-pagi menulis di komputer sampai jam 06.00, mandi, lalu jalan-jalan pagi di sekitar rumah, pulang, sarapan roti dan minum Angline, lalu membaca buku (sepanjang sinar matahari bisa untuk penerangan membaca buku). Hari itu jam 06.00 saya sudah siap bepergian, pakai sepatu segala. Ditanya oleh anakku yang baru saja bangun kok melihat saya sudah siap pergi, saya jawab mau pergi melancong mengunjungi kuburan Cina dibawa oleh Mayasari, yang tadi malam bertamu ke rumah, yang menurut kartunamanya bekerja di Web and PR Development Assistant UNESCO Office Jakarta. Pekerjaan Mayasari perlu saya sebutkan kepada anak saya, sudah menjadi kebiasaan keluarga, tiap kali keluar rumah harus pamit dan harus ketahuan perginya ke mana. Apalagi saya baru kenal Mayasari tadi malam, sekarang pagi-pagi benar saya siap meninggalkan rumah. Orang di rumah harus tahu saya pergi ke mana, dengan siapa. Meskipun sebenarnya, tadi malam Mbak Maya sudah menceritakan, dia memang bekerja di UNESCO di Jakarta, namun penyelenggaraan Melancong Petjinan Soerabaia ini atas usahanya sendiri terlepas sama sekali dengan pekerjaannya di UNESCO.

Mbak Maya menepati janji. Jam 06.00 sudah menjemput saya. Sendiri, pakai mobil Kijang. Dan saya pun dibawa ke rumahnya, Jalan Bibis 3 Surabaya. Ini daerah perumahan Pecinan kuna, yaitu Kembang Jepun. Mbak Maya cerita, itulah rumahnya sejak dahulu. Namun sebagai keturunan Cina dia tidak bisa bahasa Mandarin, tidak bisa membaca huruf Cina, dia memang mengakui sebagai orang Indonesia aseli, dan lebih biasa berbahasa Suroboyoan. “Wah, sama dengan Anggodo Widjojo. Rumahnya juga di daerah situ, bahasa Jawanya juga Suroboyoan,” komentarku. Mbak Maya tertawa.

Jam 07.00 sudah sampai. Sebagai rumah Pecinan kuna, rumahnya memang pepat dengan tetangga tak ada sela tanah. Sudah banyak yang kumpul. Peserta yang datang absen dulu, dan diberi kalung kartu tanda peserta. Panitya pembantunya juga cukup banyak. Diberi bungkusan senek. Banyak di antara peserta mengenakan kaus seragam dengan tulisan Melantjong Petjinan Soerabaia. Di antara peserta ternyata ada yang kenal saya, yaitu Mbak Wiwiek. Dia guru, penggemar buku, termasuk buku saya. Rajin menghubungi saya kalau ada acara tentang buku. Beberapa kali ada acara Lan Fang (pengarang novel Perempuan Kembang Jepun, Ciuman Di Bawah Hujan) saya dihubungi oleh Mbak Wiwiek.

Akhirnya jam 08.00 baru berkumpul seluruhnya. Bukan saja dari keturunan Tionghoa, dan tidak muda, ada juga ibu-ibu yang berjilbab (pensiunan Dep. Keuangan Indrapura). Setelah nama saya disebut, ternyata ibu-ibu ini penggemar bacaan Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ada juga sepasang suami isteri, suaminya pegawai Kantor Pos Krembangan Surabaya, namun sekarang sudah dipindah ke Bandung, ternyata suaminya kolektor buku-buku saya. Pasangan ini juga motret saya di Pameran Foto Hariyong di House of Sampoerna. Ada juga mahasiswi Universitas Petra jurusan Arsitektur. Ada juga peserta dari Mojokerto, Semarang, Solo.

Menjelang berangkat, Mbak Maya menguraikan sedikit tentang pelayanan acara Melantjong Petjinan Soerabaia yang ke-3 kalinya ini dengan pokok acara Tjing Bing, yaitu mengunjungi makam-makam Tionghoa di Surabaya. Ke mana saja nanti yang dikunjungi, apa kendaraannya yaitu disewakan 5 bemo (angkutan kota), tiap bemo diisi 12 orang dengan sopir, jadi pesertanya kurang lebihnya 50 orang. Mengapa menggunakan bemo, karena yang dikunjungi daerah makam jalannya sempit, tidak mungkin dengan bus.

Setelah menguraikan acara kunjungan makam Tionghoa dengan tema Tjing Bing tadi, Mbak Maya minta saya untuk memberikan sedikit uraian pengetahuan saya tentang makam-makam Tionghoa di Surabaya. Ada para peserta yang “tercengang” nama saya disebut, lalu bergairah memotreti saya. (Ternyata mereka wartawan dari Arek Teve dan Radar Surabaya, yang agaknya kenal nama saya).

Kata Tjing Bing, pertama kalinya saya kenal ketika saya masih kecil (umur 7-8 tahun) di Sragen (kota kecil). Di sana ada pabrik gula Mojosragen. Tjing Bing, pengertian saya dan orang desa waktu itu, adalah perayaan besar di lapangan dekat pabrik gula, untuk merayakan permulaan giling tebu. Tiap kali pabrik akan giling tebu maka diadakan perayaan Tjing Bing. Giling tebu itu diadakan setahun sekali, setelah tebu habis digiling, ya pabrik istirahat. Tahun berikutnya, waktu musim panen tebu, biasanya menjelang musim kemarau, tebu diangkut lori menuju pabrik, sebelum giling, diselenggarakan perayaan Tjing Bing, pesta rakyat atau pasar siang-malam di lapangan dekat pabrik. Di lapangan itu ada pertunjukan sulap, sirkus kecil, dagelan. Tentu saja juga banyak digunakan oleh para pedagang untuk menjajakan dagangannya sehingga perayaan Tjing Bing tadi menjadi ramai. Seumur-umur saya sudah beberapa kali mengikuti perayaan Tjing Bing di pabrik gula Mojosragen itu. Dari perayaan itu yang paling menarik adalah pemutaran film di lapangan itu untuk umum semalam suntuk. Tiap kali ada Tjing Bing, banyak orang termasuk anak-anak teman saya, bersiap diri menonton film semalam suntuk. Film yang diputar adalah film-film yang pernah diputar di Panti Budaya (di Sragen 1938-1942 di lapangan depan Kabupaten ada rumah dari seng digunakan untuk pertunjukan seni budaya seperti kethoprak, wayang wong, dan yang permanen adalah bioskop. Rumah seng itu dinamakan Panti Budaya, tertulis di atas depan rumah tadi). Film-film itu terdiri dari beberapa lakon adalah film Hollywood, bahasa Inggris pakai teks bahasa Belanda. Tentu saja saya (umur 7 tahunan) dan orang desa (buta huruf, kurang pengetahuan) yang menontonnya tidak mengerti jalan cerita sesungguhnya maupun seutuhnya. Namun bertahan menonton terus, karena bahasa gambar memang selalu mempesona. Anak-anak sekarang (umur 6-15 tahunan) juga selalu terpesona menonton TV, ada yang tahan menonton TV 3 jam per hari. Bandingkan dengan saya dan orang desa yang hanya setahun sekali sempat menonton lakon film Hollywood di waktu Tjing Bing. Biarpun tidak mengerti keseluruhan ceritanya, namun terpesona juga menonton bahasa gambar tadi, persis seperti anak-anak zaman sekarang menonton TV. Dan film Hollywood waktu itu adegan berciuman maupun berpelukan laki-laki perempuan tidak disensor. Tersorot begitu saja. Maka orang-orang desa yang menonton adegan itu pun pada bersorak-sorak memprovokasi supaya semua bersaksi memperhatikan gambar, “Ambuuung! Ambuuuung!” (Ciuum! Ciuum!). Setelah lakon berciuman, orang-orang desa itu kian gegap gempitalah sorak dan tepuk tangannya. Begitu gairah dan pengaruhanya bahasa gambar pada orang desa yang punya kesempatan menonton sekali dalam setahun ketika Tjing Bing. Betapa pengaruhnya bahasa TV yang menayangkan peristiwa kekerasan seperti Embah Priok terhadap anak-anak yang menonton TV 3 jam sehari? Pemutaran film ketika perayaan Tjing Bing memang menjadi favorit. Artinya seluruh perayaan (panggung sulap, dagelan, sirkus) selesai jam 10 malam, pemutaran film tetap ditunggu-tunggu karena diputar sampai semalam suntuk. Pada suatu tahun saya mengalami malam itu hujan. Namun pemutaran film tetap berlangsung, dan penonton tetap tidak beranjak dari tempatnya. Menonton terus. Yang paling dinanti adalah film coboy. Film coboy meskipun tidak dimengerti teksnya, namun dengan bahasa gerak gambar bisa difahami kepahlawanannya. Cerita cowboy itu terus dipercakapkan oleh anak-anak termasuk saya, meskipun kami menyebut peran-perannya hanya dengan istilah “lakoné, nyonyaé lakoné, bandité, indiané”. Betul-betul ndesa dan primitif. Dan dalam peristiwa pemutaran film Tjing Bing, cerita cowboy ini pasti diputar terakhir, bubar ketika sudah remang-remang pagi, jam 04.30. Karena diputar terakhir, ya kami (orang desa, anak desa) ya menunggu sampai film cowboy diputar habis. Kami orang desa sudah biasa nonton wayang sampai pagi hari. Menonton perayaan Tjing Bing sampai semalam suntuk sudah menjadi agenda rutin setiap tahun pabrik akan giling tebu, bukan masalah.

Begitulah kata Tjing Bing saya dengar untuk pertama kalinya. Tjing Bing bukan bahasa Jawa. Bukan bahasa Belanda. Sangat kentara bahasa Cina. Tapi kok untuk perayaan giling tebu? Apa hubungannya? Dan giling tebu itu suasananya tetap, yaitu ketika tebu di sekitar pabrik cukup tua untuk dipanen, yaitu menjelang musim kemarau (bisa ditengarai juga biasanya nonton film Tjing Bing tidak hujan, tapi kok pernah ada hujan). Musim kemarau itu biasanya dimulai bulan April. Saya terus berpikir, awal giling tebu disambut dengan perayaan Tjing Bing, sebenarnya kan berhubungan dengan panen tebunya. Dan panen tebu itu dirayakan karena berhasil olah pertaniannya (menanam tebu). Jadi mungkin yang dirayakan bukan maunya pabrik giling tebu, melainkan sukaria hasilnya panen tebu. Dan panen tebu yang berhasil itu berhubungan juga dengan pergantian musim, dari musim penghujan ke musim kemarau. Mungkin istilah Tjing Bing bahasa Cina juga ada hubungannya dengan perayaan pertanian yang berhasil, atau ada hubungannya dengan pergantian musim. Dalam hal hasil panen tebu yang berhasil tiap tahun, saya juga berpikir bahwa ini juga kebijakan bangsa Belanda yang mengatur musim-musim menanam tebu dan memanen tebu. Di Sragen, menanam tebu hingga dipanen sangat keras dijaga oleh orang-orang dari pabrik. Waktu tanam tebu juga mengerahkan buruh harian yang disewa dari orang desa, waktu panen juga dikerahkan orang-orang desa yang diawasi benar oleh orang pabrik. Sawah-sawah yang ditanami tebu bergiliran disewa oleh pabrik. Sementara sawah lain yang tidak dapat giliran disewa pabrik ditanami padi atau yang lain oleh pemilik sawah. Untuk pengaturan bergilir tanam tidaknya sawah ditepatkan pada pergantian musim. Sehingga tidak merugikan pihak petani pemilik sawah. Panen padi di sawah biasanya pada musim kemarau. Setelah hasil bumi (tebu dan padi) dipanen pada musim kemarau, sawah diolah, pada awal musim penghujan ada air, sawah sudah siap ditanami (tebu atau padi). Musim-musim peralihan antara kemarau dan penghujan yang dibarengi sawah mulai ditanami padi begitu dalam bahasa Jawa disebut mangsa gadhu. Sedang musim peralihan antara musim penghujan menjelang musim kemarau (bulan Maret-April) yang dibarengi panen hasil pertanian (tebu, padi) dalam bahasa Jawa disebut mangsa marèng. Jadi sebetulnya dalam bahasa Jawa ada 4 musim, yaitu ketiga, marèng, rendheng, gadhu. Ketiga adalah musim kemarau, rendheng adalah musim penghujan.

Jadi Tjing Bing yang semula saya dapatkan dengan perayaan awal giling tebu, saya tengeri sebagai bahasa Cina, saya hubungkan dengan pergantian musim (hujan dan tidak hujan waktu nonton film Tjing Bing), lalu juga keberuntungan hasil pertanian (panen tebu dan padi). Jadi Tjing Bing itu bukan bahasa Belanda dan Jawa, tapi bahasa Cina, dan itu digunakan untuk perayaan awal giling tebu. Giling tebu bersangkutan dengan panen tebu (hasil olah pertanian) yang diatur oleh Belanda musim-musimnya tanam ataupun panen. Maka tidak mustahil kalau kata Tjing Bing bahasa Cina itu ada hubungannya dengan pergantian musim atau masa-masa panen olah pertanian. Itu othak-athik saya sejak dulu mengapa perayaan awal giling tebu itu oleh Pabrik Gula Mojosragen dinamai Tjing Bing. Saya othak-athik sendiri, saya simpan dalam hati, dan tidak saya tanya-tanyakan kepada orang lain, sebab saya kira sudah tidak akan saya berucap kata Tjing Bing lagi. Namun, tiba-tiba kini saya ikut Melantjong Petjinan Soerabaia, dengan judul Tjing Bing, yang artinya dan acaranya nanti mengunjungi makam-makam leluhur Tionghoa. Maka kata Tjing Bing pengertian saya saya urai di sini. Itu kata Tjing Bing pengertian yang saya rekam sendiri hingga saat ini. Sama sekali tidak berhubungan dengan bersih makam leluhur seperti acara Tjing Bing hari ini. Saya mohon maaf.

Karena hari sudah siang, khawatir jadwal acara yang sudah ditentukan molor sehingga tidak tepat waktu, maka acara melantjong segera dilaksanakan. Para peserta naik bemo yang sudah disediakan, untuk gampangnya menghitung supaya tidak ada peserta yang tercecer, tiap bemo yang berangkat penumpangnya harus 12 orang dengan sopir.

