Ulang tahun ke-78
Surabaya 27 Februari 1932-2010
Sampul buku karya Veronica Myra Wijaya.
Veronica Myra Wijaya merupakan mahasiswa aktif jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Kristen Petra Surabaya. Desain dan keindahan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perempuan kelahiran Surabaya 22 Januari 1989. Semangatnya untuk memberi yang terbaik dalam setiap desainnya membuat ia selalu berusaha untuk membuat ide-ide kreatif yang unik.
Mahasiswa yang sekarang aktif sebagai salah satu himpunan mahasiswa Desain Komunikasi Visual ini sangat mencintai fotografi dan budaya tradisional Indonesia. Maka suatu anugrah berkat kerajinannya surfing di internet bisa bertemu dengan nama Suparto Brata, yang selalu berusaha melestarikan budaya Indonesia melalui karya-karya sastra Jawa. Dari situ Myra lalu menemuinya di rumahnya.
Myra sebelumnya pernah membuat desain tabloid Inmark dan CSR berupa Renewart community dalam tugas desainnya. Kini buku autobiografi Suparto Brata merupakan kesempatan pertamanya untuk dapat membuat sebuah buku yang nantinya bisa menjadi salah satu bentuk dokumentasi perjalanan hidup Suparto Brata. Semoga buku ini bisa bermanfaat.
Wawancara, memotret, membongkari album dan arsif, sampai menyusunnya menjadi buku dilakukan langsung oleh Veronica Myra Wijaya terhadap objek garapannya, yaitu Suparto Brata. Itu merupakan bagian dari tugas personal branding pada mata kuliah Desain Komunikasi Visual 3. Sosok Suparto Brata terpilih karena mampu menginspirasi masyarakat Surabaya dan Indonesia untuk peduli pada warisan budaya. Selain buku, dalam rangkaian tugas ini ada juga poster, buletin, cetak majalah, dan koran.
Veronica Myra Wijaya telah berhasil menyelesaikan tugasnya personal branding mata kuliahnya dengan “menerbitkan” buku berjudul “SUPARTO BRATA BEGAWAN SASTRA JAWA”, merupakan buku “autobiografi Suparto Brata”. Buku setebal 120 halaman itu dicetak dengan sangat lux, seluruhnya berwarna pada kertas mengkilap. Hard cover. Selain tulisan hasil wawancara Myra tentang riwayat hidup dan misi perjuangannya Suparto Brata hingga saat ini, buku tadi dipenuhi juga dengan gambar (coretan tangan Suparto Brata) serta foto-foto Suparto Brata sejak zaman kecilnya, foto-foto dengan keluarga (ibunya, kakaknya, buliknya, teman sekolahnya, teman bekerjanya, teman main hockey) sejak zaman dulu sampai saat ini. Tentu saja juga ditambah hasil pemotretan Veronica Myra Wijaya sendiri saat wawancara. Sebagai objek Suparto Brata diminta menjadi aktor, melakukan apa saja kehidupannya sehari-hari saat ini (menulis, bermain dengan cucu, membaca buku, dan mengerjakan pekerjaan lain).
Untuk memperingati hari ULANG TAHUN KE-78 SUPARTO BRATA, maka di laman ini dikutipkan foto-foto hasil karya Veronica Myra Wijaya yang tercantum pada buku SUPARTO BRATA BEGAWAN SASTRA JAWA, khusus yang menggambarkan kehidupan Suparto Brata sehari-hari pada usianya yang sekarang selain menulis dan membaca buku.
Begini antara lain kisah Bapak Suparto Brata:
“Pada musim kemarau panjang yang lalu, saya (Suparto Brata) menanam tumbuhan pohon juwet. Bijinya saya persemaikan di halaman rumah, bersemai, lalu saya pindahkan satu demi satu ketika masih tumbuh belum lepas dari bijinya (belum 100% hidup dari akar) ke berm tepi sungai pematusan buatan dekat rumah serta berm samping rumah tetangga yang sedang kosong. Kegiatan ini atas inisiatif saya dan saya kerjakan sendiri, saya lakukan selain untuk ikut menyemarakkan penanaman beribu-ribu pohon antipemanasan global, juga untuk pergerakan olahraga saya yang bisa rutin, bermanfaat bagi jiwa-raga saya, juga bagi lingkungan sekitar. Saya kerjakan diam-diam tanpa banyak koar-koar. Tumbuhan juwet belum terlihat besar, masih kira-kira 5 cm, berm rimbun ditumbuhi rumput. Maka ketika ada kerja bakti kampung, warga membabat rumput dan pembakaran sampah, tumbuhan pohon juwetku banyak yang katut tercerabut, dan pembakaran sampah juga menghanguskan tumbuhan juwetku (yang tercerabut 13 batang, yang hangus 3 batang). Untungnya satpam yang tahu bahwa itu tanaman Pak Suparto Brata, segera mencegah pencabutan tadi. Lumayan juga sisa yang terselamatkan.
