Lomba Menulis Essay Surat Untuk Wakil Rakyat
Di Jawa Pos awal Februari 2009, ada iklan: Lomba Menulis Essay SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT. Persyaratannya antara lain: maksimal 2.500 kata. Penyelenggara Charles98, Charles Honoris Center. Topik-topiknya: 1. Pengentasan kemiskinan, 2. Upaya mengurangi pengangguran, 3. Peningkatan kualitas sistem pendidikan, 4. Layanan kesehatan murah dan layak bagi masyarakat, 5. Pemberantasan korupsi. Saat diiklankan komputer saya sedang macet, pada hal saya sudah lama punya gagasan bagaimana peningkatan kualitas sistem pendidikan hingga dapat “mencerdaskan bangsa” yang sudah ketinggalan selama 25 abad dari bangsa-bangsa cerdas di dunia. Gagasan yang sangat perlu untuk diketahui dan sistemnya harus dilaksanakan oleh pejabat pendidikan penyelenggara negara. Suatu kesempatan besar kalau saya bisa mengikuti lomba itu yang langsung tertuju para wakil rakyat yang tentunya akan menjadi pejabat penyelenggara negara.
Kebetulan beberapa hari kemudian komputer saya selesai diperbaiki dan bisa dipakai. Dengan cepat saya menulis gagasan saya itu, dan sebelum hari akhir penerimaan naskah lomba sudah saya kirimkan ke alamat penyelenggara lomba.
Di Jawa Pos Sabtu 14 Maret 2009 terpampang iklan PENGUMUMAN PEMENANG LOMBA MENULIS ESSAY. Nama saya terpampang sebagai salah satu dari 25 pemenang. Saya senang.
Sampai di rumah, baru saya buka buku SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT yang baru diluncurkan. Terutama tentu saja karanganku sendiri. Ternyata, tulisan saya di situ dipotong banyak sekali, sehingga apa yang saya curahkan gagasan saya untuk dibaca oleh para wakil rakyat, tidak tercapai maksudnya.
Memang di antara telepon-telepon yang saya terima sebelum pencetakan buku, ada editor yang minta diperkenankan mengedit karangan saya, karena syaratnya 2.500 kata maksimum, karangan saya lebih dari 3.000 kata. Memang ketika mencurahkan tenaga dan pikiran untuk menulis itu saya tidak mengingat batasan banyaknya kata-kata, yang paling penting gagasan saya tercurahkan. Saya mempersilakan saja mengeditnya sesuai syarat-syaratnya lomba. Ternyata jadinya begini. Jadi, kalau para wakil rakyat terpilih nanti membaca buku ini, tentulah kurang bisa mencerna gagasanku mengenai meningkatkan kualitas sistem pendidikan putera bangsa agar menjadi cerdas dan tidak menerima nasibnya seperti fitrah kodratnya. Oleh karena itu, maka segera saja menulis blog ini. Dan memaparkan naskah asli yang saya kirimkan ke panitia lomba. Mudah-mudahan mereka yang telah memiliki dan membaca karangan saya di buku hijau muda SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT, maupun yang belum membaca tapi berhasil menjadi wakil rakyat, bisa membaca naskah saya yang utuh, sehingga bisa mencerna, memahami serta melaksanakan gagasan saya itu dengan membaca naskah asli saya ini. Semoga sampai kepada wakil rakyat beneran.
Inilah naskah asli dari karangan saya :
BERBUDAYA MEMBACA BUKU DAN MENULIS BUKU
MENGUBAH TAKDIR MASA DEPAN KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK PUTERA BANGSA DARIPADA HANYA MENERIMA
KODRAT TAKDIRNYA BELAKA
Anak umur tiga tahun menonton TV sudah mengerti apa maknanya. Karena menonton dan mendengar adalah kodrat, tidak usah diajari bocah sudah mahir mencerna artinya. Main piano, mengendarai mobil, membaca buku, bukan kodrat. Untuk mahir putera bangsa harus diperkenalkan alatnya, dilatih menggunakannya. Untuk mahir bermain piano berlatih setahun kalau punya bakat sudah mahir. Mengemudikan mobil berlatih sebulan kalau sudah dewasa sudah mahir. Agar berbudaya membaca buku (dan menulis buku) anak manusia harus berlatih tiap hari terus-menerus selama paling tidak 12 tahun. Arti berbudaya adalah mahir dan punya kebiasaan dan kegemaran membaca buku pelajaran sekolah, buku bacaan umum, sampai mahir dan gemar membaca buku (dan menulis buku) keilmuan yang tinggi-tinggi, buku yang tebal-tebal. Itulah yang disebut berbudaya membaca buku dan menulis buku.
