PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA DAN HARI BUKU SEDUNIA
Multatuli, pengarang drama Saijah dan Adinda (Banten) pernah menulis, Kita tidak pesta memanen padi di sawah, melainkan kita pesta memanen padi yang kita tanam di sawah. Itu saya anggap sebagai kiasan mengenai buku perpustakaan Indonesia saat ini. Banyaknya penerbitan buku, banyaknya toko buku, banyaknya perpustakaan di Indonesia, termasuk Kota Surabaya yang “Kota Pertama Raih Socrates Award, Sisihkan 110 Kota Sedunia” dalam katagori city of the future,keunggulan Kota Surabaya antara lain atas dua hal, yaitu tersedianya banyak taman kota yang membuat warga lebih nyaman dan tersedianya 800 perpustakaan di berbagai lokasi. Konon, terutama untuk aspek yang disebut terakhir itu, para juri takjub. Kias tadi menunjukkan bahwa banyaknya penerbitan buku, banyaknya toko buku, banyaknya perpustakaan buku merupakan pesta memanen padi di sawah. Kalau semua itu berjalan lancar, buku diterbitkan banyak, laku keras, penjualan buku di toko buku laris, perpustakaan banyak pengunjungnya, itu semua merupakan pesta. Namun, seperti yang dikiaskan Multatuli, “kita tidak menanam padi di sawah”, artinya kita tidak memproduksi pembaca (buku). Siapa pun yang membeli buku, membaca buku di perpustakaan, mereka itu membeli dan membaca buku karena tugas, atau kalau memang suka membaca buku, kesenangannya membaca buku karena dalam sejarah hidupnya bertemu dengan ibunya yang suka membaca buku (menurut ajaran Ibu), atau bergaul dengan gurunya yang mengajari suka membaca buku. Jadi suka beli buku dan membaca buku karena pertemuan personal dengan orang-orang yang membuat dia suka membaca buku. Tidak diproduksi massal. Kalau diproduksi massal, pastilah pestanya penerbit buku, toko buku, dan perpustakaan akan lebih hebat, lebih memenuhi ketakjuban para juri Socrates Award.
Di mana dan bagaimana memproduksi massal pembaca buku? Ya di sekolah! Dari kelas I SD – kelas XII SMA, putera bangsa dibudayakan membaca buku membaca buku membaca buku tiap hari tanpa jeda. Dan yang dibaca berbagai bahasa dan berbagai huruf. Sehingga kalau sudah lulus SMA, mereka pandai baca buku bahasa Indonesia huruf ABC, baca buku bahasa Arab dengan huruf Arab, pandai baca buku bahasa Jepang dengan huruf katakana maupun kanji, dan lain bahasa dan huruf sedunia. Lulus SMA mereka tidak lagi berduyun berebut ke Perguruan Tinggi Negeri (lokal = katak dalam tempurung) Indonesia, melainkan bisa langsung sekolah tinggi di Mesir maupun di Jepang, atau Prancis, atau Jerman. Dan perpustakaan kota yang menyediakan buku sastera Jawa pun akan disergap para pembaca sastera Jawa, karena di sekolah selama 12 tahun awal usia putra bangsa juga dibudayakan membaca buku sastera Jawa, sastera Sunda, sastera Minangkabau. Karena BAHASA DAERAH itu merupakan Intangible Cultural Heritage (ICH), kekayaan kultural masyarakat Indonesia, yang wajib dilindungi. Untuk melindungi bahasa daerah tadi Badan dunia UNESCO (the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional, pada tanggal 21 Februari diharapkan semua suku bangsa di dunia berbicara dalam bahasa daerahnya masing-masing. Alangkah indahnya andaikata Walikota Surabaya pada tanggal 21 Februari memerintahkan warga kota Surabaya berbicara dalam bahasa Surabayan. Hal semacam itu tidak pernah terjadi di Indonesia.
UNESCO tahun 1996 juga pernah meminta Dr.Taufik Ismail untuk meneliti para lulusan sekolah SMA di beberapa negeri rata-rata membaca berapa judul buku. Hasilnya, lulusan SMA di Jerman rata-rata telah membaca 32 judul buku, anak Belanda 30 buku, anak Rusia 12 buku, anak Jepang 15 buku, anak New York 32 buku, anak Swiss 15 buku, anak Singapura 6 buku, anak Malaysia 6 buku, anak Brunai 7 buku, anak Indonesia 0 buku. Ya, kalau anak Indonesia lulus SMA membaca 0 buku, mana mungkin penerbit buku, toko buku, perpustakaan kota, berpesta akibat kelancarannya berbisnis buku?
