Resensi Novel-novel Jawa Suparto Brata
I
Nona Sekretaris.
Gadis Sragen yang sukses menempuh hidup di Kota Metropolitan
Oleh: Dra Sriyanti, M.Si
“Begini. Bikinkan surat jawaban untuk Holiday on Ice ini. Katakan bahwa fasilitas gedong untuk ice skating di Surabaya tidak ada. Jadi tidak mungkin main pentas di sana. Ini suratnya dan alamatnya di Amerika.”
Sirtu terima surat itu, lalu keluar. Limabelas menit kemudian Sirtu kembali memberikan surat garapan jawabannya sudah diketik bagus.
“Heh? Sudah selesai? Wah, hebat! Hebat! Belajar di mana kamu berkorespondensi bahasa Inggris?” Baharudin menyodorkan tangannya memberi salam kepada Sirtu. Digenggam erat-erat, digoncang-goncangkan….(halaman 29).
Begitulah salah satu gambaran kehebatan Sirtu Mekarndalu. Siapa Sirtu itu? Tidak lain ya peragatama atau nona sekretaris pada novel Suparto Brata yang berjudul Nona Sekretaris. Lalu sekolahnya apa dan gadis dari kota dan keluarga yang bagaimana kok bisa hebat dan gesit seperti tadi? Bukan sarjana, hanya lulusan SMA ditambah kursus-kursus, misalnya mengetik, steno, tata buku dan bahasa Inggris. Dari keluarga biasa, ibunya seorang guru dan almarhum ayahnya seorang pengarang. Asalnya juga dari kota kecil di kawasan provinsi Jawa Tengah, Sragen.
Dari judulnya novel ini sudah kelihatan jelas, meskipun menggunakan bahasa Jawa tetapi bukan cerita roman klasik yang menceritakan lelakon gadis yang lagi kena asmara dengan pria muda di daerah pedesaan yang indah, tetapi cerita kehidupan modern yang ikut kemajuan teknologi.
Perihal mengamat cerita, nama Suparto Brata sudah jadi trademark atau jaminan mutu. Artinya meskipun ini hanya cerita rekaan atau crita fiksi tidak digarap serampangan. Misalnya akan menceritakan tentang bepergian pada suatu tempat, bagaimana caranya pada waktu itu, harus lewat mana, naik kendaraan apa, semua diceritakan secara komplit. Begitu pula mengenai suatu profesi, apa itu sekretaris, direktur, penari, koreografer atau malah bagian pemasaran atau mengiklankannya, semua diceritakan dengan profesional, sehingga profesi-profesi yang dilakukan para peraganya tidak hanya terkesan seperti “tempelan”.
Salah satu ciri khasnya Bapa Suparto Brata yang selalu saya kagumi yaitu caranya memilih nama untuk peraga-peraga dalam ceritanya. Tentu unik. Misalnya peragatamanya cerita ini, Sirtu Mekarndalu. Meskipun tidak lumrah, tetapi terasa indah dan beda, sehingga gampang diingat. Barangkali ini “kiatnya” pengarang untuk menarik perhatian para pembaca terhadap tokoh sentralnya. Tetapi juga tidak aneh, sebab bapak Si Sirtu juga seorang pengarang, makanya pandai cari nama yang indah. Dari kata mekarndalu, barangkali ‘sirtu’ itu nama sejenis kembang(?). Itu barangkali juga salah satunya cara untuk melestarikan bahasa Jawa dengan cara menamakan para putra migunakan bahasa Jawa, tetap terdengar ‘keren’ dan indah meskipun tidak ‘kebarat-baratan’ seperti selebritis.
Dipandang dari alur ceritanya juga gampang dimengerti, sebab diceritakan runtut dengan alur maju, meskipun pada baberapa bagian terdapat juga ‘fash back’ untuk melengkapi keperluan cerita.
Menyemak lelakon Sirtu Mekarndalu pada novel Nona Sekretaris, oleh pengarang kita diajak mengamati kehidupan kota besar Jakarta, utamanya pada dunia panggung hiburan yang bersemarak gebyar-gebyar suka-ria, tetapi juga penuh tipu-curang yang bisa menjerumuskan orang masuk jurang kesengsaraan. Seting cerita novel ini kejadian tahun 1984-an, jadi memang belum ada TV swasta di Indonesia yang tiap hari menyuguhkan dunia gembira selebritis lewat sinetron, infoteinmen, iklan dan lomba-lomba yang tujuannya memburu popularitas dan mencari kekayaan dengan gampang. Meskipun begitu, dunia hiburan juga sudah semarak di masyarakat, mulai dari yang tradisional seperti ketoprak dan wayang orang, juga yang modern seperti grup tari (dance) atau sandiwara-sandiwara yang sering-sering berpentas panggung di gedung-gedung kota besar dengan pendanaan yang besar pula.
