RM YUNANI DIPANGGIL AL KHALIQ SEORANG WTS TINGGAL DI KOMPLEKS WTS

| |

 RM. Yunani

Dunia kewartawanan Jawa Timur berduka kehilangan seorang wartawan seniornya Rudolf Mateus Yunani Prawiranegara, meninggal dunia tadi pagi 26 Desember 2009 jam 0830 di Graha Amerta (RS Dr. Soetomo) Surabaya. Begitu dikabarkan oleh JTV jam 1925 malam harinya.

Senin 19 Oktober 2009 saya dapat sms dari Mas JFX Hoery (PSJB Bojonegoro) harap membuka Kemah Budaya Jawa di Dander Bojonegoro tanggal 26 Oktober nanti. Saya tolak, karena saya tidak cakap berbicara. Saya anjurkan yang membuka Mas Yunani. Mas Hoery balik tanya apa Mas Yunani sudah sembuh, kabarnya masuk RS. Berita sakitnya Mas Yunani didengar ketika para pengarang sastra Jawa se provinsi Jatim diundang panitia Prakonggros Bahasa Jawa V (KBJ) di Hotel Satelit Surabaya 7-8-9 Oktober 2009. Saya tidak tahu berita sakitnya Mas Yunani itu.

Ternyata Mas Yunani datang di Kemah Budaya Jawa di Taman Wisata Dander. 27 Oktober 2009. Bersama pada satu forum dengan Dr. Ayu Sutarto, MA (dari Jember) Mas Yunani bicara bahwa perkembangan sastra Jawa modern sekarang ini kurang penulisan esei atau kritik sastra. Ya, ada yang ditulis mengenai kesusasteraan Jawa, tetapi kok yang ditulis tentang era Yasadipura-Ranggawarsita. Bukan sastera Jawa yang ditulis aktual sekarang ini.

Habis ceramah Mas Yunani saya beri buku saya Suparto Brata’s Omnibus, untuk dikritik. Mas Yunani sempat tanya “Omnibus” itu apa. Sedang Mas Ayu Sutarto saya beri buku saya Ser! Randha Cocak. Mas Ayu sempat heran, “Lo, buku sastra Jawa kok sampulnya gadis menari balet?” Maksudnya saya tangkap “kok modern, kok tidak tradisional pakaian Jawa”.

Waktu Mas Bonari menyelenggarakan Festival Sastra Jawa dan Desa di Dusun Nglaran, Desa Cakul, di perbukitan Trenggalek tanggal 4-5 Agustus 2009, saya dijemput mobil oleh Mas Leres Budisalira (JTV) di rumah, lalu mempir ke Jl. A. Yani 88 (Jawa Pos), di sana sudah menunggu RM Yunani bersama isteri, dan Mas Zawawi Imron. Kami pergi ke Nglaran (Cakul) dalam satu mobil. Cakul (tempat kelahiran Mas Bonari Nabonenar) betul-betul desa terpencil di perbukitan yang jauh dari Ratu (pemerintahan pusat). Meskipun begitu yang hadir di sana pengarang dan peminat sastra Jawa luar biasa banyaknya. Ada Diah Hadaning dari Bogor, Guntarso TS dari Jakarta, satu bis mahasiswa dari UNESS Semarang, berjubel pengarang dari Triwida, Bandung Mawardi dari Solo, Wijang Jati Riyanto dari Taman Budaya Jawa Tengah, Siti Aminah dari Jogya, Dhanu Priyo Prabowo dari Balai Bahasa Jogja, sekelompok dari Balai Bahasa Jawa Timur (Surabaya), Ary Nurdiana dan Arim Kamandaka dari Ponorogo, rombongan Suyanto dari Banyuwangi.

Dalam satu forum gelar diskusi sastra Jawa di sana Mas Zawawi Imron menceritakan bahwa di pesantren Madura, bahasa (sastra) Jawa masih menjadi sumber-sumber penghayatan. Sedang Beni Setia mengemukakan bahwa sastra Jawa di pedesaan, di pinggiran, masih kental bernuansa Jawa. Kalau ada sepasaran bayen (5 hari lahir bayi), sering diadakan melekan sambil macapatan, pementasan wayang dan kethoprak masih sering dan dihayati oleh masyarakatnya. Sayangnya sastra Jawa modern justru meninggalkan budaya Jawa ini, dan menulis (novel, cerpen) seperti yang kebanyakan ditulis pada sastera dunia. Mas Yunani memberi tanggapan lantang, bahwa yang dikemukakan Beni Setia itu bahasa Jawa, bukan sastera Jawa. Sastera Jawa itu ya bahasa Jawa yang ditulis dan dibaca. Dan sastra Jawa modern tidak meninggalkan budaya Jawa, karena tetap masih menggunakan bahasa Jawa. Kalau bicara soal perkembangan sastera yang dikaji adalah bahasa yang ditulis dan dibaca, kalau perkembangan bahasa maka yang diperhatikan adalah yang diucapkan dan didengarkan betapa semaraknya di masyarakat. Begitu tanggapan Mas Yunani secara spontan dengan nada emosional

Di Cakul saya menginap di rumah Pak Lurah Nglaran, bersama Guntarso TS, Zawawi Imron, Beni Setia, Bondan, Mas Kembar Tjahjono W. dari Ngawi. Semula saya dipesan oleh Mas Bonari supaya nanti pulangnya terakhir, karena Bupati Trenggalek Suharto Hadiningrat akan menjamu para pengarang sastera Jawa senior di kantornya, sembari pamit berakhirnya Festival Sastera Jawa dan Desa ini. Tapi di tengah acara ada bebisik bahwa Pak Bupati harus dinas ke luar kota, urung ada pamit-pamitan. Jadi saya kembali diikutkan mobil Mas Leres Budisalira, pulang langsung setelah menginap 2 malam. Bersama di mobil pulang adalah Mas Zawawi Imron, Mas Beni Setia, Mas Kembar Tjahjono W (Tjahjono Widyanto dan Tjahjono Widarmanto). Mas Yunani bersama isteri masih tetap tinggal, konon akan dipesankan travel pulang langsung sampai di rumah Surabaya. Ternyata kemudian saya dapat berita dari Mas Bonari bahwa pamit kepada Bupati itu jadi dilaksanakan (pada akhir/penutupan Festival, dan Mas Yunani beserta isteri serta Mbak Diah Hadaning diantar pulang (ke Surabaya) dengan mobil Pak Bupati.

Jumat 11 Desember 2009, saya terima sms dari Mas Bonari, mengabarkan bahwa Mas Yunani stroke dan dibawa ke RSUD Dr. Sutomo. Saya jawab minta beritanya terus. Beritanya berlanjut (sms lagi). Ternyata sms itu forward dari Heti Palestina dengan Mbak Trinil, dari Mbak Trinil ke Mas Bonari, dari Mas Bonari ke saya. Makanya kok pakai “Jeng” segala. Kemudian ada sms lanjutan yang membicarakan sumbangan dana dari PPSJS untuk Mas Yunani bagaimana.