*

Tujuan pertama adalah melihat perusahaan batu BONGPAY, katakanlah pembuatan batu nisan (nisan pralaya). Yang dikunjungi adalah Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, Jalan Bunguran 91 Surabaya, dekat Pasar Atom, dari Jalan Bibis dekat saja. Toko sekali gus bengkelnya diapit oleh bangunan-bangunan kuna daerah Kembang Jepun, namun itu hanya sebagai kantor pusatnya. Sebagai toko-bengkel di situ juga ada pekerja yang sedang giat memahat batu marmer atau granit, berada di ruangan depan toko, bisa dilihat dari jalan umum. Agaknya memang diragakan untuk pameran. Para pekerja itu dengan telaten mengukir huruf-huruf Tionghoa dengan pahat pada batu marmer atau granit. Batu marmer atau granit itu adalah papan nama yang dipesan orang untuk kelengkapan batu nisan kuburan.

Karena sempitnya toko-bengkel yang telah dipenuhi dengan batu-batu contoh dagangan dan banyaknya peserta wisata, maka untuk mendengarkan penjelasan dari pemilik toko, etnis Tionghoa dengan nama Pak Suwanto, terpaksa harus berani berdesak-desakan. Berdesak lebih mendalam, berdesak kembali ke depan. Sebab untuk menerangkan dagangannya (batu-batu granit dan marmer) Pak Suwanto harus menunjuk contoh-contoh yang ada terserak di toko itu. Sebetulnya lebih tepat contoh-contoh batu marmer itu saya istilahkan dengan “pating jenggeleg” daripada terserak. Karena bentuknya besar-besar memenuhi ruangan.

Pak Suwanto mengaku sebagai generasi ke 3 atau ke 4 mengelola perusahaan batu Bongpay itu. Kakek atau buyutnya tentulah sudah memulai pengusahaan itu jauh semenjak zaman Belanda. Dari arsip yang ditemukan, perusahaan batu Bongpay Tjwan Tik Sing itu mendapat ijin usaha (HO) tahun 1937. Tapi mulainya usaha tentu lebih jauh dari tahun itu. Karena penguburan orang Cina di Surabaya dan sekitarnya kan sudah dimulai jauh sebelum bangsa Belanda datang di Surabaya. Dan perusahaan pembuatan batu Bongpay ini sampai sekarang tetap bisa hidup, artinya yang pesan baik batu Bongpay maupun batu pahat (untuk prasasti) maupun patung pualam, masih cukup berimbang. Artinya carinya bahan batu yang sesuai dengan kehendak pemesan tercukupi.

Untuk mencukupi atau memuaskan keinginan pemesan, sejak dahulu kala hingga sekarang perusahaan Tjwan Tik Sing memerlukan mencari dan memesan batu marmer atau granit dari segala tempat. Dulu kala orang Tionghoa yang sangat menghormati para leluhurnya dan asal usulnya, sangat menghendaki pahatan Bongpaynya bahannya juga didatangkan dari daratan Cina. Banyak yang pesan sudah jadi dari sana. Namun dengan bergeseran sejarah, sudah sejak zaman Belanda perusahaan Tjwan Tik Sing juga melayani pesanan batu Bongpay yang bahan pualamnya impor dari daratan Cina. Tentu saja caranya import bahan pualam tidak saja pada waktu ada pesanan, melainkan perusahaan sudah harus ada bahan itu di tempat (Indonesia/Surabaya), sehingga kalau ada yang pesan Bongpay dengan batu pualam dari Cina, tinggal menunjuk saja batu pualam persediaan Tjwan Tik Sing. Batu pualam yang dari daratan Cina dan disenangi oleh pemesan Bongpay warnanya hijau.

Selain batu pualam dari Cina yang berwarna hijau, populer juga batu pualam dari Itali. Itali memang gudangnya dan sumbernya batu pualam sejak zaman dahulu. Dan penggunaan batu marmer dari Itali untuk patung-patung gereja dan juga makam sudah tersebar bersama dengan perkembangan agama Roma. Oleh karena itu perusahaan Bongpay Tjwan Tik Sing juga menyiapkan batu pualam import dari Itali. Banyak warnanya putih atau abu-abu.

Karena kesulitan import bahan pualam dari luar negeri, padahal pesanan tulisan nisan atau patungnya tetap ada sesuai dengan banyaknya orang harus dikubur, maka dicarilah batu pualam dari negeri sendiri. Dalam pengalaman Tjwan Tik Sing batu-batu pualam dari dalam negeri bisa diperoleh di Batam, Salatiga, Jawa Barat, dan banyak lagi. Terus diupayakan pencarian karena konsumennya (pemesanan Bongpay) tetap ada. Perbedaan batu-batu pualam dari berbagai tempat bisa ditandai dari warnanya, misalnya yang dari Salatiga itu kekuning-kuningan. Dan juga kwalitas kekerasan batunya. Yang paling keras memang marmer, yang agak kurang keras batu granit. Tentu saja baik warna maupun kwalitas kerasnya pualam mempengaruhi harga-harga pesanan. Yang import dari Cina paling mahal. Selain itu pualam yang keras selain tahan lama, juga tidak tumbuh jamur atau lumut. Lain dengan yang kwalitasnya kurang keras. Karena Bongpay letaknya di alam terbuka dan kadang jarang dikunjungi lagi oleh keluarganya, batu Bongpaynya bisa keropos kena panas-hujan, dan juga ditumbuhi lumut atau rumput.

Orang memesan Bongpay bermacam-macam. Bentuk kuburan Cina biasanya gundukan tanah besar, di depan ditengarai dengan batu nisan atau Bongpay. Bongpay ini selain catatan (tulisan) tentang siapa yang dikubur juga terdapat simbul-simbul drajat mereka yang dikubur, yaitu berupa patung-patung, paling jamak menurut kepercayaan adalah patung binatang seperti singa dan naga. Bertambah hebat orang yang dikubur, bertambah megah bentuk-bentuk Bongpay serta simbul-simbulnya. Selain simbul-simbul singa dan naga tersebut, juga terdapat “bangku altar” tempat persembahyangan. Nah, melayani permintaan pembuatan Bongpay lengkap begitu, tergantung pada kepercayaan, selera dan kekuatan finansialnya, seringkali neka-neka. Misalnya Bongpay (nisan bertulis) dengan “bangku altar” tempat sembahyang harus dari satu bongkahan pualam. Tidak boleh sambung-sambung (dengan niatan walaupun dilanda musim hujan panas dan lama tidak dikunjungi keluarga, keadaan makam di depan nisan sampai altar tetap bersih, tidak ditumbuhi rumput atau lumut). Atau bentuk patung singa dan naganya harus besar atau kecil saja, batunya kwalitas bagaimana, semua ada permintaan dan harganya. Pada zaman yang lampau, bentuk Bongpay bisa makan tempat 4-5 meter dengan ketebalan 10-20 cm (lebih tebal lebih kuat, lebih abadi), dan itu harus dalam satu keping pualam. Pembuatan batu Bongpay seperti itu (panjang 5 meter) tentu saja tidak dapat dikerjakan di Bunguran Surabaya. Tjwan Tik Sing punya bengkel-bengkel pembuatan Bongpay di luar kota. Dan bagaimana nanti setelah selesai dikerjakan di bengkel, lalu diangkut ke makam yang mungkin letaknya jauh (lain kota bahkan provinsi)? Betapa repotnya. Juga import pualam selain memerlukan ruangan palka kapal yang harus hati-hati juga makan tempat. Tehnis-tehnis seperti itu sudah dikuasai betul oleh Tjwan Tik Sing.

Untuk melengkapi pengetahuan para pelantjong pagi itu Pak Suwanto menunjukkan bahan-bahan yang telah diimport dari Cina, juga patung-patung pola (miniatur) yang bisa dipesan lewat Tjwan Tik Sing. Ada bongkahan pualam berbentuk bola besar (diameter 2 meter) memenuhi ruangan, katanya dari daratan Cina. Ya akan jadi seperti itu (memenuhi ruangan) selamanya, karena yang beli/pesan tidak ada, dibuang ya sayang. Diparkir di situ ya untuk contoh riwayat perusahaan Bongpay itu saja. Sedang patung-patung pola yang terdapat hanya untuk contoh bagi para pemesan. Bentuknya sebesar kucing jantan. Sedang yang pernah saya lihat di makam Cina (misalnya di Tambaksari Surabaya 1942-1960-an), bentuk patung singanya sama dengan patung pola sebesar kucing jantan itu, tapi di makam Tambaksari Selatan besarnya sebesar singa sungguhan. Oleh karena itu ketika saya pesan gambar sampul buku saya Gedhong Setan yang menggambarkan kuburan Cina di depan Gedhong Setan, saya minta gambar patung singa. Tapi pelukisnya tidak pernah menghayati (melihat) kuburan Cina yang saya maksud, maka yang digambar patung singa seperti halnya singa di kebun binatang. Bukan singa simbul makam Tionghoa.

*

*

Dari Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, para pelantjong disuruh segera naik kendaraan (mengejar waktu jadwal yang telah diatur) menuju ke Jalan Dinoyo melihat Perusahaan Pembuat Peti Mati ARIO. Tempatnya di Surabaya selatan.

Berbeda dengan Perusahaan Batu Bongpay Tjwan Tik Sing, perusahaan peti mati Ario tempatnya di pinggir jalan besar dengan halaman yang cukup luas. Halaman depan perusahaan itu bisa dimasuki 10 kendaraan roda 4 besar kecil. Sangat leluasa.

Kami diterima oleh Pak Ario. Semula kami dipersilakan melihat-lihat kantor administrasinya, yaitu beberapa kamar di ruangan rumah depan. Semua serba modern, komputerize. Lalu dipersilakan berkumpul duduk di ruang paling depan yang merupakan seperti ruangan kelas sekolah, yaitu ada beberapa bangku-meja berjajar menghadap satu jurusan, sedang di muka ada tempat guru mengajar. Namun karena tamu pelantjong hari ini begitu banyak, ruang kelas itupun penuh sesak. Menerima banyak tamu begitu tampaknya telah biasa bagi Pak Ario, apalagi sudah dengan perjanjian sebelumnya, maka pertama kali kami diberi suguhan paket makanan dan minuman.

Seperti Pak Suwanto usahanya Bongpay, perusahaan Pak Ario inipun meneruskan dari leluhurnya. Setelah menerangkan berbagai sejarah pengalamannya (maaf karena tehnik suara, pendengaran saya kurang jelas). Untuk “menjual” peti mati tentu saja pengusaha memerlukan promosi. Dan promosi ini tentu saja yang diarah keluarga orang yang mati maupun akan mati. Dan orang yang mau mati, yang paling banyak terdapat di rumah sakit. Maka sepintas lintas kelihatannya menebarkan dosa, untuk supaya peti matinya laku, mengharapkan banyaknya orang mati. Tapi hendaknya juga diingat akan profesi dokter. Profesi dokter supaya laris juga tidak mengharap banyak orang sakit. Dokter supaya laris yang disasar adalah kemanjurannya menyembuhkan orang sakit. Begitu juga menjual peti mati, yang sasar adalah pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap keluarga yang sedang berduka karena kematian keluarganya. Meskipun begitu Ario juga tidak menonjol-nonjolkan keunggulan pelayanannya itu di rumah-rumah sakit kepada keluarga yang sedang berduka. Paling-paling hanya memasang iklan, tidak membujuk-bujuk kepada keluarga yang berduka itu. Dengan cara itu saja, perusahaan Ario bisa berjalan dengan baik. Artinya tidak pernah sepi dari pesanan.

Dalam usahanya menjual peti mati, sudah sejak leluhurnya dahulu Ario juga menyediakan pelayanan angkutannya. Dulu kereta jenazah, sekarang mobil jenazah. Dengan kemajuan zaman dan ruwetnya kehidupan, sekarang Ario tidak hanya menjual peti mati, melainkan mengurusi segalanya soal kematian. Bisa dipaket mulai pengurusan surat dokter, pemakaman jenazah menurut kehendak keluarga, sampai selesai. Orang berduka cita pasti bingung mengurusi baik administrasi penguburan jenazah (rumah sakit, surat dokter, menghubungi makam, menghubungi RT/RW/Dispenduk), maupun jalannya jenazah sampai ke liang kubur. Untuk itu Ario melayani segala keperluan “perawatan” jenazah sehingga meringankan kebingungan keluarga yang berduka.

Dalam penjualan peti mati yang laris tentulah juga menambah luasnya tanah pekuburan. Apalagi orang Tionghoa, kuburannya gundukan tanahnya begitu besar. Apakah hal ini tidak menghambat bisnis peti mati Ario? Saya contohkan Surabaya sekarang makam-makam lama sudah banyak yang ditutup, tidak menerima jenazah lagi. Sedang makam yang baru di Keputih yang menerima jenazah segala agama, kini tiap hari menerima 4-6 jenazah (pengalaman memakamkan jenazah besan 27 Februari 2010), tentunya juga akan penuh dan ditutup juga. Pak Ario tidak khawatir, Tanah Jawa masih punya lahan luas untuk menanam jenazah. Dia mencontohkan di Lawang, Malang, masih tersedia luas untuk makam.

Dulu ketika mula-mula melanjutkan bisnis leluhur menjual peti jenazah, lakunya sebulan hanya tiga empat peti. Tetapi sekarang hampir tiap hari ada permintaan beli peti jenazah. Karena ramainya jual-beli peti jenazah, sehingga beberapa kali dalam satu hari laku 4 – 5 peti. Dan untuk beli peti jenazah secara paket (Ario melayani segala keperluan upacara pemakaman jenazah pembeli peti jenazah) Ario menyiapkan mobil jenazah cukup banyak, juga pegawainya (ada yang terima gaji tetap, honorer dan eksidentil, yaitu minta tolong para tetangga kampung Dinoyo yang sudah dilatih melayani upacara pemakaman jenazah). Untuk melayani pembelian peti jenazah yang kadang-kadang ramai tamu begitu maka kantor Ario dikelola dengan cara menyenangkan dan modern (ada ruangan-ruangan kantor yang nyaman untuk melayani tamu, dan sudah komputerized).

Pak Ario punya anak tunggal, perempuan, Yohana. Untuk meneruskan bisnisnya yang laris manis dan dibutuhkan masyarakat ini Pak Ario ingin bisnis menjual peti jenazah itu berlangsung terus. Selain sayang kalau terputus, juga harus dipahami bahwa penjualan peti jenazah itu sesuatu yang diperlukan betul oleh masyarakat yang terus berkembang. Harus ada di masyarakat. Penjualan peti jenazah betul-betul bisnis yang melayani masyarakat. Oleh karena itu Pak Ario membujuk-bujuk paksa puterinya supaya mau meneruskan bisnisnya ini. Dan supaya puterinya (Yohana) mengerti benar seluk-beluk bisnis pemakaman jenazah maka Pak Ario mengirimkan puterinya ke sekolah tinggi di Amerika yang mengajarkan khusus perihal pemakaman jenazah. Yang dipelajari selain ilmu dan upacara penguburan jenazah yang kasat mata juga adat-istiadat dari berbagai bangsa dan agama. Kebetulan Yohana bertemu jodohnya di sana, seorang mahasiswa dari Taiwan, Richard Wu. Mereka menikah, dan sekarang sudah bersama ikut mengurusi bisnisnya pelayanan peti jenazah di Ario Jalan Dinoyo Surabaya.