Sirtu Mekarndalu, meskipun Dianugerahi wajah cantik, tubuh yang menggairahkan, apalagi di kampungnya sudah didekati oleh pegawai negeri Drs. Pambudi, tetapi tidak puas dengan keadaannya. Punya cita-cita yang lebih tinggi. Seperti Kartini pada zamannya, Sirtu mencoba mengubah jalan hidupnya dengan berkarya. Ia pergi ke Jakarta. Tetapi bukan hanya bermodal wajah cantik dan nekad pergi asal sampai Jakarta saja. Ke Jakarta Sirtu berbekal keterampilan seperti yang terceritakan tadi. Yang dituju sudah jelas, ke kantor Biro Jasa Kartika, suatu biro penyalur tenaga kerja yang alamatnya dibaca di iklan suatu suratkabar Jakarta yang beredar sampai di Sragen. Meskipun akhirnya jadi sekretaris pada Biro Pentas Artis, suatu event organizer, Sirtu tetap profesional, tidak terpengaruh dengan hura-hura dunia panggung hiburan.
Saya jadi ingat ketika buka-buka situs di internet mengenai Bapa Suparto Brata. Saya menemukan suatu blog (Vavai.mht) yang menulis begini:
“Bagi wanita, bacalah buku-buku Pak Suparto Brata dan dapatkan semangat wanita yang ulet berwawasan luas. Wanita mandiri yang berpendidikan, bekerja, berkeluarga, dan bertindak tanduk halus, tidak meninggalkan sifat khas dan sopan santun keluarga.”
Kelihatannya penulis blog ini (menggunakan nama: Muhamad Rivai Andargini) sudah banyak membaca karya Bapa Suparto Brata, sehingga bisa punya wawasan dan ajakan seperti itu. Liwat tokoh Sirtu ini saja, saya percaya bahwa ajakan Mas Rivai tadi tidak ‘berlebihan’. Bapa Suparto Brata benar-benar beri tauladan bagi kaum wanita lewat peraga ini.
Konflik yang diangkat pada novel ini sebenarnya konflik yang biasa terjadi di tengah panggung hiburan, yaitu ‘persaingan’ berebut menjadi tenar, juga ‘persaingan’ berebut asmara. Kehidupan panggung dan biro yang mementaskan digambarkan dengan gamblang hingga para pembaca seakan-akan ikut menyaksikan sendiri bagaimana latihan pentas, dan panasnya swasana rapat yang merundingkan persiapan-persiapan untuk menggelar pementasan besar. Begitu juga ketika mengisahkan tempat-tempat terjadinya cerita, rinci digambarkan bagaimana keadaannya. Misalnya ketika Bathara membawa Sirtu datang bertemu ayahnya di Nite Club. Bagaimana waktu dansah dan tatacara orang masuk ke Nite Club. Membuat cerita ini ‘hidup’. Tidak hanya asal rekaan atau fiksi. Suasana atau tingkah laku di alam nyata yang terjadi waktu itu (misalnya perang Libanon, atau adegan Miss Piggi dan Kermit pada Muppet Show yang disiarkan di TVRI waktu itu) ikut menyumbangkan suasana kekinian sehingga cerita kehidupan Sirtu seperti benar-benar terjadi. Cara menggambarkan para peraganya, upamanya artis-artis panggung seperti Normasari, Puspita Dewi, Kuntum, Ratih dan lain-lainnya sepertinya pas dengan perannya masing-masing. Tiap peraga punya ciri badan dan karakternya sendiri-sendiri sehingga pembaca mengenal betul para artis tadi orang demi orang. Peraga Julaehaque juga mewujudkan peraga wanita yang membawa ‘misi tersendiri’ dalam novel ini. Dia ini bocah yatim piatu, dengan tekad yang kuat berhasil sukses menjalani kehidupan yang keras di Jakarta, meskipun tidak bisa lepas dari pengaruh dunia panggung.
