BUDAYA KERATON DALAM NOVEL GADIS TANGSI, KERAJAAN RAMINEM DAN MAHLIGAI DI UFUK TIMUR KARYA SUPARTO BRATA
(ANALISIS PERBANDINGAN BAHASA, PANDANGAN HIDUP DAN TATA KRAMA)
Oleh:
Vincent Cahyadi
12 Science 1
2629 Words
SEKOLAH MENENGAH UMUM CIPUTRA
SURABAYA
2009
Daftar Isi
1. Kata Pengantar———————————————————————— 2
2. Abstrak ——————————————————————————– -3
3. Pendahuluan
- Latar Belakang ——————————————————————- 3
- Rumusan Masalah ————————————————————— 5
- Tujuan Penelitian —————————————————————- 5
- Manfaat Penelitian ————————————————————— 5
- Lingkup Penelitian ————————————————————— 5
- Metode Penelitian —————————————————————- 6
- Landasan teori ——————————————————————– 6
4. Pembahasan
- Penggunaan Bahasa Jawa Halus ———————————————–7
- Wayang Dimata Adat Istiadat keraton————————————— 9
- Tata Krama dalam Bersosialisasi———————————————– 11
5. Kesimpulan —————————————————————————– 13
6. Daftar Pustaka ————————————————————————– 14
7. Lampiran ——————————————————————————– 14
KATA PENGANTAR
Terima kasih dan syukur yang sebesar-besarnya saya berikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya dan berkat-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “BUDAYA KERATON DALAM NOVEL GADIS TANGSI, KERAJAAN RAMINEM DAN MAHLIGAI DI UFUK TIMUR KARYA SUPARTO BRATA” ini disusun sebagai pemenuhan tugas karya ilmiah.
Makalah ini tentu saja tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada:
1. Erik Hoekstra selaku koordinator kepala SMU Ciputra Surabaya;
2. Drs. Endro S Eklas, M. Psi, selaku kepala sekolah SMU Ciputra Surabaya;
3. Ibu Meta, selaku supervisor dan juga guru bahasa Indonesia yang membimbing murid-murid SMU Ciputra;
4. Bu Desia serta Pak Widodo selaku penjaga LRC, yang telah memberikan banyak bantuan dan kesempatan dalam menyelesaikan makalah ini;
5. Suparto Brata selaku pengarang trilogi Gadis Tangsi
6. Keluarga yang senantiasa membantu;
7. dan teman-teman yang telah banyak membantu.
Walaupun penulis telah berusaha dengan maksimal, penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun supaya dalam kesempatan yang mendatang, penulis dapat membuat makalah yang jauh lebih baik.
Surabaya, 18 Maret 2009
ABSTRAK
Makalah yang berjudul “BUDAYA KERATON DALAM NOVEL GADIS TANGSI, KERAJAAN RAMINEM DAN MAHLIGAI DI UFUK TIMUR KARYA SUPARTO BRATA” secara umum mempunyai tujuan untuk membandingkan budaya dan adat istiadat keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dalam trilogi novel Gadis Tangsi. Perbandingan dilakukan dengan membandingkan budaya dan adat istiadat kraton dalam trilogi tersebut dengan budaya dan adat istiadat kraton yang sebenarnya. Latar waktu yang diambil oleh Suparto Brata dalam triloginya adalah masa penjajahan Belanda dan awal pendudukan Jepang. Oleh karena itu, makalah ini berisi tentang perbandingan budaya dan adat istiadat kraton dalam trilogi Gadis Tangsi dengan budaya dan adat istiadat kraton yang sebenarnya dalam kurun waktu yang bersamaan, yaitu sekitar tahun 1930-1945. Metode yang dipakai dalam makalah penelitian ini adalah studi pustaka dimana makalah ini menggunakan data tertulis sebagai landasan teori. Jadi secara kesimpulan di bagian akhir dari makalah ini kita dapat mengetahui kebenaran dari budaya Keraton yang dituliskan oleh Suparto Brata dalam karyanya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sangat umum dijumpai atau ditemui di kalangan masyarakat. Dalam mewujudkan pengertian terhadap sebuah karya sastra dibutuhkan pemahaman dan pengertian yang lebih mendalam terhadap unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Novel contohnya. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik akan memperkuat pemahaman terhadap novel yang dibaca.