Selesai uraian Pak Ario, Mbak Maya minta agar Yohana Wu dan suaminya (Richard Wu) maju ke depan (kelas) untuk menuturkan barang sedikit tentang ilmunya. Yang terpenting tentang pengetahuan merumat atau berziarah membersihkan makam leluhur yang disebut Tjing Bing (sebelumnya Mbak Maya sudah menghubungi bakal adanya acara pelantjongan ini kepada Pak Ario dan Yohana).

Menantu Pak Ario belum lancar berbahasa Indonesia, jadi menceritakan tentang Tjing Bing yang diketahuinya maupun yang dialaminya di Taiwan dengan bahasa Inggris, diterjemahkan langsung dalam bahasa Indonesia oleh isterinya, kalimat demi kalimat. Tjing Bing adalah acara dan upacara bersih makam leluhur yang dilakukan tiap tahun pada tanggal 5 April. Tjing artinya bersih. Bing artinya jernih atau transparan. Jadi selain membersihkan makam leluhur, juga diadakan upacara persembahyangan, dilakukan di altar depan Bongpay. Oleh karena itu tiap makam yang utuh sempurna pasti ada tempat persembahyangan tadi. Waktu tepatnya tanggal 5 April, tetapi kalau tidak bisa tepat waktu, ya upacara persembahyangan dapat digeser beberapa hari sebelum atau sesudah tanggal 5 April. Dan kalau tidak dapat datang ke makam, sembahyangan Tjing Bing juga dapat dilakukan jarak jauh, misalnya dari rumah masing-masing keturunan leluhur. Jadi pokoknya, Tjing Bing dilakukan sekitar tanggal 5 April, acaranya yang pokok bersih makam dan bersembahyang untuk leluhur. Mengapa diadakan tanggal 5 April, karena bulan April di Negeri Cina merupakan musim semi di mana pohon-pohon yang semula gugur beku pada musim salju mulai bersemi. Udaranya bersih dan pemandangan mulai jernih (matahari bersinar, tumbuhan bersemi).

Selain itu agama yang dianut orang Cina adalah Hindu atau Taoisme, (di Indonesia salah kaprah disebut Konghucu. Konghucu bukan nama agama, tetapi penyiar agama Taoisme. Konghucu artinya Guru Kong, nama orang) sangat menghormati orangtua maupun leluhurnya, sangat takut kalau tidak diketahui asal-usul leluhurnya. Karena itu jenazah leluhur sangat dihormati, ingin diabadikan. Waktu mengubur pun dicarikan hari yang baik menurut keyakinan keluarga. Dengan berjalannya zaman sangat mungkin merayakan Tjing Bing tidak bisa dilakukan di makam leluhur. Tapi tidak mengurangi maksud sakral menghormati leluhur, maka hari Tjing Bing (5 April) dilakukan oleh keluarga di rumah. Tidak harus persis tanggal 5 April, 2-3 hari sebelum dan sesudah tanggal itu pun boleh. Juga karena berjalannya zaman, mencari lahan untuk pemakaman jenazah kian sulit. Maka menurut agamanya jenazah tidak ditanam lagi, tapi dikremasi (dibakar). Yang diambil dan disimpan cuma abunya. Hal itu sudah dilakukan di Cina, 99% jenazah dikremasi. Di Hongkong 98%. Di Singapura 100%. Namun penghormatan leluhur pada hari Tjing Bing pun tetap bisa dilakukan (di rumah, bukan di makam lagi).

Begitu yang diceritakan Richard Wu menantu Pak Ario. Jadi, upacara Tjing Bing sendiri yang dilakukan adalah bersih makam leluhur dan bersembahyang, beda dengan keterangan saya tentang Tjing Bing pada perayaan awal menggiling tebu di pabrik gula. Tetapi kata Tjing Bing yang punya makna bersih dan transparan mengisyaratkan juga perubahan musim, yaitu musim semi sepertinya ada kaitannya dengan musim panen tebu atau padi di Jawa (tempat pabrik gula). Ada sesuatu yang dihormati atau dirayakan dengan adanya perubahan musim, itulah yang dinamakan dengan istilah Tjing Bing.

Setelah uraian Richard Wu dan isterinya, kami para pelantjong dipersilakan anjangsana melihat-lihat kantor dan “etalage” peragaan barang dagangan Pak Ario. Ruangan-ruangan kantornya serba bersih dan disaranai peralatan modern (serbakomputer). Sedang peragaan dagangan ada di belakang gedung. Karena yang dijual adalah peti jenazah, dan pelayanannya harus mendadak (dibeli hari ini ada barangnya), maka tentu saja yang diperagakan juga peti jenazah yang bisa dibeli secara mendadak. Untuk itu Pak Ario harus menyiapkan beberapa jenis model peti jenazah, dan tiap jenis tidak hanya satu, melainkan banyak. Sehingga kalau jenis satu itu sekaligus laku 4 peti, ya harus bisa dijual 4 peti. Berbagai jenis peti jenazah siap dibeli itulah yang diperagakan di “etalage” di belakang gedung Ario. Tempat itu seperti gudang peti mati. Dijajar pada tempat yang luas dan bersih nyaman (wong etalage). Saking banyaknya peti jenazahnya yang diperagakan, hingga disusun (ada yang di bawah, ada yang di atas), tapi cara menyusunnya pun sangat apik. Tiap peti diberi daftar keterangan dan harganya, dan juga diberi kode yang sesuai dengan keterangan di komputer kantor. Bentuk dan bahannya peti jenazah berbeda-beda, ada yang besar sekali (panjang 2 meter), ada yang kecil untuk bayi. Bentuknya ada yang berhias-hias seni ukir dan seni patung, ada yang sederhana merupakan peti jenazah kotak polos biasa. Bahannya ada yang dari kayu mranti, kayu jati, kayu lain lagi, masing-masing tergantung kegunaannya (ada yang ingin petinya segera jadi tanah, ada yang ingin petinya abadi meskipun sudah ditanam di dalam tanah). Masing-masing bentuk maupun bahannya tentu saja mempengaruhi harganya. Peti jenazah yang paling rendah (peti jenazah yang paling sederhana) harganya Rp 3 juta. Yang paling tinggi harganya Rp 300 juta. Yang pesan peti jenazah bukan hanya orang Tionghoa beragama Hindu atau Taoisme, tapi juga agama lain (Kristen). Jadi bentuknya juga disesuaikan.

*

Dari perusahaan peti jenazah Ario para Pelantjong Petjinan Soerabaia “Tjing Bing” dibawa mengunjungi makam Cina di Kembangkuning.

Kembangkuning dulu merupakan tanah ujung akhir timur dari pegunungan Kendeng, pegunungan kapur yang ujung baratnya di Jawa Tengah (Sragen). Karena itu letaknya lebih tinggi dari Kota Surabaya, dan tanahnya kapur, hanya tumbuhan keras yang bisa tumbuh di situ. Yang saya tahu (melihat secara fisik) dengan berlakunya Undang-undang nomer 18 tahun 1965 yaitu Kota Praja Surabaya mendapat tambahan 5 Kecamatan baru dari semula milik Kabupaten Surabaya (sekarang namanya Kabupaten Gresik), maka daerah Kembangkuning menjadi wilayah administrasi Kota Praja Surabaya. Ketika 1969 Walikota Surabaya membangun daerah Dukuh Kupang, tanah di situ masih ditumbuhi ilalang belaka. Dan tanah makam Kembangkuning sudah ada. Tidak secara fisik saya mengerti bahwa Kembangkuning sejak zaman Belanda merupakan deret gugusan tanah makam, yaitu makam Kristen dan Tionghoa.

Makam Kristen, dulunya lebih dikenal dengan istilah kerkhof (bahasa Belanda) atau kerkop (bahasa Belanda diucapkan lidah orang Jawa), atau lebih mudah lagi disebut Kuburan Belanda. Karena awalnya yang dikubur di situ memang orang Belanda. Setelah kuburan Belanda di Makam Peneleh dinyatakan penuh, maka dicarilah lahan untuk pemakaman orang Belanda, dan ditunjuk lahan di Kembangkuning itu. Karena berlangsungnya zaman tidak ada lagi orang Belanda, maka yang dikubur di situ adalah orang yang seagama dengan orang Belanda, yaitu orang-orang Kristen. Dan selanjutnya makam Belanda Kembangkuning lebih dikenal dengan sebutan Makam Kembangkuning otomatis yang terbayang Makam Kristen.

Menurut catatan lahan kuburan Belanda Kembangkuning luasnya sekitar 5 hektar. Tahun 1941 ada keluargaku (Ny. Warsiyam Soejoso, saudara sepupuku, orang Jawa beragama Katholik) yang meninggal dunia dimakamkan di situ. Jadi meskipun sebutannya Kuburan Belanda sudah sejak dahulu ada orang Jawa yang dikubur di situ karena beragama Kristen. Tahun 1972 (?) ketika saya melayat Mbak Totilawati Tjitrawasita (seorang pengarang sastra Jawa, beragama Katholik) ke makam Kristen Kembangkuning, di situ bukan saja terdapat makam orang Kristen, melainkan juga makam orang Islam dan Buddha. Hal itu bisa ditandai dengan patok atau batu nisannya, tiap agama punya ciri sendiri. Jadi tahun-tahun setelah Indonesia Merdeka, makam Kristen Kembangkuning sudah merupakan makam dari berbagai agama. Konon ceritanya, awalnya pada bulan Oktober 1945, di Surabaya terjadi pertempuran antara Arek-arek Surabaya melawan pasukan Inggris pimpinan Brigadir A.W.S.Mallaby yang berakhir dengan tewasnya Mallaby (31 Oktober 1945 di sebelah barat Jembatan Merah ketika memimpin misi Kontak Biro untuk meredam tembak-menembak antara pasukan Inggris di Gedung Internatio dengan Arek-arek Surabaya yang meengepung gedung itu); dan kemudian berlanjut perang 10 November 1945. Sebagai pembalasan tewasnya Mallaby, maka pasukan Inggris pimpinan Mayor Jenderal E.C.Mansergh menggempur Kota Surabaya, ribuan penduduk gugur, seratus-ribuan penduduk terpaksa mengungsi keluar kota dengan barang bawaan seadanya. Kota Surabaya diduduki pasukan Inggris (pemerintahan Allied Military Administration Civil Affaire Branch Desember 1945- 1946). Pertempuran Oktober-November 1945 di Surabaya antara penduduk Surabaya yang menghendaki negaranya merdeka dengan pasukan Inggris pemenang Perang Dunia II tadi banyak menimbulkan korban jiwa. Begitu banyaknya korban tewas, maka menguburnya pun dicarikan tempat yang cepat saja. Misalnya di Canaplein, dulunya merupakan sebuah taman yang indah. Karena banyaknya korban tewas korban tadi dimakamkan di Canaplein (taman kota dijadikan makam), akhirnya kini menjadi Taman Makam Pahlawan Kusumabangsa (depan Hi-Tech Mall). Di Damestraat (sekarang Jalan Jolotundo) korban tewas pertempuran bahkan dikubur di tepi jalan situ di antara benteng perlindungan (waktu itu Damestraat merupakan jalan tanah yang lebar, ke timur berhenti di kebun sayur (sekarang jadi Kampung Jolotundo Baru), belum tembus ke Tambangboyo, di tepi jalan sebelah Kampung Oro-oro terdapat tempat-tempat perlindungan dari bahaya udara yang bentuknya seperti bungker atau benteng). Saya bersaksi. Begitu juga makam Kembangkuning. Menerima banyak korban jiwa akibat pertempuran-pertempuran itu. Maka Makam Kembangkuning tidak hanya digunakan untuk makam orang Belanda atau orang Kristen, tetapi juga korban pertempuran yang beragama lain. Korban dari pihak orang Inggris dan Belanda juga banyak. Mereka ada yang dari sipil, ada pula yang dari militer. Semua korban pertempuran yang kulitnya putih (pasti korban pihak Inggris/Belanda) bisa diatur makamnya pada suatu lahan, dengan patok nisan yang diseragamkan (seragam diberi kayu tanda salib dicat putih, pada kayu salib dituliskan namanya). Bahkan Brigadir Mallaby pun semula dimakamkan di Kembangkuning. (Kemudian dipindah ke Menteng, Jakarta). Di antara korban orang Belanda (korban pertempuran Oktober-November 1945) ada yang tidak ketahuan namanya atau identitasnya, maka di makamnya diberi tanda “Onbekend” (tidak dikenal).

Pada makam Belanda di Kembangkuning sebelum perang, terdapat juga batu nisan, di mana tertulis siapa orang yang dimakamkan. Seringkali terdapat tulisan di batu nisan, tidak hanya satu nama orang, melainkan dalam satu makam ditulis beberapa nama orang. Memang di situ tidak hanya terdapat satu jenazah. Melainkan beberapa jenazah. Dan menguburnya bukan pada suatu waktu yang sama. Tapi berjarak waktu lama. Memang diperkenankan mereka menyusun makam demikian (satu liang makam untuk beberapa orang yang waktu meninggalnya tidak sama). Sangat layak untuk memperingati kelompok keluarga maupun suatu peristiwa yang terkesan mereka membuat monumen (tanda peringatan).