Kalau hidup seseorang hanya dikiati dengan kodrat indrawinya saja, (menonton, mendengar, mengalami sendiri) maka hidupnya akan menerima sebagaimana takdir-fitrah-alamiahnya. Misalnya menghayati hidupnya jadi pengemis, pemulung, pelacur, pencuri, pedagang asongan, pkl. Kalau kiat hidupnya ditambahi latihan ketrampilan yang diperoleh dari tangkapan indrawinya (melihat dan mendengar) maka ia bisa hidup jadi sopir, pemusik, tukang masak, tukang di bengkel, tukang becak, buruh, dan profesi tradisional lainnya. Tetapi tidak bisa jadi dokter, insinyir, hakim, dosen, politikus, petani berdasi, saudagar ber-trade-mark, industriawan berhak-patent, pengarang berhak-cipta, atau profesi modern yang lain, karena untuk profesi modern syarat utamanya pelakunya harus berbudaya membaca buku dan syukur menulis buku. Jadi, kalau putera bangsa ingin mengubah nasib fitrah-alamiahnya yaitu untuk bisa menduduki jabatan sosial yang lebih baik di masyarakat kemudian hari daripada takdir-alamiahnya, ia harus dibudayakan membaca buku dan menulis buku sejak dari kecil. Membudayakan membaca buku dan menulis buku yang paling tepat adalah 12 tahun umur sekolah. Selama 12 tahun umur sekolah tiap hari digembleng membaca buku dan menulis buku. Diajari dan dilatih setiap hari masuk sekolah cara membaca buku yang baik dan benar sehingga membaca buku itu menjadi hal yang menyenangkan, dikuasai dengan baik. Misalnya diajari membaca buku itu hanya ekor matanya yang bergerak, kepalanya tidak ikut gelang-geleng, membaca batin itu bibirnya tidak perlu ikut bergerak-gerak, menulis itu ejaannya harus benar (dilatih dikte), kapan ganti alenia, bagaimana membuat kalimat. Ajaran dan latihan seperti itu supaya pelajarnya mahir dan gemar membaca buku dan menulis buku tidak mungkin dilaksanakan di lain tempat dan lain waktu (12 tahun). Ya harus di sekolah.
Sejak Orde Baru, (terutama sejak berlakunya kurikulum 1975) putera bangsa di sekolah dini selama 12 tahun tidak diajari dan dibiasakan membaca buku dan menulis buku demikian sehingga mereka tidak berbudaya-terbiasa-gemar membaca buku dan menulis buku. Menurut penelitian DRH Taufik Ismail 1996, anak tamat SMA (setelah 12 tahun sekolah dini) di Jerman rata-rata telah habis membaca 32 judul buku, New York 32 buku, Rusia 12 buku, Belanda 30 buku, Swiss 15 buku, Jepang 15 buku, Singgapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunai 7 buku, Indonesia 0 buku.
Menerima ajaran ilmu di sekolah hanya dengan bertemu guru dan mendengarkan secara kodrati, maka ilmu yang dipahaminya hanyalah diingat secara instan. Mudah ditangkap (didengar, dimengerti) tapi juga mudah dilupakan. Agar dapat diingat harus dicatat (ditulis) dan dibaca lagi. Jadi, segala pengalaman yang ditangkap secara indrawi akan segera lenyap, mudah dilupakan dan tidak bisa ditransfer sama persis seperti apa yang ditonton dan didengar kepada orang lain. Sedangkan segala yang ditulis akan bisa diingat kembali kalau dibaca dan bisa ditransfer persis kepada orang lain yang membaca tulisan itu. Contoh soal, tahun 2003 orang gempar dengan Inul goyang ngebor di TV (tangkapan indrawi). Tahun ini, orang sudah lupa nikmatnya menonton goyang ngebornya Inul. Apalagi generasi berikutnya, sama sekali tak bakal mengenal Inul seperti yang dihebohkan ketika menonton goyang ngebornya. Tetapi bagaimana ucapan Napoleon Bonaparte, teori Isaac Newton, syair Ranggawarsita, ayat-ayat suci Al-Qur’an, banyak difahami oleh orang zaman sekarang, karena ditulis dalam buku dan dibaca orang pada buku. Bisa ditransfer persis maknanya kepada orang lain dengan cara membaca bukunya. Goyang Inul, sastra Indonesia, sejarah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, keraton Majapahit, peradaban dunia (yang dialami atau difahami secara indrawi, misalnya difahami dari mendengarkan cerita guru), semua akan lenyap ditelan waktu apabila tidak ditulis pada buku. Dan akan abadi serta dimengerti oleh generasi masa depan kalau semuanya itu ditulis pada buku dan dibaca pada buku.