Budaya adalah salah satu aspek yang terdapat dalam novel. Biasanya, pengarang menyajikan budaya setempat sebagai salah satu unsur untuk membangun cerita. Melalui karakter dan settinglah biasanya budaya tersebut ditampilkan oleh pengarang. Suparto Brata adalah salah seorang pengarang yang terkenal. Sebagai seorang pengarang, Suparto Brata selalu menampilkan budaya dalam setiap novelnya. Salah satu karya Suparto Brata yang terkenal adalah novel triloginya, yaitu Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, dan Mahligai di Ufuk Timur. Novel triloginya banyak diwarnai oleh budaya Jawa, khususnya budaya kraton. Budaya kraton adalah salah satu dari segelintir budaya yang dapat bertahan di zaman yang serba maju dan modern ini. Dalam trilogi Gadis Tangsi yang ia tulis, Suparto Brata menyelipkan budaya kraton sebagai kunci cerita yang akan menuntun cerita itu sampai pada novel yang ketiga. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis terhadap budaya Keraton yang ia gambarkan sehingga munculah persamaan persepsi pada saat membaca ketiga novel yang ia tulis.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya budaya adat istiadat Keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dalam triloginya dan kemudian membandingkan dengan budaya adat istiadat Keraton yang sebenarnya. Apakah budaya Keraton yang dituliskan oleh Suparto Brata hanyalah fiktif belaka ataukah memang berdasarkan realita kehidupan mengingat bahwa ia memang pernah melewati jaman dimana Keraton masih sangat berjaya. Tujuan lainnya ialah untuk mencari persamaan dan perbedaan budaya kraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dengan budaya yang asli.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana budaya Keraton digambarkan dalam trilogi Gadis Tangsi karya Suparto Brata?
2. Bagaimana budaya Keraton yang sesungguhnya yang ada pada masyarakat kita yang melakukannya?
3. Apakah ada persamaan ataukah perbedaan antara budaya Keraton yang digambarkan Suparto Brata dengan budaya Keraton yang sesungguhnya?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Membandingkan budaya Keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dengan sesungguhnya.
2. Mencari persamaan atau perbedaan budaya Keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dengan yang sesungguhnya.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Mengetahui lebih mendalam tentang budaya Keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata pada trilogi Gadis Tangsi.
2. Mengetahui perbedaan antara budaya Keraton yang digambarkan oleh Suparto Brata dengan yang sesungguhnya.
1.5 Lingkup Penelitian
Penelitian ini mempunyai lingkup dimana periode budaya Keraton yang diteliti adalah pada tahun 1930-1945 pada masa penjajahan Belanda, Jepang dan sebelum kemerdekaan.
1.6 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode studi pustaka.. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) studi pustaka berarti salah satu metode penelitian dengan menggunakan data tertulis.
1.7 Landasan teori
Menurut artikel dari budaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya) (15 Agustus 2009) yang berjudul Budaya, maka dapat ditarik kesimpulan informasi tentang budaya sebagai berikut,
Pengertian budaya dapat diartikan bermacam-macam tergantung dari perspektif orang masing-masing, namundalam essay ini, pengertian budaya yang diambil adalah pengertian budaya yang berhubungan dengan perilakumasyarakat.
Budaya sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu dari masyarakat dapat tercermin dari budaya yang mereka anut dan punyai. Budaya biasanya diwariskan dari generasi ke generasi sehingga budaya dapat terus dijalankan oleh generasi penerus.
Mengutip dari buku karya Djoko Dwiyanto yang berjudul Kraton Yogyakarta, dapat ditarik kesimpulan perihal Keraton seperti berikut. Pengertian Keraton sebenarnya adalah keratuan. Istilah ini dipakai untuk menjelaskan tentang kekerajaan yang dipimpin oleh sultan-sultan yang berkuasa. Salah satu Keraton yang terbesar dan terkenal adalah Keraton Yogyakarta. Karena kita akan membandingkan budaya kekeratonan yang ada dalam novel dengan budaya kekeratonan Yogyakarta yang asli maka dibutuhkan pengertian tentang sejarah Keraton Yogyakarta secara umum.