Mengapa waktu diteliti oleh Dr.Taufik Ismail (1996) anak lulus SMA di Indonesia membaca 0 buku? Sebab pada tahun 1975, kurikulum pendidikan nasional Indonesia mengadakan perubahan secara total, yaitu dari TK sampai Perguruan Tinggi hanya diajarkan satu bahasa, bahasa Indonesia. Bahasa lain (Jawa, Tionghoa, Arab, dll) dilarang masuk sekolah. Bahasa Inggeris, satu-satunya bahasa manca yang diajarkan, namun ya hanya sebagai ilmu pengetahuan saja. Lulus SMA ya tidak fasih berbahasa Inggeris. Pelajaran bahasa Indonesia disatukan dengan sastera Indonesia. Mempelajari bahasa Indonesia saja sudah banyak liku-likunya, membaca sastera sudah tidak ada waktunya. Lebih-lebih sastera Indonesia tidak di-UNAS-kan, sastera Indonesia tidak perlu dibaca. Para putera bangsa selama bersekolah dari TK sampai PT dimuati banyak ilmu, tetapi meninggal membaca buku dan menulis (buku). Maka wajarlah kalau pada tahun 1996 ketika kurikulum sekolah tidak diajari membaca buku tiap hari telah berjalan 21 tahun (1996 – 1975), maka pelajar lulus SMA membaca 0 buku.
Kurikulum pendidikan nasional Indonesia sejak 1975, belum berubah sampai sekarang (2014). Yaitu dari SD murid-murid digiring untuk bisa lulus dan melanjutkan ke SMP melalui UAS, dari SMP digiring dengan menghafal soal-soal yang di-UAS-kan agar bisa lulus dan melanjutkan ke SMA, dari SMA digiring (artinya dididik dengan masif) menghafal soal-soal yang di-UNAS-kan. Mereka seperti kuda yang menarik kereta, kedua matanya di samping ditutup, tidak boleh melirik lain lingkungan, yang dituju hanya ke depan, hanya LULUS UNAS, dan itupun si kuda harus dicambuk, artinya UNAS disiapkan dengan pengawasan polisi, satpam, dan seluruh aparat pemerintahan bersama dananya dikerahkan untuk “mengamankan” UNAS, pengiriman soalnya dijaga ketat, tidak mungkin bocor, cara begitu bukankah lontaran tidak percaya terhadap kejujuran putera bangsa dan guru-gurunya, mereka dicurigai sebagai penjahat (kriminal) yang membocorkan soal-soal UNAS. Ya karena dituduh sebagai maling, akhirnya menjadi maling juga, soal-soal UNAS bocor. Tidak baik mendidik anak bangsa dengan “kekerasan” begitu. Lulus UNAS dengan baik lalu diterima ke PTN. Itulah tujuan hidup putera bangsa Indonesia sekarang ini. Lulus UNAS SMA, dan masuk ke PTN. Tapi tidak punya budaya membaca buku (sastera) dan menulis buku, apa bisa lulus Fakultas Kedokteran, atau Hukum, atau (apalagi) sastera? (Tapi kok ya didirikan Fakultas Sastera! Apa referensinya? Wong lulus SMA membaca 0 buku, dan sastera = buku. Lalu di Fakultas Sastera apa yang diajarkan? Apa dimulai dari mengulas roman Sitti Noerbaja, siapa pengarangnya, temanya apa, pengaruhnya terhadap zaman bagaimana?). Para mahasiswa lulusan UNAS itu datang ke kampus hanya mendengarkan dan menyaksikan dosen memberi kuliah, pulang bawa catatan, ke kampus lagi, pulang lagi, tanpa membaca buku, tiba-tiba lulus? Tidak mungkin!
Suka membaca buku harus kita budayakan. Dalam konteks kekinian, warga Jepang adalah contoh betapa membaca telah menjadi budaya. Warga di negeri itu sejak usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan buku. Sedemikian bagus budaya membaca di Japang, sampai ada anekdot, “Orang Jepang itu tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur.” (M.Anwar Djaelani, dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Pos, Opini, Rabu 23 April 2014, tepat hari buku sedunia). Anekdot dari saya (Suparto Brata): Kalau kurikulum pendidikan nasional Indonesia diterapkan di Jepang (SD-SMP-SMA tidak membaca buku dan menulis buku), maka 10 tahun kemudian bangsa Jepang bodohnya seperti bangsa Indonesia.
UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dalam 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca (www.poskotanews.com 27/09/2013). Nah, kalau Kota Surabaya bagaimana? Kalau sama dengan bangsa Indonesia rata-rata, maka penerimaan Socrates Award yang mengunggulkan kreteria 800 perpustakaan, ya artinya tidak menyentuh warga memiliki minat baca buku! Kalau penerimaan Socrates Award untuk Kota Surabaya itu diterima dengan rasa bangga, terselit ketidak-kejujuran. Karena banyaknya 800 perpustakaan di Kota Surabaya tidak berbanding lurus dengan warga kota berbudaya membaca buku (dan menulis buku).
Buku “Surabaya Sebagai Kota Literasi” ini diharapkan memuat tanggapan dan komentar dalam rangka Hari Buku Sedunia, Hari Pendidikan Nasional dan Hari Jadi Kota Surabaya yang ke-721. Saya juga dimintai untuk memberi komentar, maka saya tulis tanggapan ini. Membaca sekilas tanggapan saya di atas, jelas “Surabaya Sebagai Kota Literasi” belum bisa dicapai. Tetapi harapan mencapai masih ada. Terutama harus kita pelajari apa yang disebut Hari Buku Sedunia.
Hari Buku Sedunia, atau the World Book Capital and the Copyright Day, dicanangkan oleh UNESCO untuk pertama kalinya tanggal 23 April 2001 di Madrid, ibu kota Sepanyol. Mengapa tanggal 23 April? Itu untuk menghormati sasterawan Inggeris William Shakespeare, yang lahir 23 April 1564, dan meninggal pada 23 April 52 tahun kemudian. Tanggal 23 April 1616 juga tanggal wafatnya sasterawan Sepanyol, Miguel de Carvantes Saavendra, pengarang buku Don Kisot. Pas tanggal itu, di wilayah Catalonia (Sepanyol) ada perayaan Saint George dengan cara siapa pun yang membeli buku di toko diberi bunga mawar. Perayaan Saint George juga diperingati sebagai patron di Inggeris. Maka pada tanggal 23 April 2001, UNESCO menunjuk Kota Madrid untuk merayakan hari the World Book Capital and the Copyright Day, yang syaratnya kota yang ditunjuk UNESCO warga kotanya dari balita-kakek-nenek harus berbudaya membaca buku. Selanjutnya tiap tanggal 23 April ada kota yang ditunjuk oleh UNESCO untuk merayakan the World Book Capital. Tahun 2001 Madrid, 2002 Alexandria, 2003 New Delhi, 2004 Antwerp, 2005 Montreal, 2006 Turin, 2007 Bogota, 2008 Amsterdam, 2009 Beirut, 2010 Ljubljana (Slovenia), 2011 Buenos Aires, 2012 Yerevan (Armenia), 2013 Bangkok, 2014 Fort Harcourt (Republik Federasi Negeria, Afrika Barat).
Nah, apakah dengan mendeklarasikan Surabaya Sebagai Kota Literasi, mengharapkan Kota Surabaya ditunjuk oleh UNESCO merayakan Surabaya World Book Capital? Toh belum ditunjuk. Jadi saran saya, bukunya diberi judul Surabaya Menuju Kota Literasi. (Ketika terbit ternyata judul buku diberi tambahan kata: Menuju Wujud di atasnya. Cukup cerdas.