Yang perlu disemak pada cerita ini barangkali khusus ceritanya Kota Sragen tempat daerah asalnya Sirtu. Di cerita ini banyak disebutkan nama-nama tempat yang di Kota Sragen sekarang barangkali sudah tidak dikenali lagi. Gedong bioskop Garuda misalnya, sekarang sudah jadi kompleks pertokoan karena pernah terbakar habis. Atau Pasar Kuwungsari (saya hingga tanya pada Bapakku yang asli priyayi Sragen, di mana letaknya pasar tadi). Begitu juga ketika menceritakan keadaan kota melalui peraga Ugrasamsi…., “Tahun berapa kira-kira kota ini dibangun?” (halaman 209). Lalu Sirtu memaparkan apa sebab Kota Sragen tidak punya bangunan-bangunan kuna, sehingga seakan-akan Sragen tadi suatu kota baru yang usianya belum genap limapuluh tahunan (halaman 210). Ternyata meskipun hanya cerita rekaan atau fiksi tetapi bisa diselipi sejarah, atau peristiwa yang benar-bvenar pernah terjadi. Selain dapat menghidupkan cerita juga meluaskan wawasan para pembaca mengenai suatu tempat. Seandainya pelajaran-pelajaran di sekolah yang dianggap sukar juga bisa dibuat seperti karya sastera yang enak dibaca tidak harus tekun berpikir begitu barangkali anak-anak Indonesia lebih gampang menerima pelajaran, dengan hati senang dan tidak terpaksa. Dan pelajaran tadi tidak gampang dilupakannya. Mungkin saja, lho, contohnya seorang guru Fisika di Sulawesi Selatan yang namanya Arizenjaya bisa mengajari Fisika yang sukar kepada murid-muridnya dengan cara yang menyenangkan, yaitu membuat laporan atau rumus-rumus dengan gaya yang menyenangkan, misalnya puisi, seperti bermain-main tetapi serius (pernah disiarkan MetroTV pada acara Kick’s Andy). Ini merupakan tantangan bagi para bapak dan ibu guru.
Yang agak terlalu ideal memang tokoh Sirtu. Kok gampang sekali, seorang gadis dari kota kecil, baru datang sehari di Jakarta lalu telah dapat pekerjaan. Dan langsung jadi peraga penting di kantor impresario. Meskipun bukan perusahaan besar. Begitu juga ketika menghadapi lamaran Bathara Nainggolan yang bisa dijadikan Sirtu bagaikan ‘Cinderela’. Agak sukar terjadi pada zaman nyata sekarang. Tetapi kalau ingin dengan niatan untuk merasakan ‘keadilan’, seharusnya yang ideal terjadi dalam hidup nyata ini ya harus seperti cerita idealnya Bapa Suparto Brata ini. Seseorang itu harus dihargai bukan karena wujud keadaan jasmaninya dan sertifikat keterangan dirinya (ijazah) tetapi dari tindak-tanduknya, kepandaiannya menyelaraskan suasana dan keterampilan menguasai teknologi pada zaman yang berlaku. Menjadi teladan para wanita yang terjun pada dunia kehidupan.
Konflik tentang asmara juga digarap agak luas. Meskipun terpaksa dibumbui ungkapan yang agak ‘vulgar’, tetapi mengingat ini cerita dunia panggung barangkali masih bisa dimaklumi. Yang agak menggelitik adalah adegan Sirtu dengan Ugrasamsi pada halaman 111 yang selanjutnya dipaparkan di cerita-cerita selanjutnya. Entahlah ini pesan pengarang untuk ‘membela’ kaum pria atau malah pesan agar kaum pria meskipun seorang ‘bajul buntung’, tetapi menghadapi wanita yang masih bersih harus tetap menghormati, bukannya malah merusak seperti sikap pria-pria yang punya uang dan kekuasaan zaman sekarang.
Nah, bagaimana lelakon Sirtu seutuhnya? Ada Drs. Pambudi, Bathara Nainggolan anak konglomerat yang sudah tersebar di koran sebagai tunangan Sirtu, Ugrasamsi dan barangkali ada peraga yang muncul kemudian? Siapa yang akan jadi jodohnya? Bagaimana selanjutnya profesinya sebagai sekretaris? Betapa ramainya ‘persaingan’ antara Normasari, Kuntum apa Julaehaque di dunia panggung? Lalu apa Drs. Pambudi diam saja ketika Sirtu pergi dari Sragen lari ke Jakarta untuk menjadi sekretaris? Tentu tidak seru kalau tidak membaca sendiri bukunya. Begitulah kira-kira bayang-bayang mengenai novel Nona Sekretaris karangan Bapa Suparto Brata. Semoga dengan novel berbahasa Jawa tetapi mengangkat tema-tema cerita pada kehidupan modern seperti ini bisa menambah daya tarik cerita bahasa Jawa, juga semoga bisa menarik perhatian para muda Jawa agar lebih suka membaca cerita bahasa Jawa, sehingga sastera Jawa tidak jadi tamu di rumah sendiri. Kurang-lebihnya begitulah keinginan saya. Kalau ada yang kurang berkenan mohon dimaafkan.
(Tertumpang Selamat Hari Ulang Tahun ke 79 kepada Bapa Suparto Brata tanggal 27 Februari 2011. Semoga Allah selalu memberkahi kesehatan, panjang usia, semangat menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi. Amin).
Dikutip dari: Majalah Panjebar Semangat Surabaya, No.14, 2 April 2011.
Diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia.
II.
PAWÈSTRI TANPA IDHÈNTITI
Konvensi Detektif Pada Novel Bisnis Keluarga.