Keraton Yogyakarta dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1755. Seiring dengan berjalannya waktu, sekarang Sultan Hamengku Buwono yang ke sepuluh lah yang mewariskan seluruh Keraton Yogyakarta pada jaman sekarang ini.
Keraton Yogyakarta dikenal juga dengan beragam kebudayaan khas nya yang masih dapat kita lihat sekarang walaupun sudah tergerus oleh waktu. Permainan wayang, upacara adat, tarian dan musik khas Keraton Yogyakarta menyimbolkan bagaimana keisimewaan budaya Jawa itu secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam trilogi novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata banyak dicantumkan dan dituliskan melalui perlakuan karakter-karakter tentang adat istiadat budaya Keraton. Pada bagian tentang penulis pada novel Mahligai di Ufuk Timur dituliskan bahwa semua narasumber novel tersebut bedasarkan pengalaman pribadi, asli dan murni. Maka dari itu, dibutuhkan analisis yang membandingkan apakah betul budaya adat istiadat Keraton yang dituliskan oleh Suparto Brata sama dengan budaya adat istiadat Keraton yang asli pada periode tahun 1930-1945.
2.1 Pengunaan Bahasa Jawa Halus/Krama Inggil
Adat istiadat Keraton yang pertama dituliskan oleh Suparto Brata yang paling sering muncul dan terasa kental di sepanjang trilogi novel Gadis Tangsi ini adalah berbahasa Jawa halus atau Krama Inggil. Adat istiadat yang satu ini dapat sering kita jumpai pada percakapan yang dilakukan oleh Teyi terhadap Putri Parasi, guru yang mendidiknya serta terhadap keluarga besar Raden Mas Kus Bandarkum. Berikut adalah kutipan dari novel Mahligai di Ufuk Timur halaman 126 tentang percakapan Teyi yang mencerminkan adat istiadat Keraton.
“Angsal pangestu dhawuh Nandalem, Gusti, alhamdulilah abdi dalem Pun Teyi ginanjar kesarasan lan kawilujengan.” yang berarti Berkat doa Gusti, alhamdulilah hamba mendapatkan kesehatan dan keselamatan. Hamba juga memohon ke hadirat Allah, semoga Panjenengan Ndalem juga mendapatkan berkah-Nya.” (Brata, Suparto, 2007; Mahligai Di Ufuk Timur, halaman 126).
Mereferensi dari buku Kraton Yogyakarta karya Djoko Dwiyanto pada tahun 2009 yang membahas tentang sejarah, nasionalisme dan teladan perjuangan Keraton, memang terbukti bahwa adat istiadat berbahasa Jawa Halus atau Krama Inggil memang adalah salah satu adat istiadat yang dilakukan pada zaman Kraton/kekeratonan. Di sepanjang buku Kraton Yogyakarta yang dituliskan oleh Djoko Dwiyanto terdapat banyak sekali bagian-bagian yang memang sengaja ditulis menggunakan bahasa Jawa halus sebagai bahasa yang dipilih untuk menunjukkan bagaimana pentingnya Krama Inggil terhadap masyarakat dan budaya Keraton. Berikut adalah kutipan dari penggunaan bahasa Jawa halus yang mencerminkan adat istiadat berbahasa Keraton.
“Anulya dhateng Matawis, ambekta sawadya kuswa, Jeng Sultan tan methuk mangkem langkung, ewe ding tyasira, samana sampun prapta, Jendral Ing Ngayogya iku, lajeng mring loji kewala. “ (Dwiyanto, Djoko, 2009; Kraton Yogyakarta, halaman 116).
Di sini terlihat jelas bahwa ada persamaan persepsi antara Suparto Brata dengan Djoko Dwiyanto perihal penggunaan bahasa Jawa halus dalam adat istiadat Keraton. Bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua penulis buku ini sangatlah mementingkan bahasa Jawa Halus ini sebagai salah satu diantara hal yang mereka tuliskan di masing-masing buku perihal adat istiadat Keraton. Ini dikarenakan bahwa memang betul penggunaan bahasa Jawa Halus atau Krama Inggil sangatlah identik dengan adat istiadat Keraton. Pada jaman kekeratonan, bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat yang tinggal di dalam lingkup Keraton itu tersendiri haruslah menggunakan bahasa Jawa Halus sebagai bahasa sehari-hari mereka. Jadi kita bisa melihat bahwa betapa pentingnya membahas tentang penggunaan bahasa Jawa Halus dalam menganalisa adat istiadat Keraton yang kita bahas sekarang.
