MENGENANG H. ANSHARI THAYIB PEJUANG BERSENJATA PENA

| |

Dunia jurnalistik kini kehilangan salah seorang pilarnya. Demikian juga upaya penegakan hak-hak asasi manusia harus rela ditinggal pergi seorang pejuangnya dengan kepergian H. Anshari Thayib, Rabu 10 September 2008. Almarhum telah dipanggil oleh Al Khaliq mendahului kita untuk menghadap-Nya dalam usia 61 tahun.

Saya ketemu pertama kalinya dengan Anshari Thayib (begitu dia mengeja namanya pada salah satu buku novelnya) tahun 1968-an di rumah Mas Arifien Noor, di daerah Karangwismo, tempat di mana PT Bina Ilmu mengediting buku-buku penerbitannya. Sejak 1960-an, Mas Arfien Noor masih menggelar buku dagangannya di kaki lima depan Toko Nam, lalu punya kios di Embong Malang, pindah lagi ke Genteng Kali seberang Toko Siola, akhirnya punya toko di Jl. Tunjungan 53-E Surabaya, sudah mau menerbitkan buku-buku saya. Ketemu di Karangwismo ini karena Mas Anshari Thayib sedang mencetakkan majalahnya di situ. Kalau tidak salah majalah dari Kediri, yang pencetakannya difasilitasi oleh Mas Arifien juga, sehingga saya mengira Mas Anshari juga orang dari luar Surabaya. Dalam pergaulan selanjutnya masih berkaitan dengan PT Bina Ilmu, saya merasa bahwa orang dari daerah ini cakap benar. Cakap, pandai, cerdas, mampu bertindak dan tegas.

Tahun 1987, atas usul Mas Pek Diono (wartawan), saya dipilih menjadi penulis sejarah pers Jawa Timur yang diprakasai oleh Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Jawa Timur. “Lo, saya tidak punya latar belakang wartawan, dan penulisan sejarah, lo.” Justru itu yang diinginkan, agar penulisan sejarah pers berimbang, dipilih orang-orang juga dari luar pers, jawab Mas Pek. Di antara penulis tahap pertama penulisan sejarah pers Jawa Timur tadi saya bekerja sama dengan penulis lain, yaitu Drs. Anshari Thayib (pers), Drs. Moechtar (pers), Soemijatno (pensionan Kantor Penerangan Jatim), Drs. Issatriadi (ahli sejarah dari IKIP Surabaya). Setelah beberapa kali rapat, saya kebagian untuk menuliskan sejarah pers Jawa Timur sejak zaman Belanda hingga pemulihan kedaulatan RI (1950) berpasangan dengan Mas Anshari. Sedang Mas Moechtar bersama Pak Soemijatno menulis/meneliti pers sejak zaman Merdeka, yang tentunya dokumennya gampang dicari di Kantor Penerangan Jatim juga. Drs. Issatriadi kurang bebas bergerak karena dia dosen, jadi nanti sebagai pengamat/redaksi meja saja.

Untuk meneliti pers Jawa Timur sejak zaman Belanda, saya dan Mas Anshari harus pergi ke Jakarta, meneliti dokumen pers di Museum Gedong Gajah Merdeka Barat Jakarta, setidaknya selama 10 hari. Saya berangkat ke Jakarta bersama Mas Anshari, menginap di Hotel Sabang, dipilih karena dekat dengan Gedong Gajah. Terus terang saya jarang banget menginap di hotel bintang, ikut dan kagum saja dituntun oleh kelincahan Mas Anshari. Selagi menginap di situ, menginap pula Pak Hotman Siahaan (dosen FISIP Unair) yang dalam kepanitiaan penulisan sejarah pers Jawa Timur menjadi editor tahap lanjutan buku sejarah ini, namun kedatangannya menginap di Hotel Sabang ada keperluan lain. Waktu itu di Jakarta kebetulan ada peluncuran Majalah Editor yang diselenggarakan oleh orang-orang yang eksodus dari Majalah Tempo. Kami bertiga ke sana memenuhi undangan peluncuran itu. Ternyata Mas Anshari juga jebolan wartawan Majalah Tempo, saya baru mengerti setelah melihat keakraban dia dengan panitia peluncuran Majalah Editor itu.

Selama bergaul kumpul sekamar dengan Mas Anshari, saya mendapatkan pencerahan tentang agama Islam. Banyak hal-hal yang saya belum tahu dan belum menjalankan, diterangkan dan dituntun olehnya.

