Menakar Obsesi Suparto Brata

| |

SUPARTO BRATA, sastrawan kawakan dari Surabaya, menerima SEA Write Award 2007 dari Kerajaan Thailand, 12 Oktober lalu. Sebuah penghargaan yang pantas diterima Su­parto karena lebih dari setengah abad kehidupan pria berusia 75 tahun itu diabdikan untuk dunia tulis-menulis. Meski penghargaan itu diterima lewat novel yang berbahasa Indonesia, Saksi Mata, Suparto Brata justru mendedi­kasikan itu untuk bahasa dan sastra Ja­wa (Jawa Pos, 10 & 15 Oktober 2007).**) Kecintaan dan obsesi Suparto terhadap bahasa dan sastra Jawa ini sudah sering diutarakan dalam berbagai kesempatan. Suparto Brata punya obsesi yang sa­ngat kuat untuk menjadikan bahasa dan sastra Jawa go international. Per­tanyaannya, lewat pintu mana keingin­an itu bisa diwujudkan? Suparto Brata telah lama memulai dengan menerbitkan karya sastra Jawa-nya secara swa­dana. Strategi itu pula yang diterapkan sehingga dia memperoleh tiga kali ber­turut-turut Hadiah Sastra Rancagé (2000-2001-2005). Hadiah yang diterimanya dari Kerajaan

Thailand kali ini pun direncanakan untuk itu. Tahun ini Suparto bersama para anggota Pa­guyuban Pengarang Sastra Jawa Su­rabaya (PPSJS) juga telah menerbitkan buku-buku cerita rakyat dari Jawa Ti­mur. Ketua PPSJS Bonari Nabonenar optimistis dengan terbitnya buku-buku cerita rakyat tersebut.Dunia sastra dibangun oleh tiga komponen, yaitu pengarang, karya, dan pembaca. Suparto Brata dan kar­yanya sudah jelas ada. Sedangkan un­tuk pembaca sastra Jawa hingga hari ini kondisinya masih sangat minim. Buku sastra Jawa yang dipajang di toko-toko buku jumlahnya relatif tetap utuh alias tanpa pembeli. Pembaca sastra Jawa, termasuk majalahnya, adalah pembaca tradisiona. Ketika po­sisi bahasa Jawa semakin tergantikan oleh bahasa

Indonesia
, kondisi ini ten­tu semakin menipiskan eksistensinya.
Pintu masuk bahasa dan sastra Jawa ke arah go international idealnya harus dibangun dari akarnya di dalam. Kong­res Bahasa Jawa di Semarang tahun la­lu kembali merekomendasikan perlu­nya bahasa Jawa diajarkan di sekolah. Ini memang langkah strategis jangka panjang untuk mencetak generasi pe­nerus bahasa dan sastra Jawa. Yang menjadi masalah, sekolah sendiri ma­sih setengah hati untuk itu. Guru ba­hasa dan sastra Jawa semakin langka sehingga tugas tersebut dirangkap oleh guru yang bukan bidangnya alias “asal ada”. Meski sudah ada konsep yang baik, praktik pembelajaran bahasa dan sastra Jawa di lapangan cenderung ke arah menghafal nama biji-bijian, daun-daunan, anak-anak binatang, pusaka, tatabahasa, tetapi sangat minim unsur kreatif-apresiatif. Lebih parah lagi, mata pelajaran tersebut diajarkan dengan bahasa pengantar bahasa

Indo­nesia
, padahal setiap hari para siswa sudah mampu berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Pendekatan kontekstual dan komunikatif menjadi barang lang­ka dalam pembelajaran bahasa Jawa. Kesannya, pelajaran itu menjadi lebih sulit dan tidak menarik.
Suparto Brata pernah usul agar tele­novela dari Amerika Latin di televisi disulih suara dengan bahasa Jawa. Untuk beberapa film, termasuk film Mandarin, ide ini sudah dilaksanakan oleh JTV untuk wilayah Jawa Timur. Hasilnya cukup menarik, bahkan lucu.

Ada
gairah baru penggunaan bahasa Jawa setelah dipakai di televisi lokal. Tapi, ini adalah tradisi lisan, sementara sastra modern lebih mengedepankan bahasa dan sastra tulis. Televisi lokal memberi penguatan pada ranah domestik, meski di sisi lain terjadi dekonstruksi budaya dan penyempitan terhadap film yang disulih.
Sulih suara adalah usaha adopsi, sementara go in­ternational adalah eks­pansi. Film asing yang di­sulih dengan bahasa Jawamerupakan internalisasi berbagai budaya agar menjadi lebih akrab dengan penuturnya. Sedangkan go international lebih mementingkan eksternalisasi budaya kita untuk dilempar keluar negeri. Lan­tas dari pintu mana lagi bahasa dan sastra Jawa bisa go international?Suparto Brata juga menyatakan bah­wa dia meniru format Amerika untuk menjual dan mempromosikan bahasa dan sastra Jawa ke luar negeri. Ini me­mang langkah ideal. Tetapi, seberapa ba­nyak orang luar negeri yang menguasai dan berminat pada bahasa dan sastra Jawa? Penyanyi Anggun C. Sasmi menjadi go international bukan karena dia menggunakan bahasa Jawa atau

