REPUBLIK JUNGKIR BALIK
Novel bahasa Indonesia Suparto Brata 2009
Saya punya tetangga, sepasang suami-istri. Istrinya bekas pelacur, suaminya bekas pelengganannya. Hidupnya rukun bahagia. Namun, dilanda gegernya zaman, Si Suami disekap di penjara. Si Istri terpaksa hidup kembali menjual tubuhnya. Maka, saya tulislah riwayatnya menjadi cerita pendek dengan judul Kembali Ke Pangkalan, dimuat di majalah SIASAT (Jakarta, redaksi Rosihan Anwar), No. 357 Th. VIII, 11 April 1954.
Ibu saya seorang bangsawan Surakarta. Ketika Surabaya diduduki oleh pasukan Inggris, kami bertiga mengungsi ke Probolinggo. Ibu menjadi ibu rumah tangga kami. Kakak saya satu-satunya yang umurnya sepuluh tahun lebih tua daripada saya menjadi tulang punggung keluarga mencari nafkah. Sementara saya meneruskan sekolah. Ketika Belanda menduduki Probolinggo (1947), kakak akhirnya meninggalkan kami mencari pekerjaan kembali ke Surabaya. Kakak dicari oleh tentara Belanda, tidak didapati di rumah, maka ibu yang ditawan. Tidak punya orang lain, saya mengungsi ke pedalaman, ikut budhe (mbakyunya bapak) di Sragen yang masih daerah Republik Indonesia (belum diduduki Belanda seperti di Probolinggo). Penderitaan ibu saya tulis jadi cerita pendek berjudul Pohon Tomat, dimuat di majalah SIASAT, no. 548 Th. XI, 11 Desember 1957, No. 549 Th. XI, 18 Deseember 1957.
Tahun 1979, mulai Januari sampai dengan September saya menulis novel yang tokoh dan temanya gabungan dari dua cerita pendek di atas, panjangnya 197 halaman kertas folio, nama tokoh, setting tempat dan waktu, saya ambil dari peristiwa nyatanya. Saya beri judul Kota Angin Tercinta, dimuat bersambung di harian pagi JAWA POS mulai Februari-April 1987.
Tahun 2004, lewat telepon, Bapak Prof DR Bambang Hidayat, Ph.D dari Observatorium Bosscha, Lembang, Bandung memperkenalkan diri kepada saya. Saya terkejut karena saya juga sering menyimak tulisan beliau di surat kabar, tetapi tidak bisa ajek. Lalu beliau rajin mengirimkan berkas naskah atau kliping tulisan dan aktivitas beliau setelah perkenalan telepon tersebut. Membaca tulisan beliau, saya bertambah kagum, dan tulisan beliau mengenai sejarah bangsa tahun 1942-1950 mengingatkan saya pada novel saya Kota Angin Tercinta. Tulisan beliau yang dilengkapi data dan fakta yang beliau peroleh dari perpustakaan bahasa manca, menggelitik ingatan saya pada pengalaman saya di tahun-tahun itu. Maka, saya tulislah novel ini, dengan judul Republik Jungkir Balik. Garis besar cerita, nama tokoh, setting tempat dan waktu, sama dengan Kota Angin Tercinta karena novel tadi memang mendekati sekali realita kesaksian saya. Dengan seizin beliau, data dan fakta catatan Bapak DR. Bambang Hidayat saya sertakan dalam novel ini. Atas izinnya, kepada beliau saya ucapkan banyak terima kasih.
Apakah ini roman biografi? Bukan. Tetap crita fiktif namun dibebani data dan fakta sejarah. Kefiktifan cerita saya pertahankan agar mudah memikat serta terserap untuk dibaca dan pembaca tahu akan sejarah bangsa. Menilik sejarahnya negara Republik Indonesia ini kita bangun dengan cita-cita luhur memerdekakan dan memakmurkan bangsa, memperbaiki moral dan budaya bangsa, membangun negara yang setara dengan negara-negara maju. Perjuangannya terpaksa rela mengorbankan jiwa, raga, harta benda, tempat tinggal, dan kesejahteraan keluarga. Berkorban dan menderita saat itu untuk masa mendatang. Korban memang berjatuhan saat itu. Republik Jungkir Balik bukan kata sindiran.
Keluarga Kartijo merupakan salah satu dari beribu-ribu keluarga yang ikut dalam gelombang besar pengungsian ketika Surabaya diduduki oleh tentara Mansergh (Inggris). Di tempat baru (Probolinggo) mereka kemudian mengenal keluarga Saputra. Saputra seorang tukang catut yang mengawini perempuan mantan pelacur dari Kampung Tetes bernama Sumini.
Kesulitan hidup di tempat yang baru, membuat dua keluarga ini masuk dalam konflik kehidupan yang pelik. Senasib sepenanggungan, mereka berjuang mempertahankan hidup. Seiring dengan beranjak dewasanya anak-anak Kartijo, ditangkapnya Saputra oleh Belanda sehingga Sumini yang cantik dan menarik rela menjadi pelayan nafsu sinyo-sinyo penjara Herenstraat. Itulah secarik nasib manusia yang saya ceritakan dalam novel baru saya Republik Jungkir Balik, sebuah novel berlatar belakang Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1947).
Semoga novel ini bisa mengingatkan bangsa untuk membangun masa depan dengan kesatuan dan persatuan. Tidak terkuras oleh konflik serta peristiwa amoral seperti yang telah menjungkirbalikkan Republik Ini dalam perjuangan mendirikannya masa lampau yang digambarkan pada novel ini.
Amin.