“Di seberang sungai pematusan buatan yang bermnya saya tanami juwet itu ada rumah Bapak Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional sekarang. Tapi saya menanam juwet di berm sungai buatan bukan karena supaya kegiatanku di ketahui Pak Menteri. Sebab Pak Nuh kan tiap hari lebih banyak bertugas di Jakarta, tidak berdiam di rumah Rungkut. Padahal sejatinya sama-sama memikirkan pendidikan bangsa, ada sesuatu yang amat penting yang saya pikirkan dan perjuangkan untuk mencerdaskan putera bangsa, tetapi belum terjamah oleh Pak Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional yang baru. Sudah banyak yang dikerjakan dan direncanakan oleh Pak Nuh pada awal tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional yang merupakan sarana dan prasarana baru yang strategis, misalnya UNAS diselenggarakan dengan tantangan perangkat bangsa harus jujur, sekolah gratis, pemberian bea siswa, penyebaran komputer pada tiap sekolah, pendirian perpustakaan pada tiap sekolah, penjualan buku murah (e-book), perekrutan guru dan peningkatan kualitas/kesejahteraan guru, memperketat proses memperoleh gelar akademik seperti doktor dan guru besar, dan banyak lagi. Yang tidak tersentuh tetapi sudah saya perjuangkan sejak bertahun-tahun itu adalah tidak dimasukkannya pembelajaran SASTERA (= membaca buku dan menulis buku) pada pendidikan 12 tahun awal putera bangsa. Apa yang sudah dikerjakan oleh Menteri-menteri Pendidikan Nasional selama ini adalah hal-hal yang menyangkut material, penyediaan fasilitas yang terlihat dan terdengar. Fasilitas kegiatan serta kiat hidup indrawi atau kodrati. Bukan sasterawi. Jadi, meskipun putera bangsa sudah menempuh pendidikan bertahun-tahun sampai perguruan tinggi, kiat hidup mereka juga secara indrawi atau kodrati, sama dengan orang primitif zaman kuna, yang hidupnya juga atas ilmu pengetahuannya dari melihat dan mendengar. Padahal, untuk menjalani hidup modern, seseorang harus punya ilmu pengetahuan dan keterampilan, dan ilmu pengetahuan serta keterampilannya itu tidak hanya diperoleh secara inderawi atau kodrati, melainkan diperlukan pelatihan-pelatihan dan pendalaman yang berkelanjutan. Sumber ilmu pengetahuan sekarang berhambur pada BUKU. Maka siapa yang bisa menguasai dan mengetrapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari membaca buku, dialah yang mampu hidup modern (tidak primitif). Dan membaca buku dan menulis buku, latihannya adalah di sekolah, setidaknya selama 12 tahun awal sekolah. Maka di seluruh jagad didirikan sekolah, yang paling pokok yang diajarkan di situ adalah membudayakan (memberi bekal hidup) anak manusia membaca buku dan menulis buku. Membaca buku dan menulis buku bukan kodrat. Memerlukan pelatihan-pelatihan, memerlukan guru, dan pada umumnya (pelatihan atau pengajaran itu) tidak bisa dilaksanakan dalam waktu setahun dua tahun (seperti lewat bimbingan belajar untuk meluluskan anak sekolah, misalnya). Harus berkelanjutan. Berdirinya sekolah seluruh jagad meniru Academus, sekolah filsafat yang didirikan oleh Plato (428-347 S.M.) di mana di situ paling baku mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan hidup dengan menulis buku dan membaca buku (didiskusikan, dibicarakan, ditulis dan dibaca bersama), alias dibudayakan hidup sasterawi. Membudayakan hidup sasterawi (membaca buku dan menulis buku) sejak sekolah dini (12 tahun awal pendidikan) ini yang belum disentuh Pak Nuh, maupun Menteri-menteri Pendidikan Nasional salama ini, sehingga sampai saat inipun sebagian besar bangsa Indonesia tidak hidup secara sasterawi (membaca buku dan menulis buku) alias hidup secara kodrati atau indrawi sama dengan orang-orang primitif zaman kuna. Biarpun buku murah, perpustakaan ada tiap sekolah, siapa yang membaca bukunya kalau putera bangsa tidak punya kegemaran atau budaya membaca buku? Bagaimana seorang mahasiswa bisa mendapat gelar sarjana kalau tidak punya ketrampilan/minat membaca buku dan menulis buku sejak awal, apa bisa membuat skripsi? (Mudah, cukup dengan copy paste karya ilmiah orang lain). Apalagi untuk mendapatkan gelar guru besar atau doktor, syaratnya harus mampu menulis buku, setidaknya banyak menulis karya akademik dalam yurnal ilmiah terakreditasi. Itu syarat mutlak. Mampukah manusia Indonesia generasi pendidikan nasional tahun 1975 sampai sekarang memenuhi syarat itu? (Mudah, cukup dengan copy paste karya ilmiah orang lain).