Ketika tahun 2013 Bangkok merayakan Bangkok World Book Capital 2013, sebenarnya bukan itu tujuannya semula. Tujuannya semula, pada tahun 2014 Thailand ditunjuk menjadi tuan rumah Kongres Serikat Penerbit Internasional (International Publishers Association = IPA). Dengan adanya rencana itu, maka pada 2011, Departemen Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Bangkok Metropolitan Administration menghubungi lebih dari 90 instansi segala bidang untuk mendukung gerakan Bangkok Membaca Buku, dan ikut secara tegas menciptakan masyarakat membaca buku dalam konsep Bangkok Read for Life. Dalam konsep Bangkok Read for Life, ada 3 sasaran bermakna bagi warga kota Bangkok, yaitu Reading for the Past, rakyat membaca negerinya masa lalu yang merupakan pusaka warisan kekayaan negeri, yang menimbulkan patriotisme bangsa. Reading for the Present, rakyat mengetahui keadaan negerinya serta kehidupan rakyat negeri lainnya. Reading for the Future, rakyat bisa memperbaiki hidupnya serta menunjang memberi perdamaian pada Thailand. Ketika Thailand mencari jalan untuk menjadi negeri yang modern sebagai kerajaan, ada beberapa jalan bisa ditempuh. Membaca buku kaya imajinasi dan analisis pemikiran hebat. Membaca buku bisa menunjang demokrasi dan perdamaian di Thailand. Maka Kota Bangkok Metropolitan menyasar simulasi membudayakan membaca buku untuk warga kota, utamanya pada pemuda dan kanak-kanak. Ada 9 missi untuk melaksanakan program konsep Bangkok Read for Life. Didukung lebih dari 90 instansi berbagai bidang di Kota Bangkok, 9 missi tadi adalah: 1. Membangun gedung Bangkok City Hall menjadi perpustakaan kota dan museum. 2. Membangun Thai Cartoon Museum untuk menyemangati warga kota Bangkok berpikir lebih meluas. 3. Menciptakan kebudayaan membaca buku menjadi kebudayaan berpikir alami (bukan instan). 4. Mempromusikan membaca buku di antara para kanak-kanak dan pemuda untuk meyakinkan mereka bahwa membaca buku itu sangat bermakna bagi kehidupan. 5. Mencari buku-buku kepustakaan bagi warga Kota Bangkok untuk menolong menyegarkan pikiran mereka dengan membaca buku. 6. Mempromosikan mempelajari buku ilmiah untuk menyemangati berpikir ilmiah. 7. Mempromosikan membaca buku untuk menyemaikan moral baik dan adil dengan tujuan terciptanya masyarakat yang segar dan damai. 8. Bekerja sama dengan Kelompok Bangkok Membaca Buku menganjurkan agar warga kota selalu bertahan terus membaca buku, membaca buku menjadi pondasi kebudayaan pada masyarakat Thailand. 9. Bersiap untuk menjadi tuan rumah Kongres Serikat Penerbit Buku Internasional (IPA), yang mana tahun 2014 ini Bangkok dipilih menjadi tuan rumahnya. Dalam menggalang gerakan membaca buku dan menulis buku itu, banyak semboyan-semboyan diumumkan, seperti Bangkok Read foir Life; Read for Life – Life for Read.
Maka, apabila Pemerintah Kota Surabaya ingin menjadi Surabaya Sebagai Kota Literasi, setidaknya harus menirukan gerakan membaca buku Bangkok Read for Life. Untuk persiapan menjadi tuan rumah IPA tahun 2014 saja, Departemen Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Kota Bangkok Metropolitan Administration membutuhkan gerakan membaca buku Bangkok Read for Life waktu sejak tahun 2011, selama 3 tahun. Tidak mustahil Surabaya akan mencapai Surabaya Sebagai Kota Literasi lebih panjang daripada Kota Bangkok. Setidaknya para penggagas Surabaya Sebagai Kota Literasi juga membuat semboyan-senboyan seperti Surabaya Read for Life, dengan segala konsekuennya (bekerja keras mensimulasi warga kota membudayakan membaca buku).
Saya tetap berharap, putera bangsa dari balita sampai kakek-nenek berbudaya membaca buku dan menulis buku, yaitu dengan pergantian Presiden Indonesia nanti, kurikulum pendidikan nasional Indonesia dirombak total. Seperti negeri-negeri maju lainnya, yaitu bersekolah 12 tahun usia bocah, dari kelas I SD – kelas XII SMA, putera bangsa dibudayakan membaca buku sastera, membaca buku, membaca buku, membaca buku. Membaca buku itu bukan kodrat, jadi harus dilatih. Dilatih tidak di bimbingan belajar seperti mau UNAS, itu instan. Segala bimbingan belajar untuk UNAS, lulus ataupun tidak lulus, setelah UNAS lampau, ilmu di bimbingan belajar itu tidak berguna untuk sarana hidup selanjutnya. Jadi untuk membudayakan membaca buku dan menulis buku (misalnya bahasa Inggeris), bukan di bimbingan belajar untuk UNAS tempatnya. Tapi di sekolah selama 12 tahun, dari klas I SD – klas XII SMA. Untuk membudayakan harus dilatih terus-menerus sampai menjadi budaya putera bangsa. Dan yang dibudayakan dibaca jangan hanya satu bahasa (bahasa Indonesia), melainkan harus sebanyak mungkin bahasa dan sebanyak mungkin macam huruf. Bahasa Mandarin, huruf Mandarin, bahasa Arab, huruf Arab, bahasa Korea, huruf Korea. Banyak bahasa dan huruf dikuasai, orang menjadi lebih sakti. Language is power. Dengan pergantian Presiden baru, saya juga mengharap Kurikulum Pendidikan Nasional Indonesia 1975-2014 yang pendidikan putera bangsa selama menjalani sekolah selama 12 tahun dari kelas I SD – kelas XII SMA kemungkinan melanjutkan hidupnya yang cerah atau gagal ditentukan dalam menempuh UNAS selama 7 hari dengan cara untung-untungan (gambling atas menjawab soal unas multiple choise) dihentikan saja. Kurikulum UNAS itu jelas mempersempit jalan hidup putera bangsa Indonesia. Sangat aneh, kurikulum pendidikan kok mempersempit kiat hidup bangsa. Sudah berlaku sekian lama (1975-2014) bangsa Indonesia kian diperbodoh kian diperbodoh lewat pendidikan nasionalnya. Saya mengharap Menteri Pendidikan Nasional Indonesia pada kabinet Presiden baru nanti, mengubah total kurikulum pendidikan nasional Indonesia, terutama bersekolah 12 tahun masa awal umur putera bangsa dibudayakan membaca buku dan menulis buku.