Ada lebih sebelas monumen di Makam Kembangkuning. Salah satunya K.W.F.M. Doorman. Monumen tadi memperingati tenggelamnya Kapal Perang Belanda de Ruyter di Laut Jawa ketika dikeroyok oleh kapal-kapal perang Jepang pada tanggal 27 Februari 1942. Kapten kapal de Ruyter adalah Karel Doorman. De Ruyter adalah sebuah Cruiser (kapal perang jenis perusak) Belanda yang modern buatan 1929, dengan bobot 6450 ton, dengan 10 meriam 5,9 inci, laju kecepatan maksimum 30 knot/jam. Pada awal Perang Asia Timur Raya (Dai Töo-A Senshoo, Jepang menyebutnya begitu) Januari 1942 Karel Doorman diserahi memimpin armada gabungan yang jumlahnya besar-kecil 14 kapal milik Belanda, Amerika, Australia, Inggris. Kelompok kerja itu diberi nama sandi Eastern Striking Force, berpangkalan di Surabaya. Tugas utamanya menghancurkan penyerang dari utara di laut terbuka sejauh mungkin dari pantai. Pada tanggal 26 Februari 1942, Karel Doorman memimpin armadanya menuju ke Pulau Bawean sebelah utara. Konon kabarnya armada Jepang akan datang dari arah Borneo (Tarakan) dan Makasar. Sayangnya kabar itu tidak disertai pengintaian aircover atau pesawat terbang mata-mata (armada tidak punya aircover). Ternyata tidak menemui musuh. Maka armada berjalan terus ke timur sepanjang garis pantai, namun tetap tidak bertemu dengan musuh. Dengan kelelahan maka armada kembali ke Surabaya untuk beristirahat. Pada jam 15.30 ketika armada Eastern Striking Force mau masuk pangkalan Surabaya, terdengar berita bahwa armada musuh sudah ada di sebelah timur Pulau Bawean. Maka mau tidak mau kapal-kapal armada harus berbalik putar haluan kembali menuju Pulau Bawean. Dengan sisa kekuatan, meskipun dibilang masih sigap, armada kembali ke utara, lalu ke barat. Pemutaran memakan waktu tidak kurang dari 15-20 menit, sampai semua anggota armada siap memenuhi formasi penyerangan dan penghadangan. Mereka pun berhadapan dengan musuh. Jam 16.15 Houston memperoleh hantaman pertama dari jarak 27.000 yard, meriam dari kapalnya Laksamana Tanalan. Pada saat itu armada gabungan menyadari bahwa yang dihadapi bukan armada pendahulu atau pengawal kapal konvoi pengangkut, melainkan armada penyerang utama yang jumlahnya tidak kurang dari 15 kapal perang modern dan besar-besar. Armada Jepang mempergunakan kapal lebih modern, seperti kelas Nacchi (buatan 1935) dengan meriam 8 inchi, dan kecepatan maksimum 33 knot/jam. Mereka bertempur. Selama 4 jam sudah 4 buah kapal armada gabungan yang hancur. Merasa kewalahan maka banyak kapal armada gabungan yang melarikan diri menghindar dari pertempuran. De Ruyter tertinggal sendiri. Pada jam 23,30 (27-02-1942) de Ruyter terkena tembakan dahyat di bagian tengah. Kapal langsung meledak, dan dalam bilangan menit Laksamana Doorman beserta 344 anak buahnya mencium air asinnya Laut Jawa. Sungguh diakui sebagai perjuangan yang heroik. Itulah salah satunya monumen di Ereveld (Taman Kehormatan) di Makam Kembangkuning Surabaya.

Nama Karel Doorman kemudian dijadikan nama kapal induk Belanda dalam kelanjutan Perang Dunia II. Kurangajarnya, tahun 1955 (Indonesia sudah merdeka, tetapi Irian Barat belum jadi milik Indonesia), kapal induk Karel Doorman yang digunakan sebagai penjaga pertahanan Irian Barat-Papua, secara demonstratif melayari Laut Jawa menuju ke Irian Barat.

Area Makam Belanda Kembangkuning tadi disebut Ereveld (Taman Kehormatan, semacam Taman Pahlawan). Untuk menghormati dan memperingatinya tiap tanggal 27 Februari di monumen makam diselenggarakan upacara peringatan. Tidak seperti makam pada umumnya perawatan Ereveld Kembangkuning sangat diutamakan. Perawatan dikelola oleh sebuah yayasan Belanda di Indonesia, yaitu Oorlogs Graven Stichting (OGS). Keindahan dan kemewahan diwujudkan di makam tersebut. Itu merupakan bentuk penghormatan untuk militer dan sipil yang gugur zaman perang 1945 yang dimakamkan di situ.

Selain itu secara umum bangsa Belanda juga mengenal hari penghormatan pada mereka yang gugur dalam perang, yaitu tanggal 4 Mei. Maka juga pada tanggal 4 Mei di makam Belanda Kembangkuning terlihat penziarah yang melakukan upacara peringatan.

*

Kembali pada acara pelantjong Petjinan Soerabaia “Tjing Bing”. Dari catatan di atas jelas bahwa adanya Makam Belanda di Kembangkuning kalah dulu dengan adanya Makam Tionghoa di sana. Makam Tionghoa di Kembangkuning sudah lebih dulu ada.

Sebelum Kota Surabaya terbentuk, lebih dahulu Kota Gresik sudah menjadi kota pelabuhan. Orang-orang Portugis yang mengembara dengan perahunya singgah di Kota Gresik (tahun 1500-an). Selanjutnya ketika perusahaan dagang Belanda (VOC) menguasai Tanah Jawa (tahun 1600-an), sudut timur Pulau Jawa merupakan tanah yang subur, menjadi incaran pertumbuhan perdagangan ke sana, maka dari Pelabuhan Gresik melintasnya ke sudut timur Pulau Jawa melalui Tandes-Banyuurip-Wonokromo. Jalan tadi di sebelah kanan (dari Gresik) kaki pegunungan kapur, di sebelah kiri merupakan tambak atau rawa-rawa. Maka sebelum Kota Surabaya dibangun, masih merupakan embrio atau masih dikuasai oleh penguasa pribumi, daerah Tandes Banyuurip sudah lebih dulu ditempati komonitas orang asing, yaitu Belanda dan Tionghoa. Sampai tahun 1970-an, saya masih melihat beberapa gudung kuno di sana. Juga pemilik tanahnya banyak orang asing (Belanda, Tionghoa). Nah yang paling kentara bahwa di daerah Tandes-Banyuurip sejak dahulu kala ditempati oleh orang-orang kaya (Belanda, Tionghoa) adalah gedung yang terletak di pertigaan Banyuurip-Pasarkembang-Diponegoro, yaitu yang dulu terkenal dengan sebutan Gedung Setan di Pasarkembang. Dulu kala merupakan salah satu dari sederet gedung tempat tinggal Tionghoa, namun karena pergeseran zaman gedung-gedung tempat tinggal tadi ditinggalkan penghuninya atau hancur tak terpelihara, kemudian oleh generasi berikutnya halaman-halaman tempat tinggal yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya tadi dijadikan tanah pekuburan. Kalau gedung-gedung tempat tinggal lain sudah punah berubah jadi kuburan Tionghoa, maka Gedung Setan masih berdiri, hanya halamannya oleh generasi selanjutnya dijadikan tanah makam. Tahun-tahun 1900-an ketika geliat pembangunan mengarah ke Kota Surabaya, lahan halaman Gedung Setan sudah digerumuti pembangunan jadi makam Tionghoa.

Itulah yang kemudian saya kenal ceritanya dengan Gedung Setan di Pasarkembang. Gedung Setan itu sudah dibangun lebih dahulu, kemudian dikatakan angker, lalu gundukan-gundukan tanah makam Tionghoa ambil posisi di sekitar Gedung Setan. Tahun 1941 sebelum Jepang datang, cerita Gedung Setan (Het Spookhuis, Gedung yang ada setannya) itu sudah ramai dimuat media cetak, salah satunya majalah terkenal d’Oriënt (bahwa Gedung Setan tadi sudah dikelilingi oleh pekuburan Tionghoa, dan gedung megah yang kosong ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun tadi ada setannya). Dan cerita itu dalam fantasi saya saya gubah menjadi novel bahasa Jawa Gedhong Sétan (‘t Spookhuis) yang akan diterbitkan Penerbit Narasi Jogja 2010, yang gambar samaknya sudah saya tayangkan di blog dan ditemu oleh Mbak Maya. Makam Tionghoa di Surabaya 1942 ketika Jepang datang tidak hanya di Kembangkuning. Melainkan sudah (lebih dulu) merambah Tamarindelaan (Pandegiling) sebelah barat, Kampung Malang, Kupang Panjaan, Kupang Krajan, Petemon Timur Makam-makam ini sampai tahun 1955-1960 masih bisa dilihat dengan nyata, masih utuh. Itu saya menyaksikan. Di Pasarkembang masih ada rel keretaapi OJS lewat. Jalan Pasarkembang hanya ada satu lajur yaitu yang ada di sebelah timur rel keretaapi OJS. Sebelah barat rel berdiri pagar tembok batas lahan makam Tionghoa yang terbentang dari pertiga Banyuurip sampai ke Petemon Timur, ke barat. Tentu saja makam tadi dimakan zaman, zaman Belanda, zaman Jepang, zaman Merdeka (1950-1960) mulai tidak terpelihara karena keluarganya pada pindah tempat tinggal ataupun punah, maka pagar tembok batas lahan makam mulai digunakan persembunyian orang berbuat mesum. Pagar tembok tadi selain untuk batasan persembunyian berbuat mesum, juga beberapa dibolongi agar bisa dengan mudah para pengumbar nafsu syahwat mbrobos bersembunyi masuk ke lahan makam memenuhi hasratnya. Maka daerah tadi pada tahun 1960-an terkenal sebagai tempat pelacuran tanpa sewa tempat dengan nama yang masyur Tembok Bolong.

Terus terang, karena para Pelantjong Petjinan ini naik angkutan kota, tidak leluasa melihat jalan, maka saya tidak bisa tahu persis lokasi Makam Kembangkuning yang dikunjungi sekarang ini. Mbak Maya sudah menceritakan bahwa di Kembangkuning ini masih ada sejumlah makam Tionghoa yang masih terpelihara, juga sejumlah makam yang sudah rusak, tetapi daerahnya belum diambil jadi perkampungan penduduk. Karena itu perlu dilihat dan diamati. Selain itu di situ juga ada krematorium (tempat pembakaran jenazah) yang dikelola oleh perkumpulan Eka Praya.

Sampai di Kembangkuning paling dulu para pelantjong diajak mengunjungi sederet makam Tionghoa yang keadaannya masih utuh. Para Pelantjong diperlihatkan makam Tionghoa yang berupa gundukan-gundukan tanah yang bentuk maupun besarnya hampir sama pada sebidang tanah yang cukup luas, deret dan barisnya teratur rapi. Masing-masing makam ada Bongpaynya (nisan pralaya). Pada suatu makam yang bentuknya cukup besar dan masih terpelihara baik, Mbak Maya menyuruh anggotanya yang mengetahui soal apa saja tentang makam itu untuk memberi keterangan. Maaf, karena pada tempat terbuka, para Pelantjong juga bebas bergerak, dan pengeras suara tidak selalu baik, maka saya kurang lengkap menulis keterangan ini. Antara lain yang diceritakan adalah bahwa untuk menghormati leluhur yang dimakamkan, pemakamannya disertakan juga barang yang disukainya. Dan nanti kalau ziarah, sebaiknya juga membawa makanan apa yang disukai almarhum. Yang ditulis di batu nisan adalah nama dan kedudukan yang meninggal. Itu terletak di tengah. Di kanan-kirinya dituliskan nama keluarga terdekat (isteri, suami, anak-anaknya). Yang ditulis didahulukan nama anak lelaki, baru yang perempuan. Kalau nama yang ditulis telah mati (misalnya ayah yang dimakamkan), hurufnya dicat kuning. Kalau orangnya masih hidup (misalnya anaknya) dicat merah. Pada batu nisan biasanya juga diberi simbul (tertulis) Fuloso, fu artinya rezeki, lo artinya derajat, so artinya panjang umur.

Setelah mendengarkan keterangan tentang makam terbuka di lapangan tadi, kami diajak melihat makam yang masih terpelihara baik oleh penjaganya, makam yang lebih mewah, tidak hanya berupa gundukan tanah, melainkan seluruh makamnya diplester dengan semen. Karena sudah menjadi makam disemen itulah maka bisa terpelihara baik. Tempat batu makam yang terpelihara dengan baik itu ternyata terletak di dalam perkampungan penduduk yang pepat sekali. Batu nisan semen pualam tadi panjangnya 10 meteran, lebar 5 meteran. Hanya itu yang terselamatkan, tanpa ada jarak sudah menjadi rumah penduduk, dalam hal ini rumah keturunan orang yang dulu dititipi untuk memelihara makam tadi. Itupun kalau makam batu itu bisa digunakan oleh orang yang hidup sekarang, misalnya untuk duduk-duduk, atau menjemur pakaian, ya bukan lagi sebagai batu nisan makam, melainkan jadi bagian dari ruang rumah keluarga. Para penghuni rumah yang keturunan penjaga makam tidak banyak bisa bercerita tentang makam dan sejarahnya. Sejarah makam paling bisa dilihat dari pahatan batu Bongpaynya. Misalnya dibangun tahun 1921.

Kami dipertunjukkan dua makam batu nisan yang masih terpelihara dengan baik oleh turun-temurun penjaganya, tempatnya satu dengan yang lain amat sangat berjauhan. Jalannya selain menyeberangi deretan makam gundukan tanah yang masih terpelihara baik juga menerobosi gang-gang kampung yang amat pepat (hanya bisa dilewati orang jalan). Pada makam yang kedua, penjaganya yang rumahnya memangku makam itu bisa bercerita serbasedikit mengenai sejarah batu makam itu. Yaitu bahwa kakek-kakeknya dulu yang dititipi memelihara makam merupakan tanah sekitarnya seluas satu hektar lebih. Kehidupan keluarga penjaga makam terjamin, sebab pemilik makam dan keluarganya sering berkunjung atau mengirim jaminan hidupnya. Tapi karena perkembangan zaman, anak cucu pemilik makam yang dulunya tinggal di Surabaya bisa berkunjung ke makam dengan mudah, pada mencari kehidupan di luar Surabaya, menjadi sangat jarang bisa berkunjung ke makam. Hubungan dengan keluarga penjaga makam pun kian tidak erat. Jaminan memelihara tanah makam yang luas itupun tidak bisa dipertahankan. Selain itu perkembangan penduduk Surabaya begitu cepat, mereka memerlukan tempat tinggal. Maka tanah kuburan Tionghoa pun jadi perkampungan penduduk yang sangat-sangat pepat, tak ada sejengkal tanah pun berjarak dari rumah ke rumah tetangganya. Sekarang tidak ada tanah lapang lagi. Pepat dengan rumah tempat tinggal. Itupun masih banyak bekas-bekas semen bangunan makam yang dijadikan dinding maupun latai rumah tempat tinggal, tidak seluruhnya dibongkar dan dibangun dinding baru.

