SURABAYA 63 TAHUN YANG LALU

| |

Terdengar desas-desus bahwa Surabaya akan dibom oleh Jepang. Desas-desus itu oleh Dul Arnowo disampaikan kepada Drg. Mustopo selaku Ketua BKR (Badan Keamanan Rakyat, embrio TNI) Jawa Timur. Atas saran Dul Arnowo, Mustopo lalu menemui Syucokan (Syucokan = Residen, kekuasaan tertinggi sipil di Karesidenan Surabaya. Pada zaman Jepang, Tanah Jawa tidak dibagi menjadi gubernur, tetapi karesidenan – Pen). Semula Mustopo tidak percaya adanya desas-desus. Tetapi karena terus-menerus didesak akhirnya tanggal 29 September 1945 sehabis pertemuan di Julianalaan (sekarang Kombes Duryat) yang memutuskan semua peserta rapat sebanyak 30 orang pada jam 18.00 harus siap menerima perintah bergerak yang akan disampaikan oleh Abdul Wahab (pada jajaran BKR sebagai ketua BKR Karesidenan Surabaya) sebagai pimpinan Pasukan Khusus, Drg Mustopo (pada jajaran BKR sebagai ketua BKR Jawa Timur) lalu menemui Syucokan bangsa Jepang itu, untuk memintai penjelasan mengenai berita bahwa Jepang akan mengebom Surabaya.

Syucokan membantah berita itu. Sebaliknya Mustopo selaku Ketua BKR minta agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada bangsa Indonesia untuk melindungi keamanan rakyat. Permintaan itu tidak dapat dipenuhi oleh Syucokan.

Mustopo kembali ke markas BKR Karesidenan (waktu itu markasnya di GNI Bubutan 87). Pada jam 5 pagi keesokan harinya Drg Mustopo didesak lagi oleh Ketua KNI Jawa Timur R. Sudirman agar menemui Jenderal Iwabe untuk membicarakan hal pengambilalihan kekuasaan ini di Markas Tobu Jawa Butai (di Gedung HVA Comidiestraat, sekarang Jalan Merak). Pada pagi itu Markas Tobu Jawa Butai telah dikepung oleh para pemuda (pelaksanaan pertemuan Julianalaan). Mustopo segera berangkat ke Markas Pimpinan Tentera Jepang tersebut bersama-sama dengan Abdul Wahab, Suyono, Mujoko, Mohammad Yasin, Rahman. Mereka minta kepada rakyat agar jangan menembak sampai jam 10.00. Dengan berpakaian Daidanco (pangkat tertinggi pasukan PETA) Mustopo memasuki gedung HVA (Tobu Jawa Butai = pasukan darat Jepang di Jawa Timur). Oleh Jendral Iwabe Mustopo ditanya, mengapa sepagi itu datang. Dalam pertemuan itu Mustopo mengatasnamakan dirinya sebagai pimpinan BKR, atas nama Residen dan atas nama Presiden dan juga atas nama rakyat, minta senjata. Iwabe menolak. Karena itu Mustopo mengancam bila permintaannya tidak dikabulkan maka pada pukul 10.00 Markas itu akan digempur. Terjadilah perdebatan antara Iwabe dan Mustopo.

Tepat jam 10.00 Markas Iwabe mulai dihujani peluru oleh pasukan Indonesia. Pecahlah pertempuran. Permintaan Iwabe agar Mustopo menghentikan penembakan ditolak. Hal itu tidak mungkin dilakukan. Kedua orang itu kemudian keluar untuk melihat pertempuran. Jendral Iwabe kemudian memanggil seluruh stafnya sedang Drg. Mustopo memanggil Mohammad Yasin, Suyono, Mujoko, Abdul Wahab dan Rahman untuk berunding dengan pimpinan Jepang. Dalam perundingan itu, oleh Iwabe ditegaskan bahwa senjata tidak dapat diberikan tanpa ada orang yang bertanggung jawab terhadap Sekutu, bila sewaktu-waktu Sekutu datang. Mustopo menjawab sambil menunjuk dirinya sendiri, bahwa dia adalah “Menteri Pertahanan Indonesia”, mewakili Pemerintah Indonesia yang sudah merdeka, yang akan mempertanggungjawabkan kepada Sekutu. Maka serah-terima kekuasaan dan senjatanya pun dilangsungkan pada siang hari itu juga.