Masih ada kaitannya dengan PT. Bina Ilmu, bersama Mas Anshari saya perlukan mencari Mas Said, adik Mas Arifien. Mas Said juga buka toko buku di daerah Senen, Jakarta. Ketemu, kami saling ngobrol, bahkan diajak ke rumah Mas Said, dan Mas Said dengan isterinya juga ganti berkunjung ke hotel kami.

Tiap hari pagi-pagi kami berjalan kaki pergi ke Gedung Gajah. Di sana saya mencari majalah atau koran yang diterbitkan di kota-kota Jawa Timur. Masih banyak yang tersimpan baik. Misalnya koran terbitan 1871 di Probolinggo Nieuws en Advertentie Blad, yang bisa diedarkan dengan gratis (dibeayai oleh iklan). Dari berita sedikit yang termuat, saya tahu bahwa waktu itu belum ada jalan Daendels yang melintasi Probolinggo, dan jalan keretaapi pun belum ada. Kota Probolinggo paling gampang dicapai dari laut (kedatangan pejabat, misalnya pegawai kantor pos, maupun barang-barang modern, misalnya piano, lewat pelabuhan). Dan kalau pejabat pindah, ~ ditulis sebagai nieuws ~ barang-barangnya dilelang, tidak keluar dari Probolinggo. Di situlah peran koran Nieuws en Advertentie Blad penting dan bisa hidup, yaitu tempat memasang iklan barang-barang yang dilelang. Ada tukang cukur (coiffeur) yang selalu pasang iklan di situ, menandakan bahwa waktu itu tukang cukur (hair-dressing) sangat diperlukan oleh kehidupan modern di Probolinggo (beaya memasang iklan berimbang dengan yang pergi bercukur). Selain banyak iklan dan sedikit nieuws (berita), isi yang paling ajeg dimuat adalah feuilleton (cerita bersambung). Tentu saja cerita bersambung ini bisa dimuat ajeg karena ambil cerita yang sudah beredar di Negeri Belanda. Dari sini saja sebetulnya kita bisa tahu, bahwa untuk menerbitkan suatu media umum, iklan sangat bisa mendukung beaya penerbitan. Dan cerita bersambung merupakan hidangan yang menarik bagi pelenggan. Agaknya cerita bersambung ini pula yang menjadi andalan majalah bahasa Jawa seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, hingga sampai sekarang bisa terbit karena banyak pelengganannya. Tetapi sayang sekali tidak didorong oleh perolehan pemasang iklan seperti halnya Nieuws en Advertentie Blad di Probolinggo itu, sehingga pembeayaan majalah bahasa Jawa tidak makmur. Saya juga menemukan banyak majalah bahasa Jawa (dan juga bahasa Madura) di Gedong Gajah, semuanya saya catat sebanyak mungkin saya bisa. Terutama Dagblad Express, harian bahasa Jawa yang terbit di Surabaya 1934-1942, hampir lengkap di sana. Dan sebanyak mungkin saya kutip (menulisi dengan tangan), sampai bagaimana bunyi iklan, bagaimana lakon bioskop mau pun kethoprak di Dagblad Expres termuat tidak sebagai iklan melainkan berita dari wartawannya, karena wartawannya bisa menonton gratis (uang iklan tidak masuk ke perusahaan suratkabar).

Pada kesempatan lain, karena saya punya hubungan kepengarangan dengan Majalah Sarinah yang dikelola oleh Mas Susilomurti, berkantor di Gedung Patra Jasa Gatot Subroto, saya ajak Mas Anshari pagi-pagi benar berangkat dari Hotel Sabang ke Patra Jasa berjalan kaki. Di tengah jalan sebenarnya Mas Anshari sudah sambat, tetapi melihat saya tetap berjalan dengan tenang, dia malu untuk berhenti. Di Majalah Sarinah kami ditemui Korie Layun Rampan, dan saya diberi sangu Rp 5.000,00 (meskipun bukan itu maksud saya berkunjung ke Majalah Sarinah).

Saya juga memerlukan bertamu kepada Mas Soebagijo Ilham Notodidjojo (SIN) di Danau Tondano 1, untuk mencari data yang dimilikinya juga. (Kemudian buku Sejarah Pers Jawa Timur juga dieditori oleh Mas SIN).

