BALAI BAHASA SURABAYA – PPSJS
Daftar pertanyaan Naila Nilofar, SS (Balai Bahasa Surabaya)
Jawaban Suparto Brata (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya)
A. Daftar Pertanyaan untuk Pengarang yang Menggunakan Subdialek Surabaya dalam karyanya
1. Anda berasal dari daerah mana? Kalau Anda berasal dari daerah, mengapa Anda hijrah ke Surabaya? Sejak kapan Anda bergabung dengan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya? Mengapa?
Dari Surabaya, lahir, masa kanak-kanak, sekolah, remaja, dewasa, bekerja, kawin, punya anak, pensiun, di Surabaya. Sejak Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya didirikan (1976?). Karena saya memang pengarang bahasa Jawa di Surabaya
2. Apakah Anda merasa persoalan-persoalan masyarakat Surabaya menjadi persoalan Anda karena Anda Anggota PPSJS?
Persoalan Kota Surabaya pasti menjadi perhatian saya, termasuk bahasanya. Karena saya hidup sejak lahir hingga kini di Surabaya. Saya ikut “mendirikan” PPSJS, karena penulisan sastra Jawa menjadi pusat kegiatan saya hidup.
3. Apakah Anda menjadikan masyarakat Surabaya sebagai bahan tulisan Anda? Kalau ya, mengapa?
Ya. Karena saya pengarang/penulis sastra. Hasil setiap karangan sastra tentu tergores juga pengalaman hidupnya. Dan pengalaman saya sejak lahir hingga kini di Surabaya sangat bervariasi (Zaman Belanda, Jepang, Merdeka, Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi). Saya ingin merekam seluruh pengalaman saya dalam buku (menulis buku). Biar sejarah dan peradaban Surabaya tidak musna, dan dapat dibaca lagi oleh generasi yang lebih muda. Dinasaurus sudah musna beribu tahun yang lalu dapat dicermati hidupnya karena meninggalkan fosil, manusia mati 400 tahun yang lalu dapat dicermati hidupnya karena meninggalkan tulisan pada buku, dan dicermati hidupnya dengan membacai pada buku yang ditulisnya.
4. Kapan dan bagaimana kesadaran menulis tentang masayarakat Surabaya itu muncul dan dalam konteks serta situasi yang bagaimana?
Muncul karena saya hidup di Surabaya, dan diberkati Allah mampu membaca buku dan menulis buku. Saya merasa, bahwa saya DIPILIH OLEH ALLAH untuk hidup panjang dan tetap di Surabaya, dapat disidik dari: Sampai umur sekian kewajiban saya sebagai orangtua (kepala keluarga) sudah selesai, kok saya masih Dikurniai hidup (1) SEHAT, (2) BEBAS MEMILIH (artinya saya tidak dipenjara, tidak terikat bekerja dengan instansi, boleh ke mana-mana semampunya, pendeknya bebas memilih, bebas merdeka menulis), DAN (3) DIANUGERAHI KEMAMPUAN MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Tiga anugerah Allah ini saya anggap sebagai amanah mengapa sampai kini saya mendapatkan itu. Maka juga tiga hal itu saya ibadhahkan sekuat-kuatnya, yaitu: menulis buku dan membaca buku terus pada sisa hidupku ini. Dan kebetulan (atau memang diamanahkan oleh Allah) saya menguasai kepengarangan bahasa Jawa, maka menulis buku bahasa Jawa juga menjadi perhatian dan kegiatan saya.
5. Kapan Anda sadar bahwa mereka punya subdialek sendiri? Dalam konteks apa dan bagaimana muncul kesadaran itu?
Saya biasa menulis bahasa Indonesia karena sejak Indonesia merdeka bicara, membaca dan menulis bahasa Indonesia itu umum. Saya menulis sastra bahasa Jawa mataraman, karena sejak kecil pergaulan saya dalam keluarga bahasa Jawa mataraman, serta terbiasa juga membaca buku dan menulis bahasa Jawa mataraman; meskipun setelah zaman Orde Baru membaca dan menulis bahasa Jawa mataraman hanya ada di majalah bahasa Jawa. Saya menulis bahasa Jawa subdialek Surabaya karena saya bicara bahasa Surabayan sejak anak-anak. Saya menulis subdialek bahasa Surabaya karena setelah cakap menulis sastra Jawa, bahasa saya sejak kecil kok tidak ikut saya tuliskan, padahal itu juga bahasa Jawa dan saya juga mampu menuliskannya. Maka saya tulis bahasa Jawa Suroboyoan untuk memperkaya sastra Jawa.
6. Apakah tujuan atau kepentingan Anda menulis cerpen/novel dengan bahasa Jawa subdialek Surabaya?
Ya merasa sayang kalau kekayaan bahasa ibu saya berkurang atau hilang lenyap. Saya ingin rajabrana sastra Jawa dengan subdialeknya juga menjadi bacaan sastra dunia. Dengan begitu peradaban dan sejarah Surabaya dapat dipelajari, dilestarikan (didokumentasi) dan bisa juga untuk perencanaan kehidupan bangsa yang akan datang yang lebih baik.