*

Berhasilnya rakyat Indonesia di Surabaya merebut senjata di Markas Tobu Jawa Butai semakin membesarkan semangat rakyat. Setelah Markas Besar Angkatan Darat Jepang jatuh, sasaran pemuda Indonesia tertuju kepada Markas Kenpeitai di depan Kantor Syu (Karesidenan, sekarang Kantor Gubernur). Markas itu dianggap sebagai lambang kekuasaan dan kebuasan penjajah fascis dan militerisme Jepang. Sebelum pendudukan tentara Jepang gedung itu dipergunakan sebagai Gedung Paleis van Justitie atau Gedung Pengadilan. Di Markas Kenpeitai itu sederet nama pejuang seperti Pamuji, A. Rakjhman, Sukayat, Cak Durasim pernah diseret ke dalamnya, disiksa dan disiksa sampai mati. Ir. Darmawan Mangunkusuma pernah disimpen beberapa minggu. Hampir setiap saat anjing galak menggonggong untuk menyiksa para tahanan. Teriakan, rerintihan dan sesambat yang memilukan hati tiap saat terdengar oleh orang yang lewat di dekat situ.

Pada tanggal 1 Oktober 1945 Gedung Markas Kenpeitai dikepung dan diserbu rakyat dengan semangat tinggi. Kebencian, rasa dendam, panas hati rakyat Surabaya yang telah dikekang berabad-abad lamanya seolah-olah bagai tersembur keluar seperti meledaknya gunung berapi. Koordinasi penyerbuan amat sukar dicapai.

Dengan senjata di tangan diarahkanlah serbuan rakyat ke “neraka” Surabaya itu, Gedung Kenpeitai. Gedung Kenpeitai merupakan lambang diskriminasi hukum kolonial Belanda, kemudian dilanjutkan dengan kebengisan fasisme Jepang. Letaknya di dekat Pasar Besar yang dapat dikatakan sebagai sentral atau jantung Kota Surabaya waktu itu. Sejak pagi hari tanggal 1 Oktober pemuda baik yang telah bergabung dalam organisasi perjuangan misalnya BKR (Abdul Wahab, Hasanudin Pasopati, Suharyo Kecik), Polisi Istimewa (Mohammad Yassin), pasukan PRI (Pramuji, Rambe, Sidik Arslan dan kawan-kawan), Hisbullah, maupun yang masih perorangan membanjiri Gedung Kenpeitai. Koordinasi dibawah pimpinan Abdul Wahab. Pemuda-pemuda bersenjata datang dari segala penjuru kota. Residen Sudirman (bekas Fuku Syucokan = wakil residen Surabaya zaman Jepang, kekuasaan tertinggi sipil di Surabaya waktu itu setelah residennya orang Jepang) pada pukul 01.30 telah memberikan perintah untuk memulai pemberontakan terhadap Jepang. Sejak pagi hari berpuluh-puluh truk dengan “buaya-buaya darat”-nya yang bersenjatakan tombak, bedil kayu, telah berbaris membanjiri kota sambil sekali-sekali menembakkan senjatanya. Sepanjang hari tanggal 1 Oktober 1945 itu barisan terus mengalir dengan tidak putus-putusnya menuju pusat kota Surabaya. Sedang senjata orang yang diangkut dengan truk adalah senapan dan pedang Jepang.

Jajaran Kenpeitai Surabaya tampaknya masih merasa mempunyai kekuasaan tertinggi dalam penjagaan keamanan, adalah satu-satunya alat pemerintah Jepang yang tidak mau begitu saja memenuhi tuntutan rakyat dan pemerintah Indonesia di Surabaya. Kenpeitai sesungguhnya sudah tahu bahwa keadaan telah berubah yaitu dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Kenpeitai hanya mau menyerahkan kekuasaan dan persenjataan seluruhnya, tetapi kepada pimpinan tentara Sekutu di Asia Tenggara, SEAC. Dalam pengepungan itu kesediaan berunding telah dinyatakan oleh beberapa pimpinan polisi dan BKR. Tetapi kehendak rakyat itu tetap ditolak oleh fihak Kenpeitai.

Karena harapan untuk dapat berunding tidak ada, habislah kesabaran rakyat. Tembakan mulai terdengar. Segenap alat komunikasi yang menghubungkan Gedung Kenpeitai dengan fihak luar diputuskan. Massa rakyat dari pemuda terus membanjiri Gedung Kenpeitai pada pagi hari Selasa Paing tanggal 2 Oktober 1945.