“Tahun 1975 berlakunya kurikulum pendidikan nasional di mana pendidikan sastra di sekolah disatukan dengan pelajaran bahasa Indonesia, sehingga pengajaran sastra (= membaca sastra, membaca buku dan menulis buku) tersingkir dari kelas sekolah 12 tahun karena kekurangan waktu. Mempelajari bahasa Indonesia saja sudah menghabiskan jam pelajaran, yang nanti diujikan untuk kelulusan sekolah, maka pelajaran membaca sastra tidak sempat mendapat alokasi waktu. Apalagi pelajaran sastra tidak diujikan untuk menentukan kelulusan sekolah. Untuk bisa lulus sekolah tidak penting terampil berbudaya membaca sastra. Jelas sejak itu (kurikulum 1975 sampai sekarang) membaca buku dan menulis buku tidak menjadi keharusan bagi putera bangsa yang bersekolah. Tanpa membaca buku dan menulis buku, ilmu yang diserap yang pokok hanya dari kemampuan melihat dan mendengar, asal hadir dan bertemu mendengarkan guru mengajar, maka dipastikan bahwa ilmu yang didapat hanya instan, artinya hanya sebentar bermukim di sanubari. Umur berlanjut, peristiwa bertambah, ilmu pun tidak diingat lagi. Sastra tidak diajarkan dan tidak diujikan untuk menentukan kelulusan sekolah, begitulah akibatnya. Dan itu terjadi pada belajar-mengajar ilmu di sekolah Indonesia sejak berlakunya kurikulum pendidikan nasional 1975. Tapi tengoklah putera bangsa negara maju seluruh dunia, membaca buku dan menulis buku selain jadi mata pelajaran yang diujikan untuk kelulusan sekolah, juga menjadi kiat hidup (intelektualitas, kecerdasan, karakter bangsa, kekayaan, falsafat, kesejahteraan, keimanan, dll) sepanjang umurnya. Tidak berhenti hanya untuk kelulusan sekolah. Kalau matematika, ilmu pengetahuan alam maupun sosial diajarkan di sekolah penting karena diujikan untuk kelulusan sekolah, setelah lulus selesai, pencarian ilmu pengetahuan selanjutnya bercabang-cabang menurut bidangnya masing-masing, kemahiran matematika atau penguasaan ilmu pengetahuan alam atau sosial sudah tidak diperlukan lagi karena lain bidang ilmunya, maka kebudayaan membaca buku dan menulis buku tidak berhenti setelah lulus sekolah. Pencarian ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya, membaca buku dan menulis buku terus berlanjut sebagai sarana kiat hidup karena diperlukan untuk meraih pengetahuan meliputi pada segala bidang keilmuan. Mencari ilmu di bidang kesehatan ya harus membaca buku, di bidang hukum ya harus membaca buku, di bidang tehnik juga harus membaca buku, jadi politikus kalau tidak membaca buku ya tujuan politiknya sesat. Karena segala bidang keilmuan sudah dan selalu ditulis lagi pada buku, karena itu untuk menguasai ilmunya harus pada membaca buku, untuk menjabarkan ilmunya harus menulis pada buku. Kebudayaan membaca buku dan menulis buku tidak berhenti pada kelulusan sekolah, tidak berhenti pada pencapaian gelar kesarjanaan, tidak lekang oleh kemajuan zaman, maka harus digunakan hingga puput hidupnya.