Oleh Dra Sriwidati
Tiap tahun akhir-akhir ini Suparto Brata dengan ajeg menerbitkan buku-buku karyanya berbahasa Jawa, biasanya berwujud roman atau novel. Ada yang diterbitkan ulang dari novel yang pernah terbit atau dimuat sebagai cerita sambung di majalah bahasa Jawa, dan ada yang karya ciptaan baru. Menurut beliau, menulis dan menerbitkan jadi buku begitu sebab buku merupakan harta warisan bangsa/dunia yang begitu berharga tak ada tandingannya. Sebab buku dapat memberi pelajaran berkreativitas, inovasi, menggambarkan berubahan zaman kepada masyarakat, dan menggairahkan dunia kesusastraan Jawa agar bisa berkembang sebagaimana laiknya sastra dunia.
Tahun 2010 yang baru lalu, Suparto Brata menerbitkan buku bahasa Jawa 5 judul, semua berupa roman atau novel. Yaitu Cintrong Paju-Pat (pernah dimuat sebagai cerita sambung di Panjebar Semangat, 2006), Nona Sekretaris (selesai ditulis tahun 1983-1984), ‘t Spookhuis (cerita bersambung Panjebar Semangat Februari-April 1991), Riwayat Madege Propinsi Jawa Timur, Lelabuhane Gubernur Jawa Timur I R.M.T.A.Suryo (terbit pertama 2010), dan Pawèstri Tanpa Idhèntiti (selesai ditulis Agustus 2009, terbit tahun 2010).
Dari 5 novel tadi, novel Pawèstri Tanpa Idhèntiti menarik perhatianku. Ada beberapa hal yang menonjol yang pantas dicatat. Pertama, salain karya baru (ditulis 2009) juga objek yang digarap sangat jarang digarap oleh para penulis novel Jawa. Yaitu bab perusahaan dagang besar, khususnya di novel ini perusahaan dagang daging sapi beku yang diimport dari Australia. Perusahaan dagang daging beku dengan nama PT. Frozenmeat Raya itu milik Panuluh Barata dan almarhumah Pandora (isterinya). Berkantor pusat di Jalan Jatiwaringin Jakarta Timur, yang sekalian jadi rumah keluarga.
Kedua, jika diperhatikan sejak membaca dari judulnya, “…. Tanpa Idhèntiti” hingga selesai membaca ceritanya, banyak terdapat tanda-tanda misteri dan usaha melacak misteri, seperti jika kita membaca cerita detektif, atau cerita melacak misteri. Sedang yang ketiga, novel PTI menggarap aspek-aspek feminisme, khususnya perhatian pengarang kepada kesetaraan gender. Dengan mengangkat derajat Pawèstri, peraga perempuan yang ditemu di hotel dan dituduh sebagai pelacur, khususnya oleh Pangèstu dan dianggap mencoreng kehormatan keluarga Panuluh-Pandora. Pawèstri juga dicurigai akan merebut harta kekayaan keluarga Panuluh-Pandora. Tetapi tuduhan tadi tidak benar. Peraga Pawèstri oleh penciptanya dikisahkan tidak hanya cantik wajahnya, tapi juga cantik hatinya. Juga cekatan dan giat bekerja, pandai, terampil berbisnis, dan ramah-tamah kepada siapa saja. Pendeknya, lewat perilaku Pawèstri, Suparto Brata menolak anggapan masyarakat bahwa wanita itu makhluk yang bodoh, pemalas, dan hanya suarga nunut neraka katut. Lewat peraga Pandora (almarhumah) dan Pawèstri Suparto Brata juga menampik tuduhan masyarakat bahwa posisi-sosial wanita (Jawa) yang steriotipe, yaitu yang disebut Kanca Wingking (hanya ban serep dari keluarga).
PTI novel bisnis yang kompleks.
Seperti tersebut di atas, mengamati novel PTI tanda yang terlihat pertama adalah para peraga yang punya profesi bisnis yang sama, perusahaan dagang daging beku. Mereka adalah Panuluh Barata sebagai Direktur PT Frozenmeat Raya, Victor Holiday, Direktur PT Meatcorp Inc. Lalu ada peraga wanita yang tanpa identitas (Pawèstri). Ada pula Dokter Rajiman teman Panuluh Barata, yang dalam cerita ini juga tidak lepas dari usaha bisnis daging beku. Munculnya peraga wanita tanpa identitas di Hotel Batavia Inn (Pawèstri) merupakan misteri yang tidak dimengerti oleh siapa saja. Misteri yang melekat pada diri pribadi Pawèstri itu terus meliputi sepanjang cerita novel PTI.