2.2 Wayang Dilihat dari Perspektif Adat Istiadat Keraton
Permainan wayang adalah salah satu adat istiadat Keraton yang masih nyata dan ada pada jaman sekarang. Wayang tidak hanya dilihat sebagai permainan saja yang menggunakan wayang-wayangan yang menceritakan lakon-lakon Jawa pada jaman dahulu oleh kebanyakan orang Jawa yang mengerti tentang arti sebenarnya dari permainan wayang itu tersebut. Wayang adalah simbol nilai-nilai kehidupan orang Jawa pada saat jaman dahulu yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui permainan wayang. Banyak sekali filosofi-filosofi kehidupan yang bermanfaat bagi orang Jawa pada saat itu yang disebarkan melalui permainan wayang. Memang secara umum permainan wayang tidak hanya ada di budaya Keraton saja melainkan merupakan kebudayaan Jawa secara luas dan merupakan salah satu ciri dari kebudayaan Jawa. Akan tetapi pada novel Mahligai Di Ufuk Timur halaman 205 tertulis bahwa keluarga besar Raden Mas Kus Bandarkum yang berketurunan Keraton sangat menghormati permainan wayang dan menjadikannya pelajaran nilai-nilai kehidupan.
“Betul. Orang Jawa begitu mengagungkan wayang sebagai tuntunan utama hidup, sehingga menggelar atau menanggap wayang purwa sebagai suatu kewajiban dalam masa hidupnya.” (Brata, Suparto, 2007; Mahligai Di Ufuk Timur, halaman 205).
Di sini terlihat jelas bagaimana pentingnya permainan Wayang bagi seluruh orang Keraton atau Jawa sehingga mengharuskannya untuk dapat bermain dan belajar tentang nilai-nilai kehidupan dari sana.
Dilihat dari buku Kraton Yogyakarta lagi, pada halaman 67, disebutkan bahwa wayang adalah sesuatu yang sakral dan suci. Ini menandakan bahwa orang Keraton sangatlah menghormati dan memperlakukan wayang sebagai sesuatu yang sangat berharga. Terbukti di antara kesibukannya para abdi dalem masih saja menyempatkan waktu untuk bermain wayang. Berikut adalah kutipan dari buku Kraton Yogyakarta karya Djoko Dwiyanto pada halaman 67.
“Di tengah gangguan politik itu, Sinuwun Sepuh selalu memperhatikan kebudayaan adiluhung. Beberapa wayang kulit juga dianggap sakral. Pangeran Suryobrongto memberi keterangan kepada kita bahwa ada sekitar 20 buah wayang kulit yang dianggap suci.” (Dwiyanto, Djoko, 2009; Kraton Yogyakarta, halaman 67).
Jadi menilai dari kedua kutipan dan keterangan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa Suparto Brata telah tepat menceritakan wayang pada trilogi novelnya sebagaimana wayang dianggap sangat suci dan sakral pada kenyataannya pada jaman kekeratonan. Ia pun menceritakan bagaimana Raden Mas Kus Bandarkum sangat menghormati wayang dan menjadikannya sebagai panutan hidup dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi untuk adat istiadat permainan wayang, sang pengarang, Suparto Brata telah menuliskannya dengan sempurna sekaligus mempertimbangkan makna dan arti sebenarnya dari wayang itu sendiri.
2.3 Tata Krama dalam Bersosialisasi pada Kehidupan Keraton
Selayaknya kehidupan yang umum, masyarakat Keraton pun mempunyai tata krama tersendiri dalam kehidupan mereka masing-masing. Tata krama pada kehidupan Keraton dibagi berdasarkan status perorangan. Status sebagai anggota kerajaan atau bangsawan, abdi dalem hingga rakyat jelata. Diantara status-status tersebut terdapat perbedaan tata krama dalam bersosialisasi dalam kehidupan permasyarakatan. Tetapi diantara perbedaan status itu terdapat satu inti dalam bertatakrama yang ada pada jaman kekeratonan, yaitu sopan santun. Adat istiadat Keraton sangat mementingkan sopan santun dalam semua aktivitas yang mereka jalani.