”Sastra (= membaca buku dan menulis buku) harus dibudayakan pada putera bangsa seperti halnya putra bangsa negara maju lainnya. Di mana membudayakannya? Di sekolah. Sejak kapan? Sejak sekolah dini, setidaknya selama 12 tahun dan seumur hidup (membaca buku dan menulis buku tidak berhenti hanya pada usia sekolah 12 tahun, meskipun tidak melanjutkan belajar ke perguruan tinggi).
“Apa keberatannya mengajarkan membaca buku dan menulis buku di sekolah selama 12 tahun? Di Indonesia penyelenggaraan sekolah 12 tahun sudah ada, tidak perlu tambahan alokasi pendanaan APBN maupun APBD dari yang sekarang sudah berlangsung. Yang sangat diperlukan adalah alokasi WAKTU belajar-mengajar membaca buku dan menulis buku pada umur putera bangsa yang terus mengalir menurut kodratnya yang tidak bisa dibendung dari generasi ke generasi. Guru untuk mengajar juga sudah ada, tidak perlu guru yang sangat ahli dalam mengajarkan membaca buku dan menulis buku, bahkan tidak perlu harus sarjana S2 atau S3. Yang diperlukan adalah jadwal belajar-mengajar membaca buku dan menulis buku, yang harus penuh dan utama, mungkin harus 7-9 jam pelajaran dalam seminggu pada kelas 1-2 tahun pertama sekolah, dan begitu terus tiap masuk kelas tiada hari tanpa belajar-mengajar membaca buku sampai 12 tahun sekolah. (Dan nanti berlanjut khusus untuk mereka yang melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra, baik sastra Inggris, Indonesia, Prancis atau fakultas sastra apa saja. Namun secara umum tetap berlaku untuk mereka yang menekuni bidang ilmu lainnya, maupun yang tidak melanjutkan belajar dan memilih bekerja mencari kehidupan di luar pendidikan. Bukan hanya setelah lulus akademi, sampai jadi pejabat menteri, anggota DPR atau petani di desa pun budaya membaca buku dan menulis buku pun tidak berhenti, harus tetap menjadi sarana, instrumen, kiat hidupnya. Berhenti membaca buku dan menulis buku, maka dia kembali menjadi orang primitif).
“Apabila sastra tidak dimasukkan kembali jadi kurikulum utama pendidikan nasional (seperti halnya sejak tahun 1975 sampai sekarang), itu berarti putra-putra bangsa lulusan pendidikan 12 tahun belajar, para lulusan sarjana kita, para pemimpin kita masa depan termasuk para anggota eksekutif, legislatif dan juridis tidak punya budaya dan gemar membaca buku, kemampuan serapan ilmunya instan, maka jangan diharap (saya ramal) kontribusi ilmuwan Indonesia pada khazanah pengembangan dunia ilmu setiap tahun beranjak dari sekitar 0,012 persen (12 publikasi/100.000 ahli) yang oleh ahli barat: jerih payah upaya ilmuwan Indonesia untuk ikut berkontribusi terhadap perkembangan khazanah ilmiah dunia diistilahi lost science in the third world (Agoes Soegianto, Jawa Pos 12 Februari 2010).
“Meskipun perjuangan saya agar membaca buku dan menulis buku itu dimasukkan (lagi) pada kurikulum pendidikan nasional 12 tahun awal sekolah dan menjadi mata pelajaran utama sudah saya perjuangan sejak lama (juga saya isyaratkan dalam novel-novel saya), namun dalam kesempatan bertetangga dengan Menteri Pendidikan Nasional yang baru, saya pun tidak langsung mengusulkan hal itu kepada beliau yang rumahnya di seberang sungai pematusan yang bermnya saya tanami tumbuhan pohon juwet. Sudah jadi sifatku, menghindari ‘ngaji mumpung’.
“Di lain waktu, sangat sering jalan di tepi sungai tadi untuk ajang sepakbola anak-anak kampung. Tidak jarang ketika mengambil bola mereka menginjak-injak tumbuhan pohon juwet yang masih kecil.