Maka membaca buku dan menulis buku adalah sarana untuk mengingat, mengabadikan peristiwa, instrumen untuk menangkap ilmu yang diajarkan atau pengalaman hidup, dan juga untuk disiarkan kembali dengan cara menulisnya pada buku dan membacanya pada buku. Dalam ajar-mengajar sekolah selama 12 tahun, ilmu yang diajarkan bisa diandaikan sebagai kendaraan, ilmu yang diajarkan guru bisa diperberat, bisa diperdalam, seperti halnya kendaraan bisa berbentuk bus yang bisa mengankut banyak orang, bisa mesinnya bagus agar cepat sampai kota tujuan (misalnya dari Surabaya ke Jakarta), tetapi kalau jalannya (infrastruktur) keadaannya murni sebagaimana alamnya, tidak diperbaiki, diperlebar atau diperhalus, apa bisa berbagai jenis kendaraan tadi bisa sampai di Jakarta seperti yang dirancang pada kendaraan tersebut? Infrastruktur penerimaan ilmu yang diajarkan oleh guru adalah budaya membaca buku dan menulis buku. Kalau selagi menerima ajaran ilmu di sekolah putera bangsa tidak sertamerta dibudayakan membaca buku dan menulis buku, segala ilmu yang diajarkan hanya ditangkap dengan kodrat indrawinya (keadaan fitrah-alamiah yang murni), maka sama halnya dengan kendaraan yang telah dirancang segala macam cara, tetapi akhirnya tidak sampai ke tempat tujuannya (Jakarta). Muspra. Jadi budaya membaca buku dan menulis buku adalah sarana, alat, instrumen, infrastruktur penyerap dan penyiar ilmu, kiat untuk hidup berilmu, mandiri, mencipta, menguasai keadaan, berpikir positif, percaya diri, dan semua itu pasti berguna bagi masyarakatnya maupun diri sendiri dalam menempuh hidup pada hasil yang lebih baik. Kalau tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku, maka putera bangsa tidak mampu menyerap ilmu yang diterimanya diingat lama-lama dan tidak mampu menyiarkan ilmu yang dimiliki (ditransfer) kepada orang lain. Hidup yang ditempuh hanya fitrah-alamiah seperti kodrat-takdirnya. Alias bodoh. Dan miskin.
Peradaban dunia sudah mencatat, bahwa budaya membaca buku dan menulis buku itu adalah mencatat dan mengingat kebenaran abadi, keindahan abadi, kebaikan abadi, sejak filosof Yunani Plato (428-347 S.M.) mendirikan sekolah filsafat yang dinamai Academus, sesuai dengan pahlawan legendaris Athena. Karenanya sekolah itu dikenal sebagai Akademi. Dan sejak itu beribu “akademi” didirikan di seluruh dunia. Plato adalah murid Socrates. Socrates (470-399 S.M.) adalah tokoh yang paling banyak menyiarkan ilmunya dalam seluruh sejarah filsafat, sehingga dia merupakan salah seorang filosof yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa selama hampir 2500 tahun ini. Siapa Socrates sebenarnya “relatif” tidak penting, karena begitu banyak pemikiran filsafatnya hanya dipidatokan di plasa-plasa Kota Athena atau didiskusikan dengan para pengikutnya waktu itu, yang tentunya mempengaruhi benar pada orang-orang yang mendengarkan. Uraian filsafat yang dipidatokan dan didiskusikan begitu beraneka bobotnya hingga merupakan teka-teki bagi para pendengarnya, dan menimbulkan kontraversi pemahaman pemikiran masyarakat Athana saat itu, dianggap penyangkalan yang menyesatkan, antara lain “menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota, memperkenalkannya ke rumah-rumah, dan memaksakannya untuk menelaah kehidupan, etika, kebaikan dan kejahatan”. Pada 399 S.M. Socrates didakwa “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda”, serta tidak mempercayai dewa-dewa yang telah jadi kepercayaan masyarakat Athena..Juri pengadilan menetapkan dia bersalah, oleh karenanya Socrates harus memilih: diusir meninggalkan Athena atau dihukum mati dengan meminum racun cemara. Hal serupa pernah terjadi pada filosof pendahulunya, Anaxagoras (500-428 S.M.) yang antara lain ia mengatakan bahwa matahari bukanlah dewa, melainkan sebuah batu merah-panas yang lebih besar dari seluruh jazirah Peloponesia. Ini menyalahi dari kepercayaan masyarakat Athena, Anaxagoras dituduh atheis, dan dihukum memilih pergi keluar dari Athena atau dihukum mati minum racun. Anaxagoras yang berasal dari Asia Kecil, namun pindah ke Athena pada usia 40 tahun, ia memilih pergi meninggalkan Athena. Tetapi Socrates yang kelahiran Kota Athena tidak mau pergi terusir dari Athena untuk mempertahankan kebenaran-kebenaran pemikirannya yang telah dipidatokan dan didiskusikannya. Socrates menghargai hati nuraninya ~ dan kebenaran ~ lebih tinggi dibanding dengan nyawanya sendiri. Dia meyakinkan juri bahwa dia hanya bertindak demi kepentingan negara. Namun dia tetap dihukum untuk meminum racun cemara. Tak lama kemudian dia minum racun itu di hadapan sahabat-sahabatnya. Dan meninggal dunia.