Salah satu contoh dimana Suparto Brata memasukkan aspek kesopan santunan Keraton yang satu ini dapat kita lihat pada novel Mahligai Di Ufuk Timur pada halaman 200.
“Runtah dan Sarmini muncul membawa minuman teh dan penganan di talam. Mereka menyajikan dengan tatacara yang berlaku di istana bangsawan Jawa dengan sempurna, yakni membawa talam mendekati meja dengan laku dhodhok. Setelah memindahkan cangkir dan piring ke meja, mereka menyembah kepada dua orang yang dilayani.” (Brata, Suparto, 2007; Mahligai Di Ufuk Timur, halaman 200).
Pada kutipan ini, kita dapat melihat bahwa Runtah dan Sarmini sedang menunjukan rasa sopan santun mereka terhadap orang yang mereka sangat hormati, dimana didalam cerita dua orang yang mereka layani mempunyai status yang lebih tinggi dari mereka. Kesopanan mereka tercermin dari cara mereka berjalan dan cara mereka melayani kedua orang tersebut.
Hal kesopan santunan inilah yang juga dituliskan dalam buku Kraton Yogyakarta karya Djoko Dwiyanto pada halaman 289 pada bab tata krama. Berikut adalah kutipan dari penggalan teks yang tertulis dalam bab tersebut.
“Berjalanlah dengan baik. Jangan ragu-ragu dalam melangkah. Perhatikan jalan di depan. Jangan menjadi orang angkuh. Jangan suka mencari perkara. Dan jangan ceroboh, orang yang ceroboh dan jahat memiliki watak seperti kambing, hanya berujud manusia tidak mengetahui tata krama. Dan jangan suka berbuat seperti orang tidak punya sopan santun, orang yang tidak punya sopan santun mengotori negeri.” (Dwiyanto, Djoko, 2009; Kraton Yogyakarta, halaman 289).
Pada kutipan ini menunjukan bagaimana masyarakat pada jaman Keraton sangat membenci terhadap orang yang tidak punya sopan santun sampai mengatakannya sebagai orang yang mengotori negeri. Pada kutipan ini juga mengambarkan bagaimana seseorang seharusnya bertingkah laku dan bertata krama selayaknya seseorang yang mewarisi tata krama jaman Keraton.
Jadi menilai dari kedua kutipan yang tetera baik itu di dalam trilogi novel Gadis Tangsi yang dikarang oleh Suparto Brata dan Kraton Yogyakarta yang ditulis oleh Djoko Dwiyanto sama-sama mempunyai arti bahwa kesopan santunan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat pada jaman Keraton. Di sini bisa ditarik kesimpulan bahwa aspek tata krama yang digambarkan oleh Suparto Brata dalam trilogi novel Gadis Tangsinya sama dengan apa yang terjadi pada kehidupan Keraton yang sesungguhnya.
BAB III
KESIMPULAN
Trilogi novel Gadis Tangsi merupakan sebuah trilogi novel karya Suparto Brata yang meliputi Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem serta Mahligai Di Ufuk Timur. Secara garis besar ketiga buku ini banyak menampilkan kebudayaan Jawa khususnya adat istiadat Keraton yang diselipkan diantara cerita dan perilaku tokoh-tokoh yang dikarang oleh Suparto Brata di sepanjang ketiga novel tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa Suparto Brata telah menggambarkan adat istiadat Keraton dalam ketiga novelnya secara cermat dan mempunyai kesamaaan dalam adat istiadat Keraton yang sesungguhnya. Ini bisa dilihat dari beberapa aspek dari adat istiadat Keraton yang ditampilkan oleh Suparto Brata di sepanjang cerita dalam ketiga novelnya yang telah dibahas sebelumnya. Pada pembahasan pada bab II terlihat bahwa apa yang dituliskan oleh Suparto Brata memiliki persamaan dengan buku karya Djoko Dwiyanto yang menceritakan tentang bagaimana kehidupan Keraton Yogyakarta yang sesungguhnya.
