BERMULA JUGA DARI GUS DUR

| |

Menyambut Hari Ibu Internasional 21 Februari

Pada zaman Orde Baru dunia pendidikan nasional menggunakan kurikulum 1975, yang antara lain menetapkan dari TK sampai Perguruan Tinggi hanya menggunakan satu bahasa, yaitu bahasa persatuan Indonesia. Bahasa Indonesia yang baik dan benar harus jadi budaya warga negara. Bahasa lainnya keluar dari kelas pendidikan, atau diajarkan hanya sebagai pelengkap muatan lokal. Bahasa “asing”, misalnya Mandarin, dilarang keras masuk kelas. Hanya bahasa Inggris satu-satunya bahasa non-Indonesia yang masih diajarkan di kelas. Itu pun diajarkan hanya sebagai ilmu pengetahuan, bukan mutlak harus dikuasai sebagai alat komunikasi. Serta hanya para selebritis yang bebas merdeka berucap “elu temenin gue” mejeng di media elektronik tanpa merasa dosa atau melanggar pendidikan nasional dan tidak ditegur oleh aparat penjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, rakyat Indonesia dibebaskan menganut budaya dan penghayatannya, termasuk bahasanya, maka bebaslah rakyat Indonesia mempelajari dan mengembangkan bahasa etnis masing-masing. Bahasa Mandarin dan tulisannya semarak di mana-mana, diucapkan sebagai warta berita di TV dan tertulis di media cetak nasional. Etnis Tionghoa seperti berseru, “Kami bangsa Indonesia keturunan Tionghoa sangat gembira karena bebas berbahasa Tionghoa. Dengan berbahasa Tionghoa kami bisa meraih ilmu yang seluas-luasnya, demi untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dengan berbahasa Tionghoa kami bisa mendapat pekerjaan besar, menjadi kaya dan pintar, berbahagia hidup sebagai bangsa Indonesia”.

Bagaimana etnis yang lain? Yang saya amati bahasa Jawa. Sampai sekarang banyak orang Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa. Dan berkata, “Untuk apa berbahasa Jawa? Bahasa Jawa itu kuna. Feodalistik. Tidak ilmiah. Terbatas lokal. Tidak tersiar di TV nasional. Tidak diterbitkan di koran nasional. Tidak bisa untuk hidup. Tidak pernah ada iklan perusahaan besar membutuhkan orang yang bisa berbahasa Jawa untuk ditempatkan di perusahaannya”.

Sementara itu mereka yang sudah mendapat pekerjaan karena keahliannya berbahasa Jawa seperti guru dan pengarang, berkeluh kesah bahwa penghasilannya tidak mencukupi untuk hidup. Gaji guru kecil. Penerbitan buku sastra Jawa tidak laku.

Jadi, andaikata burung, warga keturunan Tionghoa ketika zaman Orde Baru dikurung dalam sangkar, ketika zaman Presiden Gus Dur, burung dilepas dari sangkar, terbang bebas merdeka berkicau-kicau memberikan nuansa meriah di tanahair. Sedang etnis Jawa, dilepas dari sangkarnya oleh Gus Dur, sayap terlanjur lemah patah tidak bisa digunakan untuk terbang, di luar sangkar di dunia bebas tidak bisa memperoleh makan, terlanjur biasa di sangkar diberi makan tak usah terbang-terbang. Akibat mendapatkan kebebasan (berbahasa Jawa) etnis Jawa sekarat, keluh kesah melulu.

Sepanjang pengamatan saya, keadaan bahasa Jawa tidak terkikis sebegitu jauh seperti itu. Pada zaman Orde Baru, meskipun hanya menjadi muatan lokal di bidang pendidikan, namun ketika Dr. Daud Joesoep (1980-an) menjadi Menteri Pendidikan, dia membentuk komunitas yang namanya Javanologi. Javanologi tumbuh tersebar di instansi pemerintah dan swasta di berbagai kota dan kabupaten (menurut kegiatan masyarakat setempat).

Kementerian Pendidikan juga mendirikan Balai Bahasa di Jogjakarta, yang tugasnya paling utama meneliti dan usaha mengembangkan bahasa lokal setempat (Jogja dan sekitarnya = bahasa Jawa).