Bagi Plato, kematian Socrates merupakan contoh mencolok dari konflik yang dapat timbul antara masyarakat sebagaimana adanya (fitrah alamiah kodratnya) dan masyarakat sejati atau ideal (direkadaya lebih baik). Tindakan Plato yang pertama adalah menerbitkan buku karya Socrates Apologi, suatu penjelasan tentang pembelaannya di hadapan juri. Socrates tidak pernah menuliskan apapun, meskipun banyak orang sebelum Socrates melakukannya (menulis). Di samping Apologi, Plato juga melestarikan seluruh karya utama Socrates ~ misalnya kumpulan Epistles dan kira-kira 25 Dialog filsafat yang pernah didiskusikan dan dipidatokan Socrates ~ ditulis jadi buku. Kita bisa mendapatkan karya-karya ini (berupa buku) sekarang berkat tindakan Plato menuliskannya jadi buku yang bisa dibaca dan dipelajari sejak Plato mendirikan akademi. Kalau tidak jadi buku dan dibaca pada buku, apa manfaat filsafat Socrates yang diuraikan secara lisan demi untuk menata kehidupan manusia ~ kebenaran, etika, kebaikan dan kejahatan ~ masa depan yang ideal? Muspra! Buku, ditulis dan dibaca, itulah kuncinya memperbaiki kehidupan manusia masa depan.
Baik Yesus maupun Socrates adalah conto tokoh yang penuh teka-teki, juga bagi rekan-rekan sezaman mereka. Tak satu pun di antara mereka menuliskan sendiri ajaran-ajarannya, maka kita terpaksa mempercayai gambaran yang kita dapatkan tentang mereka dari murid-murid mereka. Tapi kita tahu bahwa mereka adalah jagoan dalam seni berdiskusi. Mereka menantang kekuasaan masyarakat dengan mengecam segala bentuk ketidakadilan dan korupsi. Dan akhirnya, aktivitas-aktivitas mereka mengakibatkan mereka kehilangan nyawa. Yesus dan Socrates tidak menuliskan sekalimatpun tentang ajaran-ajarannya. Plato menyelamatkan dan mengembangkan ajaran Socrates dengan cara menuliskannya jadi buku. Lucas, Mateus, Markus, dan Johanes menyelamatkan, mengabadikan dan menyiarkannya dengan menulis ajaran Yesus jadi Kitab Injil.
Ketika kaum muslimin sedang sibuk menyiapkan angkatan perang untuk menghadapi perang Badar, tiba-tiba seorang anak laki-laki 12 tahun menghadap Rasulullah, berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah, izinkanlah saya pergi jihad bersama memerangi musuh-musuh Allah dibawah panji-panji Anda”. Tapi anak yang tampak cerdas itu ditolak, karena belum cukup umur. Kemudian kembali menghadap diantar oleh kerabat ibunya, menjelaskan bahwa anak itu hafal tujuh belas surah wahyu Allah dan melafalkan dengan baik dan benar. Dia juga pandai menulis dan membaca bahasa Arab. Setelah mendengar lafalnya yang bagus, Rasulullah dengan gembira berkata, “Jika engkau mau selalu dekat denganku, pelajarilah baca tulis bahasa Ibrani. Saya tidak percaya kepada orang Yahudi yang menguasai bahasa tersebut, bila mereka saya diktekan sebagai sekretaris saya”. Dengan otak cemerlangnya anak itu menyanggupi keinginan Rasulullah sebagai sekretarisnya. Tidak saja tampil sebagai penterjemah, tapi juga menjadi penulis wahyu. Bila wahyu turun, Rasulullah memanggil anak itu, lalu diorasikan kepadanya dan disuruh menuliskannya. Anak itu menulis Al-Qur’an didiktekan langsung oleh Rasulullah secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat. Anak tadi bernama Zaid bin Tsabit.