Di dunia sastra Jawa periode pascakamardikan, novel PTI merupakan novel Jawa yang pertama kali berbicara mengenai bisnis, yaitu bisnis daging beku yang diimport dari Australia. Novel ini mengingatkan kita kepada suatu novel zaman sebelum merdeka, yaitu novel Gawaning Wewatekan I dan II (GW I, II, 1928), terbitan Balai Pustaka, karangan Koesoemadigda. Novel GW I dan II adalah salah satu conto novel Jawa periode prakamardikan yang menceritakan: Jadi pegawai negeri itu bukan satu-satunya pekerjaan yang adiluhur. Banyak pekerjaan luhur lainnya yang juga halal, misalnya berdagang. Pada novel ini pengarang (Koesoemadigda) menyarankan para pemuda Jawa lulusan sekolah formal Belanda jangan malu tidak jadi pegawai negeri. Para muda harus berani bekerja di bidang lain, yang juga halal dan bisa mendatangkan rezeki dan menaikkan derajat. Misalnya bisnis dagang. Lewat para peragatamanya yang punya wawasan luas dan niat yang tangguh, pada novel GW I, II, Koesoemadigda menunjukkan kepada para pembacanya agar tidak menganggap bahwa pegawai negeri itu suatu pekerjaan yang paling tinggi tanpa tanding kedudukannya. Sebaliknya, perlu diketahui bahwa berdagang juga bukan pekerjaan yang hina. Buktinya pekerjaan dagang banyak dilakukan oleh bangsa Cina dan Arab (lihat juga novel Jawa Tan Loen Tik lan Tan Loen Chong, Ayu Ingkang Siyal, dan novel Pameleh). Seyogyanya bakat dagang juga harus dimiliki oleh bangsa Jawa seperti halnya yang diceritakan pada novel Gawaning Wewatekan I, II, tadi.
Hingga pada periode kemerdekaan ini, profesi dagang masih tetap jarang digarap oleh novelis Jawa. Padahal pada zaman sekarang sudah banyak sekali orang Jawa yang sukses melakukan pekerjaan bisnis dagang besar. Oleh karenanya, sepantasnyalah kalau novel Pawèstri Tanpa Idhèntiti (PTI, tahun 2010) karya Suparto Brata ini disebut novel pioneer (perintis), atau yang pertama kalinya berbicara bab bisnis dagang besar yang dilakukan oleh orang Jawa, yaitu Panuluh Barata. Novel tadi tebalnya 392 halaman, dengan ukuran buku kwarto. Sesuai dengan majunya zaman, bisnis yang dilakukan oleh keluarga Panuluh Barata tadi bisnis daging sapi beku yang diimport dari PT Meatcrop Inc di Perth, Australia. Tetapi yang paling menarik perhatian bagi para pembaca novel ini, cara menguraikan cerita alur dasarnya hal bisnis daging diokulasi dengan alur pelacakan misteri, dan konsep feminisme sehingga merupakan suatu novel bisnis daging beku yang wutuh dan indah, lagi “njawani” (bernada kejawaan).
Alur dasar (alur inti/alur primer) novel PTI ini sebenarnya hal dinamika cara berbisnis daging sapi beku yang diimport dari Australia, milik Panuluh Barata-Pandora. Tetapi, pada cerita dasar ini juga diceritakan penelusuran suatu misteri yang menempel pada diri seorang Pawèstri, sehingga ada suatu garis merah yang digarap secara lumayan jelas seperti alur cerita detektif. Suparto Brata memang terampil menulis cerita detektif bahasa Jawa pada tahun 1960-an, misalnya yang berjudul Tanpa Tlatjak, Trètès Tintrim, Garudha Putih, Pethité Nyai Blorong dan Jaring Kalamangga. Beberapa novelnya telah diterbitkan jadi buku ukuran saku (pocket book) yang termasuk jenis panglipur wuyung (penghibur hati), populer pada tahun-tahun 1960-1970-an. Sebagian dari cerita detektif Suparto Brata tadi ada yang dicetak ulang, misalnya Emprit Abuntut Bedhug, Garudha Putih, dan Jaring Kalamangga. Cerita detektif memang salah satu subgenre fiksi yang mengemukakan teknik alur yang memukau, yaitu padat (tidak banyak digresi), sehingga menimbulkan efek yang disebut renggep, yaitu menimbulkan tegangan (suspense). Dengan begitu para pembaca ikut greget para peraga melacak misteri atau laku kriminalitasnya.