Baik menyaksikan jauhnya dua makam contoh yang diperlihatkan, maupun mendengarkan cerita keturunan keluarga penjaga tanah makam, bisa diambil kesimpulan bahwa makam Tionghoa Kembangkuning itu dulunya luas sekali. Dan dari keluasan tanah tadi, terdapat makam-makam batu nisan “monumen” seperti dua contoh makam tadi, jumlahnya banyak. Dan tiap makam memakan luas tanah seperti contoh ke dua, satu keluarga makam memiliki lahan sekitar makam sampai satu hektar lebih..

Meskipun telah menyaksikan contoh dua makam “monumen” yang diperkirakan mewah tadi, saya masih tidak menemukan “kemewahan” seperti yang pernah saya lihat di makam-makam Tionghoa zaman dulu. Dua makam “monumen” contoh tadi masih sangat sederhana (karena sudah banyak ornamen yang hilang). Misalnya simbul patung singa maupun naga yang dulu saya lihat terdapat pada tiap makam Tionghoa yang mewah (di Tambaksari Selatan, di Embong Malang, di Pandegiling sebelah barat) yang dibangun terletak di depan berjarak dengan batu Bongpay, di makam “monumen” itu tidak ada lagi.

Kemudian para pelantjong diajak ke tempat krematorium yang terletak di tengah sederet makam yang masih baik. Waktu itu sedang ada upacara pembakaran jenazah (sudah dalam rencana Mbak Maya untuk menyaksikannya). Secara tehnis apa yang kami lihat tidak saya ceritakan di sini. Pokoknya pembakaran jenazah dilakukan menurut perjanjian antara keluarga dan Yayasan Eka Praya (penyelenggara kremasi). Hari kremasi juga dicarikan hari baik oleh keluarga (tidak sembarang hari). Pada hari yang ditetapkan kreamsi jenazah dilakukan, para keluarga datang mengadakan upacara sembahyangan di situ. Bahan bakarnya minyak, oleh karena itu yang hancur jadi asap hanyalah daging jenazah. Tulang belulangnya hanya jadi abu yang bentuknya utuh (berbentuk kerangka abu). Abu kerangka itulah nanti yang ditumbuk dihancurkan hingga halus, untuk nanti ditempatkan pada wadah yang sudah tersedia. Cara mengambilnya dan menumbuknya dari kepala dulu, baru bagian bawahnya berturut-turut sampai ujung kaki. Jadi abu yang lumat tadi betul-betul dari jenazah yang dikremasi. Menurut keinginan keluarga, abu jenazah bisa disimpan bagaimana, di mana, dan sampai kapan. Kami mendapat keterangan itu dari Pak Surawi, pengelola krematorium Yayasan Eka Praya. Di sini bahan bakar kremasi jenazah adalah minyak. Di negeri lain, misalnya Amerika, sudah menggunakan aliran listrik. Di sini belum, sebab untuk strom listrik membutuhkan daya yang besar. Tetapi kemudian hari tehnik pembakaran jenazah dengan menggunakan aliran listrik pasti juga sampai di sini.

Hari sudah semakin siang. Namun seperti telah direncanakan Panitia Melantjong Petjinan Soerabaia masih ingin menunjukkan berbagai perubahan makam Tionghoa di Kembangkuning. Ada berbagai tempat yang keadaan makamnya masih terpelihara baik, dan di lain lokasi terlihat bekas makam yang sudah hancur luluh tapi masih menjadi tanah lapang bekas makam, tidak dihuni atau menjadi perkampungan penduduk. Dengan menunjukkan berbagai perkembangan makam Tionghoa begitu, maka lengkaplah para Pelantjong mengetahui sejarah makam Tionghoa di Surabaya.

*

Acara terakhir adalah mengunjungi tempat pesemayaman jenazah (colombarium) Adiyasa. Lokasinya di Jalan Demak, Surabaya utara. Sedang Kembangkuning di Surabaya selatan.

Memahami diri bahwa cara-cara memakamkan jenazah bagi orang-orang Tionghoa berbeda dengan adat-istiadat rata-rata warga kota atau penduduk Surabaya, yaitu bahwa untuk upacara duka cita membutuhkan beberapa hari bahkan minggu, kalau upacara adat itu diselenggarakan di rumahnya, akan membuat kampung tempat tinggal jenazah terbebani keramaian upacara adat tadi, maka warga Tionghoa mengadakan suatu tempat khusus untuk pesemayaman jenazah sebelum dimakamkan atau dikremasikan. Di Surabaya yaitu Yayasan Adiyasa yang terletak di Jalan Demak tadi. Di sana disiapkan bangunan tempat pesemayaman jenazah dengan ruangan para tamu pelayatnya, ruangnya bisa dikelompokkan per keluarga. Tahun 1987 saya pernah melayat tetangga ke sana. Di sana bertemu kerabat yang berduka cita, dan disambut menurut adat masing-masing pelayat. Ada yang hanya salaman dan menyatakan berduka cita, ada yang juga menyembayangi jenazah. Tentu saja tidak setelah salaman lalu pulang, pasti juga duduk-duduk sebagaimana lazimnya bertamu. Karena para tamu pelayat datang-perginya tidak sama, pasti banyak yang memerlukan tempat berjamuan, maka tiap ruangan kelompok keluarga yang berduka cita pasti juga menyediakan meja kursi, dan hidangan makanan. Segala keperluan itu bisa dilayani oleh Yayasan Adiyasa dengan cara menyewa ruangan tadi: ruang yang dibutuhkan berapa meja-kursi, hari berduka cita berapa hari, bisa dilayani oleh Yayasan Adiyasa. Ketika itu, saya ingat, jenazah tetangga tadi disemayamkan di situ seminggu, dan akhirnya dimakamkan di Malang, dikumpulkan dengan makam leluhurnya.

Waktu melayat itu bangunan Adiyasa masih hanya satu gedung saja, pelatarannya juga tidak terlalu lebar. Namun tempat pelayatan tiap jenazah bisa menampung 50-an orang. Jadi dalam satu gedung tadi mungkin bisa menampung 10 jenazah (maaf, saya tidak menghitung persisnya) bisa dibagi menjadi 10 ruangan untuk para pelayatan. Caranya membagi seperti kalau kita mengiris pizza-hut, titik pusat gedung tempat penyemayaman jenazah, dari titik pusat ke pinggir ruang tempatnya tambah melebar digunakan untuk menjamu para pelayat.

Pada kunjungan dengan para Pelantjong Petjinan Soerabaia kini, masuk ke lokasi angkutan kita dengan leluasa tanpa halangan. Karena naik angkutan kota, saya tidak bisa mewaspadai keadaannya, berapa gedung yang kami lalui, tapi ketika turun dari angkutan saya melihat pemandangan bangunan-bangunan gedung yang terletak pada lapangan yang sangat luas, dan lapangan tadi seluruhnya sudah dipaving rapi bisa dilalui mobil besar-kecil dengan leluasa. Jauh di pinggir sana dari tempat kami turun, terletak mobil-mobil berparkir. Sedang di tengah lapangan, yaitu berdirinya beberapa gedung, terdapat seperti serambi rumah orang punya gawe, pesta, atau orang berkumpul di restoran. Artinya di sana banyak kelompok pasangan meja kursi, dan banyak orang berkumpul di situ. Dan sangat menonjol adalah banyaknya karangan bunga pada serambi-serambi yang sedang ramai orang, yaitu para pelayat. Tadi waktu kami mulai memasuki area Adiyasa, melewati gedung-gedung, saya sempat melihat tempat MCK (mandi-cuci-kakus), saya catat tempatnya karena saya kebelet kencing. Tapi kendaraan jalan terus amat jauh. Ketika turun dari kendaraan, rasa mau kencing begitu mendesak, mau pergi ke tempat MCK yang tadi kok terlalu jauh, khawatir tertinggal mengikuti acara kunjungan. Heh, ternyata di dekat kami turun juga ada bangunan MCK. Tidak perlu berjalan jauh.

Kami disambut oleh pihak Adiyasa. Diterangkan bahwa pendirian tempat ini karena melayani banyak orang (keluarga yang berduka cita serta pelayatnya), diusahakan menjadi tempat yang menyenangkan. Artinya orang yang datang berkerumun kan perlu parkir mobil, perlu kencing, perlu makan, perlu bawa sumbangan. Maka selain gedung-gedung penyemayaman jenazah, dibangun juga tempat fasilitas umum, toko, ATM, bank. Jadinya seperti mall saja. Toko yang menjual atau mefasilitasi keperluan orang yang berkunjung ke Adiyasa. Dan karena keperluan orang yang melayat tidak kenal waktu, maka banyak toko juga yang bukanya 24 jam. Parkir, kencing, gratis. Polisi keamanan juga ada. Sebenarnya sudah diatur begitu ketat, namun masih ada saja keperluan orang untuk makan kesukaannya, misalnya tahu campur, atau gado-gado. Yang tidak bisa dipenuhi oleh pihak Adiyasa. Lalu ada kebijakan mendatangkan penjual makanan rombong, disediakan tempat tersendiri (dekat lapangan parkir). Jadi datanglah para penjual makanan ke situ. Masing-masing buka dengan siasatnya sendiri-sendiri, ada yang jual pagi-siang, atau malam. Akhirnya siang hari maupun malam hari selama 24 jam, lapangan Adiyasa itu tidak pernah sepi. Adiyasa bukan saja tempat penyemayaman jenazah, juga tempat rekreasi dan memberi banyak kehidupan kepada masyarakat sekitar. Merupakan kampung modern, segala kebutuhan hidup bisa dipenuhi dengan jarak ruang dan waktu yang berdekatan.

Tentang penyewaan tempat jenazah, diatur menurut klas-klasnya. Ada yang murah, juga ada yang mahal. Karena perbedaan klas tadi, gedung-gedung di lapangan Adiyasa diberi tanda Gedung A, Gedung B dan selanjutnya, masing-masing berlainan klas maupun fungsinya.

Waktunya sudah lewat tengah hari. Tadi ada acara yang terlewati karena terdesaknya waktu, yaitu acara makan siang bersama di Kembangkuning tadi. Maka setelah mendapat sambutan dan keterangan tadi, Mbak Maya minta waktu dan tempat agar para pelantjong istirahat makan siang. Oleh pihak Adiyasa ditunjuk saja Gedung E, karena acara selanjutnya juga akan diberi keterangan tentang Gedung E tadi. Pihak Adiyasa minta maaf, karena tempat itu tidak begitu tepat untuk makan siang, namun ada meja kursi di suatu ruangan yang setidaknya bisa menampung para pelantjong.

Kami mendapatkan kebebasan waktu setengah jam untuk makan siang. Panitia menyediakan makan kardusan. Selesai makan ada sambutan dari pihak Adiyasa, yakni Pak Agus. Yang diterangkan lebih dahulu adalah fungsi Gedung E ini. Tempat meja kursi tempat kami makan dan berkumpul itu terletak di tengah-tengah ruangan. Di kiri dan kanan merupakan berderet-deret “almari” kaca, isi dalamnya disekat-sekat. Isinya adalah abu jenazah. Agama Taoisme sepertinya tahu diri menjaga ramah lingkungan. Untuk menghormati makam leluhur dahulu kala memerlukan makam yang makan tanah terlalu luas, kalau diterus-teruskan mungkin seluruh lahan negeri menjadi makam, maka bertambah tuanya dunia untuk ngirit lahan, maka jenazah leluhur tidak dimakamkan, melainkan dikremasi, dan abunya saja yang dipelihara dihormati. Abu jenazah itu ditempatkan dalam suatu wadah, dan lalu wadah abu tadi bisa dihormati di rumah masing-masing. Karena di rumah masing-masing menyimpan abu jenazah juga makan tempat, maka Yayasan Adiyasa menyediakan tempat khusus untuk penitipan abu jenazah, dengan sistem sewa tempat. Yaitu di Gedung E ini. Baik di rumah maupun di Gedung E, abu jenazah tadi toh tetap memakan tempat. Maka menyimpan abu jenazah tadi juga dibatasi waktunya. Batas waktunya adalah sewa kontraknya, bisa sebulan, bisa setahun atau lebih, sekemampuan keluarga menyewa tempat dan mencukupi penghormatan pada leluhurnya. Kalau sudah cukup waktunya, maka abu jenazah leluhur tadi dilarung, dibuang ke laut, juga dengan upacara tersendiri. Setelah dilarung, maka habislah riwayat jenazah manusia. Tidak makan tempat lagi.

Tempat penyimpanan abu jenazah di Adiyasan ditempatkan pada “almari” kaca yang berderet-deret tadi. Tempat kaca yang disekat, ukurannya tidak sama, dan sewanya pun tidak sama. Kalau sekatnya lebih luas, beaya sewanya tentu lebih mahal. Dan lama waktunya menyewa juga berbeda, ada yang sebulan, ada yang setahun atau lebih, menurut kekuatan keluarga penitip abu jenazah masing-masing. Jadi kalau sudah selesai waktu kontrak penitipannya, keluarga pun melarung abu jenazahnya, putus sudah hubungannya dengan penyimpanan abu jenazah di “almari” kaca Adiyasa. Tempatnya bisa disewakan kepada keluarga lain.

Sekalipun dengan cara menyimpan abu jenazah sementara waktu begitu sudah sangat ngirit untuk makan tempat daripada menanam jenazah di lahan makam, namun ternyata tempat persewaan penitipan abu jenazah di Adiyasa itu lekas penuh sehingga menolak sewa titip abu jenazah baru. Karena itu jalan keluarnya ya membangun lagi tempat penitipan penyimpanan abu jenazah. Di Adiyasa sekarang ini sewa penitipan penyimpanan abu jenazah yang wadahnya sekat-sekat di almari kaca tadi sudah dua lantai. Lantai bawah tempat kami makan tadi. Lantai atas juga terdapat almari-almari seperti itu. Dibuat klasifikasi, sewanya di bawah dan di atas berbeda. Menurut Pak Agus, di Jakarta, penitipan abu jenazah itu di sana sudah mencapai gedung tingkat lima.

Selesai keterangan Pak Agus, kami diajak ke salah satu gedung tempat penyemayaman jenazah. Gedung yang bentuknya lingkaran itu, penyemayaman jenazahnya diletakkan di titik tengah (yang saya sebut seperti pengirisan pizza hut tadi). Untuk mencapai titik tengah, dibuat gang yang merupakan garis tengah dari gedung bentuk lingkaran tadi. Datangnya jenazah dari pintu A menuju titik tengah. Di situ letak peti jenazah disesuaikan dengan ruangan pelayat yang disewa oleh keluarga jenazah. Nanti kalau sudah selesai waktu sewanya, jenazah diusung keluar, tidak boleh keluar kembali ke pintu A, melainkan melalui pintu B (keluar). Dari pintu A ke pintu B merupakan gang lurus garis tengah gedung lingkaran itu. (Istilah pintu A pintu B dari penulis untuk menjelaskan jalannya jenazah saja).