Pagi harinya hari Sabtu 12 Desember, saya menyiapkan diri mau ke Ponorogo Berangkat nanti Minggu pagi jam 0300, diantar oleh Mas Yudi (menantu) ke Bungurasih. Pagi hari itu saya terima telepon dari Mbak Trinil, mau menjenguk Mas Yunani di RS Dr. Sutomo, bersama Mas Joko Prakosa, saya mau diampiri. Karena Mas Joko nantinya jam 10 pagi harus ke Lamongan (naik bis di Bungurasih), maka bezuknya harus pagi-pagi. Saya ingat soal dana, dan Mbak Trinil menganjurkan bawa dana sekalian. Saya, Mbak Trinil, Mas Joko, Mas Bonari, Mas Yunani , Mas Harmono Kasiyun adalah tokoh-tokoh inti dari PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). Di jalan menuju ke RSUD dana dari PPSJS terkumpul lima ratus, dari saya lima ratus, jadi seribu rupiah. Kami sampaikan kepada Bu Yunani ketika bertemu di RSUD.

Kami bertiga bisa bertemu dengan Mas Yunani atas bimbingan Bu Yunani dan Mbak Heti Palestina (menemuinya bergiliran). Ketika saya temui, Mas Yunani hanya bisa membuka mata sedikit, tangannya saya pegangi bisa berdenyut. Sebelum dan ketika saya datang ada penunggu yang selalu berbisik pada ke telinga Mas Yunani. Oleh Bu Yunani saya juga disuruh memanggil-manggil Mas Yunani, katanya agar urat syarafnya selalu aktif (mendengar suara diajak bicara). Saya pun memanggil-manggil, “Mas. Kami masih membutuhkan Mas. Jangan pergi dulu. Masih banyak tugas yang membutuhkan potensi Mas,” bisikku berulang. Cukup lama saya menjenguk, ganti Mbak Trinil. Saya menunggu di luar bersama Mbak Heti. Lalu datang adik Mbak Heti, Romawi yang masih kuliah di Jogja. (Jadi putera Mas Yunani ada dua orang, Heti Palestina dan Rudi Romawi, nama-nama sekitar Negeri Balkan). Mbak Heti cerita kepada saya, “Bapak masih memikiri program-program tugasnya, rapat-rapat kepanitiaan, dan apakah masih bisa menulis segala sesuatunya yang dianggap harus dikemukakan dalam tulisan. Mbak Trinil mengakhiri kunjungan, bilang, Mas Yunani minta dipijit-pijit badannya oleh Mbak Trinil. Jadi lebih sadar daripada ketika saya kunjungi tadi. Waktu giliran saya tadi saya salaman tangan, reaksi Mas Yunani hanya pada denyut tangannya, wajahnya hanya mengerdip-kerdip. Dalam berbagai pertemuan PPSJS kami tahu hubungan Mbak Trinil dengan Romo Yunani sangat akrap, maklum kalau Mas Yunani minta pijit segala.

Kami pulang bersama cepat-cepat, karena jam 10 harus di Bungurasih (Mas Joko memberi kuliah di Lamongan, Randu, putera Mbak Trinil yang menyopir, harus segera ke Malang, kuliah). Malam harinya (jam 0300) saya diantar Mas Yudi (menantu, tinggal serumah) ke Bungurasih, menuju ke Ponorogo, menghadiri launcing majalah Pujangga Anom di Gedung KORPRI Ponorogo, atas undangan Bu Ary Nurdiana. Di Ponorogo bertemu dengan para sastrawan sastra Jawa dari Triwida, PSJB dan lain-lain. Meriah, baik banyaknya sastrawan yang hadir maupun acara yang digelar, dibuka oleh Bapak Bupati Ponorogo Muhadi Suyono.

Hari Senin 14 Desember saya dapat telepon dari Lan Fang (novelis, pengarang Perempuan Kembang Jepun, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2006, tinggal di Surabaya) mengabarkan bahwa Pak Budi Darma bersama dia hari Kamis mau mengunjungi Pak Yunani di RSUD Dr. Soetomo. Apakah saya mau ikut? Saya jawab bahwa saya sudah berkunjung hari Sabtu yang lalu.

Jumat 18 Desember saya dapat sms dari Mbak Trinil (forward dari Mbak Heti Palestina) yang menceritakan perkembangan Mas Yunani. Sudah dibedah otak, dipindahkan ke Graha Amerta, IRD lt 5, belum boleh dikunjungi.

Kamis 24 Desember, senja hari Mbak Trinil kembali mengajak saya untuk menjenguk Mas Yunani, karena kata Mbak Heti, Mas Yunani selalu tanya Mbak Trinil kok tidak menjenguk. Menurut Mbak Heti, dirawat di lantai 2 IRD Graha Amerta. Gedung Bedah Pusat Terpadu. Operasi otaknya sudah baik, tetapi ganti fisiknya yang kritis, pendarahan usus. Mbak Trinil menganjurkan sangu seribu rupiah untuk jaga-jaga. Saya siapkan seribu rupiah diperjalanan saya berikan kepada Mbak Trinil, tapi ditolaknya karena katanya hanya untuk jaga-jaga saja. Disimpan dulu.

Kembali seperti yang lalu, kami berempat (saya, Mbak Trinil, Mas Joko Prakosa, Mas Randu) ke Graha Amerta RSUD Dr. Soetomo. Dalam perjalanan Mbak Trinil cerita, bahwa sekarang ini, menurut Mbak Heti, RM Yunani bukan lagi wartawan Surabaya Post pimpinan mendiang Pak Azis, jadi tidak dipensiun, tidak punya asuransi kesehatan, yang dimiliki hanya rumah di Gresik Kota Baru itu (hasil ketika menjadi wartawan Surabaya Post). Penghasilannya ya dari menulis secara freelensis ke suratkabar atau majalah. Atau dari kegiatan lembaga yang RM jadi anggotanya. (PWI, Cagar Budaya, DKJ, DKS, PPSJS). Padahal beaya pengobatan di RSUD ini sudah diperkirakan lebih dari 30 juta rupiah. Karena itu tadi Mbak Trinil memberi tahu Mbak Retno (Surabaya Post yang sekarang), Pak Yuwono Sadikun (Dewan Kesenian Jatim), Pak Suharmono Kasiyun (PPSJS) agar mengetahui hal ini dan mengurusi mengatasi masalahnya.

Malam hari, sepi sekali. Di pintu masuk kami ditanya mau ke mana. Menjenguk Mas Yunani. Penjaga telepon ke ruangan pasien. Maka dapat menjenguk. Kami naik ke lantai 2, sepi sekali. Tidak ada orang, semua pintu ke ruangan tertutup. Mbak Trinil sms sama Mbak Heti. Mbak Heti memberi petunjuk, pijat tombol hijau di pintu ruangan masuk, pintu akan terbuka, lalu ambil dan mengenakan pakaian pembezuk, dan bisa bertemu dengan pasien. Mbak Heti sendiri sudah disuruh oleh dokter di rumah saja, tidak perlu tunggu pasien, karena sudah dalam perawatan yang baik. Sebenarnya, secara fisik badan Mas Yunani sudah meninggal. Sekarang masih bernafas, hanyalah karena jarum-jarum medis yang disuntikkan pada tubuh Mas Yunani. Mbak Trinil menganalisis bahwa jiwa Mas Yunani bertahan di tubuhnya karena keinginannya melaksanakan tugas-tugas yang belum diselesaikannya. Maka nanti kalau bertemu kami harus minta agar segala pikiran tugas itu dilepaskan. Ikhlas lepas memikirkan tugas di dunia.