Ciri cerita detektif biasanya dimulai dengan adanya kurban, atau peristiwa yang misterius, seperti halnya novel PTI ini. Lalu muncul konflik yang berhubungan dengan misteri. Dan ada peraga yang mulai melacak misteri (dinamakan detektif). Biasanya, detektif yang muncul pada cerita detektif adalah detektif palsu atau gadungan. Pada novel PTI, peraga tadi adalah Pangèstu, dibantu beberapa temannya, sudah kentara sejak awal cerita jadi detektif (melakukan penyelidikan). Pangèstu menuduh ayahnya (Panuluh Barata) agar mengaku telah bercintaan dengan Pawèstri di hotel. Tidak mungkin tidak melakukan begitu, kalau pulang dari hotel membawa Pawèstri ke Rumah Sakit, apalagi malah dibawa pulang dan jadi penghuni rumah keluarga selanjutnya. Pada cerita lanjutnya Pangèstu minta agar Pawèstri mengakui dia bukan keluarga Panuluh, dan tidak bermaksud merebut harta Panuluh. Oleh karenanya bahkan Pangèstu mengusir perempuan itu beserta anaknya dari rumah Jatiwaringin, serta melepaskan semua pangkat dan hak pemilikan harta keluarga Panuluh-Pandora. Tetapi semua tuduhan kepada ayahnya sudah ditolak oleh Panuluh Barata sendiri dengan berani membuat surat perjanjian yang dikukuhkan materai Rp 6.000,00, dan disaksikan notaris. Peran Pangèstu sebagai ‘detektif gadungan’ seperti itu adalah untuk mengobarkan suasana. Alur cerita seperti itu membuat ketegangan (suspense). Memang bukan tugas detektif palsu (Pangèstu) untuk membongkar rahasia atau misteri. Selanjutnya, pada proses melacak misteri atau kejahatan tadi pasti ada clue (penuduh/penuntun) dan alibi (peristiwa lain yang terhindar dari dakwaan, bahwa dakwaan itu tidak benar), yang disertakan dalam alur cerita sehingga cerita menjadi tegang, dan mencapai puncaknya (klimaks).
Alur dasar novel PTI ini menceritakan keluarga Panuluh Barata melakukan bisnis daging beku yang diimport dari Australia. Cerita dimulai dari rapat bisnis di Hotel Batavia Inn, Jatinegara Januari 2007. Rapat tadi paling penting menyepakati kontrak import daging beku dari Australia. Kontrak harus ditandatangani oleh Panuluh Barata pihak yang memesan daging dan Victor Holiday pihak yang menjual daging. Victor Holiday adalah direktur eksportir daging beku di Perth, Australia. Buntut rapat bisnis tadi, Panuluh terpaksa menolong mitra usahanya dari Australia tatkala ada gropyokan polisi di hotel. Ternyata di kamar Victor Holiday kedapatan seorang perempuan. Panuluh harus menolong agar mitra usahanya tadi terhindar dari gropyokan polisi. Perempuan tadi syok tak berdaya, kehilangan ingatan. Ditolong oleh Panuluh menghindar dari penangkapan polisi, perempuan tak berdaya tadi dibawa ke rumah sakit oleh Panuluh Barata. Karena tak sadarkan diri dan tidak diketahui namanya perempuan tadi dinamai Pawèstri oleh Panuluh. Dan selanjutnya bahkan dibawa pulang ke rumah Panuluh, dan tinggal bersamanya.
Bisnis daging beku yang dilakukan Panuluh Barata adalah PT Frozenmeat Raya yang pusatnya di Jatiwaringin. Punya cabang di Depok dikelola oleh Pangèstu, putera Panuluh. Selanjutnya alur dasar ceritanya tentang bagaimana usaha bisnis daging beku tadi di Jatiwaringin, diusahakan oleh peragatama Panuluh Barata. Di kantor dibantu oleh Kuncahya (menantu), di rumah dilayani oleh Srigadhing (pramuwisma). Di RS Waluyajati Bekasi Pawèstri menderita amnesia, tidak bisa ingat hari-hari yang dilewati. Tidak ada peraga yang bisa menyembuhkan ingatan Pawèstri kepada sejarah dan jatidirinya, termasuk dokter di RS Waluyajati di Bekasi, yaitu Dokter Rajiman dan Dokter Nining. Ya tinggal amnesianya saja penyakitnya yang belum disembuhkan. Keadaan fisik dan pikirannya sudah sembuh prima. Karenanya dia harus keluar dari rumah sakit. Diboyong oleh Panuluh ke rumahnya dan kantornya di Jatiwaringin, disembuhkan dengan berobat jalan.
Ceritanya jadi ricuh ketika Pawèstri yang baru sembuh tadi di rumah Jatiwaringin ditempatkan di bilik besar, bilik yang dulu ditempati oleh Panuluh serta Pandora.
Tetap menderita amnesia Pawèstri dengan cepat adaptasi dengan keadaan baru seputarnya. Dan mulai belajar mengenai siapa dirinya (yang baru), berhubungan dengan orang-orang sekitarnya. Demi sedikit Pawèstri mulai belajar hal-hal baru yang belum pernah dimengerti. Dia memang tidak ingat lagi dengan apa yang telah dialami masa lalu. Yang diingat hanya masa kini dia adalah seorang perempuan bernama Pawèstri, hidup di keluarga bisnis daging beku di kantor pusat Jatiwaringin.