“Sungai buatan itu ternyata juga banyak ikannya. Ada ikan ya ada yang mancing. Mata kail agar dimakan ikan harus diberi makanan ikan, yaitu cacing. Nah untuk mendapatkan cacing, para pemancing pagi-pagi benar sudah mencongkel-congkel tanah berm tepi sungai buatan tadi. Bukan saja tanah rumah cacing yang terbongkar, juga pohon juwetku yang masih kecil. Pencarian cacing dilakukan setiap waktu (hasrat si pemancing) entah pagi-pagi benar atau kapan, sehingga tidak ketahuan oleh satpam maupun saya.>
“Tumbuhan juwet yang tercerabut, sorenya segera saya sulami tumbuhan persemaian baru saya ambil dari rumah. Yang tumbuh di persemaian di halaman rumah masih banyak. Dan tumbuhan yang saya pindahi di berm saya siram tiap pagi jam 10 dan jam 3 sore hari. Musim kemarau 2009 di Surabaya amat panjang, tanah kering kerontang, maka saya perlukan menyiraminya dua kali sehari. Kalau terlambat dapat air, misalnya saya tinggal ke luar kota atau kebetulan 2 hari saya sibuk di luar rumah tidak sempat menyirami, beberapa batang pada mati, segera saya sulami dari persemaian di halaman rumah. Di halaman rumah tiap sore disirami oleh pembantu, dan tanahnya saya bikin subur, jadi tidak terganggu tumbuhnya di persemaian. Begitu pula kalau tercerabut oleh tangan-tangan jahil, tumbuhan juwet di berm ya segera saya sulami kembali, sehingga jumlah tanaman juwet yang tumbuh di berm tepi sungai maupun berm rumah kosong tetangga tetap sama, atau bahkan tambah. Pendeknya saya tidak mau tanaman juwet saya berkurang. Dan karena “berkewajiban” rutin menyirami juwet di berm tetangga dan tepi sungai, maka selama tahun 2009 saya selektip sekali memenuhi undangan. Yang sekiranya kurang penting (dan membuat saya tidak sempat menyirami tumbuhan juwet pada musim kering itu) saya tolak. Ada beberapa undangan yang mengalahkan “kewajiban” saya menyiram tumbuhan juwet saya, antara lain menghadiri seminar Wong Jawa Ilang Jawane di Solo, Festival Sastra Jawa di Cakul Trenggalek, Pertemuan Sastrawan Jawa menginap di Hotel Satelit Surabaya (undangan dari panitia Pra Kongres KBJ), Kemah Budaya Sastra Jawa di Dander (Bojonegoro).
“Dalam kewajiban saya berolahraga menyiram tumbuhan juwet setiap hari, ternyata ada beberapa penemuan saya tentang seni menanam tumbuhan tadi. Pohon juwet, ternyata akarnya menjurus ke bawah sehingga pohonnya menjadi kuat. Lain dengan pohon sono, akarnya menyebar ke sekeliling. Oleh karena itu pohon sono yang sudah tumbuh besar di berm tetangga itu merusakkan tembok pondasi berm. Kalau pohon juwet nanti tidak merusakkan tembok pondasi berm.
“Meskipun saya perlakukan dengan adil, semua saya sirami tiap pagi dan sore, tumbuhnya berbeda. Yang di berm tepi sungai rata-rata subur, cepat tumbuhnya. Lebih subur daripada yang di berm rumah kosong tetangga. Namun juga ada yang tidak subur, daunnya tidak hijau melainkan kehijau muda. Apalagi yang diberm tetangga. Tumbuhnya kerdil, banyak pula yang daunnya hijau muda bahkan menguning. Lalu saya ada niat untuk merabukinya. Mupung ikut mobil anak saya keluar rumah, saya minta singgah di pasar tanaman di Bratang, beli pupuk kandang 5 karung, humus 5 karung besar. (Selama 2009, dua kali saya beli pupuk begitu, bulan Agustus dan Oktober). Ketika saya pupuki bulan Agustus, pupuknya hanya saya timbunkan di pangkal batangnya begitu saja. Beberapa memang tumbuhnya menyubur, tetapi kebanyakan tumbuhnya biasa. Yang daunnya hijau muda dan kerdil ya tetap begitu. Saya berpikir, mestinya rabuknya ditanam di bawah akarnya, bukan hanya ditimbun di pangkal batang begitu saja. Sebab pupuk yang memerlukan kan akar, terutama akar serabutnya. Yang mengisap pupuk kan mata akarnya, bukan pangkal batangnya. Pada bulan Oktober, kebetulan di rumah ada tukang yang membenahi taman di halaman rumah, ada linggis, saya pinjam untuk menggali akar-akar pohon juwet yang kerdil tumbuhnya, akan saya beri pupuk terpendam di bawah akarnya (pohon juwet tumbuhnya rata-rata