Pada tahun 1991, Gubernur Jawa Tengah Ismail memprakarsai Konggres Bahasa Jawa (KBJ) yang digelar selama seminggu di hotel berbintang di Semarang, mengundang berbagai pakar dan pengguna bahasa Jawa dari seluruh jagad, dibuka oleh Presiden Soeharto, dan diisi juga oleh para Menteri-menterinya. Tentu beayanya milyardan rupiah (untuk bahasa Jawa). Keputusan KBJ juga sangat mendukung kehidupan bahasa Jawa. Selanjutnya KBJ akan selalu diselenggarakan setiap 5 tahun oleh tiga provinsi Jateng, Jatim dan DIY secara bergiliran. Sampai sekarang sudah bergilir KBJ IV. Eloknya, sekalipun tiap KBJ diselenggarakan dengan beaya yang cukup mahal, keadaan bahasa Jawa maupun sastra Jawa sampai sekarang sama saja seperti sebelum diselenggarakan KBJ-KBJ. Para guru bahasa Jawa tidak bisa mendidik muridnya agar bahasa Jawa semarak pada generasinya. Para pengarang dan penerbit koran/majalah bahasa Jawa juga sulit untuk memasarkan karyanya.

Tahun 2007 Unesco mengumumkan tanggal 21 Februari sebagai Bahasa Ibu Internasional. Diketahui bahwa di dunia ini terdapat beribu bahasa lokal setempat yang disebut bahasa ibu, oleh perkembangan zaman setiap sekian hari ada bahasa ibu yang punah. Apabila tidak dicegah, dikhawatirkan kepunahan bahasa ibu ini terus berlangsung. Dengan dimaklumkan tanggal 21 Februari sebagai Bahasa Ibu Internasional, diharapkan para pemilik atau pecinta bahasa ibu mau memelihara atau mengembangkan bahasa ibu tadi. Yang dimaksud dengan bahasa ibu adalah bahasa yang menjadi komunikasi tutur pada suatu tempat. Antara lain bahasa Jawa menjadi bahasa tutur orang Jawa.

William P.Turchrello, Field Director Library of Congress Office, Southeast Asia, Embassy of The United States of America tanggal 16 Maret 2006 ketika ke Surabaya untuk tugas diplomat, memerlukan mampir ke rumah saya (bersama istrinya dan berpakaian diplomat: jas dan dasi). Setelah memperkenalkan diri langsung berkata, “Bahasa Jawa sekarang dituturkan oleh 80 juta orang, tetapi mengapa tidak ada sejilid pun buku yang bisa saya temukan?”

Ya. Posisi bahasa Jawa sebagai bahasa ibu sekarang ini masih dituturkan oleh 80 juta orang, menjadi urutan ke 11 terbanyak dituturkan orang di dunia. Lebih banyak daripada penutur bahasa Prancis maupun Belanda. Tetapi jumlah penerbitan bukunya jauh di bawah bahasa Prancis maupun Belanda. Dan siapa pun yang ingin membaca sastra Jawa, maupun yang mau berkarya tulis (wartawan atau pengarang) bahasa Jawa, tempatnya tidak lain hanya pada majalah bahasa Jawa Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djoko Lodang.

Ada lagi seorang tamu dari Amerika pakar antropologi diantar mendadak oleh seorang teman mampir ke rumah saya. Ketika pamit saya titipi buku bahasa Jawa karangan saya Donyané Wong Culika dan Lelakoné Si lan Man. Sebulan kemudian (24 Maret 2007) saya terima surat dari Ben Abel, atas nama John M. Echols Collection on Southeast Asia, Cornell University, mengabarkan bahwa dua buku bahasa Jawa yang saya titipkan melalui Professor Jim Siegel sudah diterima. Dengan tambahan dua judul tadi maka koleksinya di sana ada 23 judul buku karya bapak Suparto Brata.
Jadi ini agak aneh. Di Pulau Jawa sendiri tidak ditemukan buku bahasa Jawa, di Cornell University dikoleksi sekian judul buku.

Tahun 2011, Provinsi Jawa Timur pimpinan Pakdhe Karwo mendapat giliran menyelenggarakan KBJ V. Meski masih akan diselenggarakan tahun depan, tidak mau menyelenggarakan konggres yang sia-sia seperti KBJ-KBJ yang lalu (20 tahun ber-KBJ keadaan bahasa dan sastra Jawa masih pancet seperti sebelum adanya KBJ-KBJ), Pakdhe membentuk panitia Pra-Konggres. Yaitu mempersiapkan KBJ V sebaik dan seberguna mungkin untuk menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa. Setelah KBJ V 2011, sastra dan bahasa Jawa harus semarak berkelanjutan. Panitia Pra-Konggres bekerja tahun 2010 ini, yaitu mengumpulkan data dan potensi yang ada, membina dan mendorong majunya pekerja dan pekarya bahasa Jawa. “Menghidupkan” kembali pengguna bahasa Jawa yang terpuruk. Membangkitkan lebih semarak organisasi, perkumpulan, sanggar, penerbitan buku, segala kegiatan berbahasa Jawa. Dengan kegiatan panitia Pra-Konggres sebagai pelatihan mendasar memotivasi kegiatan berbahasa dan bersastra Jawa di Jawa Timur, maka diharapkan nanti penyelenggaraan KBJ V menjadi moment terbaik untuk menyemarakkan berkelanjutan bahasa Jawa ke seluruh jagad yang jumlah penuturnya 80 juta orang itu pasca-KBJ V Jawa Timur.