Akhirnya kami bisa masuk, dan bertemu dengan Mas Yunani. Kalau Sabtu yang lalu tangannya bisa berdenyut ketika saya salami, sekarang tidak lagi. Tubuhnya kelihatan lebih gemuk. Mbak Trinil membisiki di telinga Mas Yunani, tapi sudah tidak ada reaksi sama sekali. Kalau Sabtu yang lalu saya membisikkan bahwa kami masih butuh Mas Yunani, jangan tinggalkan kami dulu, maka sekarang yang saya bisikkan, iklaskanlah semua tugas di dunia, lepaskanlah segala pemikiran di dunia. Begitu. Mas Yunani tidak bisa bergerak apa-apa. Kulit lengannya yang bertambah gemuk juga sudah dingin.

Jumat, 25 Desember, jam 0602, saya terima sms dari Mbak Trinil memforward smsnya Mbak Heti, ingat bahwa ayahnya ingin pulang saja, ingin mandi. Kalau pulang artinya kan meninggal, tentunya dimandikan. Mbak Heti bingung antara medis yang menahan Mas Yunani hidup dan keinginan ayahnya pulang (berarti meninggal).

Jumat, 25 Desember, jam 0609, Mbak Trinil sms, apa dikuati saja keinginan Jeng Heti, semua alat medis yang mancep pd tubuh RM dicabut, sebab sptnya waktu, tenaga, pikiran, biaya sdh pd titik jenuh. Saya reply setuju. Mengingat keadaan Mas Yunani begitu “tersiksa” saya spontan reply begitu. Tapi kemudian saya juga berpikir, artinya ini juga berarti “membunuh”. Sebentar kemudian saya dapat sms lagi dari Mbak Trinil bahwa telah menguati keinginan Jeng Heti mencabut alat-alat medis, juga dikatakan bahwa waktu bezuk kemarin “Pak Parto sudah sangu jaga-jaga seribu rupiah”. Malam harinya semalam suntuk saya memikirkan hal itu, dan menunggu-nunggu berita hasil reply “setuju” saya itu. Sampai pagi, ternyata tidak ada berita dari Mbak Trinil.
Sabtu, 26 Desember, jam 0900, saya terima sms dari Mas Hoery (Bojonegoro) bahwa telah meninggal dunia, Bp. RM Yunani Prawiranegara, di RSUD Dr. Soetomo hari Sabtu 26 Desember jam 0815.

Lo, sepanjang hari Jumat sampai malam harinya saya hubungan dengan Mbak Trinil, kok paginya hari Sabtu yang mengabari kematian Mas Yunani Mas Hoery dari Bojonegoro. Yang saya pikiri apakah meninggalnya karena persetujuan saya mencabuti alat-alat medis itu dilaksanakan? Saya segera sms Mbak Trinil. Direply: Telah meninggtal dunia…..dst, jenazah akan diberangkatkan dari rumah Jl. Putat Jaya Barat C gang XI no 20 – jam 14.30. Saya tanya ada rencana ngampiri saya? Mbak Trinil sedang punya gawe mengumpulkan keluarganya di rumah lama Petemon, jadi tuan rumah. Maka minta Mas Joko Prakosa yang harus muncul sebagai anggota PPSJS, karena kami bertiga ini kan “trio wek-weknya PPSJS”, dan ngampiri saya. Jam 12 saya dijemput Mas Joko, berboncengan motor “mencari” rumah Mas Yunani. Putat Jaya merupakan wilayah lokalisasi pelacuran yang terkenal. Perumahannya rapat sekali, gang-gangnya sempit, pada jalan yang besar tersedia penitipan kendaraan, dan toko-toko maupun warung-warung yang buka terus. Begitu kata Mas Joko. Saya sendiri tidak tahu, baru menyaksikan ya baru siang itu.

Sebab, ketika saya jadi pekerja Humas Pemkot, tahun 1969-an (belum jadi pns, tapi sudah diminta menyelenggarakan penerbitan majalah Gapura yang diterbitkan oleh Pemkot, dan kantornya di Kantor Pemkot, saya ikut giat meliput kegiatan Pak Walikota), daerah Putat Jaya dan Dukuh Kupang itu baru dibuka, dibuat jalan besar dari Gedung Setan Pasarkembang menerobos makam Cina Girilaya (giri = gunung, laya = mati, tapi seringkali kata Girilaya digunakan untuk nama gugusan makam Cina), menuju ke rumah Lurah Dukuh Kupang lewat Putat Jaya (terdapat kuburan Cina yang meluas di daerah situ), dari rumah Lurah Dukuh Kupang pembuatan jalan baru itu terus berlanjut menuju ke gudang peluru Gunungsari dan direncanakan tembus Jalan Gunungsari (baru direncanakan, baru dirintis dengan jalan setapak tembus Gunungsari). Di Putat Jaya keadaannya banyak makam Cina, di Dukuh Kupang keadaannya masih berupa padang ilalang. Daerah itu merupakan akhir dari Pegunungan Kendeng, pegunungan kapur yang membujur dari Jawa Tengah (Sragen utara). Tanahnya tandus. Dari rumah lurah Dukuh Kupang menuju gudang peluru pembuatan jalan besarnya terhenti sampai jalan rintisan setapak, sedang pembuatan jalan besarnya membelok ke kiri, diperkirakan bakal tembus Gedung Gelora Pancasila. Pembuatan jalan besar ini lebih singkat mencapai keramaian kota (Gelora Pancasila dan sekitarnya) daripada menembus ke jalan besar Gunungsari (yang tetap dirintis dengan pembuatan jalan setapak). Jalan besar buatan baru yang dibelokkan ke kiri itu sekarang jadi Jalan Majen Sungkono. Tetapi waktu itu (1969) sampai akhir pemerintahan Walikota Soekotjo (1965-1974), hasilnya jalan besar buatan baru itu (Jl. Majen Sungkono) masih merupakan makadam, belum bisa tembus ke daerah Gelora Pancasila.

Saya ingat, waktu itu (1969) Pak Kotjo juga sedang membersihkan rumah-rumah liar di sepanjang Jalan Kutai sampai tepi Kali Wonokromo. Tahun-tahun 1950-1969 tempat itu menjadi wilayah rumah-rumah pelacuran (hal ini saya rekam dalam cerita sambung garapan saya 1963: Kena Pulut dimuat majalah Jaya Baya 1967. Kena Pulut merupakan cerita terakhir dari trilogi seri Wiradi, yaitu Kaum Republik, Kaduk Wani, Kena Pulut. Saya gabung jadi satu dalam buku KELANGAN SATANG saya usahakan bisa segera terbit). Rumah-rumah liar di Jl. Kutai sampai Kali Wonokromo dan di sekeliling sekolah St.Josep digusur oleh Pak Kotjo, orangnya dipindahkan ke daerah baru Dukuh Kupang, sedang tempat yang dibersihkan dijadikan terminal bus Joyoboyo. Terminal bus Joyoboyo digarap dalam 100 hari selesai, segera terminal bus di Surabaya yang semula berada di Jembatan Merah dipindahkan ke Joyoboyo. (Jembatan Merah jadi terminal bus dari luar kota di Surabaya juga sudah saya rekam dalam cerita pendek saya berjudul Nyadran dimuat majalah Panjebar Semangat 15 Februari 1965, kemudian cerpen tadi saya kumpulkan dengan 19 cerita pendek lain dalam buku LELAKONÉ SI LAN MAN, diterbitkan oleh Penerbit Narasi Jogjakarta 2005. Sebenarnya membaca cerita-cerita saya seringkali sama dengan membaca sejarah, karena yang saya ceritakan adalah peengalaman saya zaman itu saya jalin dengan fantasi saya). Pak Kotjo sering membuat program pembangunan terobosan yang dibatasi 100 hari kerja, misalnya membuat jalan melintang dari Greges ke Tandes (sekarang jadi Jalan Margomulyo), harus selesai dalam 100 hari. Begitu juga jalan yang sekarang jadi Jalan Darmawangsa, dari samping RSUD Dr.Soetomo menembus lurus ke Pucang, dahulu harus melalui perkampungan Gubeng Klingsingan, yaitu perkampungan penghunian liar di atas sawah milik Baswedan, dikapling-kapling liar zaman PKI berkuasa. Oleh Pak Kotjo juga digarap dalam 100 hari. Saya ingat ada wartawan yang tanya setelah peresmian jalan itu, “Namanya jalan apa, Pak?” “Ya, Jalan Darmawangsa saja,” jawab Pak Kotjo. Waktu itu Jalan Darmawangsa hanya merupakan jalan kecil, yang melintas dari pertiga Jalan Viaduk (Jl.Prof.Dr. Mustopo) sampai Jalan Sriikana. Jalannya sempit, tak terurus. Tapi dibedah bongkar oleh Pak Kotjo menjadi jalan besar dan lurus dari Lapangan Hoki sampai tembus Jalan Pucang Anom Timur dan Ngagel Jaya.