baru 5-10 cm). Semua saja akan saya beri pupuk pada mata akarnya. Ternyata di berm tetangga rumah kosong, tanahnya penuh dengan bongkar-bongkaran bangunan: batumerah, keramik, kapur. Makanya tidak subur. Saya gali di bawah akarnya. Dengan linggis, bisa lebih leluasa. Wah, dalam sekali baru saya temukan tanah aselinya (bukan bekas bongkaran bangunan). Terpaksa, semua tumbuhan juwet di berm tetangga saya gangsir bawahnya lalu saya jejali pupuk. Ada kira-kira 15 batang. Di berm tepi sungai buatan, tumbuhnya cukup subur, tidak perlu saya gangsir bawah akarnya, cukup sekeliling pangkal batangnya saja. Yang tumbuhnya kerdil berdaun hijau muda, baru itu yang saya gangsir. Mengapa kok tumbuh kerdil? Setelah saya gali dengan linggis bawahnya, ternyata di bawah akar tumbuhan terdapat benda-benda plastik seperti bekas kemasan permen, kantong-kantong plastik, dan serba plastik lainnya. Makanya tumbuhnya tidak subur. Siraman airku tiap pagi dan sore hari, tidak mampu menyuburkan tanah, karena akar-akar juwet tidak bisa menembus bahan plastik yang tertimbun di berm tepi sungai tadi. Jadi kalau berm rumah tetangga yang kosong, ketika dipondasi, ditimbuni benda-benda bongkaran bangunan, yang berm di tepi sungai dulunya digunakan pembuangan sampah. Sampah plastiknya tidak bisa hancur.
“Ada juga pengalaman lain yang saya temui. Ketika musim kemarau, tanaman saya itu saya sirami menggunakan air kran rumah, alias PDAM. Sampai bulan Oktober tumbuhnya kerdil. Setelah bulan November, ada hujan. Tiap kali habis hujan (hujan jatuh biasanya malam hari) pagi harinya tanaman pohon juwet itu kelihatan tambah segar. Kesimpulanku, air PDAM dan air hujan berbeda untuk menyuburkan tanaman, meskipun sama-sama air. Tapi kalau tidak pakai air kran, di mana saya harus cari air untuk tanaman saya? Bisa sih lewat air sungai buatan, tapi untuk ambil airnya dari situ saya harus menyiapkan timba, dan lain-lain segala. Sangat repot. Jadi, ya pakai air kran saja.
“Begitulah antara lain seni tanam juwet yang saya temukan dan rasakan, selain untuk berolahraga menggerakkan badanku yang telah tua. Tetap ada gerak badan dan gerak pengalaman seni dalam batin. Karena itu, meskipun pada bulan November hujan mulai turun di Surabaya, saya tetap menyirami pohon juwet saya pada sore hari saja. Itupun kalau sore hari tidak hujan. Sampai bulan Februari 2010 ini, saya masih sempat menyirami pohon juwet dan mangga tiap sore, karena sore tidak hujan (Surabaya masih tetap jarang hujan). Melihat saya tetap menyirami pohon juwet saya tiap sore meskipun hujan sudah sering jatuh, pak Satpam menegur, “pohonnya sudah pasti tumbuh, Pak, tidak usah disirami”. Dan saya jawab, “Kalau tidak saya sirami, kan saya tidak berolahraga”. Catatan: setelah musim penghujan serokan-serokan di sekitar kampung pada ada airnya. Saya menyiram tanaman tidak lagi menggunakan air kran PDAM, melainkan mengambil air dari serokan yang kini sudah berair.
“Sekarang sudah banyak tetangga yang tahu kegiatanku di berm-berm itu. Lalu menegur, “Tidak terlalu rapat tanamannya, Pak?” Saya jawab, “Nanti kalau besar terlalu rapat, ya ditebang dijarangkan. Menebang pohon sehari bisa selesai, tetapi menumbuhkan pohon mungkin 4-5 tahun baru ketahuan terlalu rapat tidaknya”. Menumbuhkan pohon inilah seninya, yang membuat saya punya pengalaman dinamika kehidupan. Memang, antara batang dengan batang tumbuhan juwetku kira-kira hanya setengah meteran. Jadi tentunya kalau sudah jadi pohon rapat sekali. Saya membayangkan di sekitar rumah saya jadi hutan pohon juwet.
“Selain juwet yang memang saya persemaikan sejak musim juwet tahun lalu (November-Desember 2008), ketika musim buah mangga Oktober-November 2009 lalu, anak saya beli mangga arum manis dari pedagang khusus (buahnya pasti tua), peloknya saya sebarkan di berm-berm tempat tanaman juwet juga. Ternyata sekarang pelok (biji mangga) itu juga banyak yang tumbuh. Saya atur jaraknya dengan tanaman juwetku.