7. Apakah tujuan aatau kepentingan Anda menulis tentang masyarakat Surabaya?
Menulis buku (dan membaca buku) itu kiat hidup modern. Kalau binatang, kiat hidupnya (supaya bisa hidup baik-baik) karena insting kodratnya. Kalau manusia purba (bedanya dengan binatang) kiat hidupnya karena insting kodratnya (panca indera) ditambah menggunakan alat (manusia itu making tool animal). Misalnya untuk hidup dia jadi sopir, maka dia menggunakan alat mobil. (Binatang tidak bisa menggunakan alat apapun untuk mencapai pemenuhan hidupnya). Tapi manusia hidup dengan insting kodratnya (panca indera) dan menggunakan alat saja, tidak bisa hidup modern. Manusia purba hidupnya bertani ya menggunakan indera melihat dan mendengar (mengalami, lalu mencotoh), dan bercocok tanam dengan menggunakan pacul. Kodrat dan gunakan alat. Tapi manusia purba tidak bisa jadi insinyir atau dokter (profesi modern). Sebab untuk jadi dokter atau insinyir, manusia (selain kodrat dan gunakan alat) harus punya BUDAYA MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU. Jadi manusia modern (bedanya dengan manusia purba) kiat hidupnya dengan indra (itu kodrat), dengan alat (membedakan dengan binatang), dengan budaya membaca buku dan menulis buku (manusia purba bisa hidup primitip bertani dengan mencontoh petani lain, TIDAK USAH membaca buku dan menulis buku). Kapan membaca buku dan menulis buku dijadikan kiat hidup manusia modern? Sejak Plato (428-347 S.M) mendirikan Akademus. Jadi kalau manusia Indonesia sekarang tidak punya budaya (gemar) membaca buku dan menulis buku, tidak punya kiat hidup modern, ia adalah manusia purba yang hidup di Abad 21. Kehidupannya tidak lepas dari berkutat seperti manusia purba, hidup jadi pencuri, pelacur, PKL (hidup tanpa alat), atau sopir, pemain piano, tukang di bengkel (hidup dengan kodrat dan gunakan alat). Tapi tidak bisa menjalani sebagai dosen, dokter, insinyir (profesi modern), sebab untuk menjalani profesi modern orang harus punya budaya membaca buku dan menulis buku. Saya menulis buku bukan tentang masyarakat Surabaya saja. Saya menulis (sastra) buku karena yakin bahwa sastra adalah kisah tentang manusia dan perinya, memperbaiki perikemanusiaan, mengungkap kebenaran, etika, akhlak, perdamaian, dan lain-lain tanpa keberpihakan (tidak berpihak ke Jawa, partai, agama, Eropa ~ Tidak! Sastra berpihak pada perbaikan perikemanusiaan)
8. Apakah Anda merasa bahwa tulisan Anda tentang masyarakat Surabaya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Surabaya?
Maksud saya begitu. Tapi tentu saja tetap terserah kepada wawasan pembacanya. Semua benda atau barang di dunia ini bisa memberi manfaat baik, ataupun sebaliknya. Tapi tentu, saya usahakan tulisan saya bermanfaat bagi masyarakat Surabaya dan manusia-manusia lainnya turun-menurun dalam usahanya memperbaiki hidupnya.
9. Kapan Anda mulai sadar untuk mengangkat persoalan Surabaya dalam tulisan Anda? Dalam konteks apa? Dalam situasi yang bagaimana? Kenapa?
Sejak saya hidup dan sejak saya pandai menulis. Dalam konteks bahwa hidup itu indah setelah kita lampaui dengan selamat dan bertakwa. Dalam situasi saya sehat, bebas, dan mampu menulis buku. Karena DIPILIH oleh Allah (kesadaran saya).
10. Apakah Anda mengalami kehidupan sehari-hari dengan masyarakat Surabaya? Bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya menurut Anda?
Ya, selama hidup saya. Masyarakatnya seperti yang saya tuliskan dalam buku dan artikel, baik yang lalu maupun yang akan datang (saya belum selesai menuliskan kehidupan sehari-hari masyarakat Surabaya, sedang terus saya proses menulisnya). Dengan ketuaan saya, memang saya harus mengurangi melihat dan mendengar, mengalami sendiri perubahan dan pembangunan masyarakat maupun perubahan fisik Surabaya. Tapi apa, mengapa dan bagaimana pengalaman saya bergaul dengan masyarakat Surabaya masih banyak yang bisa saya tuliskan, Insyallah. Biarlah masyarakat yang akhir-akhir ini (yang tidak bisa saya ikuti kehidupannya yang dinamis dan berubah terus tanpa henti), direkam oleh mereka yang masih muda. Saya mau merekam (menulis) yang lampau, yang saya tahu, yang saya gagas dan yang saya yakini bisa memperbaiki hidup manusia.