Kembali ke Surabaya, tulisan tanganku di Gedong Gajah saya ketiki semua, saya susun sebagai laporan untuk penulisan sejarah pers Jawa Timur. Saya tidak tahu hubungan Mas Anshari dengan Mas Arifien ketika itu, namun saya mengerjakan catatan dari Jakarta itu menggunakan ruangan di belakang Toko Buku PT Bina Ilmu Jl. Tunjungan 53E, setahu saya di situ tempat Mas Anshari berkantor.

Sayang, pada tahap berikutnya saya tidak memegang periode itu, tetapi meneliti periode 1950-1965. Dan nanti pada tahap pencetakan jadi bukunya (anggaran SPS tahun-tahun berikutnya), catatan-catatan saya dari Jakarta itu sama sekali tidak ada (tidak termuat dalam buku Sejarah Pers Jawa Timur). Ya, mungkin oleh editor-editor dianggap tidak berkualitas. Karena saya merasa bahwa catatan itu penting sekali untuk pengingatan sejarah masa lalu, maka ketika saya mengarang buku Mencari Sarang Angin (Grasindo 2005), tentang kehidupan suratkabar bahasa Jawa Dagblad Express ini (juga kehidupan pers bahasa Belanda dan sosial-budaya kemasyarakatan di Surabaya 1936-1945) saya jadikan pokok jalannya cerita. Termasuk kata-kata adi yang dimuat pada suratkabar bahasa Jawa itu jadi jiwa dari buku saya Mencari Sarang Angin tadi. Bukan buku sejarah pers, melainkan novel yang berdasarkan fakta sejarah (sesuai dengan kemampuanku mengarang novel) yang saya amati dari catatan saya dari Gedong Gajah dulu. Buku sejarah itu menceritakan kehidupan fakta-data masa lalu. Masa lalu tidaklah mati, bahkan bukanlah masa lalu (William Faulkner). Sejarah masa lalu adalah tempat pembelajaran hidup untuk menemukan kiat-kiat atau siasat hidup lebih baik menyongsong masa depan, agar kehidupan masa depan tidak berlangsung membuta berjalan di tempat seperti kehidupan jelek menderita masa lalu. Dan sejarah masa lalu paling jelas bisa dibaca/dipelajari pada buku sejarah. Buku ‘sejarah’ yang tidak kering yang hanya untuk konsumsi para akademisi, buku ‘sejarah’ yang menyenangkan dikonsumsi masyarakat umum, adalah buku cerita atau sastra. Paling dekat dengan masyarakat umum, dari anak-anak yang masih/sedang belajar membaca sampai para akademisi yang berbudaya gila membaca buku, adalah buku cerita. Sastra. Saya bekerja di situ.

Penulisan sejarah pers Jawa Timur tugas kami selesai, pada tahap lanjutan (tahun-tahun berikutnya harus dianggarkan lagi oleh SPS) saya tidak lagi ikut, maka hubungan saya dengan Mas Anshari selesai. Tetapi karena rumahnya ternyata di Pondok Candra, sedang istrinya jadi guru di SDN Rungkut sebelah kantor Camat Rungkut, (dekat rumah saya) beberapa kali sehabis mengantar isterinya dia mampir ke rumah saya. Dia sedang berkencan dengan penerbitan koran Surya, dari terbit mingguan menjadi terbit harian. Waktu itu (1989) saya sedang nganggur, punya niat melanjutkan hidup dengan mengarang bebas merdeka. Meskipun berhasil cerita sambung saya ketika itu dimuat di Surabaya Post, Jawa Pos, Kartini, Sarinah, Vista, namun penghasilan saya tidak mencukupi kebutuhan hidup saya. Cicilan rumah YKP (developer Pemda Surabaya) hingga 6 bulan tidak saya bayar, hingga dapat surat peringatan dari YKP. Meskipun hati ketir-ketir karena tidak bisa membayar cicilan rumah, tapi saya tetap berusaha menulis terus. Saya mulai membuat cerita Membakar Surabaya, tanpa rencana mau saya kirimkan ke mana, pokok mengarang bebas merdeka. Mengetahui kegiatanku, Mas Anshari minta agar cerita itu diberikan kepadanya, untuk dimuat bersambung pada pembukaan Harian Surya 10 November yang akan datang. Saya bilang, cerita itu belum selesai, tetapi Mas Anshari minta lembar yang selesai itu dulu, lalu difotocopy, dan akan dimuat di Harian Surya awal penerbitannya.