Indonesia
, tetapi dia menyanyi dengan bahasa asing (Prancis dan Inggris).
Sastra Jawa menjadi go international tentu sangat kecil kemungkinannya jika tetap menggunakan bahasa Jawa. Jalan yang harus ditempuh adalah me­nerjemahkannya ke berbagai bahasa asing. Implikasi negatifnya, usaha un­tuk mempromosikan bahasa Jawa ke luar negeri sudah terputus di sini. Yayasan Obor

Indo­nesia
sangat getol mener­bitkan karya sastra ter­jemahan dari negara-ne­gara ketiga. Seperti Ya­yasan Obor itulah yang sangat diperlukan untuk menyebarkan sastra Jawa ke ranah internasional. Usaha terjemahan ini sudah ditempuh oleh sas­trawan

India
, Rabindra­nath Tagore, hingga dia memperoleh Hadiah Nobel Sastra pada 1913 .
Bila usaha ini berhasil, kita harus berlapang dada bahwa yang terangkat ke permukaan bukanlah sastra Jawa, melainkan sastra

Indone­sia
. Sastra Jawa adalah sastra minor, sedangkan sastra mayornya adalah

In­donesia
. Di ranah internasional, yang dikedepankan biasanya sastra mayor­nya. Anggun C. Sasmi di luar negeri dikenal sebagai penyanyi dari

Indone­sia
, bukan dari Jawa.
Arswendo Atmowiloto pernah me­ngatakan, sastra Jawa lebih mungkin menerima hadiah nobel karena lebih memiliki ciri khas dibandingkan sastra

Indonesia
. Suparto Brata juga pernah menyatakan hal yang sama. Saya per­caya bahwa kekhasan sastra Jawa itu terletak pada cara bertutur atau bentuk, ungkapan bahasa, terutama pada puisi. Mungkin semacam kekhasan Ranggawarsita. Tetapi, ketika diterjemahkan ke bahasa asing, bentuknya akan ber­ubah, bahkan rusak. Secara ekstrem, sebenarnya pantun, wangsalan, atau tembang-tembang Jawa itu tak dapat diterjemahkan karena kendala bentuk. Harapan terhadap kekhasan bentuk de­ngan demikian sangat rawan.
Sastra Jawa menjadi go international bertumpu pada tema. Memang, sastra Jawa modern sudah tidak terlalu terikat pada bentuk, termasuk puisinya. Teta­pi, tema yang dieksplor sastra Jawa te­rasa “kurang keras”, masih banyak mengangkat kehidupan kaum ping­giran tradisional. Karya Suparto Brata pada periode yang lalu terasa lebih pe­kat karena ada unsur heroisme dan nasionalismenya, tetapi karya-karya terbarunya yang dimuat berseri di majalah berbahasa Jawa mengarah pada kehidupan populer. Suparto mengaku berguru pada buku-buku best seller yang ditulis pengarang asing seinacam Jackie Collins, Sidney Sheldon, Danielle Steel, dan yang lainnya. Di ru­mahnya, saya banyak dipameri novel­-novel populer terjemahan yang ada tulisan “best seller”-nya.Hadiah nobel sastra secara tipikal cenderung diberikan kepada karya-­karya dengan nuansa sosial politik yang kuat, bahkan cenderung ke sastra perlawanan. Pengarang berada pada pihak oposisi dengan penguasa. Mochtar Lubis, Rendra, dan Pra­moedya Ananta Toer konon pernah masuk nominator juga dengan alasan tema. Jika ingin go international atau meraih hadiah nobel, Suparto Brata juga harus memikirkan hal itu. Jika tidak, dapat pula berpaling ke tema-tema psikologis, filsafat, dan religi seperti yang dilakukan Doris Lessing, penerima Nobel Sastra 2007, perempuan Inggris imigran dari Iran yang ba­nyak menulis novel dengan tema ko­munis, psikologis, dan sufi.Go international ‘memiliki dua pintu masuk. Jika yang dituju adalah semacam hadiah nobel, unsur kekuatan dan nilai intrinsik dan ekstrinsik literernya menjadi sangat penting. Bila yang diinginkan semacam seni populer yang marketable, masuklah ke seni in­dustri yang berguru pada selera pasar.Usaha untuk mengangkat bahasa dan sastra Jawa ke forum internasional bukan semata-mata kewajiban Suparto Brata seorang. Terlalu banyak kendala; jika proyek besar itu ditumpukan pada pundak seorang. Di tengah-tengah arus global modernisasi dan industrialisasi budaya, usaha untuk mengangkat ba­hasa dan sastra Jawa tentu semakin berat. Nilai-nilai eksotis bahasa dan sastra Jawa, di satu sisi, bisa dijadikan modal. Maraknya culture studies dan sastra multikulturalisme adalah ken­daraan yang juga dapat dimanfaatkan untuk usaha di atas.Idealisme Suparto Brata masih akan ditakar oleh sejarah. Kita tentu senang dan mendukung berbagai usaha ke arah itu.