Setelah mengunjungi salah satu dari gedung tempat penyemayaman jenazah, kami kembali ke Gedung E, tempat kami makan bersama tadi, untuk mengantarkan ucapan perpisahan. Dalam kata pengantar perpisahan, Mbak Maya masih juga ingin menggali pengalaman para peserta pelantjong tentang pelantjongan Petjinan Soerabaia. Ada dua orang peserta yang menceritakan pengalamannya. Yang seorang menceritakan pengalamannya mengikuti tradisi keluarganya menyembayangi leluhur yang dinamakan Tjing Bing di rumahnya sejak dia masih kecil. Katanya ya baru sekarang ini dia tahu dengan jelas arti maknanya.

Setelah dua orang peserta tadi, oleh Mbak Maya saya disuruh menceritakan pengalaman saya sebagai penduduk kelahiran Surabaya pengetahuan saya tentang orang Cina di Surabaya. Dari pertemuan di rumah kemarin, Mbak Maya tahu bahwa saya tahu banyak mengenai sejarah orang Tionghoa di Surabaya. Tanpa persiapan saya pun bercerita.

Sejauh pengetahuan saya dari membaca buku, orang Cina yang paling dulu mendarat di Jawa Timur, yaitu pasukan Tartar zaman Kubilai Khan Mula-mula utusannya yang menghadap Raja Singasari (1291), kemudian pasukannya (1293). Meskipun pasukan tadi atas nama Tentara Tartar (Mongolia), namun yang datang kebanyakan dari daratan Cina. Ada dua sumber buku bacaan saya yang menceritakan bahwa kedatangan pasukan Tartar dengan 1000 perahu armadanya berlabuh di muara Kali Brantas (Porong). Yaitu buku Mr. Mohammad Yamin (Menteri Pendidikan zaman Orde Lama). Dan buku Tuanku Rao karangan Ir. Parlindungan. Bahwa pasukan Tartar itu berlabuhnya di muara Kali Brantas juga disebutkan oleh Bapak Soeroso, mantan Komisaris Polisi di Situbondo yang ikut menjadi anggota Tim Hari Jadi Kota Surabaya. Pak Soeroso bilang, pasukan Tartar itu berlabuhnya di muara Kali Brantas. Dan lewat Kali Brantas bisa menyerang Kediri. Tidak mungkin berlabuh di muara Sungai Surabaya. Sebab Sungai Surabaya baru menjadi besar airnya ketika oleh Belanda airnya disuply oleh Kali Brantas di bendungan Mlirip (Mojokerto) yang dibangun tahun 1921, untuk keperluan irigasi pertanian. Sebelum disuply air dari Kali Brantas, Kali Surabaya hanya kecil saja alir airnya. Tidak mungkin untuk penyerangan ke Kediri. Hal itu dikemukakan oleh Pak Soeroso waktu menyanggah dalam rapat Tim penentuan Hari Jadi Kota Surabaya. Saya bekerja sebagai Humas Pemkot yang melayani segala keperluan Tim Hari Jadi Kota Surabaya, mulai pengiriman undangan, notulen rapat, menyiapkan kertas dan membenahi kertas kerja, mengantar honorarium kepada anggota Tim, mendokumentasi bahan-bahan baik kertas kerja maupun keputusan-keputusan rapat, melaporkannya ke Walikotamadya, hingga (akhirnya) menulis buku tentang proses terjadinya penetapan Hari Jadi Kota Surabaya 31 Mei 1293. Saya saksikan benar perdebatan rapat waktu itu. Sayang Pak Soeroso bicaranya tidak lancar, kamisosolen, apalagi dikerubut para anggota Tim lainnya yang menguatkan bahwa tentara Tartar berlabuhnya di muara Kali Pacekan (Kali Jagir) perpanjangan dari Sungai Surabaya. Kalah suara.

Gelombang besar ke dua kedatangan orang Cina di Jawa Timur adalah para pedagang Islam. Mereka itu awal-awalnya memang berlabuh di dusun-dusun pantai, kemudian berlabuh dan mendirikan komunitas di dusun pantai tersebut. Dari buku Tuanku Rao saya baca bahwa juga di muara Kali Brantas mereka kemudian bermukim (Porong-Bangil), karena itu di sana banyak situs-situs yang menunjukkan komuinitas Cina Islam. Lebih lanjut buku Tuanku Rao tertulis sebagai berikut (saya kutip di sini, untuk sahihnya bahwa pengetahuan yang saya ceritakan di Melantjong Petjinan Soerabaia itu tidak asal ngomong).

BONG SWIE HOO PENDIRI MASDJID AMPEL

Sjahdan pada tahun 1928 ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada Resident Poortman, supaja menjelidiki apakah benar bahwa Raden Fatah (Sultan Demak jang pertama) adalah orang Tjina. Dalam kesempatan penumpasan kaum komunis jang berontak tahun 1928 Resident Poortman jang berkedudukan di Semarang mendapat bantuan polisi untuk menggeledah semua tempat. Terbongkarlah surat2 tulisan Tjina diklenteng Sam Po Kong jang tersimpan sedjak 400 atau 500 tahun sebelumnja. Semua disita oleh Poortman. Tiga tjikar banjaknja. Dari situ ditemukan sumber2 perihal Djin Bun, jang djuga dikenal dalam babat Demak sebagai Penembahan Djin Bun, ternjata bukan lain adalah Raden Fatah, Sultan Demak jang pertama (Djin Bun bahasa Tjina, artinja orang kuat).

Selain Tjatatan perihal Djin Bun dalam klenteng Sam Po Kong ditemukan djuga perihal Bong Swie Hoo. Antara lain disebutkan:

Pada tahun 1445 (Masehi) Bong Swie Hoo adalah seorang tjutju dari Hadji Bong Tak Keng di Tjampa. Tahun itu djuga Bong Swie Hoo sudah dipertjaja oleh Swan Liong untuk pergi menghadap Hadji Gan Eng Tju (seorang kapten Tjina Islam) jang mendjadi penguasa pelabuhan Tuban didjaman Madjapahit, agar mendapat pekerdjaan sebagai Kapten Tjina Islam.

Th 1447 Bong Swie Hoo di Tuban nikah dengan seorang puteri dari Hadji Gan Eng Tju. Puteri itulah mungkin jang sering2 disebut sebagai Nji Ageng Manila, karena Gan Eng Tju memanglah kelahiran Pilipina.

Th 1447 – 1451 Bong Swie Hoo ditempatkan oleh Hadji Gan Eng Tju mendjadi Kapten Tjina Islam di Djiaotung (Bangil), jang terletak di muara sungai Brantas kiri (= Kali Porong).

Pada tahun2 1450-1475 terdjadilah pergeseran politik (agama) dikalangan kraton Madjapahit dan orang2 Tu Ma Fan jang tetap beragama Hindu Djawa, hingga banjak mesdjid2 Tjina Islam jang berubah mendjadi klenteng, antara lain di Semarang, Antjol, Lasem dll. Djuga Laksamana Hadji Sam Po Bo, Hadji Bong Tak Keng, dan Hadji Gan Eng Tju meninggal dalam periode ini. Bong Swie Hoo terpaksa mengambil prakasa mengepalai keritjuhan Muslim Tjina di Djawa, Kukang (Palembang) dan Sambas tanpa hubungan dengan Tiongkok. Bong Swie Hoo selandjutnja berbitjara dengan bahasa Djawa untuk mempererat hubungannja dengan orang2 Djawa. Akibatnja menentukan sedjarah pulau Djawa.

Tahun 1451 Tjampa yang beragama Islam (mashap Hanafi) direbut oleh orang2 beragama Budha, penduduk asli dari pedalaman, jaitu dari Sing Fun Au (=Pnom Penh). Bong Swie Hoo segera bertindak, meninggalkan pangkalan Djiaotung dimuara Brantas kiri (= Kali Porong). Dengan tjuma sedikit pengikut orang2 Djawa jang baru sadja dia Islamkan, Bong Swie Hoo mendirikan suatu masjarakat Islam Djawa di Ampel, didekat muara sungai Brantas kanan (=Kali Mas).

Diperkirakan bahwa salah seorang pengikut Bong Swie Hoo jang bukan orang Tjina bernama Maulana Ishak, dari semula mendampingi Bong Swie Hoo jang kemudian disebut sebagai Raden Rachmat gelar Sunan Ngampel.

Pada tahun 1451-1477 Bong Swie Hoo di Ampel setjara besar-besaran memimpin pembentukan Muslim dipantai utara pulau Djawa dan Madura. Selama dia di Ampel, Muslim Hanafi Tjina jang masih ada di Tuban, Kukang dan Sambas tetap tunduk kepada Bong Swie Hoo. Di Djiaotong, madjid Tjina diubah mendjadi klenteng Sam Po Kong, jakni sepeninggal Bong Swie Hoo.

Pada tahun 1455 kota Djiaotong hilang lenjap dilanda bandjir. Tanpa orang2 Tjina Islam, muara kali Porong mendjadi sepi pelajaran. Setengah abad kemudian orang2 Ternate membangun kembali pelabuhan Djiaotung dengan nama Djoratan. Pada tahun 1478 Bong Swie Hoo meninggal di Ampel. Djin Bun tidak buang waktu pergi ke Ampel dan membawa tentara Islam Demak pergi merebut pedalaman pulau Djawa, jakni keradjaan Madjapahit. Sedangkan Bong Swie Hoo seumur-hidupnja tidak pernah mengizinkan penggunaan sendjata terhadap orang2 Djawa jang masih beragama Hindu. (dikutip dari buku TUANKU RAO).

*

Buku Tuanku Rao yang saya kutip di atas adalah karangan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan, cetakan pertama. Konon akhir-akhir ini buku tersebut sudah dicetak ulang oleh penerbit LKiS Jogjakarta, buku terbitan baru itu saya belum baca.

Memang dalam buku Tuanku Rao ada disebutkan bahwa apa yang diumumkan itu termasuk prasaran Residen Poortman selaku Acting Adviseur voor Inlandsche Zaken van het Binnenlandch Bestuur di Batavia kepada pemerintah Belanda, dibubuhi tanda GZG singkatan dari Geheim Zeer Geheim (sangat-sangat rahasia) ditambah dengan keterangan uitsluitend voor Dienstgebruik ten Kantore, artinya hanya boleh digunakan di kantor saja. Kabarnya prasaran itu terutama untuk Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jendral, Menteri Jajahan, dan arsip negara di Rijswijk (Den Haag). Karena itu hanya dicetak lima lembar. Seharusnya prasaran itu mendapat juga di Jakarta. Mungkin di ruang arsip Istana Merdeka. Tetapi ruang itu pada zaman Orde Lama telah dirombak menjadi ruang santap Presiden Soekarno dan berkas-berkasnya entah dipindah ke mana. Poortman menandai GZG karena alasan jika diumumkan secara luas, pasti menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di Pulau Jawa, sedang di masyarakat Cina mungkin timbul rasa kebanggaan. Karena itu sikap penulisan buku sejarah Tuanku Rao tidaklah seperti lazimnya buku sejarah sehingga banyak orang ragu-ragu mengakuinya apa yang diceritakan di sana sebagai suatu kebenaran.

Namun, Kertas Kerja Prof. Dr. Slamet Muljana, seorang yang tekun menyelidiki sejarah kerajaan Majapahit telah menulis banyak buku tentang kerajaan itu, juga sangat mengagumi dan mempercayai kebenaran buku Tuanku Rao itu. Buku MENUDJU PUNTJAK KEMEGAHAN (diterbitkan oleh PN Balai Pustaka 1965) adalah uraian historis tentang zaman keemasan kerajaan Majapahit berakhir dengan mangkatnya Patih Amangkubumi Gajah Mada pada tahun Saka 1286 atau tahun Masehi 1364. Sampai di situ, Prof. Dr. Slamet Muljana merasa kehilangan jejak untuk menyelidiki lanjutan hidupnya Kerajaan Majapahit. Yakni setelah Prabu Hayam Wuruk (yang didampingi Amangkubumi Patih Gajah Mada dalam pemerintahannya). Bagaimana susunan raja-raja Majapahit selanjutnya hingga kerajaan itu musna, susah diselidiki. Beberapa catatan yang ada, yakni: Babad Tanah Djawi, Serat Kanda, Negara Kertagama, Pararaton, Kidung Wijayakrama, dan pelbagai prasasti dari zaman Majapahit, kurang mencukupi untuk memberi gambaran yang bisa dipertanggungjawabkan, karena setelah pemerintahan Hayam Wuruk sumber-sumber itu tidak dikerjakan sebaik-baiknya sehingga terjadi simpang-siur pemberitaan. Pada hal Hayam Wuruk mangkat tahun 1389 (Raja Majapahit ke V) sedangkan kerajaan itu musna antara tahun 1478-1527 (raja terakhir ke XV)!

Namun Prof. Dr. Muljana akhirnya berhasil mengajukan kertas kerja yang dikenal dalam International Congress of Orientalists di Ann Arbor (Amerika serikat) pada tahun 1967 dengan tulisan berjudul The Decline and Fall of the Kingdom of Majapahit, yang mendapat sambutan hangat sekali dari para ahli sejarah kaliber Internasional. Kunci dari karya ahli sejarah kita itu banyak sekali ditolong oleh sumber berita Sam Po Kong Semarang, yang diumumkan lewat buku Tuanku Rao, susunan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan!

Tentang Raden Rachmat atau Sunan Ngampel yang bagaimana pun juga pantas menjadi tokoh prematur Kota Surabaya, sebagai dikutip tentang Bong Swie Hoo pendiri masjid Ampel, Prof. Dr. Slamet Muljana mengadakan perbandingan seperti berikut:

Manurut Babad Tanah Djawa Raden Rachmat adalah putera makdum Ibrahim di Tjampa. Ia adalah kemenakan puteri Tjampa Dwarawati yang kawin dengan Prabu Brawijaya. Raden Rachmat mempunyai seorang adik bernama Raden Santri dan seorang kemenakan Raden Burereh, putera raja Tjampa. Mereka bertiga berangkat ke Majapahit untuk mengunjungi putera Dwarawati,. Sesampainya di Majapahit, mereka segera menghadap Prabu Brawijaya. Mereka bertiga diterima dengan baik. Setahun lamanya mereka tinggal di Majapahit. Raden Rachmat terpikat oleh puteri Majapahit, anak Tumenggung Wilwatikta, yang bernama Ni Gede Manila. Raden Santri dan Raden Burereh kawin dengan dua orang puteri Arya Tedja. Raden Rachmat lalu pindah ke Ngampel Denta; Raden Santri dan Raden Burereh menetap di Gresik. Raden Rachmat dikenal dengan julukan Sunan Ngampel. Menurut Serat Kanda Sayid Rachmat (sama dengan Raden Rachmat) kawin dengan anak Tumenggung Wilatikta dari Tuban, cucu Arya Tedja.