Pada jam 12.00 kepungan rakyat telah maju. Para pemuda dan BKR telah berhasil memutuskan rantai besi yang mengikat pintu markas. Tanpa disangka-sangka menyemburlah peluru dari senapan mesin dari dalam gedung. Rakyat membalas dengan senjata masing-masing. Tetapi malang, pemimpin penyerbuan atau koordinator pengepungan, Abdul Wahab, tertembak pahanya, sehingga harus digotong keluar. Pengepungan diperkuat, tetapi pimpinan tidak ada. Berpuluh-puluh orang naik di atas rel keretaapi di sebelah utara. Menurut kesaksian Bung Tomo yang waktu itu ikut mengepung, gedung setan itu oleh rakyat dan pemuda diberondong dengan peluru-peluru batu. Kemarahan rakyat telah meledak, tidak dapat dibendung lagi.

Di tengah peluru yang berhamburan Mohammad Yassin, Komandan Polisi Istimewa, menerobos lewat kawat berduri langsung lari menuju ke ruang Kenpeitai. Di bawah todongan pengawal dikatakannya bahwa ia ingin bertemu dengan Takahara, salah seorang pembesar Jepang. Setelah bertemu, bersama Takahara ditemuinya Kenpeitaico. Kebetulan Mohammad Yasin saat itu mengantongi sapu tangan merah putih. Saputangan diserahkan kepada Kenpeitaico, lalu ditarik ke luar ruangan kerjanya dan tanpa melawan dituntun ke serambi muka. Tangan Kenpeitaico yang memegang saputangan merah putih itu oleh Mohammad Yasin diangkat tinggi-tinggi dan dilambai-lambaikan di hadapan rakyat yang mengepung gedung. Kemudian pemimpin Indonesia yang lain menuju ke serambi. Seluruh rakyat bersorak. Tak lama kemudian bendera Jepang Hinomaru diturunkan oleh Takahara. Pertempuran berhenti pada pukul 16.00.

Menurut cerita lain, seperti dikemukakan oleh Ruslan Abdulgani dan kawan-kawannya, surat Jendral Iwabelah yang mengakhiri drama penyerahan gedung Kenpeitai Surabaya itu. Sekelompok pejuang illegal timbul gagasan untuk menugaskan seorang dari mereka, yaitu Katamhadi, guna segera menghubungi Mayor Jendral Iwabe untuk mencari modus penyelesaian yang tidak merugikan kedua belah fihak. Antara Katamhadi dan Iwabe sebelumnya sudah pernah ada hubungan. Perundingan antara Katamhadi-Iwabe diikuti oleh Hasanuddin Pasopati (bekas Cudanco PETA). Iwabe kemudian memberikan surat perintah dalam bahasa Jepang. Isinya antara lain perintah untuk menghentikan tembak-menembak, kepada komandan Kenpeitai di Gedung Kenpeitai.

Rupanya surat perintah itu formulasinya cukup bijaksana dan taktis, sehingga Komandan Kenpeitai yang bersangkutan tidak tersinggung karena harus menyerah kalah. Surat perintah Iwabe itu oleh seorang perwira Jepang yang diperintahkannya bersama Katambhadi dan Hasanuddin Pasopati diserahkan kepada Komandan Kenpeitai, kira-kira jam 16.00. Tembak-menembak dapat dihentikan oleh kedua belah fihak.

Jatuhnya Kenpeitai Surabaya merupakan tumbang dan hapusnya kekuasaan Jepang di Surabaya. Sehingga dualisme kekuasaan di Surabaya telah dapat diakhiri. Dengan pengertian baik dari PRI Pusat (Pramuji), PRI Utara (Rambe, Arslan), kemudian sayap kanan gedung itu diduduki oleh sepasukan pemuda di bawah pimpinan Hasanuddin Pasopati dan Suharyo Kecik, yang kemudian nanti mereka berdua ini mendirikan PTKR (Polisi Tentara Keamanan Rakyat). Sayap kanannya masih ditempati oleh sisa pasukan Jepang.

Dalam pertempuran di Kenpeitai korban yang jatuh tercatat tewas 25 orang Indonesia, 15 orang Jepang, luka-luka 60 orang Indonesia, 14 orang Jepang, 2 orang Cina dan 5 orang Belanda.