Al-Qur’an tidak pernah dibukukan secara utuh pada zaman Nabi SAW. Namun ketika Abu Bakar menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al-Qur’an yang berserakan dikumpulkan dan disatukan. Pada mulanya Abu Bakar keberatan menerima usul Umar bin Khattab untuk menghimpun, karena menganggap Nabi SAW tidak pernah melakukan hal itu. Tapi akhirnya menyetujui usul Umar bin Khattab untuk membuat mushaf, Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin kodifikasi dengan dibantu oleh Ubay bin Ka’b, Ali bin Abi Talib, dan Usman bin Affan. Zaid kemudian menyusunnya menjadi satu kumpulan tulisan Al-Qur’an yang rapi yang disebut mushaf. Al-Qur’an itu bahasa Arab, terjemahan harfiahnya “bacaan”. Menurut ahli tafsir, Al-Qur’an memiliki banyak nama, misalnya Kitab Allah atau Alkitab (Q.2:2 dan Q.66:114), al-Furqän (pembeda antara yang benar dan batil, Q.25:1).
Dengan contoh tiga orang tokoh “pejuang perbaikan dan kebenaran peradaban dunia” yang meraih sukses mencapai misinya akibat orasinya ditulis jadi buku dan dibaca pada buku mestinya para pemimpin bangsa Indonesia termasuk dewan legislatif dan pejabat pemerintahan maklum bahwa membaca buku dan menulis buku adalah kiat hidup modern, pelakunya (perorangan maupun kelompok kebangsaan) akan punya daya tahan memerangi kesulitan hidupnya, percaya diri, tidak selalu mengeluh, banyak ilmu pengetahuan diserapnya, banyak akal, mandiri tidak selalu bergantung kepada orang lain, dan menciptakan kemakmuran dirinya maupun bersama. Akibatnya pelaku tidak bodoh dan tidak miskin.
Kalau masih tidak maklum, maka inilah sederet nama (sekedar contoh) yang bukunya berhasil mengubah takdir dan peradaban masyarakat yang membacanya: Napoleon Bonaparte, Karl Marx, Adolf Hitler, Charles Darwin, Dale Carnegie, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Karen Armstrong, Thomas Stamford Raffles, Ranggawarsita, R.A.Kartini, Tan Malaka, Bung Karno, Sutan Syahrir, Himawan Soetanto, Nurcholis Madjid, Mario Teguh, Andrea Hirata. Siapa pun yang membaca bukunya dengan intensif pasti mendapatkan tambahan ilmu, dan dengan tambahan ilmunya tadi dirinya tentu lebih siap menghadapi zaman karena banyak akal dan daya upaya berprakarsa. Takdirnya berubah dari sebelum membaca buku-buku tadi. Tetapi kalau sepanjang hidupnya tidak membaca buku sama sekali, orang akan hidup sebagaimana kodrat-fitrah-alamiahnya. Bodoh. Miskin. Ketinggalan zaman.
Napoleon ketika mau menyerang Rusia mengumpulkan prajuritnya dan berkata, “Hai prajuritku. Empat ratus tahun yang akan datang orang sedang memandang kepada apa yang kamu sedang kerjakan sekarang ini. Oleh karena itu bekerjalah dengan giat!” Di mana 400 tahun kemudian orang memandangi Napoleon dan prajuritnya? Membaca buku narasi tertulisnya. Dinasorus sudah mati punah ribuan tahun yang lalu bisa diteliti keadaannya karena meninggalkan fosil, manusia telah mati 400 tahun yang lalu bisa ditilik kegiatan hidupnya karena meninggalkan tulisan pada buku.
Richard L. Klaessen seorang Belanda ditawan oleh Jepang tahun 1942-1945. Ketika revolusi Surabaya 1945, dia hampir dapat giliran ditembak mati oleh Arek Surabaya, tetapi selamat karena lebih dulu dibebaskan oleh pasukan Malaby. Selanjutnya ketika pasukan Mansergh menduduki Surabaya dan lalu kekuasaannya diberikan kepada pemerintah Belanda (NICA), Klaessen menjadi sopir taksi MTD di Surabaya. Tahun 1947 ketika Belanda menyerbu ke daerah Republik Indonesia, Klaessen ikut menyerbu menggabung pada VDMB (Veiligheids Dienst Marine Brigade). Indonesia merdeka, ia pulang ke Negeri Belanda. Di sana dia pasang iklan, mengharap siapa pun orang Belanda yang hidup di Surabaya 17 Agustus – Desember 1945 harap menulis pengalamannya. Maka datanglah kepadanya surat-surat orang Belanda dari segala penjuru dunia menuliskan pengalamannya ketika di Surabaya, ada yang diketik, ada yang ditulis tangan, ada yang bahasa Belanda, atau bahasa Inggris. Semua itu dikumpulkan dan dilengkapi juga tentang sejarah Surabaya yang diketahui oleh Klaessen, lalu diterbitkan menjadi buku dengan judul Macaber Soerabaja 1945, de werfstraatgevangenis, 1990, dicetak lagi 2004. Tentu saja merupakan buku sejarah Kota Surabaya. Karena diterbitkan tahun 2004, maka para mahasiswa di Negeri Belanda yang sekarang membaca buku tadi tahu benar narasi sejarah 10 November 1945 di Surabaya. Dan ditambah dengan buku berjudul Revolutie in Soerabaja 17 agustus – 1 desember 1945 tulisan W.Meelhuijsen (lahir di Malang 1928, ketika revolusi 1945 tinggal di Brantasstraat 5 Surabaya) maka lengkaplah narasi tentang jalannya revolusi di Surabaya November 1945 menurut versi orang-orang Belanda. Misalnya Meelhuijsen menuliskan bahwa Balai Pemuda Surabaya dijadikan tempat pembunuhan orang Belanda sehingga darah berceceran di sana, dia tuliskan pada bab: De bloedige Maandag (halaman 97). Juga ditulis tentang kebiadaban orang Indonesia yang menembaki iring-iringan truk yang memuat para perempuan dan anak-anak Belanda di Embong Sonokembang, padahal sudah pada disepakati oleh kedua pihak (Inggris-Indonesia) perempuan-perempuan tadi dipindahkan dari Lapangan Jalan Flores (Lombokplein) ke Rumah Sakit Darmo (ada fotonya bangkai truk).