Di Ngampel Denta Raden Rachmat menjadi ulama. Raden Patah dan Raden Kusen dalam perjalanannya ke Majapahit singgah di Ngampel Denta. Dalam percakapan antara Sunan Ngampel dan Raden Patah dikemukakan oleh Sunan Ngampel pengakuannya sebagai orang pendatang di Jawa. Katanya, “Saya adalah ulama asing yang datang ke Pulau Jawa. Hanya untuk sementara waktu saja saya memimpin masyarakat Islam Jawa berkat sih Sang Prabu (yang dimaksud Prabu di Majapahit), berbeda dengan kau. Engkau orang Jawa tulen, turun-tumurun orang Jawa, yang memiliki Pulau Jawa!” Ucapan itu dimaksud untuk membedakan asal-usul Sunan Ngampel sebagai orang asing dan Raden Patah yang kemudian mendirikan Kerajaan Demak, dianggapnya orang Jawa. Bagaimana pun Sunan Ngampel mengaku bahwa ia bukan orang Jawa. Menurut Babad Tanah Djawi dan Serat Kanda asalnya dari Tjampa.

Pada tahun 1419 Laksamana Sam Po Bo menempatkan Bong Tak Keng di Tjampa untuk mengepalai masyarakat Cina Islam di Tjampa. Ia mempunyai cucu bernama Bong Swie Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swie Hoo dikirim oleh Bong Tak Keng ke Palembang untuk membantu pekerjaan Swan Liong. Dalam waktu singkat Kapten Cina Swan Liong menaruh kepercayaan besar kepada Bong Swie Hoo dan mengutusnya ke Jawa untuk menghadap Kapten Cina di Tuban yang bernama Gan Eng Tju. Gan Eng Tju adalah orang yang dikuasakan mengurus kepentingan orang-orang Cina di Jawa, terutama di wilayah Majapahit. Dengan sendirinya ia mempunyai banyak hubungan dengan pemerintah pusat Majapahit. De fakto ia menjadi kepala pelabuhan Tuban. Dalam hubungannya dengan pemerintah pusat Majapahit Gan Eng Tju berhasil memikat hati Raja Majapahit. Semula ia bekerja di Manila, kemudian pada tahun 1423 ia dipindahkan dari Manila ke Tuban. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raja Wikramawardhana alias Hyang Wisesa. Namun pemerintahan Hyang Wisesa hanya sampai tahun 1427. Kemudian digantikan oleh Rani Suhita. Demikianlah Gan Eng Tju sebagai Kapten Cina dan de fakto kepala pelabuhan Tuban banyak melayani keperluan pemerintahan pusat Majapahit. Demikian pintarnya melayani Sang Rani, hingga ia dihadiahi gelar “A Lu Ya” yakni Arya oleh raja Su King Ta (Rani Suhita).

Bong Swie Hoo dipungut sebagai menantu oleh Gan Eng Tju, kemudian oleh Gan Eng Tju dijadikan Kapten Cina di Bangil yang terletak di muara Sungai Porong. Sebagai Kapten Cina ia adalah orang yang berkuasa di Bangil. Bong Swie Hoo memeluk agama Islam aliran Hanafi. Sebagai muslim Bong Swie Hoo berusaha mengembangkan agama Islam di wilayah kekuasaannya mula-mula hanya dalam masyarakat Cina saja, kemudian meluas ke masyarakat Jawa, yang dengan sukarela ingin memeluk agama Islam. Jin Bun dan Kin San dalam perjalanannya ke Majapahit bertemu dengan Bong Swie Hoo di Bangil. Bong Swie Hoo menjadi guru Jin Bun dan Kin San. Maklumlah Bong Swie Hoo pada tahun 1445 jadi 30 tahun sebelumnya, telah mengenal Swan Liong di Palembang. Sudah pasti bahwa Swan Liong ingin juga menitipkan putera-puteranya kepada orang yang pernah mendapat kepercayaan yang sangat besar dari padanya.

Kesimpulannya: Dari perbandingan antara berita dari Babad Tanah Djawi, Serat Kanda dan berita dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang, dapat ditarik kesimpulan bahwa Sunan Ngampel sama dengan Bong Swie Hoo. Ia datang di Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1445, Ni Gede Manila isteri Sunan Ngampel sama dengan anak Gan Eng Tju, bekas Kapten Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423. Gan Eng Tju mendapat gelar Arya dari Rani Suhita. Demikianlah Gan Eng Tju sama dengan Arya Tedja (dalam Serat Kanda). Pada tahun 1430 Rani Majapahit Suhita mengangkat saudara Gan Eng Tju yang bernama Gan Eng Wan sebagai bupati di Kerajaan Majapahit. Gan Eng Wan dikuasakan untuk mengawasi Tuban. Ia adalah Bupati Wilatikta (=Majapahit). Kiranya Raden Santri dan Raden Burereh itu kawin dengan dua orang anak perempuan Gan Eng Wan ini. Babad Tanah Djawi dan Serat Kanda agak khilaf dalam pemberitaannya. Mertua Sunan Ngampel bukanlah Bupati Wilatikta alias Gan Eng Wan, melainkan Arya Tedja alias Gan Eng Tju. Serat Kanda dan Babad Tanah Djawi memberitakan bahwa Sunan Ngampel mempunyai seorang putera bernama Bonang; Bonang itu kemudian menjadi Sunan Bonang. Bonang diasuh oleh Sunan Giri, anak ulama Maulana Wali Lanang yang lahir dari puteri Blambangan. Bagaimana pun jelas bahwa Sunan Bonang adalah keturunan Bong Swie Hoo yang lahir dari Ni Gede Manila yakni anak perempuan Gan Eng Tju alias Arya Tedja, Kapten Cina di Tuban.

Demikian tulis Prof. Dr. Slamet Muljana.

Pelajaran sejarah terdahulu mengemukakan tentang masuknya Islam ke Jawa melalui pedagang-pedagang Gujarat/Parsi. Menurut penyelidikan terakhir ternyata bahwa bahwa orang-orang Gujarat/Parsi orang-orang Islam aliran Sji’ah dan Sjafi’i. Sedang Kesultanan Demak berkembang dengan agama Islam aliran Hanafi, yakni yang banyak dianut oleh orang-orang Mongol yang dipekerjakan di Yunan (melalui Asia Tengah zaman Jenggis Khan dan Kubilai Khan). Maka teranglah bahwa pelajaran sejarah terdahulu harus kita selidiki lagi kebenarannya.

Orang-orang Cina yang disebut dalam kronik Sam Po Kong Semarang perihal Islam di Jawa, seperti Bong Swie Hoo, Ma Hong Fui, Gan Eng Tju, terang bernama keluarga dari Yunan dan Swatouw. Orang-orang Cina di Pulau Jawa zaman sekarang hampir semuanya mempunyai nama keluarga yang berasal dari Hokkian. Nama keluarga Hokkian ialah Tan, Liem, Oey, Tjia dsb. Ini berarti bahwa setelah jatuhnya Kesultanan Demak orang-orang dari Yunan di Pulau Jawa terdesak oleh orang-orang Cina dari Hokkian.

Demikian sekedar catatan tentang Raden Rachmat atau Sunan Ngampel atau Bong Swie Hoo yang saya ketahui dari hasil pembacaan buku saya.

*

Pengetahuan saya tentang orang Cina dari pembacaan buku tadi secara singkat dan cepat saya ceritakan kepada para Pelantjong Petjinan Soerabaia. Selanjutnya saya ceritakan pengamatan saya tentang orang Cina di Surabaya.

Tadi sudah jelas bahwa kedatangan orang Cina di Jawa Timur ada yang memimpin yang disebut Kapten Cina. Dalam perkembangan zaman kedatangan orang Cina ke Tanah Jawa ini juga tetap berombongan atau bersama-sama dan oleh pemerintah setempat berikutnya, dalam hal ini pemerintahan Belanda, penyebutan Kapten Cina masih tetap berlaku. Artinya pemerintah Belanda menganjurkan atau menyetujui bahwa kedatangan mereka berombongan sepatutnya ada pimpinannya, yaitu yang disebut Kapten Cina tadi. Tapi yang datang berbondong bukan lagi bermaksud penyebaran agama Islam, melainkan lebih bermaksud mengembangkan perdagangan. Di Surabaya, ini bisa dilihat dari banyaknya orang Cina pedagang yang menempati daerah pedagangan Kembang Jepun. Sampai tahun 1942 ketika pemerintah Belanda harus meninggalkan Surabaya, di daerah Kembang Jepun sebagai daerah perdagangan paling banyak dihuni orang-orang Cina. Bukan saja terlihat dari banyaknya penghuni, melainkan juga nama-nama tempat yang sejak semula memang menjadi ramai dagang oleh orang Cina. Mereka lebih dulu bikin ramai perdagangan di sana sebelum orang Belanda membangun Kota Surabaya dan sebelum Tanjungperak dijadikan pelabuhan besar. Adanya Pasar Pabean sebagai tempat pemungutan pajak (bea cukai) jauh dari Tanjungperak, menunjukkan bahwa pemungutan bea cukai masuk-keluarnya barang dagangan ada di situ.

Dengan banyaknya orang Cina yang dipimpin oleh Kaptennya, di daerah Kembang Jepun ada tempat-tempat semacam asrama atau tempat penampungan sementara mereka, lalu tempat ibadah, lalu pasar. Kemasyarakatan Tionghoa yang masih jelas dengan namanya akhir pemerintahan Belanda bisa disidik dari nama-nama jalan seperti Chinese-voorstraat, Teepeekongstraat, Pasar Bong, Tjaipostraat, Bongkaran, Ciantiaan. Orang-orang Tionghoa pedagang lebih cepat menjadi kayaraya. Mereka berhasil dengan cepat membeli dan membangun rumah besar di sekeliling tempat bisnis mereka, yaitu di Kapasan, Kapasari, Ngaglik, Kalianyar Wetan, Pecindilan, Bunguran. Rumah dengan pekarangan luas begitu di halaman depannya ada semacam gugusan arca, biasanya ada patung orang tua mancing sampai 1960-an masih sangat banyak di Kapasan, Ngaglik, Kalianyar Wetan (sepeninggal Belanda 1942 sampai 1960 Kota Surabaya belum banyak perubahan fisiknya). Di Ngaglik di antara rumah berpekarangan luas terdapat pengusaha Djamu Iboe yang terkenal, masih keluarganya Liem Sing Tee pengusaha rokok Djie Sam Soe yang juga terkenal sampai sekarang (PT Sampoerna). Di depan Djamu Iboe ada pengusaha pewarna pakaian yang terkenal “Wenter”, begitu terkenalnya merk dagang itu sehingga kalau orang memperbaharui atau mengganti warna pakaiannya disebut “diwènter”. Bahkan di Jalan Kembang Jepun ada rumah dengan pekarangan yang luas milik suatu perusahaan angkutan barang yang sangat terkenal PT. Kalimas, tahun-tahun akhir zaman Belanda truknya besar-besar merajai jalanan di Pulau Jawa. Truknya ada yang satu truk rodanya 10. Dan banyak pula memiliki truk gandeng. Warna truknya merah, tulisan PT. Kalimas kuning. Pemiliknya punya “istana” di tengah Jalan Kembang Jepun sisi utara jalan. Tapi rumah dengan pekarangan luas tadi tidak terlihat dari jalan, karena di halaman depan rumah yang menghadap jalan dibangun gedung untuk peragaan dagang (toko).

Orang-orang Tionghoa itu menguasai tanah dan membangun rumah besar (istana) ketika Surabaya masih dikuasai oleh penguasa pribumi, dan sebelum pemerintah Belanda menetapkan Surabaya sebagai kota perdagangan dengan pelabuhan Tanjungperak sebagai pelabuhan besar. Dan karena masyarakat Tionghoa sudah berkembang cepat di daerah bisnis serta membangun habitatnya di daerah seputarnya, mereka tentu ada yang meninggal dunia. Meninggalnya orang Tionghoa, memerlukan makam. Makamnya besar dan memerlukan lahan yang luas. Oleh karena itu makamnya harus dicari bukan di tempat bisnis maupun tempat tinggal. Dicarikan lahan di luar itu. Ya dengan banyaknya orang meninggal dunia dan harus dimakamkan di lahan yang luas, orang Tionghoa dengan cepat merebut lahan di luar daerah bisnisnya dan tempat tinggalnya, yaitu di Tambaksari, Kebangsren, Embong Malang, Kampung Malang, Tamarindelaan Barat, Kupang Krajan, Kupang Panjaan, Banuurip, Kembangkuning.. Semua dengan cepat dijadikan tempat pemakaman, selagi pemerintahan kaum pribumi masih berkuasa, dan pemerintahan Belanda belum memilih Surabaya sebagai kota perdagangan dan pelabuhan. Maka ketika Kota Surabaya kemudian dipilih sebagai kota perdagangan dengan membangun Pelabuhan Perak, penempatan kantor dagangnya serta angkutannya (keretaapi) bisa dibangun menuju ke Tanjungperak dengan lebih dahulu membangun kota di sepanjang Kalimas (jalur perdagangan laut terdahulu sebelum Palabuhan Tanjungperak, bisa dilihat bahwa tempat bea cukainya di Pabean). Jalan keretaapi secara besar-besaran segera direncanakan, bisa dilihat dari bahwa pembangunan Staatspoor (SS = angkutan keretaapi milik pemerintah Belanda) sudah menguasai tanah mulai Wonokromo, Ngagel, Gubeng, Pacarkeling, Ngaglik, Sidotopo, Wonokusumo terus menuju ke Tanjungperak. Tetapi untuk tempat tinggal, mereka terpaksa terhalang oleh kampung-kampung pribumi terdahulu dan makam-makam Tionghoa yang telah menguasai kota lama. Maka untuk daerah tempat tinggal mereka (orang Belanda) membuat kota baru, kota yang sangat direncanakan tumbuhnya agar menjadi daerah kediaman yang nyaman, yaitu di daerah Darmo. Di daerah yang kemudian disebut Europeesche Enclave atau Boven Stad pembangunannya direncanakan benar dengan tata kota yang modern: jalannya luas-luas, lurus-lurus, oleh karenanya banyak perempatan yang siku, jalan diaspal sehingga kendaraan roda 4 bisa lalu-lalang leluasa, dan pekarangannya luasnya terukur, tiap rumah harus menghadap ke jalan dengan halaman cukup luas, di belakang rumah ada gang yang disebut brandgang, untuk mencegah kebakaran dan sekaligus dibuat serokan pengalir banjir, dan tiang-tiang listrik. Di depan pekarangan rumah ada berm, dan harus terbuka. Tiap rumah dialiri listrik, air leiding (pdam), dan gas.(untuk memasak). Pada zaman Belanda di kota perkampungan lama (kampung pribumi) aliran listrik, air leiding, maupun gas masih jarang yang menjangkau.