Meskipun begitu, perebutan kekuasaan terhadap pasukan Jepang pada saat yang sama itu (tanggal 30 September – 2 Oktober 1945) tidak hanya terjadi di Markas Tobu Jawa Butai dan Markas Kenpeitai saja. Juga terjadi pada (antara lain) Markas Besar Kaigun di Embongwungu, Markas Kaigun di Gubeng Pojok, Rumah Sakit tentara di Karangmenjangan, penyerbuan senjata di Kohara Butai (Markas Tentara Jepang di Gunungsari), penyerbuan Kitahama Butai (Gedung Lindeteves, sudut-menyudut dengan Kantor Pos Besar Jalan Kebonrojo), Gedung Arsenal Don Bosco di ujung jalan Princeslaan (sekarang Jalan Tidar), melucuti senjata Jepang di Markas Hoogendorplaan (sekarang Jalan Kartini), penyitaan 400 kelewang Samurai di Karangrejo, penyerbuan Morokrembangan. Begitu banyak tempat, begitu jadi markas bersenjatanya tentara Jepang, namun hampir semuanya bisa dijalankan serentak oleh pemuda Surabaya yang secara organisasi sebenarnya tidak bisa dikatakan bersatu. Mereka ada yang bergabung jadi PRI (Pemuda Republik Indonesia, anggotanya paling banyak di Surabaya karena tidak pilih-pilih dan markas besarnya di Balai Pemuda Surabaya), BKR (biasanya bekas PETA-heiho), polisi, dan lain-lain. Yang satu hanya tujuannya, yaitu mengambil alih kekuasaan dari tangan pasukan Jepang.

Setelah sebagian besar tentara Jepang dilucuti, Polisi Istimewa diperintahkan untuk menangkapi pembesar Jepang. Opsir-opsir Jepang satu persatu diambil dari rumahnya untuk ditawan di Hotel Ngemplak Surabaya (pojok antara Ngemplak dan Ambengan). Salah seorang pejabat penting yang ditangkap bersama-sama pejabat lainnya adalah Syucokan Kaka (Residen) yang berdiam di Simpangweg nomor 7 Surabaya (sekarang Grahadi). Karena anggota Polisi Istimewa yang selalu menjaga kediamannya kenal baik dengan juru bahasanya, maka penangkapan tidak mengalami kesulitan.

Opsir yang lain ada yang malah menyerahkan diri. Mereka bertindak demikian karena dirasa lebih aman daripada ditangkap secara beramai-ramai oleh rakyat.

Namun, selain Markas Kenpeitai yang mengadakan perlawanan hingga jatuh kurban jiwa, juga Markas Kaigun (Angkatan Laut) di Gubeng Pojok melakukan perlawanan bersenjata. Pertempuran juga berlangsung sengit. Yang berjasa membuat tentara Kaigun Gubeng Pojok itu menyerah, adalah Sungkono, Ketua BKR Kota Surabaya. Dia tidak ikut menyerbu, melainkan menghubungi Komandan Markas Kaigun, Laksamana Shibata, yang tempattinggalnya di Ketabang Boulevard (sekarang Jagung Suprapto). Dengan perundingan tadi akhirnya Laksamana Shibata menghentikan tembak-menembak di Markas Kaigun Gubeng Pojok.

*

Sumber:

Pertempuran 10 November 1945,

Blegoh Sumarto1986..

Posted by admin on Friday, September 26th, 2008. Filed under catatan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

5 Comments for “SURABAYA 63 TAHUN YANG LALU”

  1. Yg selalu saya suka dari blog ini adalah eksplorasi sejarah Surabayanya. Sedikit2 saya jd ngerti. Shg kadang2 timbul ide setelah membaca blog panjenengan.

    Ngomong2, mumpung blm telat. Saya mengucapkan minal aidzin wal faidzin, Pak Suparto Brata. Mohon maaf lahir batin.

  2. Yang bener dong beritanya. Di google syucokan tp di buka ga ada.

  3. Untuk Van Lang, beberapa waktu yang lalu blog ini saya update ke versi yang lebih baru mungkin ada beberapa postingan saya yang hilang sehingga mengecawakan para pembaca, untuk itu coba saya tulis ulang, selamat membaca.

  4. Eyang saya adalaha ex. Wedono di Kedurus. Yang ingin saya tanyakan, apa nama kawedanan di daerah Kedurus Surabaya? siapa saja yang pernah memerintah didaerah itu? …..

    Terimakasih

  5. kok belum ada jawaban?

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*