Orang-orang yang digusur dari tepi Kali Wonokromo (Joyoboyo) ditempatkan di Dukuh Kupang pada mengeluh, karena tempat itu terpencil, sepi, tanahnya tandus, dekat kuburan Cina yang luas, sulit untuk usaha mencari penghidupan.

Itu kejadian tahun 1969, 40 tahun yang lalu. Pertumbuhan perumahan di Putat Jaya memang terlihat cepat tapi tidak beraturan (bekas kuburan Cina), sebelum berakhirnya pemerintahan Pak Kotjo sudah tumbuh jadi tempat pelacuran. Sedang di Dukuh Kupang pertumbuhannya lebih pelahan. Padang ilalang di sana dikapling-kapling oleh pemerintah, dibangun perumahan embrio yang bisa dikembangkan kemudian oleh pemiliknya, namun orang tetap kurang berminat, karena tanahnya kapur, masih bergerak sehingga bangunan rumah seringkali labil mudah retak, dan air minum sulit didapat (menggali sumur tidak mudah mendapatkan air).

Sedang perkembangan di pekuburan cina Putat, cepat menjadi ramai karena dijadikan tempat pelacuran (yang dari Kutai pindah ke Putat. Maka tumbuhlah kompleks pelacuran seperti Kembangkuning, Njarak, kemudian Dolly). Percepatan pertumbuhan penduduk di Putat menjadi sarang pelacuran pernah dibahas di Pemda, namun “dibiarkan tumbuh”, karena percepatan tumbuhnya penduduk di situ menjadi katalisator pertumbuhan penduduk di “padang ilalang” Dukuh Kupang sampai ke Benowo (yang menjadi wilayah baru Pemda Kotamadya Surabaya, yaitu setelah mendapat 5 kecamatan yang dulunya punya Pemda Kabupaten Surabaya; setelah menyerahkan 5 kecamatan tadi, Kabupaten Surabaya berganti nama Kabupaten Gresik. Berdasar Undang-undang No. 2/1965 Kota Surabaya ditambah dengan 5 kecamatan yang asalnya dari Kabupaten Surabaya, yaitu: 1. Tandes, 2. Rungkut, 3.Wonocolo, 4. Sukolilo, 5. Karangpilang). “Melihat pengalaman” penyebaran keramaian kota lebih cepat dan murah dengan cara “pembiaran” begitu daripada memaksa mengapling-kapling seperti yang dilakukan Pemda Surabaya di Dukuh Kupang. Dengan catatan, bahwa kompleks pelacuran itu kemudian akan digusur, dipindahkan ke tempat yang lebih jauh di pinggiran kota. Tahun-tahun akhir pemerintahan Pak Kotjo sudah mulai dirintis pengembangan Sememi di wilayah ujung barat Kotamadya Surabaya.

“Pengalaman” tentang pemindahan keramaian kota dengan cara pembiaran tumbuhnya kompleks pelacuran tercermin dari peristiwa di Tambakrejo. Pada tahun-tahun 1950-1953-an, daerah Tambakrejo yang semula merupakan rawa-rawa atau tambak yang tidak bertuan (dari rel keretaapi sampai ke Rangkah gang I), tumbuh menjadi tempat pelacuran (terekam juga dalam crita-cekak Poerwadhie Atmodhihardjo: Soekinah, dimuat majalah Gotong Royong, 1956?). Saya tahu betul perkembangan di daerah ini. Sejak tahun 1953 saya tinggal di Rangkah 5/23B. Pada zaman Jepang 1942-1945 sekolahku di Moendoeweg, teman sekolahku anak Tambaksari, Bogen, kenal betul daerah Kapaskrampung yang dijadikan tempat penawanan orang-orang Ambon. Pernah saya tulis jadi novel, Surabaya Tumpah Darahku, dimuat bersambung Kompas 1973, diterbitkan buku CV Bina Ilmu Surabaya 1978.

Tahun 1953 dengan susah payah pemerintah kota membangun rumah-rumah untuk rakyat, kompleks pelacuran Tambakrejo dibersihkan dibangun perumahan rakyat, penghunian liarnya dipindahkan ke daerah tambak sebelah barat kota, diberi nama Bangunrejo (masih ada kemiripan dan keturunan nama dengan Tambakrejo). Cara ini berhasil. Tanah rawa-rawa yang semula ditempati kompleks pelacuran di Tambakrejo dibangun perumahan rakyat yang baik, jalannya lempang-lempang, dan rumahnya berdiri dikapling pekarangan ditata baik-baik, rumah-rumahnya bukan dari tembok melainkan separo gedeg, sehingga harganya murah terjangkau pegawai rendahan. (Pada tahun-tahun terdahulu pemkot juga membangun kompleks perumahan seperti yang terjadi di Dharmo Rakyat dekat Karanggayam dan Panti Dharmo di Komblen, tetapi rumahnya tembok penuh, harganya tidak terjangkau oleh rakyat jelata). Di perkampungan Tambakrejo yang telah ditertibkan juga didirikan Puskesmas, dan pasar (pasarnya di seberang jalan Makam Rangkah), dan kemudian juga makam WR Soepratman dipindahkan dari makam Jalan Kapasan ke sebelah timur pasar ini. Pemindahan dan pembangunan seperti itu juga dimaksud untuk mempercepat keramaian kota yang kian makmur saja. Juga terjadi peraturan PP10 (saya lupa tahun berapa), yaitu peraturan bahwa orang Tionghoa tidak boleh berdagang di desa-desa, dan harus dipulangkan ke Negeri Cina, maka di daerah Makam Rangkah menjadi ramai ditempati orang Tionghoa pindahan dari desa yang mau diberangkatkan ke Negeri Cina. Tambakrejo menjadi perkampungan yang bagus. Sedang Bangunrejo yang semula juga tambak atau rawa-rawa juga merangkak menjadi ramai dihuni orang. Itulah “pengalaman” pemindahan keramaian kota yang dianggap berhasil, yang menjadi pola pembiaran penghunian liar di daerah Putat dan Girilaya 1969.