Para anggota DPRD atau penguasa yang sekarang menikmati kemakmuran Surabaya apa mengerti betapa susah-payahnya Arek-arek Surabaya berjuang pada peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diakui sebagai Hari Pahlawan? Peristiwa 10 November 1945 adalah peristiwa sakti, karena merupakan peristiwa yang pertama kalinya bangsa terjajah melawan bersenjata terhadap bangsa yang menjajah, dan akhirnya negaranya berhasil merdeka. Dan peristiwa begitu kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika. Kalau tidak ada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, mungkin Indonesia tidak merdeka (sehingga kemakmurannya tidak bisa dinikmati seperti sekarang), atau merdeka tetapi sebagai hadiah dari Ratu Juliana. Tidak ada saktinya Hari Pahlawan 10 November 1945.
Mengapa peristiwa 10 November 1945 yang sakti itu tidak diketahui narasi kesaktiannya oleh generasi muda calon pemimpin bangsa dan penghuni Surabaya? Karena tidak ada buku yang ditulis tentang peristiwa tadi, dan juga oleh karena bangsa Indonesia tidak punya budaya membaca buku. Sedang bangsa Belanda, bagaimana sengsaranya pun (ditawan oleh Jepang selama perang) mereka bangsa yang berbudaya membaca buku dan menulis buku. Maka ditulislah peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Dan bukunya dibaca oleh orang seluruh dunia. Yang terbaca adalah semacam De bloedige Maandag (Hari Senin yang berdarah-darah). Bukan kesaktian kepahlawanan 10 November 1945. (Bukan hanya dua judul buku itu saja yang ditulis oleh orang Belanda tentang 10 November 1945, tapi banyak lagi oleh penulis yang berlainan, misalnya buku dengan judul Bersiap!; Opstand in het paradijs, tulisan DR.H.TH.Bussemaker terbit 2005). Sedang cara memperingati Hari Pahlawan di Surabaya, antara lain (2004) membuat 1000 tumpeng digelar di Tugu Pahlawan, untuk mencapai catatan pada MURI. Dapat mengingat perjuangan apa dengan begitu?
Sekali lagi contoh: Berbudaya membaca buku dan menulis buku bisa mengubah takdir, nasib, pandangan, karakter, ingatan, berpikir lebih cerdas para pembaca buku dan penulis buku. Membaca buku dan menulis buku bisa mengubah peradaban, bisa mengubah kemiskinan, kemalasan, kebodohan menjadi sehat, giat, cerdas, bermoral baik, mandiri, mengubah struktural peradaban bangsa. Jelas sekali, membaca buku dan menulis buku menjadi kiat-kiat upadaya manusia membangun peradaban yang benar, yang baik, yang bijak, yang berkualitas. Kesesatan mungkin sekali terjadi, kalau manusia tadi TIDAK membaca buku, dan dia akan menjalani hidup seperti kodrat-takdir-fitrah-alamiahnya belaka: Miskin, bodoh, ketinggalan kemajuan teknologi dan perikehidupan modern lainnya, sehingga hidupnya (juga hidup bangsanya) sengsara.
Jadi agar putera bangsa tidak miskin dan tidak bodoh sebagaimana kodrat fitrah-alamiahnya, maka harus dibudayakan membaca buku dan menulis buku.