Semua peraga di Jatiwaringin mengakui bahwa Pawèstri adalah seorang perempuan yang suka belajar. Dengan cepat dia terampil menggunakan komputer, dan IT. Juga belajar mengemudi mobil, serta ikut belajar bisnis daging beku. Bahkan dapat memberi ide-ide untuk mengembangkan bisnis dagang Panuluh. Melaksanakan inisiatif Pawèstri perusahaan dagang daging beku PT Frozenmeat Raya kian maju berkembang. Diakui oleh para pemilik saham bahwa Pawèstri adalah seorang superwoman yang memiliki kepandaian luar biasa hebat. Tidak mudah patah semangat. Ketika Panuluh tidak mengakui sebagai bapak dari calon bayi yang dikandung, Pawèstri bisa menerima keadaan itu. Pawèstri memelihara anaknya, Damaree Pararatu (Rere) dengan baik. Pekerti Pawèstri sebenarnya sudah merupakan alibi yang menolak dakwaan Pangèstu, bahwa Pawèstri bukan wanita tuna susila. Tetapi bagi Pangèstu, segala perbuatan Pawèstri malah memantapkan tuduhannya yaitu bahwa perempuan itu bersiasat dengan cara halus untuk merampok harta benda keluarga Panuluh Barata-Pandora.
Klimaks alur novel PTI terjadi ketika Panuluh Barata meninggal dunia tiba-tiba. Bagi Pangèstu, meninggalnya bapaknya (Panuluh Barata) bahkan jadi senjata yang ampuh untuk mengusir Pawèstri dan anaknya, Damaree Pararatu (Rere), dari rumah Jatiwaringin dan dari PT Frozenmeat Raya.
Sampai di sini, alur usaha bisnis daging beku, sekalipun tanpa Panuluh, tetap bersemarak. Dan Pangèstu, sebagai peraga antagonis juga terus berusaha menjadi tokoh oposisi, yang selalu usaha merintangi kegiatan tokoh protagonis. Menurut teori peraga, jenis peraga protagonis dan antagonis perlu sekali dalam cerita agar cerita bisa bergejolak, terjadi ketegangan, sehingga alur jadi dinamis, tidak datar saja. Pada teori peraga, yang punya watak seperti Pangèstu disebut peraga antagonis. Setelah bapaknya meninggal dunia, Pangèstu wataknya sebagai peraga antagonis tidak berubah. Semangatnya mau mengusir Pawèstri dan anaknya (Rere) bahkan ditingkatkan.
Pada rapat pemilihan gantinya Direktur Pratama PT Frozenmeat Raya, para pemilik saham memutuskan secara aklamasi Pawèstri terpilih jadi Direktur Pratama. Pangèstu tidak bisa terima. Menurut dia yang wajib menggantikan kedudukan bapaknya sebagai Direktur Pratama harusnya darah Panuluh-Pandora, yang juga pemilik saham paling besar. Tidak mau menerimanya Pangèstu dan semangatnya mau mengusir Pawèstri dari bisnis dan rumah Jatiwaringin dilaporkan ke polisi dan diselesaikan di sidang Pengadilan umum. Pengadilan umum dijadikan ajang klimaks cerita novel PTI ini menang atau kalah dalam perkara tegas menurut hukum yang adil dan resmi menurut undang-undang.
Mencari benar dan salah lewat Pengadilan umum sangat langka dijadikan alur pada sastra Jawa, baik sastra Jawa prakemerdekaan maupun sampai sekarang. Cerita detektif kebanyakan telah selesai kedapatan penjahatnya sebelum masuk sidang pengadilan umum. Persoalan salah atau benar dalam suatu cerita bahasa Jawa sudah terbukti pada akhir cerita tanpa harus diadili di Pengadilan resmi atau menurut undang-undang. Di Pengadilan umum menang atau kalah dalam berperkara digelar menurut undang-undang negara dengan menghadirkan pesakitan, jaksa, pembela, hakim, saksi dan bukti-bukti yang dianggap sah. Ada aturannya, ada istilahnye khusus, misalnya: eksepsi, klien, attornney counsellor at law, a de charge. Karena begitu barangkali maka langka sekali Pengadilan umum dijadikan alur cerita pada sastra Jawa.
Pada novel PTI banyak sekali peristiwa yang membetulkan (menerapkan) peraturan yang benar dan undang-undang yang berlaku. Misalnya tentang usaha dagang menurut peraturan yang benar, cara mengemudi mobil, akte kelahiran, hak waris, UU HaKI.
Pengarang tidak alergi menggunakan istilah manca yang mulai populer di masyarakat Jawa terpelajar untuk menggambarkan kisahnya secara jelas, misalnya istilah jetlag, cluster, cyber, QHSE, click learning, cardilac arrest. Istilah-istilah itu sudah dipakai dalam novel PTI.
