Korsakov

| |

Wina Bojonegoro


Sebuah cerita adalah tapak kaki yang menempel pada semen basah. Ia melekat selamanya, pada jalan setapak yang kit lalui, hingg waktu memaksa kita mengambil seluruh kesempatan. Jalan setapak kehidupan yang kita tinggalkan untuk generasi di belakang kita. Di sinilah eksistensi kita dipertaruhkan: peperangan antara kejujuran, idealisme dan keindahan (Wina Bojonegoro).

REFLEXI SUPARTO BRATA:

Mbak, Sampeyan gak ngerti. Sudah 10 tahun lebih saya tidak menulis cerpen. Membaca juga tidak. Seliweran di koran, babahna. Ndadakna, Riyaya 1432 H tidak dikirimi ketupat, dikirimi cerpen2. Minta testimony. Dikirim lewat email. Emoh, Mbak. Wegah! Email kututup, aku tidur. Gak bisa tidur. Ingat Kanigoro Blitar 2005, 2 malam di rumah Putu Parto. Cuma saling pandang. Terkesan nama dan wajah. Wajah cantik kemudian terbaur dengan cantik yang lain, hilang. Nama yang tidak mau hilang. Kucari lewat nama. Tapi lupa wajah. Meski tatapan wajah di Balai Pemuda 2010, ya tidak komit. Kubiarkan lepas, tanpa kesan. Baru pertemuan yang berulang kali aku paham. Bukan Musashi. The Souls Moonlight Sonata yang menyatakan jiwa pecinta dan cintanya! Saya tergagap bangun. Komputer kunyalakan. Kiriman “bukan ketupat” kubaca. Jam 3 subuh, memang waktuku menulis di komputer.

Kata-kata dirangkai. Jadi kalimat. Kalimat pendek. Bersambung, jadi berarti dan hidup. Tidak landai, tapi bergejolak. Cerita yang bergejolak karena pilihan kata, susunan kalimat, dialog dan alur yang tak terduga, tema yang nyleneh, tidak wajar. Menggelitik karena tidak wajar, setelah tamat dibaca jadi wajar. Kesan yang menyegarkan. Cerpen yang singkat tulisannya, tapi padat kata-kata berjiwa, jadi lelakon hidup penuh gejolak jiwa. Luar biasa! Saya ingat ketika masih remaja, menikmati karangan Marah Rusli, Ali Syahbana, Marari Siregar. Tiba-tiba membaca karangan Idrus dan Ananta Toer. Baru belajar menulis gurindam, tiba-tiba disodori Chairil Anwar. Terkesima. Terbelalak. Tergugah. Ada cara baru menulis sastera, mengungkapkan gelisah jiwa. Seperti itulah perasaanku jam 3 malam 7 Oktober 2011. Segera kurekam.

Tentang tidak wajar yang wajar, sebagai pengarang saya pernah pegang teguh cara berkisah seperti itu. Tulislah cerita yang wajar dengan cara yang tidak wajar, atau tulislah cerita yang tidak wajar dengan cara yang masuk akal (wajar). Namun, Mbak, kiriman cerpenmu lebih menggugah seleraku daripada menikmati ketupat riyaya kiriman perempuan cantik yang mana saja. Aku suka dan tergugah. Aku ingin berguru kepadamu menulis cerita seperti itu. Terutama dalam bahasa Jawa. Saya ingin juga para pengarang sastera Jawa tergugah jiwanya, sehingga sastera Jawa pun menjadi bacaan sastera dunia. Harus ada perubahan jiwa dan cara pandangnya. Cerpen Mbak kujadikan mata pelajaran. Mungkin saya terjemahkan. Pareng nggih?

Sepuluh tahun lebih saya tidak baca cerpen, Mbak. Tapi kalau cerkak, saya masih baca dan karang. Kini mau berguru kepada Mbak. Tapi tulang-tulang penaku sudah seperti fosil. Apa masih bisa dibengkok-bengkokkan menjadi sesuai tulang-tulang Mbak Wina?

Mbak, aku baca cerita pendekmu “Lelaki Asing yang Menemaniku Ngopi Malam Itu” dari buku Kumpulan Cerpen Pilihan KORSAKOV. Perkenankan aku jadi lelaki asing yang menemanimu ngopi malam ini. Sumpah, aku tidak akan mengenal Nina temanmu kuliah dulu. Dan tidak mungkin akan menggandengnya. Tidak mungkin aku selingkuh.

Mbak, ini rekaman tulisan perasaanku. Bukan obat bius lelaki berbulu untukmu, dari cerpenmu “Lelaki Berbulu”. Mbak jangan terbius nggih!

Posted by admin on Sunday, September 16th, 2012. Filed under Books. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*