Pasar di daerah Tambakrejo yang di seberang Makam Rangkah kurang berhasil berkembang, para pedagangnya lebih suka meluber ke Jalan Kapaskrampung-Ngaglik, terutama pada sore hari. Di sudut Jalan Tambakrejo dan Kapaskrampung dulu terselamatkan tidak diduduki oleh bangunan liar karena digunakan untuk menampung pipa-pipa besi besar ketika pemkot tahun 1951 membangun jaringan pipa PDAM (oleh perusahaan Prancis). Setelah pemasangan pipa selesai tempat itu menjadi tanah lapang. Kemudian hari di tanah lapang tadi dijadikan penampungan pedagang pasar yang meluber di Kapaskrampung. Dan oleh Pak Kotjo, 1969, tempat tadi dibangun menjadi pasar yang dikontrakkan dikelola oleh swasta selama 25 tahun. Kontrak kelola begitu waktu itu termasuk terobosan baru bagi Walikota Surabaya Soekotjo. Pemerintahan Walikota Surabaya Soekotjo hampir bersamaan waktunya dengan pemerintahan Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin. Gebrakan pemerintah Orde Baru tampak nyata.

Keberhasilan pemindahan kompleks pelacuran Tambakrejo ke Bangunrejo itulah yang menjadi acuan pembiaran tumbuhnya keramaian makam Cina menjadi kompleks pelacuran Putat, Kembangkuning, Njarak, Girilaya, Kupang Krajan (dulu terkenal dengan nama Tembok Bolong).

Sayang, melihat perkembangan kampung daerah Putat Jaya 40 tahun setelah rintisan Pak Kotjo (1969), rasanya tidak sesuai dengan gagasan yang berpola pemindahan kompleks pelacuran Tambakrejo ke Bangunrejo (1953). Di Tambakrejo berhasil jadi kampung perumahan yang tertata bagus, di Putat Jaya (yang baru saya lihat ketika mencari rumah Mas Yunani ini) terlihat ramai pepat bangunan rumahnya untuk berbisnis (dan tetap menjadi kompleks pelacuran). Tiada sela untuk memelihara tanaman atau penghijauan. Selain di Putat Jaya, tahun 1969 itu juga Pak Kotjo “membiarkan” pendudukan liar makam Cina yang terletak di antara Jl. Karanggayam – Jl. Teratai, yaitu ketika akan menyelenggarakan PON VII Jalan Tambaksari yang menuju ke Stadion Gelora 10 November (pusat penyelenggaraan PON VII) harus dilebarkan, menggusur makam Cina di dekat situ. Makam Cina yang tergusur di bagian barat tadi kemudian seluruhnya diduduki jadi kampung. Sebelum jadi kampung, lebih dulu kuburan tadi juga menjadi tempat pelacuran (riwayatnya jadi kampung yang semula jadi sarang pelacuran dulu sama dengan Tambakrejo 1953, rintisan waktunya dibiarkan jadi sarang pelacuran sama dengan daerah Putat Jaya 1969).

Sekarang, seperti yang saya saksikan ketika mencari rumah Mas RM Yunani Prawiranegara, perumahan di Putat Jaya pepat sekali. Ramai. “Apalagi kalau malam hari, tambah ramai. Karena bursa seks,” penjelasan Mas Joko Prakosa.

Setelah berputar-putar dan bertanya-tanya, barulah kami sampai ke alamat yang di smskan Mbak Trinil. Ternyata tempat itu tadi juga hampir kami lalui. Saking pepatnya rumah untuk bisnis, papan nama jalannya terbaur dengan segala aksesori komoditi bisnis setempat, hingga tidak kentara. Tidak segera tampak ketika dilalui dengan naik motor.
Ada bendera putih berpalang merah di pucuk gang sangat sempit, dan mobil serta motor parkir di jalan besarnya. Telah banyak pelayat di gang mendalam situ. Ketika saya sampai ternyata banyak sekali para kenalan lama para wartawan di situ (teman-teman sejawat ketika saya jadi pns bagian Humas Pemkot Surabaya, 1971-1988). Mereka masih pada mengenali saya. Rasanya hangat juga berkumpul kembali dengan mereka. Ada Max Margono (wartawan Kompas, berkata bahwa rumahnya pindah ke tetangga saya, dan dia saat ini masih belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar). Ada Mbak Sirikit Syah, ada Pak Wakil Walikota Arief Affandi, ada Pak Ali Syahbana, ada Pak Dukut Imam Widodo (penulis buku Hikayat Soerabaia Tempo Doeloe).

Rumah nomer 20 ternyata sempit sekali, ruang depannya guna penyemayamkan jenazah kira-kira 4X4 m2, penuh dengan buku. Saya tidak sempat melihat jelas, karena sempitnya gang dan banyaknya para takziah yang menggerombol di depan pintu rumah.

Dengan Pak Dukut (waktu itu bersama isteri beliau) saya sempat tanya apa Pak Dulut punya peta Soerabaia zaman Belanda (kalau tidak salah terbitan NV.Verslijs). Saya kemukakan saya mau menulis tentang Nama Jalan Di Soerabaia 1942 (menjelang pendudukan Jepang). Pak Dukut tanya apa kira-kira yang mau saya tulis, misalnya? Saya kemukakan bahwa zaman dulu itu Kota Surabaya mendapat nama jalan terdiri dari hanya dua kategori, yaitu gang untuk kampung-kampung, dan straat untuk jalan besar. Tapi pada straat, dikategorikan menjadi beberapa suasana, ada weg, straat, boulevard, laan, plein, plantsoen begitu. Masing-masing nama punya suasananya sendiri. Saya ingat semua itu, tetapi mau saya tulis, saya tidak punya peta tahun-tahun 1936-1942 (zaman Belanda) sehingga yang saya tulis hanya ingatan saya saja. Pak Dukut (dan Bu Dukut) mempersilakan saya berkunjung ke rumahnya, di sana ada peta itu. (Siapapun yang membaca situs ini bisa menolong saya mendapatkan peta Soerabaia terbitan periode 1936-1942, tolong kabarkan kepada saya).

Sebelum jenazah diberangkatkan ada kata sambutan. Mas Yusril (wartawan) mewakili keluarga serta teman sejawat selain mengucapkan terimakasih dan lain-lain, mengatakan bahwa semula nama RM Yunani, dikira Raden Mas. Lalu pernah diakui oleh yang punya nama singkatan dari Rudolf Mateus, nama Katholik. (Karena itu di PPSJS beliau disebut Romo, seperti panggilan terhadap mubalig Katholik. Namun mengamati tingkah laku dan pergaulannya, kami semua tahu sangat Islami, sehingga para anggota PPSJS yakin RM Yunani Islam). Kata Mas Yusril, dia mendapat bocoran dari keluarga tadi di situ, bahwa RM ternyata singkatan dari pemberian nama asli orangtuanya, yaitu Rizalojanu Mohammad Yunani. Rizalojanu konon artinya: Anak lelaki yang baik. RM Yunani lahir di Ngawi 1 Oktober 1948.

Sambutan kedua Pak Wakil Walikota Arief Affandi (yang mantan wartawan Jawa Pos), antara lain mengajak para takziah bersaksi, “Apakah RM Yunani orang baik?” (Disambut para takziah, “Baik!”. Begitu sampai tiga kali).