Meskipun perkara di Pengadilan umum sekarang sudah jadi bacaan akut di suratkabar, tetapi sampai sekarang masih langka sekali dijadikan wacana pada sastra Jawa. Apakah para pengarang sastra Jawa alergi dengan perputaran zaman? Maka dari itu pengarang novel PTI ini boleh disebut pioneer. Semoga saja para pengarang sastra Jawa lainnya juga mengikuti jejaknya, tidak alergi dengan berjalannya zaman, lalu mengarang cerita yang latar peraganya berprofesi (pekerjaannya) modern, misalnya pengusaha real-estat, persaingan bank, para diplomat, bisnis pesawat terbang. Pada berita (pers) bahasa Jawa sudah berani mengupas berkecamuknya profesi-profesi modern itu. Tetapi dalam cerita (sastra) bahasa Jawa, belum banyak yang berkisah perkara profesi modern tadi. Dalam cerita sastra Jawa hingga kini yang diceritakan masih soal (profesi/pekerjaan) lama, seperti guru, petani, tukang becak, pekerjaan tradisional, adat dan tentang asmara.
Mengakhiri wawasanku mengenai novel PTI ini ada beberapa hal yang saya kira penting saya kemukakan: (1) lewat novel ini Suparto Brata membuktikan bahwa novel Jawa luas kawasannya, seperti halnya novel bahasa lainnya juga; (2) novel bahasa Jawa tidak alergi dengan masalah apa saja yang terjadi pada zaman modern ini. Dengan begitu, novel Jawa juga tidak alergi dengan memasukkan istilah serapan dari bahasa asing. Juga bisa kerasukan teori-teori baru, seperti misalnya feminisme. Pada era globalisasi ini informasi apa saja bisa cepat masuk di dunia atau disiplin apa saja, termasuk di kesusastraan Jawa modern, utamanya novel; (3) novel PTI merupakan novel “hibrida” (blasteran) yang unggul, dan tetap tangguh sebagai novel Jawa yang “njawani”. Ciri itu bisa dilihat dari ciri karakteristik watak kejawaannya. Watak Panuluh sebagai bapak yang harus melindungi teman dan keluarganya, watak Pawèstri sebagai peraga wanita yang baik, dan akhirnya alur yang menuju konsep rukun bersatu meskipun pada awalnya pada bertikai. Novel, menurut arti pada kamus Inggris adalah “baru”, jadi punya sistem yang dapat menerima dan adaptasi dari segala informasi baru, dan bisa merasuk ke keadaan atau konvensi kesusastraan Jawa seperti alir zamannya.
Ada sedikit catatan tentang novel PTI yang saya rasa agak janggal, dipandang sebagai novel modern. Yaitu pertama: novel modern tidak menggurui, termasuk cara menceritakan watak para peraga dan cara menguraikan cerita sejak awal hingga akhirnya. Kedua: menyerahkan interpretasi karya pengarang kepada para pembaca. Jadi, pengarang tidak perlu memberi petunjuk atau nasihat kepada para pembacanya pada karangannya. Kalau ada petunjuk, sebaiknya jangan dengan cara wajar atau terus terang (menggurui). Banyak teknik atau cara modern untuk menyampaikan informasi didaktis kepada para pembacanya. Nuwun.
Dikutip dari Majalah Panjebar Semangat Surabaya No. 17, 23 April 2011.
Diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia.
PS: Ke-dua novel dan novel bahasa Jawa Suparto Brata terbitan 2009-2010 bisa dipesan lewat poswesel biasa pada pengarangnya (Suparto Brata), Jl. Rungkut Asri III/12, Perum YKP RL-I-C 17, Surabaya 60293, per buku tambah ongkos kirim Rp 10.000,00.
Kula Nuwun,
Lumantar website menika ingkang sepisan kula badhe ndherek tetepangan kaliyan panjenengan bapa Suparto Brata, kula mahasiswa semester 10 saking Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa prodi Sastra Jawa. Salajengipun Kula nyuwun idhi palilah ajeng mbedah novelipun panjenengan kanthi irah-irahan Nona Sekretaris. Ancas kawula novel menika badhe kula bedah mawi teori kritik feminis (KSF), wondene tema ingkang badhe kula sasar inggih menika “Posisi Tawar Perempuan Jawa Modern, menghadapi Budaya Patriarkhi”. Minangka pangripta tartamtu kula sanget mbetahaken sesambetan kaliyan panjenengan, mawi cara utawi media menapa kula saged sesambetan kaliyan bapa Suparto Brata.Nuwun
cekap semanten, kawula nyuwun sanget kagem prihatosanipun.
Semarang, 16 Mei 2011
Padhang Pranoto
no hp: 08985635267
surel: arjunawrahatnala@yahoo.com
alamat: Jl. Cempakasari Timur No 31 rt/rw : 03/01 Sekaran, Gunungpati-Kota Semarang 50229