Maka dari itu dapat disimpulkan juga, tidak ada perbedaan antara apa yang dituliskan oleh Suparto Brata dalam ketiga novelnya perihal adat istiadat Keraton dengan adat istiadat Keraton yang sesungguhnya. Ini dikarenakan sumber informasi yang digunankan Suparto Brata untuk menulis ketiga novel ini didapat berdasarkan pengalaman pribadi dan asli.
Jadi, trilogi novel Gadis Tangsi karya Suparto Brata telah menceritakan bagaimana kehidupan orang-orang pada jaman Keraton dengan baik dan sesuai dengan nilai-nilai sejarah dan budaya dari kehidupan Keraton yang sesungguhnya pada periode tahun 1930-1945.
***
Daftar Pustaka:
Brata, Suparto. (2006) Kerajaan Raminem, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Brata, Suparto. (2007) Mahligai Di Ufuk Timur, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Brata, Suparto. (2004) Gadis Tangsi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Mulder, Niels. (1996) Inside Indonesian Society Cultural Change In Java, Singapore: The Pepin Press
Dwiyanto, Djoko. (2009) Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Paradigma Indonesia
Interview yang dibuat pada tanggal November 4, 2009 dengan Bapak Suparto Brata.
Budaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya) (15 Agustus 2009)
Lampiran
Profil Suparto Brata:
Lahir pada tanggal 27 Februari 1932 di kota Surabaya. Sejak kecil kehidupannya terus berpindah-pindah dari Solo, Sragen dan Surabaya. Bersekolah di SMAK St. Louis di Surabaya dan mengeyam pendidikan disana. Seorang pengarang yang memulai karirnya lewat bekerja pada kantor Telegrap Surabaya. Mempunyai hobi membaca buku dan dari sanalah minat akan sastra Suparto Brata berkembang. Kini ia menjadi salah satu sastrawan yang terkenal yang juga mempunyai banyak sekali hasil karya sastra seperti Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, Mahligai Di Ufuk Timur, Saksi Mata, dan masih banyak lagi.
Hasil Interview dengan Pak Suparto Brata
1. Menurut Bapak apa pengaruh budaya dan adat istiadat Keraton dalam karakter utama trilogi novel Gadis Tangsi yaitu Teyi dalam penggambaran karakternya?
- Sebelumnya saya ingin menjelaskan bahwa yang terpenting dalam kebudayaan dan adat istiadat keraton ialah dalam hal penggunaan bahasa. Bisa dibilang bahwa penggunaan bahasa pada jaman keraton sangatlah krusial dan penting sekali karena pada jaman itu banyak sekali bahasa-bahasa yang terbagi dalam tahapan-tahapan. Misal jika bertemu dengan bangsawan, maka digunakan bahasa Krama Inggil. Lalu jika bertemu dengan kalangan yang lain maka bahasa yang digunakan akan lain lagi.
- Jadi menurut saya, pengaruh adat istiadat keraton dalam karakter Teyi yang saya ciptakan ini adalah perilaku dan pengggunaan bahasanya. Dimana ia sebelumnya hanyalah gadis tangsi biasa saja yang tidak terpelajar sehingga menjadi seorang perempuan yang setara dengan para bangsawan-bangsawan pada jaman itu.
2. Menurut Bapak, bagaimana dengan kondisi dari kebudayaan dan adat istiadat keraton pada jaman yang serba modern ini?
- Budaya terus bergeser. Itu tidak bisa dihindari karena negara kita Indonesia banyak kedatangan orang asing yang membawa kebudayaan mereka tersendiri. Mereka pun membawa bahasa mereka sehingga lama kelamaan budaya dan bahasa keraton dan jawa inipun akan tergeser.
- Jika kita tidak melestarikannya, maka saya khawatir jika suatu saat bahasa Jawa akan tergeser. Saya berharap bahasa Jawa ini akan lebih sering diucapkan sehinggan orang akan terpacu untuk menggunakan bahasa Jawa lagi.
3. Bisa diungkapkan dengan lebih jelas Pak Suparto, dari mana sumber bapak untuk membuat trilogi Gadis tangsi ini?
- Sumber Gadis Tangsi ini sebenarnya berasal dari mertua saya sendiri. Dulu pada saat saya kecil, beliau sering mendongeng tentang kisah-kisah tangsi seperti ini. Maka dari itu terciptalah inspirasi bagi saya untuk membuat karangan trilogi ini.