Tadi, konon, keluar dari Rumah Sakit, jenazah dibawa dulu ke Masjid Muhajidin Perak, untuk disholati. Dari sana baru dibawa ke rumah Putat Jaya Barat itu. Kini, selesai sambutan-sambutan jenazah disholati dulu lagi di Mushola Nurul Ulama dekat rumah (di gang sempit itu juga), lalu dimakamkan di makam umum Putat Gede tidak jauh dari rumahnya.

Saya tidak melihat Mbak Heti maupun Bu Yunani (karena sempitnya rumah dan banyaknya pelayat yang berjejal di depan pintu rumah). Saya minta tolong Mbak Sirikit yang perempuan dan lincah menguak kerumunan orang untuk menyampaikan sumbangan saya untuk keluarga Mas Yunani (Bu Yunani atau Mbak Heti yang juga perempuan). Ya yang saya siapkan waktu bezuk malam hari atas anjuran Mbak Trinil kemarin.

Mbak Sirikit rumahnya bertetangga dengan saya, yaitu sama-sama perumahan YKP Rungkut. Saya sekalian pulang ikut Mbak Sirikit (naik mobil disopiri Mas Chairul Anam, suaminya). Jadi tidak perlu Mas Joko Prakosa harus mengantarkan saya lagi. Saya ceritakan onak hati kegelisahan saya tentang percepatan meninggalnya Mas Yunani yang baru malam tadi saya dan Mbak Trinil menguati sms Mbak Heti, yaitu dicabuti saja alat-alat medis yang ada di tubuhnya, agar tidak tersiksa lebih lama hidupnya di dunia.

Hal itu (mengakhiri hidup seseorang sebagai solusi agar tidak terlalu lama tersiksa hidupnya di dunia) pernah menjadi tema cerita romanku bahasa Jawa Kadurakan Ing Kidul Dringu (dimuat bersambung di Panjebar Semangat Oktober 1963, diterbitkan buku CV.Ariyati Surabaya, 1965). Kisah tentang sekelompok gerilyawan yang bermarkas di sebuah dusun di selatan Dringu, luar kota Probolinggo, 1947. Ketika malam hari menyerbu Kota Probolinggo yang diduduki musuh (Belanda) salah seorang di antaranya, Dul Genuk, kena tembak perutnya. Dia dibawa pulang ke dusun markasnya. Tidak mati, sekarat, mengerang-erang, tubuhnya yang gemuk polah bergerak-gerak terus tanpa henti, kesakitan, tidak sadar. Disadarkan tidak bisa, disuruh diam pun tidak bisa. Membuat gelisah sekelompok gerilyawan teman-temannya. Saling menyalahkan mengapa kemarin kok dibawa pulang, tidak dibiarkan ditinggal di tempat dia tertembak. Kesekaratan si korban membuat seluruh temannya gelisah. Akhirnya mereka berunding, berunding, berunding, diputuskan ditembak mati saja. Siapa yang harus menembak mati, juga jadi masalah. Sudah dilotre, kemudian pelaksanaannya tetap batal. Setelah beberapa kali batal karena alasan-alasan yang bisa membatalkan, akhirnya mutlak harus dilaksanakan. Akhirnya ditembak juga. Ternyata, pembunuhan tadi, bukan solusi terbaik menenteramkan hati mereka yang sehat. Mereka merasa berdosa (durhaka, duraka). Mereka tidak tenang lagi jiwanya. Ada yang langsung jibaku menyerbu musuh. Ada yang setengah gila. Ada masalah lagi karena ternyata Dul Genuk si korban menanamkan bibit di salah seorang perut gadis yang ikut mengungsi di dusun situ. Ternyata membunuh sebagai jalan terbaik untuk menghentikan siksa di dunia, bukan solusi menenteramkan hati terbaik.

Saya yang mengarang cerita itu (Kadurakan Ing Kidul Dringu, 1963), saya juga yang sekarang menyuruh/menyetujui pencabutan alat-alat medis di tubuh Mas Yunani, sebagai solusi agar tidak terlalu lama tersiksa hidupnya di dunia (2009).

Mbak Sirikit yang mengaku tadi malam menjenguk Mas Yunani mengatakan, hal itu (pencabutan alat-alat medis) tidak dilakukan. Mas Yunani wafat sebagaimana seperti yang disaksikan ketika menjenguk tadi malam, dalam keadaan alat-alat medis tetap terpasang. Saya tak perlu khawatir, hibur Mbak Sirikit.

Di makam saya bertemu dengan Mas Kukuh (redaktur Panjebar Semangat) dan Mas Widodo Basuki (redaktur Jaya Baya). Mereka bicara tentang Mas Kicuk Parto (pemimpin redaktur Jaya Baya) masuk rumah sakit. Bertemu juga dengan Mas Suharto (mantan wartawan Surabaya Post, tetangga di Bogen, waktu naik haji pesawatnya jatuh di Srilangka, sekarang bekerja di Maspion). Saya berunding sama Mas Joko pulang ikut Mbak Sirikit saja. Ada wartawan puteri Kompas mewawancarai saya, apa yang saya ketahui tentang Mas Yunani. Saya ceritakan kisah-kisah tentang Mas Yunani di Cakul dan di Taman Wisata Dander. Juga tentang kegiatan Mas Yunani bersama anggota PPSJS bekerjasama dengan PT Grasindo Cabang Surabaya menerbitkan buku-buku legenda Jawa Timur berbahasa Jawa (2007). Pernah suatu kali kesempatan Pak Dahlan Iskan berkata kepada saya mengenai Mas Yunani, Mas Yunani itu dianggap sebagai gurunya waktu sama-sama bertugas sebagai wartawan di Kalimantan Timur. (Saya tidak tahu mereka berdua wartawan apa di Kalimkantan Timur itu. Ya kira-kira Mas Yunani wartawan Surabaya Post dan Pak Dahlan Iskan wartawan Jawa Pos).

Saya lupa menanyai nama wartawati Kompas tadi. Biasanya yang bertugas di Surabaya mengenali banget dengan saya. Misalnya Niniek, si kecil dari SMAK Muntilan, yang kemudian hari ketika saya di Bangkok (Oktober 2007) Niniek juga sedang bertugas di sana. Dan ini tadi selain Mas Max Margono, juga saya lihat Mas Kris, yang menggantikan Niniek, tadi juga saya lihat hadir di rumah duka.