Di mana membudayakan membaca buku dan menulis buku? Di sekolah, selama 12 tahun, bahkan selama seumur hidup setelah keluar dari 12 tahun sekolah. Jangan diandalkan membudayakan membaca buku dan menulis buku di luar sekolah. Sebab, di rumah, bagi anak-anak yang tidak mampu, lepas sekolah disuruh orangtuanya membantu mencari penghasilan, hari-harinya habis untuk menggelandang mencari nafkah. Sedang bagi orang kaya, biasanya ibu-bapaknya sama-sama bekerja untuk memperkuat ekonomi, atau menyiarkan ilmunya agar bermanfaat, sepanjang hari meninggalkan rumah, anak-anak ditinggalkan bersama pembantu, kerja anak-anak tidak lepas dari menonton TV atau main playstation. Sepanjang bapak-ibunya tidak di rumah, sepanjang itu pula menonton TV. TV adalah guru budaya anak-anak keluarga mampu. Bagi anak-anak keluarga mampu, hidup adalah menonton TV. Kalau dilarang, misalnya disuruh mandi dulu, atau sholat dulu, atau belajar, semua itu ditanggapi sebagai hukuman karena dilarang menonton TV sebagai kenikmatan hidupnya. Menonton TV karena sifatnya diterima secara indrawi, maka apapun yang ditonton dan didengar hanyalah bisa dinikmati pribadi dan pada saat itu saja. Setelah menonton, si anak tidak mendapat apa-apa. Kalaupun ada yang diingat, ya beberapa waktu saja. Persis sama dengan peristiwa Inul goyang ngebor tahun 2003. Tak ada apa-apanya sekarang yang bermanfaat bagi masyarakat penikmat menonton TV. Meskipun kemajuan teknologi telah selalu memperbaiki dan mempermudah tangkapan indrawi melihat dan mendengar (terciptanya foto, radio, film, TV, HP, internet, dll), namun membaca buku dan menulis buku masih tetap menjadi kiat atau sarana hidup modern yang belum terkalahkan saktinya.
Umur sekolah 12 tahun adalah saat dan tempat penggemblengan membudayakan membaca buku dan menulis buku. Karena di situlah anak miskin tidak bergelandangan, anak orang kaya bisa lepas dari nonton TV. Di kelas ada guru, ada buku, ada waktu belajar berjemaah. Kalau ingin putera bangsa mengubah takdir masa depan yang lebih berkualitas, dan tidak hanya menerima apa kodrat-takdir-fitrah-alamiahnya, di saat dan di tempat 12 tahun sekolah dini itulah harus dibudayakan membaca buku dan menulis buku. Jadi, bersekolah awal umur selama 12 tahun adalah sistem membudayakan anak manusia membudayakan membaca buku dan menulis buku, untuk menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik dari pada apa takdir-fitrahnya. Oleh karena itu, putera bangsa jangan dibiarkan melampaui umur 12 tahun sekolah tadi dengan disia-siakan tidak menerima pelatihan dan pembudayakan membaca buku dan menulis buku. Keadaannya sejak Orde Baru hingga sekarang ini, putera bangsa melewati umur sekolah 12 tahun tidak menerima pelajaran membaca buku dan menulis buku secara intensip tandas, giat dan berkelanjutan (tidak masuk kurikulum), maka hasilnya 95% orang dewasa bangsa Indonesia tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku, mereka itu hidup sebagai mana takdir-alamiahnya, yaitu jadi PKL, buruh, tukang di bengkel, germo, pelacur, kehidupan tradisional yang tidak berkualitas.
Padahal, sejak Plato mendirikan akademus 400-an tahun sebelum Masehi, peradaban dunia telah mencatat bahwa membaca buku dan menulis buku adalah instrumen manusia mendapatkan ilmu yang lebih luas dan mendalam, manusia mencatat, mengingat, merekam, mengembangkan peradaban dunia dari purba hingga modern. Maka, kalau bangsa Indonesia tidak punya budaya membaca buku dan menulis buku, mereka tertinggal 25 abad (abad 21 + 4 abad S.M.) dari bangsa-bangsa maju di dunia, alias manusia purba (hidup menurut kodrat-takdir-fitrah-alamiahnya) yang hidup pada Abad XXI. Maklumlah kalau mereka (rakyat Indonesia) 95% hidupnya tradisional, miskin, sengsara, bodoh, gagap teknologi.
Cerita wayang purwa telah mencontohkan, agar Raden Gatutkaca menjadi sakti dengan berotot kawat tulang besi, maka ketika masih bayi diceburkan Kawah Candradimuka dan di situ dicampurkan juga kawat dan besi yang nantinya menjadi kesaktian hidupnya. Maka kalau para mereka yang merasa sanggup dan mampu memimpin bangsa, termasuk para anggota dewan legislatif dan pejabat kota ingin mengubah karakter, peradaban, nasib bangsa menjadi lebih baik daripada takdir-alamiahnya, budayakanlah putera bangsa membaca buku dan menulis buku. Di mana? Pada umur dini 12 tahun di sekolah. Manfaatkanlah sekolah dini 12 tahun sebagai tempat penggemblengan Kawah Candradimuka pembudayaan membaca buku dan menulis buku, seperti halnya Raden Gatutkaca menerima kesaktiannya masa depan diceburi kawat dan besi pada saat masih bayi. Jadikanlah sekolah dini 12 tahun sebagai sistem mutlak pembudayaan putera bangsa membaca buku dan menulis buku.