Sebetulnya kegiatan berbahasa dan bersastra Jawa di Jawa Timur cukup menonjol. Ada majalah bahasa Jawa yang panjang umurnya dan populer terbit di Surabaya (Jaya Baya, Panjebar Semangat). Ada sanggar-sanggar sastra Jawa yang tetap giat dan produktif menghasilkan karya bahasa Jawa (Triwida Tulungagung, PSJB Bojonegoro, PPSJS Surabaya, dll). Ada Balai Bahasa Surabaya, ada radio pemerintah dan swasta yang selalu menyiarkan bahasa Jawa, ada JTV, ada kumpulan seni panggung (ludruk, kethoprak, wayang) yang berbahasa Jawa. Ada banyak pemkab maupun pemkot yang menyelenggarakan kegiatan eksidentil seperti lomba baca gurit, lomba menulis cerkak. Bahkan Pemkot Surabaya mengadakan Java-Day (namanya kok tidak njawani, ya?), seluruh insan sekolah pada hari Senin berbahasa Jawa.

Namun, kalau masih banyak orang Jawa mengeluh merasa kesukaran bertutur bahasa Jawa, dan beranggapan bahwa berbahasa Jawa tidak mendukung citra pribadinya, maka pengeluh tadi pasti di jalan berpikir yang sesat. Kembalilah kepada yang benar! Kembalilah pelajari, telusuri, dan aktualisasikan berbahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Bugis, bahasa Bali dan bahasa etnis lain. Beraneka beda-beda itu dunia menjadi indah, termasuk beraneka beda bahasa! Tirulah semangat menggebu seperti bangsa Indonesia keturunan Tionghoa, bahwa dibebaskannya berbahasa ibu oleh Gus Dur adalah berkah yang harus disyukuri, karena itu bahasa ibu (bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Dayak, bahasa Madura, bahasa Bugis, dll) harus disemarakkan. Untuk meraih hingga semarak, jangan melihat kelemahan-kelemahan keadaan yang sekarang, tapi raihlah dengan semangat perjuangan 1945. Ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, keadaannya sangat menyedihkan, jiwanya telah dijajah oleh Belanda 350 tahun, kekayaannya telah diperas oleh Jepang 3 tahun. Bangsa Indonesia tidak punya apa-apa. Namun jiwa berjuang tergugat berkobar hanya berkat secarik kertas naskah proklamasi, dan kemerdekaan NKRI pun terwujud. Menyemarakkan bahasa ibu juga harus bonek seperti Arèk-arèk Surabaya zaman Oktober-November 1945 ketika harus mengusir Pasukan Mallaby Gurka-Nica. Dengan hanya bersenjata bambu runcing melawan persenjataan Perang Dunia II, akhirnya menang (Indonesia merdeka) karena dijiwai bondha-nekad. Kalau Arèk-arèk Surabaya bulan Oktober-November 1945 tidak bonek melawan kedatangan Inggris Mallaby dan Belanda Nica, mungkin Indonesia tidak merdeka, tetapi dijajah kembali oleh Belanda yang punya senjata modern hebat. Atau Indonesia Merdeka karena mendapat hadiah dari Juliana Ratu Belanda. Tetapi karena boneknya Arèk-arèk Surabaya NKRI berwujud akibat direbut dengan perjuangan perang bersenjata. Menyemarakkan bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Batak, bahasa Ibu, jangan loyo, juga harus semangat perjuangan 1945, yang hanya dipicu oleh selembar kertas naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, meskipun tidak punya apa-apa. Jangan kecewa dilahirkan sebagai orang Jawa, orang Sunda, orang Bali, orang Minangkabau, orang Ambon, karena itu takdir (kehendak Allah). Syukurilah dengan perbuatan yang mengangkat derajad ibumu, Ibu Pertiwimu, dengan menyemarakkan bahasa Ibu.

*

Posted by admin on Sunday, February 21st, 2010. Filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

2 Comments for “BERMULA JUGA DARI GUS DUR”

  1. Kados pundi malih Pak Parto, menawi priyantun Jawi sampun boten kersa ngagem basa Jawi badhe kados pundi ? Kamangka ngagem basa Inggris namung sepalih-sepalih, kados upaminipun wonten jaratan ingkang dipun namakaken ” San Diego Hill” >menapa ngaten punika saged dipun wastani nguri-nguri basaning leluhur ?

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*