Saya mengenal pertama kalinya Mas Yunani ketika dia masih jadi guru sekolah dasar di Lumajang. Ceritanya begini. Tahun 1969, saya masih di Rangkah dan belum mendapat pekerjaan tetap dan membantu-bantu Mas Basuki Rachmat (juga sebagai wartawan Majalah Gapura milik Pemkot Surabaya) meliput Pekan Olah Raga Nasional ke VII, sering bergaul dengan para wartawan. Di antaranya Mas Sudarman, seorang guru SD di Tambak Dukuh, Ngaglik, Surabaya. Dia itu guru tapi juga mencoba menuntut ilmu di AWS (Akademi Wartawan Surabaya). Mas Darman rumahnya dekat rumah saya (saya di Rangkah, dia di Setro). Karena dia guru yang suka menulis berita, maka bisa dekat dengan Diknas Jatim, yang kantornya dulu di Jalan Tidar. (Sekarang kantornya pindah di Jagir Wonokromo). Kepala Diknasnya Drs. Soenarko. Mas Darman mengajak saya sowan Pak Narko, untuk membuat majalah sekolah dasar. Maka terbitlah Majalah Kuncup. Majalah bulanan untuk kanak-kanak, diterbitkan dan diedarkan oleh dinas, jadi yang membelinya dan membacanya ada unsur paksaan. Saya dengan telaten menyeleksi isi majalah Kuncup. Seringkali harus saya isi dengan kisah-kisah yang saya karang sendiri, sampai meneliti di percetakan. Mas Darman kampanye sampai ke sekolah-sekolah di kota lain luar Surabaya di Jawa Timur. Ternyata maju pesat. Juga dibantu dari tenaga Diknas, maka kemudian hari saya tidak usah susah payah meneliti, mencari naskah, mengarang sendiri. Saya memasukkan naskah selembar dua lembar, cukuplah. Dan tiap bulan dapat honor (saya ambil sendiri di kantor Diknas di Jalan Tidar). Dalam menyeleksi karangan yang masuk, saya terkesan seorang guru perempuan dari Lumajang yang rajin mengirimkan karangan ke Kuncup. Namanya RM Yunani.

Pada perayaan setahun penerbitan Kuncup Pak Narko mengundang para guru yang berminat mengisi Kuncup dari kota-kota di Jawa Timur, untuk menerima pengarahan redaksional cara penulisan di Kuncup. Penyelenggaraan pertemuan itu di Restoran Wijaya di Bubutan (sekarang jadi Gedung BG Junction). Salah seorang guru dari Lumajang adalah RM Yunani. Ternyata laki-laki. Dan sejak itu saya kenal RM Yunani dengan tulisan-tulisannya di Kuncup (redaksional Kuncup tetap saya pegang). Majalah Kuncup ini terus berkembang sampai kantor Diknas pindah ke Jalan Jagir Wonokromo. Saya tetap mendapat honor sampai 1990. Sejak itu (1990) saya pun putus berhubungan dengan instansi itu.

Bahwa kemudian RM Yunani berkecimpung di dunia wartawan, saya kurang tahu prosesnya, tetapi justru lebih sering bertemu muka dan bergaul akrap, karena beliau berdomisili di Surabaya.

Pernah pada tahun 2002, untuk memperingati 100 hari wafatnya isteri saya, saya adakan bukan sekedar tahlil, tetapi juga bedah buku karangan saya Kremil. Yang menjadi ustad Mas Drs. Isngadi (teman lama sejak 1964, terakhir redaktur rubrik Agama Islam di Panjebar Semangat), yang jadi pembedah bukunya RM Yunani Prawiranegara. Yang saya undang para pengarang sastra Jawa, Balai Bahasa Surabaya, dan para tetangga baru dan lama waktu kami di Rangkah (yang mengenal betul aktivitas Nyonya saya). Dalam bedah buku itulah, Mas Yunani menyebutkan bahwa cerita buku Kremil itu sebenarnya genre detektip. Sampai sekarang tidak ada peneliti atau pembaca yang menyebutkan Kremil adalah buku detektip. Kremil adalah kampung pelacuran terkenal di Surabaya barat, pembaca dan peneliti cenderung mengatakan cerita itu mengarah ke seksualita. (Menurut email Mas Herwin Bharata 06 November 2009, buku Kremil cetakan pertama, hardcover, masih bisa dipesen lewat toko buku online SOLO AGENCY BARU).

Ada lagi yang saya ingat tentang Mas RM Yunani. Awal tahun 2007 ketika PPSJS mengadakan pertemuan, Mas Yunani memuji honor yang diterima dari penulisannya di majalah bahasa Jawa Damar Jati (Jakarta). Mas Yunani menerima Rp 250.000,00 per artikel, hampir sama dengan koran bahasa Indonesia; dan mengeluhkan sedikitnya honor yang diterima dari majalah bahasa Jawa terdahulu yang lain, sehingga Mas Yunani enggan menulis di majalah bahasa Jawa yang lama. Bercerita kepadaku karena tahu bahwa saya ikut membangunkan majalah Damar Jati di Jakarta itu. Nama saya juga tercantum di boks redaksi Damar Jati. Saya memang ikut membidani terbitnya majalah Damar Jati, setidaknya Mas Guntarso TS selalu menghubungi saya dalam mencari wartawan, dan ingin ikut menyejahterakan pengarang sastra/pers Jawa setaraf dengan pers bahasa Indonesia. Tapi pada tahun-tahun berikutnya, akhir-akhir tahun 2008, ketika bertemu Mas Ismoe Riyanto (pengarang sastra Jawa modern) dan Pakne Novie (pengarang/ilustrator majalah Panjebar Semangat), Mas-mas itu mengeluh seolah menagih kepada saya, karangan-karangannya sudah dimuat Damar Jati beberapa bulan yang lalu, kok tidak dapat honor. Saya tanya mengapa bertanya (menagih) kepada saya, dan mengapa mengirimkan karangan ke Damar Jati, bukankah saya tidak menganjurkan maupun diminta pertimbangan sebelumnya oleh Mas-mas itu? Ya, Mas-mas itu mengirimkan dengan sukarela tanpa anjuran dan minta pertimbangan saya, karena nama saya tercantum pada box identitas Damar Jati. Mengetahui hal ini, agaknya Mas Gunarso TS yang ingin mengangkat kesejahteraan para pengarang/penulis bahasa Jawa agar semakmur penulis bahasa Indonesia gagal. Pengarang dan penulis sastra/pers Jawa modern saat ini sama dengan para petani negeri ini, menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi negeri ini, tetapi kesejahteraan mereka tidak terjamin. Sampai detik ini, honor penulisan di majalah bahasa Jawa belum memadai tulisan dalam bahasa Indonesia. Padahal, siapapun yang ingin mengembangkan sastra/pers bahasa Jawa modern, baik menulis maupun membiasakan membaca bahasa Jawa modern, tidak ada lain kecuali ya di majalah bahasa Jawa yang sekarang masih bisa terbit itu. Sama dengan para petani maupun nelayan, akan berkarya maupun mencari kehidupan di mana tidak mungkin kecuali di tanah garapan atau laut di dekat mereka, meskipun itu tidak bisa menyejahterakannya. Meskipun begitu, mereka (penulis sastra/pers bahasa Jawa), tetap getol menulis dan memperbaiki kualitas tulisannya.

Bergaul, bertemu, menghadiri pertemuan-pertemuan yang objeknya sabidang sosial atau kesenian dengan saya (misalnya pemilihan Ketua DKS, bedah buku Dr.Soetomo karangan Drs. Moechtar, redaktur Panjebar Semangat, pentas seni di Gedung Cak Dorasim, bertemu di Balai Bahasa untuk menampung usulan tentang undang-undang kebahasaan Indonesia, mengunjungi pameran di House of Sampoerna) sudah sering. Lebih-lebih setelah isterinya (yang pertama) meninggal dunia, dan RM Yunani pindah rumah dari Gresik ke Surabaya dan menikah lagi. Dengan kedekatan rumahnya di Surabaya, beliau lebih mudah mobilitasnya. Maka kami (Mas Yunani dan saya) sering bertemu. Mungkin Mas Yunani lebih sering muncul di rapat-rapat kesenian dan cagar budaya dan lain-lain lebih sering daripada saya. Saya sangat jarang muncul di undangan, karena pertimbangan mata yang sudah kabur (undangan waktu malam hampir tidak pernah saya datangi).