Bersekolah itu gunanya untuk membudayakan putera manusia membaca buku, memaknai serta memperbincangkan filosofi bacaan buku itu. Hal itu dimulai sejak filsuf Yunani Plato (428-347 S.M) mendirikan sekolah filsafat yang dinamai Academus, sesuai dengan pahlawan legendaris Athena. Karenanya sekolah itu dikenal sebagai Akademi. Dan sejak itu beribu “akademi” didirikan di seluruh dunia. Plato adalah murid Socrates. Socrates (470-399 S.M.) adalah tokoh yang paling banyak menyiarkan ilmunya dalam seluruh sejarah filsafat, sehingga dia merupakan salah seorang filosuf yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pemikiran Eropa selama hampir 2500 tahun ini. Sangat mungkin penghargaan Socrates Award yang diterima oleh Walikota Surabaya Ibu Tri Rismaharini, kata Socratesnya dari Socrates filosuf Yunani ini. Socrates banyak menyiarkan pemikiran fisafatnya hanya melalui pidato-pidatonya (bersuara, didengarkan, indrawi). Sama dengan orang Indonesia sekarang yang hidup hanya dengan mengandalkan menonton dan mendengarkan untuk kiat kemakmuran hidupnya (terhitung berjam-jam merasa makmur menonton TV). Juga ketika Socrates mengadakan pembelaan atas hukuman mati minum racun oleh pengadilan, pembelaannya hanya dipidatokan. Baik pemikiran filsafatnya maupun pidato pembelaannya, menjadi misi kemanusiaan yang tersebar di seluruh dunia hingga berabad-abad lamanya karena pidato-pidatonya tadi ditulis oleh Plato setelah kematian Socrates. Plato menuliskan pidato pembelaan Socrates pada buku Apologi. Di samping Apologi, Plato juga melestarikan (ditulis jadi buku) seluruh karya utama Socrates (yang dipidatokan, diucapkan secara indrawi) ~ kumpulan Epistles dan kira-kira 25 Dialog filsafat yang pernah didiskusikan dan dipidatokan Socrates. Kita bisa mendapatkan karya-karya ini (berupa buku) sekarang berkat tindakan Plato menuliskannya jadi buku yang bisa dibaca dan dipelajari sejak Plato mendirikan akademi. Kalau tidak jadi buku dan dibaca pada buku, apa manfaat filsafat Socrates yang diuraikan secara lisan demi untuk menata kehidupan manusia, yaitu kebenaran, etika, kebaikan dan kejahatan, untuk masa depan yang ideal? Lenyap seperti ketika kita menikmati menonton Inul tari mengebor di layar TV, yang sekarang tidak bisa kita ceritakan lagi nikmatnya. Begitulah sejarahnya mengapa sekolah-sekolah didirikan di seluruh dunia. Digunakan untuk membaca buku, menulis buku, mencapai akademi. Orang pintar seluruh dunia ini pasti membaca buku dan menulis buku. Kalau bangsa Indonesia tahun emas 100 tahun merdeka tidak berbudaya membaca buku dan menulis buku, bangsa Indonesia seperti kakek-nenek saya, mengerjakan sawah ladang hanya dengan melihat dan mendengar tetangganya, kembali menjadi orang primitif.
Demikian harapan saya. Semoga terlaksana.
Suparto Brata, pengarang/story writer
www.supartobrata.com www.supartobrata.blogspot.com
Namanya telah tercatat dalam buku Five Thousand Personalities of the World
Sixth Edition, 1998, terbitan The American Biographical Institute, Inc
5126 Bur Oak Circle, P.O.Box 31226, Raleigh, North Carolina 27622 USA.