Saya pada zaman Jepang kelas 5 sekolah rakyat, tiap hari diajari membaca, menulis, menghafal pelajaran bahasa Nippon dengan huruf katakana. Karena tiap hari diajarkan, kami semua hafal betul menulis, membaca dan berucap bahasa Jepang. Di sela pelajaran menulis katakana, kami diberi huruf kanji. Huruf kanji adalah satu arti kata ditulis dengan satu gambar. Untuk menghafal 50 kata Jepang, ya harus hafal 50 gambar huruf kanji. Di kelas 5 kami menghafal 50 huruf kanji. Di kelas 6 ditambah 50 huruf kanji lagi. Andaikata sampai mahasiswa, tentulah kami hafal 2000 huruf kanji, maka kami bisa membaca buku atau koran bahasa Jepang. Sebab yang ditulis dalam buku maupun koran, bukan huruf katakana, melainkan huruf kanji. Jadi, kalau tidak dicicil sejak sekolah rakyat 6 tahun, SMP 3 tahun, SMT 3 tahun diajari membaca dan menulis huruf kanji, sangat musykil setelah jadi mahasiswa sekonyong-konyong hafal 2000 huruf kanji, lalu bisa membaca buku dan menulis buku huruf kanji.
Andaikata, kalau kurikulum sekolah dini 12 tahun Indonesia sekarang diterapkan di Jepang, yaitu pada usia sekolah 12 tahun anak-anak bangsa Jepang tidak (dicicil) dibudayakan membaca buku dan menulis buku huruf kanji, pastilah 10 tahun kemudian bangsa Jepang akan sama bodohnya dengan bangsa Indonesia. Yaitu tidak bisa membaca buku dan menulis buku atau koran, seperti halnya manusia purba yang hidup di zaman teknologi modern. Berkutat menjadi bangsa paria
*
PS.
Essay di atas orisinal garapan saya. Dan saya tulis khusus untuk Lomba Menulis Essay: SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT yang diselenggarakan oleh Charles98 (Februari 2009). Belum pernah saya publikasikan.
Pengirim:
Suparto Brata
Jl. Rungkut Asri III/12
Perum. YKP RL-I-C 17
Surabaya 60293
Telepon: (031)8702759.
Selamat dan Salut dengan kemenangan Pak Brata, memang bangsa Indonesia sangat kurang memahami budaya membaca, seperti saya sering sekali melihat ditempat umum, baik itu di stasiun bis , didalam bis , di peron atau dikereta api, antri diapotik atau dilapangan terbang untuk nunggu pesawat, hampir semuanya mengerjakan hal2 yang sama: ngobrol atau omong2 dengan orang yang duduk didekatnya atau keluarga, nonton tv seolah olah tv itu ada magnitnya, kalau tidak termenung sambil menikmati orang lalu lalang atau njajan walaupun jam diluar makan.
Ditoko buku juga sangat jarang bisa memperoleh buku2 ‘lawas’ , yang diterbitkan hanya yang lagi trend saja, sehingga bagi saya pribadi untuk mendapatkan buku2 misalnya tahun2 1960, tidak akan dapat, kecuali kalau blusukan ketoko buku ‘tweedehand’.. sangat berbeda dengan keadaan di Italy, misalnya roman yang dikarang oleh Moravia yang berjudul Ciocara yaitu cerita yang terjadi di Roma pada saat jaman perang 1945, sampai detik ini masih bisa dibeli ditoko buku terkenal, yang berbeda dan diperbarui hanya gambar sampul, jadi generasi muda masih terus dapat membaca dan membayangkan apa yang terjadi saat itu juga dapat membuat perbandingan kehidupan jaman sekarang dan jaman ‘kala itu’.
Sekali lagi selamat pak Brata..bravo..!!
salam
Lily
Bergamo Italy
terima kasih pak atas kiriman bukunya, saya senang sekali. sudah saya baca tetapi belum selesai, saya benar2 mengagumi karya bapak, karena sungguh luar biasa. apalagi buku terbaru bapak, berkaitan dg detektip, sungguh membuat penasaran membacanya. saya ingin segera menulis resensi buku tersebut, dan akan saya ajarkan di sekolah untuk siswa/i SMA.
sekali lagi, terima kasih.