Bulan November 1989 saya diminta oleh Mas Arswendo Atmowiloto menerbitkan tabloid bahasa Jawa Praba di Yogyakarta (grup Kompas), saya pun pindah ke Yogyakarta. Cerita sambung Membakar Surabaya yang ujung-awalnya sudah dimuat oleh Harian Surya saya lanjutkan menulisnya di Yogya hingga selesai (kejar-tayang tidak sampai tertunda).

Hubungan saya dengan Mas Anshari pun terputus. Tetapi saya tahu dia terus memperjuangkan hidupnya dengan menulis, wartawan, litbang Harian Surya, hingga pernah menjadi ketua PWI Cabang Jawa Timur segala. Bahkan sempat terpilih menjadi salah seorang komisioner hak-hak asasi manusia. Komnas HAM saat itu diisi dan dipimpin oleh orang-orang yang dikenal integritasnya, misalnya Abdul Hakim Garuda Nusantara, Soetandyo Wignjosoebroto, Habib Chirzin, MM Billah, dan lain-lain. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang komisioner HAM, Mas Anshari banyak turun ke lapangan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia di kota sampai di pelosok desa, bahkan di tengah rimba dan pucuk gunung mulai dari Aceh, Lampung, NTT hingga Papua. Dia temui nasib orang-orang yang lemah, yang tak kuasa menghindar dari terjangan mesin korporatisme negara yang semena-mena. Keasyikan menjalankan tugas-tugas berat tapi mulia itu tampaknya membuat Mas Anshari tidak sempat meperhatikan kesehatannya. Terkena stroke ringan. Meski terobati, tidak bisa pulih seperti sedia kala. Begitu yang saya dengar.

Sedangkan saya juga memperjuangkan hidup saya dengan menulis, novel, bidangnya beda dari Mas Anshari. Namun.kami masih sering hubungan terutama yang berkaitan dengan penerbitan buku oleh PT Bina Ilmu. Buku saya masih terus diterbitkan di sana, juga buku Mas Anshari Tagor Yang Tak Pernah Menyerah, diterbitkan oleh PT.Bina Ilmu 1993. Pernah suatu kali ketika saya sholat Jumat di Masjid Al Maghfirah (masjid di kompleks perumahan saya, YKP), Mas Anshari jadi khotibnya.

Selamat jalan menuju Surga, Mas Anshari Thayib!

Posted by admin on Monday, September 22nd, 2008. Filed under catatan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

2 Comments for “MENGENANG H. ANSHARI THAYIB PEJUANG BERSENJATA PENA”

  1. Assalamualaikum Bapak Suparto Brata,
    saya putri alm Anshari Thayib, baru saja membaca tulisan Bapak tetang almarhum Bapak saya. terima kasih telah menulis tentang bapak. semoga Bpk Suparto Brata selalu dianugerahi kesehatan oleh Allah SWT, umur yang panjang dan barakah.

  2. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,

    Terima kasih atas obituari Mas Anshari Thayib. Saya baru tahu bahwa beliau wafat setelah membaca obituari Bapak.

    Bagi saya, Mas Anshari adalah guru yg baik dalam bidang jurnalistik di samping Mas Zaenal Muttaqin (Surabaya Post) dan Mas Dahlan Iskan (Jawa Pos).

    Saya pertama kali berkenalan dg Mas Anshari saat jadi panitia Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya. Dan semakin intensif bertemu dan belajar saat bergabung dg majalah Muttaqin/Semesta pd 1979.

    Waktu saya diterima di UI, saya diminta untuk menjadi koresponden dan menerima penugasan2 dari almarhum. Hingga majalah yg diawaki kaum muda Muslim itu kolaps.
    Saya kemudian sejenak jadi koresponden Jawa Pos di Jakarta, pindah ke The Jakarta Post. Sejak itu komunikasi kurang lancar. Hingga saya dengar beliau bergabung di Surya dan menjadi anggota PWI/SPS Jatim dan Komnas HAM.

    Sekali lagi terima kasih, Pak Suparto. Semoga Allah swt menerima segala amal baiknya dan mengampuni segala dosa dan kesalahannya.

    Sekarang saya bekerja di The Brunei Times.

    Sekedar info, saya jg adalah penggemar novel Bapak. Waktu di The Jakarta Post, saya sempat membaca beberapa novel Bapak yg diterbitkan Gramedia, dan sempat membuat resensi salah satu buku yg bersetting zaman Jepang.

    Harapan saya, semoga Bapak sehat wal afiat dan terus berkarya.

    Darul Aqsha
    Bandar Seri Begawan

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*