Penjaga Ingatan Melawan Lupa
“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa”.
Kalimat lugas itu diucapkan tokoh Mirek dalam novel kontroversial The Book of Laughter and Forgetting yang ditulis Milan Kundera, seorang novelis, buruh, dan musisi jazz asal Ceko. Kundera juga menulis pembantaian berdarah di Bangladesh dengan cepat menutupi kenangan akan invasi Rusia atas Ceko, pembunuhan Allende mengurangi rintihan Bangladesh, perang di Padang Pasir Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian bangsa Kamboja membuat orang melupakan Sinai, dan seterusnya dan seterusnya, hingga akhirnya setiap orang membiarkan segala sesuatunya terlupakan.
Peristiwa yang datang sambit-menyambit di negeri kita menjadi arena bagaimana pelupaan itu terjadi. Kenaikan BBM yang menyulut demonstrasi di mana-mana mendadak surut karena kasus FPI beringas di Monas. Peristiwa suap anggota DPR dan pejabat Bank
Demikianlah, seheboh apa pun peristiwa akan segera terlupakan oleh peristiwa lain yang lebih baru dan lebih gegantik. Bagi para pemegang kuasa, teori lupa akan menjadi senjata paling ampuh untuk mengalihkan perhatian publik, sepenting dan seserius apa pun persoalannya. Mereka bukan saja memanfaatkan naluri hasrat ingin tahu yang ada pada setiap orang, tetapi juga memanfaatkan kelemahan dasar manusia, yakni cepat melupakan.
Dan cara melawan manusia akut yang dimanfaatkan mesin kekuasaan politik dan ekonomi itu adalah dengan belajar kepada para penulis dan begawan. Di setiap bangsa, di tiap-tiap
Kita menyebut tiga begawan buku yang terus berupaya melawan lupa, mereka inilah laskar-laskar terakhir yang menjadi penjaga-penjaga ingatan dengan caranya sendiri-sendiri.
Adalah Oei Hiem Hwie, 76, mencoba merekam setiap detail peristiwa hari demi hari dengan cara mengkliping dan mengoleksi semua produk teks (koran, majalah, buku, brosur) yang datang dari mana pun. Perpustakaan yang dikelolanya, Medayu Agung, adalah monumen ingatan yang barangkali tak dimiliki oleh perpustakaan mana pun di
Laku sebagai kolektor teks dan pengkliping yang dirintis Pak Oei datang dari tradisi muda saat menjadi wartawan di harian Trompet Masjarakat. Hobi itu akhirnya terhenti saat gempa politik G30S meletus dan ia dijebloskan ke Pulau Buru karena kedudukannya sebagai sekretaris Badan Persaudaraan Kewarga-negaraan
Pak Oei adalah sosok pencinta buku. Baginya buku adalah artefek ingatan. Kegiatannya terhadap artefek itu tiada lain adalah usahanya merawat ingatan agar generasi muda
Tak jauh dari kediaman Pak Oei, ada begawan sastra yang dengan tekun menulis dalam bahasa Jawa dan
Suparto Brata bercita-cita ingin menduniakan sastra Jawa dan menciptakan perdamaian dunia melalui karya-karya novelnya. Maka, tak bosan-bosan ia menulis dengan disiplin laiknya seorang laskar budaya terakhir. Mbah Parto hingga kini memiliki jadwal menulis teratur mulai pukul 04.00 subuh hingga 09.00. Rutin setiap hari. Dengan disiplin itu ia telah menghasilkan 130 buku hingga kini. Walau sudah uzur, Mbah Parto juga tak gaptek-gaptek amat. Sosok yang rendah hati ini juga menjajal tradisi anak-anak muda sekarang dengan ngeblog. Tak tanggung-tanggung, Mbah Parto mempunyai dua blog sekaligus, www.supartobrata.com dan www.supartobrata.blogspot.com.
Seorang lagi begawan penjaga ingatan di Suirabaya yang patut dicatat adalah Budi Darma. Sastrawan, akademisi, peraih Sea Write Award, Anugerah Akademi Jakarta, dan Anugerah Ahmad Bakrie ini juga tak pernah berhenti keliling dunia. Posisinya sebagai guru besar dan salah satu sosok penting di lembaga kebudayaan MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) membawanya pada sebuah kerja mulia: membimbing cerpenis dan esais muda berbakat dari
Diana A.V. Sasa, ketua Forum Nusantara Madani,
Tinggal di Surabaya.
Dikutip dari:
Jawa Pos, Minggu 24 Agustus 2008.
Halaman 6 BUKU, Di Balik Buku.