Begitulah struktur Kota Surabaya ketika Belanda meninggalkannya 1942. Di sebelah selatan (Darmo) yang disebut Boven Stad (kota atas) modern mendapat fasilitas kehidupan dan asri, di kota tengah atau Midden Stad terdapat perkampungan pribumi aseli yang jalannya sempit dan kurang mendapat fasilitas umum, di kota bawah atau Beneden Stad kondisinya sudah sejak dahulu menjadi tempat bisnis, lebih ke utara lagi sedang dibangun pelabuhan besar dan pangkalan angkatan laut, lapangan terbang, jalur-jalur keretaapi, tandon minyak dan gudang-gudang barang (dibangun pelabuhan dagang modern). Meskipun sudah berkembang sebagai kota dagang yang modern dan terus dikembangkan, namun di tengah Kota Surabaya terdapat lahan makam Cina yang begitu meluas di tengah-tengahnya. Tak bisa diubah. Makam-makam Cina yang sebelumnya ditempatkan di luar daerah bisnis mereka, dengan dipilihnya Surabaya sebagai kota pelabuhan oleh Belanda, maka lahan-lahan makam yang luas itu menjadi mengganjal di tengah kota. Sampai tahun 1960-an struktur kota belum banyak berubah, masih seperti ketika ditinggalkan oleh pemerintah Belanda 1942. Saya bisa melihat dengan jelas.

Tahun 1969 Kota Surabaya menjadi ajang Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke VII. Walikotanya Brigjen R. Soekotjo. Pak Kotjo mempersiapkan pesta olahraga itu dengan sungguh-sungguh. Yaitu Stadion Tambaksari diperbaiki, dirasa kurang cukup ditambah lapangan olahraga di Jalan Kusumabangsa (sekarang jadi Remaja). Jalan-jalan menuju ke tempat olahraga diperlebar, yaitu Jalan Tambaksari, Jalan Ngaglik-Kalianyar Wetan-Jagalan-Pasar Besar Wetan-Tembaan, Jalan Kapasan-Kembang Jepun. Pelebaran Jalan Tambaksari menggusur makam Tionghoa lebih 10 meter. Waktu digusur saya melihat banyak barang-barang yang masih bisa digunakan oleh orang hidup, misalnya kain sutera, alat-alat makan, keramik, bahkan rambut panjang. Maka ketika makam dibongkar benda-benda tadi menjadi rebutan mereka yang membutuhkan. Bahkan tempat itu sekarang sudah jadi Kampung Tambaksari Selatan, menjadi kampung mereka yang membutuhkan. Di Jalan Kembang Jepun yang dihimpit gedung peragaan dagang (toko) jalannya dilebarkan, gedung-gedungnya dibongkar. Empunya toko dagangan orang Tionghoa tidak banyak protes, karena hanya menyingkirkan barang dagangannya. Yang protes malah orang-orang keturunan Arab yang rumahnya di sekitar Masjid Ampel. Ternyata gedung-gedung toko di Jalan Kembang Jepun itu banyak milik orang keturunan Arab. Orang Tionghoanya hanya penyewa. (Ini saya catat karena waktu itu saya sudah bekerja di Pemkot).

*

Begitulah apa yang saya ceritakan kepada para peserta Pelantjong Petjinan Soerabaia sebagai acara penutup. Semoga berguna.

Setelah itu bubar, para peserta dipersilakan menuju ke angkutan untuk kembali ke awal pelantjongan, Jalan Bibis, rumah Mbak Maya. Waktu saya mencari angkutan yang sejak tadi saya tumpangi, disapa oleh anggota panitia bahwa saya mau diantar sama Mbak Maya dengan mobilnya. Jadi saya harus cari Mbak Maya. Saya temui di dekat mobil pribadinya, sedang berbincang dengan kru Arek TV. Mbak Maya mau diwawancarai. Setelah Mbak Maya, kru Arek TV ganti mewawancarai saya.

Tanya: Bagaimana tanggapan Bapak soal Pelantjong Petjinan Soerabaia?

Jawab saya: Baik sekali. Bagaimana pun melancong seperti ini melihat Kota Surabaya masa lalu atau sejarah. Sejarah itu bukan masa lalu, melainkan juga berguna untuk masa kini dan masa depan. Andaikata dipilih Walikota Surabaya yang baru, dia tidak tahu sejarah Surabaya, sama saja Walikota baru tadi membangun Surabaya dengan modal dari nol, alias dari awal mula. Itu sama saja dengan menanam pohon baru tanpa akar, mudah tumbang. Pengetahuan sejarah masa lalu sama dengan akar tunggang pada tanaman. Sebuah kota dibangun baru dengan pengetahuan sejarahnya, sama dengan menanam pohon dengan akar tunggangnya. Menjulang tinggi dan tidak mudah ambruk.

Tanya: Bagaimana pandangan saya tentang Kota Surabaya, apakah kota terbuka untuk berbagai etnis dan agama?

Jawab saya: Kota Surabaya kota yang harmonis dengan kehidupan warga penduduknya. Contoh: Waktu saya bekerja di Kantor Telegrap 1952-1960, operator telegrap kebanyakan lulusan dari pendidikan PTT di Jalan Ambon Bandung. Mereka kebanyakan orang Sunda. Saya bergaul rapat dengan mereka itu (orang-orang Sunda yang ditugaskan di kantor telegrap Surabaya). Tapi bagian penerimaan telegram per telepon (biasanya kantor dagang yang berlengganan berkirim telegram, masih pakai bahasa Belanda) banyak sekali gadis-gadis Ambon. Orang-orang Ambon di Surabaya suka pesta-pesta dansa, sama dengan saya. Begitu dekatnya saya dengan orang-orang Ambon di Surabaya, sehingga saya jadi narasumber skripsi seorang sarjana Unair. Orang Ambon juga menjadi inspirasi saya menulis buku Surabaya Tumpah Darahku (pernah dimuat Kompas 1973, diterbitkan jadi buku oleh CV Surya Raya Surabaya 1978). Juga di buku saya Kremil (Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2002) saya singgung juga sedikit tentang kehidupan orang Ambon di Surabaya.

Tanya: Bagaimana dengan kehidupan orang Tionghoa di Surabaya?

Jawab saya: Tidak ada masalah. (Dalam kesempatan menulis ini saya lengkapi riwayat saya, yang tidak saya ucapkan pada wawancara dengan Arek TV). Contoh soal: Sekolah saya SMA di SMAK St.Luis Jalan Dr. Sutomo 7 Surabaya tahun 1954-1956, muridnya laki-laki semua. Satu kelas saya isi 40 orang, orang Jawanya hanya 7 orang. Paling banyak orang Tionghoa yang namanya 3 suku kata (ganti nama Indonesia belum populer). Orang Tionghoanya pinter-pinter dan kaya. Meskipun begitu, mereka membayar sekolahnya rata-rata Rp 15.000,- per orang per bulan (dihitung dari penghasilan orangtuanya masing-masing), sedangkan saya membayar Rp 45.000,- per bulan, karena yang jadi wali saya kakak saya, yang jadi pegawai NV Philips sedang belajar di Eindhoven Negeri Belanda (gajinya besar). Padahal jadi wali itu hanya dikertas administrasi saja, beaya sekolah ya saya ambil dari gaji saya yang Rp 100.000,- per bulan. Jadi hampir separoh dari penghasilan saya saya gunakan untuk pendidikan saya. Ada teman-teman Tionghoa yang ke sekolah naik brompit, sedang kebanyakan naik sepeda ontel, termasuk saya. Waktu itu saya sudah cari makan sendiri dengan bekerja di Kantor Telegrap Jalan Niaga 1 (sekarang Jalan Veteran), dinasnya dibagi tiga shif, saya atur dengan teman-teman kami dinas shif yang tetap, saya minta shif jam 1300-1900. Rumah saya di Rangkah 5/23B Surabaya. Jadi hidup saya waktu itu: Jam 07.00-13.00 sekolah di SMAK St.Luis Jalan Dr. Sutomo, jam 13.00-19.00 dinas di Kantor Telegrap Jalan Veteran, jam 19.00-07.00 di rumah Rangkah, sendirian. (Semula ditunggui oleh Ibu, tapi tahun terakhir Ibu ikut kakak di Bandung yang telah pulang dari Negeri Belanda). Makan saya bagaimana? Pulang dari kantor Telegrap lewat Jalan Jagalan beli roti tawar satu. Saya potong jadi 3 bagian. Sepotong saya makan malam itu, sepotong saya makan pagi sebelum berangkat sekolah, sepotong saya makan di kantin kantor sebelum dinas. Teman-teman sesekolah masih pakai celana pendek, saya tiap hari sudah pakai celana panjang, karena terus pergi ke kantor. Hanya pada hari Jumat, sekolah pulang jam 11.00 saya pakai celana pendek. Meskipun begitu saya masih sempat meluangkan waktu bermain bersama-sama dengan teman-teman Tionghoa itu. Pernah kami nonton bioskop bareng ramai-ramai ke Metropole, saya masih ingat lakon filmnya White Christmas. Waktu itu ada Konperensi Asia Afrika yang gegap gempita diselenggarakan oleh Presiden Soekarno. Para pemimpin negara-negara Asia Afrika datang ke Bandung. Termasuk Perdana Menteri Cho Eng Lai dari RRT. Tapi para pelajar SMAK St.Luis yang pinter-pinter bicara soal politik dan keuangan, pada bilang: “Saya ini orang Indonesia, hidup mencari rezeki di Indonesia, bendera saya Merah Putih.” Pendeknya tidak mengakui bahwa warga negara RRT meskipun Perdana Menterinya berkunjung ke Bandung. Tapi 10 tahun kemudian atau selanjutnya, saya tidak pernah lagi melihat mereka itu. Di mana mereka bekerja, bagaimana keadaannya, saya tidak pernah bertemu lagi. Ada kabar bahwa mereka pada hidup di Amerika, Jerman. Salah seorang di antaranya adalah Steffy Tjia, salah seorang yang paling pinter di kelas saya. Saya dengar dia menjadi direktur dari sebuah rumah sakit besar di Chicago. Orang-orang pinter Tionghoa ini akhirnya kepinterannya digunakan oleh negera-negara asing. (Kabar tentang Steffy Tjia ini kemudian memberi inspirasi fantasi saya menulis sekelumit bagian dari novel bahasa Jawa Donyané Wong Culika). Orang-orang Tionghoa yang saya kenal pinter-pinter itu, tampaknya setelah berkarya dibuat tidak kerasan tinggal di Indonesia, pindah ke negeri asing, kepinterannya digunakan untuk menyejahterakan warga negeri asing. Hanya seorang dari teman sekelas saya di SMAK St.Luis sampai kini masih saya kenal di Surabaya. Yaitu Ir. Johan Silas, dosen ITS yang telah banyak berjasa dalam pembangunan Kota Surabaya. Jasanya antara lain menggarap Masterplan Surabaya 2000, mengawal KIP (Program Perbaikan Kampung Di Surabaya 1969-1982 yang dibeayai Bank Dunia). Puterinya kini (Ibu Ina Silas) mengelola Museum House of Sampoerna.

Jadi begitulah tentang orang Tionghoa di Surabaya. Seperti terlihat sampai sekarang, kehidupan mereka berkembang baik tanpa banyak gangguan yang berarti.

*

Selesai wawancara saya pulang dengan diantar oleh Mbak Maya di mobilnya. Mbak Maya yang nyopir. Di sepanjang jalan kami ngobrol. Saya bilang saya tidak tahu Mbak Maya dalam program ini mengundang media massa, termasuk TV. Tadi waktu wawancara saya tidak siap. Mbak Maya bilang tidak undang media massa, tapi mereka yang menggabung. Program Melantjong Petjinan Soerabaia merayakan Imlik yang lalu yang mengikuti wartawan Kompas dan siapa begitu. Program “Tjing Bing” ini program Melantjong Petjinan Soerabaia yang ke-3.

Peserta ditarik urunan berapa? Per orang Rp 55.000,00. Dapat pelayanan seperti itu dan masih mendapat kaos yang cantik. Mbak Maya tidak mencari keuntungan finansial, melainkan lebih mementingkan penelusuran budaya dan sejarah agar bermanfaat bagi kehidupan bangsa.

<!– /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:”"; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>

Demikianlah ceritaku, mudah-mudahan juga bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 31 Mei 2010. Selamat Ulang Tahun Kota Surabaya, 1293-2010,

Posted by admin on Tuesday, June 1st, 2010. Filed under Essay. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

5 Comments for “MELANTJONG PETJINAN SOERABAIA “TJING BING” biasa dieja Qing Ming”

  1. Tulisan yang benar-benar menarik, mendalam dan mengharukan, Pak. Salam hangat selalu….

  2. Pak Suparto Brata,
    Terima kasih untuk catatan atau kalau boleh saya bilang jurnalnya dari acara “Melantjong Petjinan Soerabaia III – Tjing Bing”. Menambah dan melengkapi referensi saya sebagai pelantjong pada saat itu.
    Salam,
    ~ Myke

  3. senang membaca penuturan bapak, menjadikan saya ingin terus “site” ini.

    beberapa buku bapak sudah melengkapi taman bacaan kami.

    salam dari kami

  4. Salam Pak.
    Jujur, Bapak Suparto menjadi salah satu inspirator saya selain Pak Taufik Ismail yang masih tetap tunjukkan dedikasi dalam kepenulisan, kendati sudah berusia senja. Terlihat Bapak sangat menghayati konsep pengabdian tanpa henti. Membandingkan dengan Bapak, sebagai anak muda, saya merasa malu sendiri karena jauh kalah secara karya yang sudah dihasilkan. Salam

  5. Hallo pak Brata, semoga selalu sehat amien..maaf saya tidak menepati janji waktu pulang Indonesia kemarin, karena ada urusan keluarga .. moga2 saya masih diparingi kesempatan sowan in Rungkut Asri..

    Salam dari Milano

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*