Dengan

diterimanya

SEA
Write Award 2007 oleh Suparto Brata semoga menambah energi dan sema­ngat kreatifnya semakin berkobar-kobar. Selamat. ***
 

*) Dimuat Jawa Pos Minggu 11 November 2007, rubriek Budaya.     M. Shoim Anwar, pengarang, tinggal di Surabaya,    editor buku kumpulan cerpen ‘Interogasi’ karya  Suparto Brata**) Ungkapan Sastra Jawa go international, dimuat Jawa Pos 15 Oktober 2007 mungkin kesimpulan wartawan Jawa Pos setelah mendengarkan ucapan Suparto Brata ketika bicara 2 menit di Gala Dinner di Royal Ballroom, The Oriental Hotel, Bangkok, tgl. 12 Oktober 2007, di hadapan Princess Sirivannavari Nariratana dan para undangan (antara lain para duta besar manca negara), yaitu ucapannya: “Sekarang ini saya berusaha membangkitkan sastra Jawa, karena sastra Jawa juga anggota sastra dunia, karena itu sastra Jawa juga patut dibaca oleh bangsa-bangsa di dunia. Siapa tahu Tuhan berkenan, dengan membaca sastra Jawa, dunia menjadi damai dan sejahtera. Dan saya ikut serta berusaha menciptakan itu lewat menulis cerita”. (Teks pidato dalam bahasa Inggris tercantum di meja para tamu Gala Dinner). Tentang maksud-maksud Suparto Brata menerbitkan buku/membangkitkan sastra Jawa, bisa disemak pada (klik): Donyane Wong Culika Jilid II

Posted by admin on Wednesday, December 19th, 2007. Filed under Kata Mereka. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

6 Comments for “Menakar Obsesi Suparto Brata”

  1. Ki Ageng Similikithi

    Bpk Suparto Broto adalah sastrawan besar yang memberikan sumbangan besar dalam pelestarian kesusateraan Jawa. Saya selalu mengagumi karya2 beliau seperti halnya saya mengagumi karya2 Any Asmara. Selamat berkarya

  2. Sebagai orang jawa saya sangat berbangga dg penghargaan ini.Ini bukti bahwa bahasa Jawa masih eksis dan diakui dunia.Selamat atas keberhasilan dan takzim kpd bpk suparto brata atas upaya tak kenal lelah

    namun,di sisi lain saya prihatin bahwa generasi sekarang makin acuh dengan bahasa Jawa.Jarang sekali anak2 muda sekarang yg bisa berbahasa Jawa dengan baik,termasuk saya.

    Dg keprihatinan ini,saya dan bbrp kawan yg notabene masih muda dan hijau ini,membuat blog dlm upaya utk saling belajar berbahasa jawa, dg alakadarnya.

    Kami mohon bimbingan maupun masukan dari para pecinta bahasa Jawa untuk kami dapat sedikit berkiprah nguri uri basa Jawi.
    Jika berkenan kami mengundang bpk Suparto brata dan pembaca sekalian utk pinarak di http://kawruhjawi.wordpress.com. Kami akan sangat bahagia jika ada kritik,masukan dan komentar.Syukur2 jika ikut menulis atau mengkritisi tulisan yg ada..

    Matur nuwun..

  3. kula kaget, , bilih pak Parto nembe nandang gering, mugi kemawon sampun dhangan. kula pengamat lan pengagum proses kreativipun, nanging dereng tumbas lan pikantuk bukukunipun ingkang paling enggal. amargi kula dereng sempat dateng toko buku. nyuwun pangapunten.

  4. Selamat kepada Bpk Suparto Brata, atas penghargaan dari Pemerintah Thailand. saya ikut bangga dengan ketekunan dan kegigihan ‘panjenengan’ dalam berkarya sastra dalam bahasa jawa. Karya2 nyata yang berbobot, dinikmati masyarakat dan sekaligus ‘nguri-uri’ kabudayan jawi, terutama di bidang sastra tulisan. saya juga sedang belajar menulis geguritan, dan beberapa dimuat di Majalah Panjebar Semangat dan Damarjati. beberapa bisa dibaca di blog saya. Mangga menawi badhe dipun waos….klik!

  5. Wah saya begitu kagum dengan Pak Suparto Brata.Selain tulisannya begitu produktif.Beliau juga mau ‘nggetih’ dalam menerbitkan karya-karyanya.Selain yang membuat salut.Pak Parto begitu melek teknologi.Memang perlu ditiru.

  6. Hi
    It’s better to put reference link

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*