11. Apakah Anda merasa terikat dengan kehidupan masyarakat Surabaya? Apakah Anda merasa puas dengan kehidupan masyarakat Surabaya?
Saya terikat dengan kehidupan masyarakat Surabaya, karena saya Ditakdirkan Allah hidup di Surabaya. Puas, karena betapapun gejolak masyarakat Surabaya, kehidupan mereka dari zaman ke zaman tetap lebih baik daripada kehidupan masyarakat lainnya. Buktinya, meskipun sejak lahir sampai umur 78 tahun, saya tetap krasan di Surabaya (meninggalkan Kota Surabaya lebih dari sebulan penuh hanya ketika mengungsi 1945-1949, ketika Surabaya diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda), tidak ingin berpindah ke kota lain, tidak irihati terhadap kekuasaan dan kekayaan orang lain di Surabaya atau tempat lain. Tidak merasa seperti katak dalam tempurung. Puas. Bahagia. Narima ing pandum setelah berusaha dengan bekerja keras semampunya tidak kelewat batas. Terimakasih, Allah.
12. Apakah Anda ingin masyarakat Surabaya berubah? Perubahan seperti apa yang Anda inginkan?
Di dunia ini tidak ada yang abadi. Manusia dilahirkan kapanpun tentu diimpit oleh masa lalu dan perubahan masa depan. Tiap manusia, tiap zaman, adalah berfungsi sebagai manusia/zaman perubahan. Untuk manusia seumur saya, perubahan apa masyarakat Surabaya yang saya inginkan, tentulah hanya keinginan yang fatamorgana. Hanya angan-angan. Oleh karena itu apa yang saya inginkan terhadap perubahan masyarakat Surabaya adalah hal-hal yang saya (masih) bisa urun baik pikiran, tenaga, harta, waktu. Apa yang bisa saya sumbangkan untuk perubahan masyarakat Surabaya adalah menulis buku dan membaca buku. Yang betul-betul saya inginkan masyarakat Surabaya semua saja punya budaya membaca buku dan menulis buku (bukan hanya melek huruf). Di bidang inilah Insyallah saya masih bisa urun menyumbangkan kemampuan diriku.
13. Bagaimana Surabaya itu harus ditata menurut Anda?
Tatalah pendidikan anak Surabaya sejak klas 1 SD hingga klas 12 SMA berbudaya membaca buku dan menulis buku. Membaca buku dan menulis buku ajarkanlah setiap hari DI SEKOLAH selama 12 tahun. Bersekolah 12 tahun sejak usia dini jadikanlah SISTEM membudayakan anak manusia BERBUDAYA MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU (tidak hanya BISA BACA TULIS). Kalau 90% anak lulus SMA di Surabaya berbudaya membaca buku dan menulis buku, maka penduduk Surabaya akan berwawasan luas, mandiri tidak menggantungkan orang lain, banyak berprakarsa, suka menolong orang lain, berguna untuk orang lain, tercapai tujuan hidupnya dan bahagia, seperti halnya penduduk Tokyo atau Amsterdam. Bukan lagi bangsa paria.
14. Pertanyaan menyangkut latar belakang penulisan setiap novel dan cerpennya.
Kapan cerpen/novel itu ditulis? Mengapa menulis cerpen/novel itu? Untuk merespons apa menulis cerpen/novel itu? Apa yang diinginkan dari cerpen/novel yang ditulis itu?
Lihat saja biodata saya. Dan bacalah buku-buku saya.
15. Amanat dan nilai-nilai apa yang ada dalam masyarakat Surabaya yang paling mempengaruhi Anda selaku pengarang?
Karena saya hidup bersama mereka.
Daftar Pertanyaan B tidak saya jawab, karena lewat jawaban Daftar Peertanyaan A semua di Daftar Pertanyaan B sudah tersirat.
Artikel yang sungguh bermanfaat, menambah pengetahuan yang terkadang terlupakan.
Terima kasih banyak dan sukses selalu.
Begitu sukarkah menghasilkan buku, sama ada buku fiksyen, buku ilmiah atau buku bukan fiksyen? Buku individu yang hendak menjadi penulis tetapi ramai yang tidak berjaya, apatah lagi sebagai penulis yang dapat memberikan sumbangan yang bermakna di dalam dunia penulisan. Malah bukan menjadi rahsia lagi, ada yang masih lagi bermain dengan angan-angan. Mengapa anda hendak menadi penulis buku? Menulis buku dapat dilakukan sepenuh masa sebagai profesional dan dapat juga sebagai kerjaya sampingan.
aku mau kirim artikel, bagaimana caranya. Pedoman Umum EYD tidak mampu memberi pedoman untuk penyerapan dari bahasa Arab. apakah perlu lagi Pedoman Umum Ejaan yang Tersempurnakan