“Pada bulan Oktober 2009, rumah tetangga yang kosong, direnovasi total. Rumah itu dulu dikontrakkan, pengontraknya seenaknya udelnya menempati, sehingga rumah itu rusak sekali. Direnovasi total, seluruh atapnya dibongkar, diganti kayu reng-usuknya, temboknya juga banyak yang diubah, bangunan belakang rumah yang didirikan oleh penyewanya dulu, juga dibongkar. Saluran air, pagar tembok, pohon-pohon sono di berm di depan dan samping rumah (berm samping rumah ini yang saya jadikan kebun juwet, di situ sudah ada pohon sono yang tumbuh besar, kalau musim gugur daunnya mengotori jalan, membuat penderitaan tetangga yang menghadapi daun gugur ini). Nah ketika memangkasi cabang pohon sono itulah, pohon juwetku banyak yang tertimpa dahan pohon, dan mati. Sore hari kayu-kayu dahan pohon sono dikumpulkan, ditumpuk di berm depan rumah, yang di samping tinggal kotoran bekasnya.. Pagi-pagi benar keesokan harinya saya periksa tanaman juwet saya, banyak yang patah dan layu daunnya. Maka sore harinya sebelum asyar (daerah situ sepi) pohon-pohon yang patah dan layu karena tergilas penebangan dahan pohon sono hari kemarinnya, saya ganti dengan tumbuhan yang baru, saya ambil dari persemaian di halaman rumahku. Sebenarnya tukang-tukang yang menggarap renovasi rumah itu juga sudah tahu kegiatanku menanam juwet. Tapi pembangunan renovasi itu diborongkan, jadi tukang yang datang menggarap juga berganti-ganti. Yang bagian listrik datangnya kapan, yang bagian menebang pohon orangnya lain, yang mengecat rumah juga beda lagi. Renovasi rumah pojok milik tetangga itu, sampai bulan Februari 2010 ini (ketika saya menulis laman ini) belum selesai. Beberapa hari yang lalu (5-6 Februari 2010), pondasi pagar tembok di samping rumah renovasi yang keropos diperbaiki. Dibongkar yang keropos, dibangun yang baru. Bongkaran pondasi yang berbongkah-bongkah itu ditimbunkan di berm sepanjang pagar tembok. Saya ketahui baru sore hari ketika saya mau siram-siram. Dengan perasaan pahit saya beritahu si tukang, bahwa tanaman juwetku ada di situ, jangan ditimbuni bongkahan batu. Mereka hanya menengok dan menyingkirkan bongkahan tembok yang sedang menimpa pohon juwetku. Hanya satu dua batang terdekat saja. Bongkaran yang lain tidak dihiraukan lagi. Terpaksa aku sendiri yang menyelamatkan. Untung masih banyak yang hanya tertimbun, tetapi tidak patah, sehingga bisa saya tegakkan lagi. Tapi juga ada yang patah, tidak mungkin bisa hidup lagi. Tingginya baru 10 cm. Setelah renovasi fondasi pagar tembok selesai (beberapa hari bekerja), sudah tidak ada kegiatan tukang di situ, tumbuhan pohon-pohon juwet yang patah tertimbun bongkahan tembok, saya sulami. Saya ganti yang baru dari persemaian. Tingginya baru 4-5 cm, batangnya masih seperti urat nadi warna putih jernih, belum hijau. Pendeknya saya belum mau kalah membesarkan dan memelihara tanaman pohon juwetku. Dan juga masih terus saya tambah jumlah tanaman di tepi sungai dan di berm-berm tetangga yang lain, asal masih sela bisa ditanami tumbuhan pohon juwet. Jadi, operasiku kalau siram-siram, kini jadi lebih jauh dari sewaktu musim kemarau yang lalu. Saya sebarkan terus selagi persemaian tumbuhan juwet di halaman rumahku masih tersedia. Sudah sejak tahun baru lalu (Januari 2010), giliran berm tetangga di seberang jalan depan rumahku mulai saya tanami tumbuhan juwet dan mangga.