Bulan Oktober 2007, Surabaya ketamuan Kabaret Bong (semacam pentas drama) dari Suriname. Pentas dalam bahasa Jawa (Suriname) di Gedung Cak Durasim. Meski dapat undangan mengiringi pentas dan tamu tadi, saya tidak dapat hadir karena pergi ke Thailand. Namun, pulang di rumah, saya mendapat telepon dari seorang wartawan, katanya meskipun kata orang Kabaret tadi dalam bahasa Jawa, penonton Surabaya tidak banyak yang mengerti, tidak menghibur. Apa pendapat saya? Karena saya tidak ikut menonton, saya tidak bisa komentar. Maka ketika bertemu dengan Mas Yunani di rapat PPSJS, hal itu saya tanyakan. Mas Yunani tertawa ngakak. Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang Suriname itu ngoko, seperti bahasa Jawa di Tulungagung, Kediri, dan sebagainya. Banyak kata-kata yang lucu, dan mendalam maknanya yang berhubungan dengan filsafat Jawa. Kalau orang Surabaya (yang menonton) tidak mengerti dan oleh karena itu tidak tertawa berbahak mendengarkan lelucon bahasa Jawanya Kabaret, maka itu tanda bahwa orang Surabaya sudah kehilangan kultur bahasa Jawanya.

Kembali tentang kegetolan RM Yunani menulis di majalah bahasa Jawa. Akhir-akhir ini, kegiatan Mas Yunani menulis di majalah bahasa Jawa giat sekali. Muncul terus di majalah Jaya Baya, majalah yang terhitung lama dibanding dengan (honor) Damar Jati yang pernah diterimanya. Coba, saya amati: Jaya Baya no. 52, Agustus 2009: Nggelak Optimisme Mekare Kasusastran Jawa (menanggapi Festival Sastra Jawa di dhusun Nglaran, Cakul, Trenggalek); JB no. 09, November 2009: Cikal Bakal Greja MAHK ing Jawa Timur (tentang cagar budaya Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Tanjung Anom Surabaya); JB no. 10, November 2009: Mitos lan Khasiat Tali Puser (mitos budaya Jawa); JB no. 11, November 2009: Bisa Marasake 45 Jenis Penyakit (lanjutan mitos budaya Jawa), dan Cangkrukan Gayeng ing Njero Tendha (nanggapi Kemah Budaya Jawa di Dander Bojonegoro); JB no 14 Desember 2009 (terbit ketika Mas Yunani sudah masuk RSUD Dr.Soetomo): Sangu Enthong Mider Manca Negara (cerita tentang P.M.Toh, dalang hikayat Aceh, disandingkan dengan Slamet Gundono dan Ki Entus Susmono); JB no. 15, Desember 2009: Nggelak Pamore Candhi Penataran Blitar (etalase budaya panji); JB no. 16 (terbit setelah Mas Yunani wafat): Kena Kaget Ning Aja Kagetan (geger renovasi Gedung Grahadi Surabaya). Memang, dahulu juga sudah banyak menulis di majalah bahasa Jawa, tetapi tidak segetol belakangan ini. Dan meskipun kegiatannya menulis di majalah bahasa Jawa begitu getol, satu nomer bahkan ada dua tulisan, namun apa yang ditulis tetap berkualitas, aktual dan perlu diketahui oleh pembaca Jawa, seringkali bahkan disertai foto yang dibuat atau disuply oleh Mas Yunani sendiri. Dan objeknya sangat bervariasi, namun tetap penting untuk diketahui pembaca bahasa Jawa. Itulah hebatnya RM Yunani.

Kegiatan menulis di majalah bahasa Jawa yang akhir-akhir ini (terutama di JB) sudah saya rasakan sejak meninggalnya isteri pertamanya dan lalu pindah ke Surabaya. Selain itu juga saya baca di koran, kegiatannya di cagar budaya Surabaya. Suaranya sangat vokal ketika mengkritisi bangunan bekas pabrik bier di Ngagel, gedung bekas restoran Zangrandie di Jl. Jos Sudarso, tentang rumah bekas asrama pegawai RRI di Kayun (tempat perundingan Jendral Mallaby dengan pihak Indonesia Oktober 1945), tentang Lapangan Embong Sawo, tentang dibangunnya Gedung Satuan Pajak Kendaraan di Gudung Budaya Jawa Timur di Gentengkali 85. Kegiatannya sangat menguras enersi, baik fisik maupun mental.

Mengingat semua itu, setelah mengenang kepergian Mas Yunani menghadap Al Khaliq, saya jadi tergores oleh sms Mbak Heti. Bahwa Mas Yunani sekarang bukan lagi wartawan Surabaya Post yang diabdi selama ini, tidak dapat pensiun, penghasilannya ya aktivitasnya sekarang ini. Termasuk penulisannya di JB yang dilakukan begitu getol, adalah untuk mendapatkan penghasilan; meskipun honor di majalah bahasa Jawa tidak sebesar penulisan di koran bahasa Indonesia. Menurut Mbak Heti (ketika bertemu di RSUD kunjungan pertama) Mas Yunani masih mengigau ingin mau menulis terus, ingin menghadiri rapat-rapat yang telah diprogramkan dan Mas Yunani menjadi anggotanya, masih terus menyuarakan tugasnya di masyarakat yang belum diselesaikan. Dan memang tugas itu saya pandang sangat penting dengan kehadiran Mas Yunani. Oleh karena itu ketika berkunjung saya diharap bicara terus dengan si pasien, saya membisikkan, “Kami masih butuh Mas Yunani. Jangan ditinggalkan! Lekaslah sembuh……!”

Tetapi ketika menuju bezuk ke dua, saya dan Mbak Trinil sudah setuju, Mas Yunani harus sudah mengikhlaskan tugas di dunianya yang belum selesai, lepaskan pikiran dan ikhlaskan, untuk menghadap kepada Al Khaliq dalam keadaan bebas tugas, tidak tergandoli pemikiran tugas di dunia. Tugasnya yang susah ditinggalkan tadi sangat kentara dari kegiatannya baik di cagar budaya, dan penulisannya di majalah bahasa Jawa di Jaya Baya. Yang menggores lagi di hati saya, perkiraan pengobatannya di RSUD yang sekian juta itu. Apa bisa ditutup dengan penghasilannya menulis di media begitu giatnya?

RM Yunani, gambaran lakon kehidupan nyata pengarang/pejuang gigih sastra Jawa, budayawan yang tangguh, berpikiran cemerlang, seorang WTS (wartawan tanpa suratkabar) yang rajin menulis dengan objek yang lugas, dan hidup di kompleks perkampungan WTS (wanita tuna susila) yang sesungguhnya. Dan memang begitu yang bisa dicapainya?

Kepergiannya hampir berbarengan dengan Gus Dur. Sudah banyak yang menulis dan menyambut kepergian mantan Presiden Gus Dur. Sebagai penghormatan para mendiang saya perlukan menulis kepergian Mas Yunani saja, sesuai dengan kapasitas saya sebagai sesama warga negara Republik Indonesia.

Selamat jalan, Mas Pejuang Kebudayaan dan Kepenulisan!

Posted by admin on Thursday, January 7th, 2010. Filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*