“Sampai sekarang tanaman juwet saya (kecuali sulaman baru atau tambahan tanaman baru) sudah kelihatan besar, ada yang tingginya sampai setengah meter. Jumlah seluruhnya (yang masih hidup sekarang) 51 tanaman juwet dan 11 tumbuhan pohon mangga. Hari-hari ini Mas Yudi (menantu) diundang temannya yang punya kebun durian di Banyu Biru Pasuruan. Pulang membawa durian banyak sekali. Ya, waktu makan durian, melihat ponggenya (biji durian), ingat pula kebun berm. Maka beberapa biji saya sebarkan di tempat-tempat kosong di berm kebun juwet saya. Entah tumbuh entah tidak, pokoknya memelihara tanaman, ya menyebarkan biji durian juga jadi sertamertanya.
“Begitulah kegiatan saya di rumah selama ‘musim tanam juwet’ yang dimulai November 2008 (musim buah juwet di halaman rumahku; sekarang tanaman induk itu sudah saya tebang) sampai kini. Ada seninya yang membuat saya tidak tepekur, tapi menggeliatkan badan dan nurani.”
*
Begitulah antara lain kisah Bapak Suparto Brata.
Itu berarti selama musim kemarau Bapak Suparto Brata tidak bisa pergi dari rumahnya. Surabaya tahun 2009 baru mendapat hujan bulan November. Itupun masih jarang sekali. Sehingga pekerjaan rumah siram-siram tanaman juwet dan mangga Pak Suparto Brata tidak boleh ditinggal. Sampai musim hujan tiba, Pak Suparto Brata tetap terlihat menyiram juwet dan mangga di berm sungai pada sore hari. Alasannya, kalau tidak menyiram pohon juwet, berarti tidak berolahraga. Jadi musim hujan atau bukan, menyiram pohon juwet dan mangga tetap dilakukan, karena untuk olahraga dirinya.
*
Berikut foto-foto karya Veronica Myra Wijaya, seperti yang dimuat pada karya bukunya SUPARTO BRATA BEGAWAN SASTRA JAWA. Disiarkan untuk memperingati Ulang Tahun ke-78 Kakek Suparto Brata. Foto-foto diambil tanggal 11 Oktober 2009, tanaman juwet hampir umur setahun masih belum terlihat tumbuhnya.
Musim kemarau tak ada air. Mengambil air dari kran rumahnya.
Ember berisi air kran dibawa keluar dari halaman rumahnya, melewati jalan kampung rumahnya menuju ke berm tempat
penanaman tumbuhan juwet, jalan yang ditempuh ± 100 meter.
*
Ini salah satu bentuk kepedulian yang dilakukan Suparto Brata bagi lingkungannya. Ia menanam banyak pohon di sekitar rumah dan sepanjang tepi sungai di dekat rumahnya untuk penghijauan. Setiap pagi dan sore Bapak Suparto selalu menyirami sendiri tanaman-tanaman tanpa merepotkan orang di sekitarnya.
*
Dengan telaten seperti menyuapi bayinya Bapak Suparto Brata menyirami tumbuhan juwet di berm tepi sungai di dekat rumahnya. Kegiatan ini dilakukan secara pribadi, tanpa cuap-cuap kepada orang lain. Maka tidak heran ketika warga kampungnya mengadakan kerja bakti, berm tepi sungai dibersihkan, tumbuhan pohon juwet tanamannya ikut terkena pembersihan. Namun Suparto Brata tidak mau menyerah. Setelah kerja bakti selesai, ia menanam lagi tumbuhan juwet baru pengganti yang tergusur, diambilkan lagi dari persemaian yang masih ada di halaman rumahnya. Sekarang tumbuhan yang umurnya setahun lebih itu ada yang tumbuh tingginya sudah setengah meter. Meskipun musim penghujan sudah tiba, tanaman juwet di berm tepi sungai dan berm tetangga itu masih juga disirami. Alasannya untuk berolahraga dirinya.
*
Suparto Brata & Veronica Myra Wijaya
Yang digarap dan yang menggarap buku
Tulis Myra: “Saya percaya pertemuan saya dengan Bapak Suparto Brata bukan suatu kebetulan dan saya juga berterima kasih atas anugerah dan kasih karunia Tuhan yang telah membantu saya dalam menemukan seorang tokoh Suparto Brata yang sangat menginspirasi bagi generasi muda dan telah memberikan yang terbaik. Thank’s GOD!”.
Wah, saya terlambat sekali mengucapkan selamat ulang tahun… Maaf ya Pak, baru sempat mengunjungi lagi website ini… Panjang umur dan semangat berkarya selalu….
Salam hangat
Sinaosa telat, ngaturaken sugeng tanggap warsa, Pak Parto. Mugi tansah rahayu wilujeng ugi tambah produktif.