Potions & Paper Cranes (Gadis Kembang Jepun)

| |

Potions & Paper Cranes (trans. Gadis Kembang Jepun)
with Lian Gouw (Dalang Publishing)

Friday 29 November 2013, 18.30 – 21.00
C2O library, Jl. Dr. Cipto 20, Surabaya 60264

A stark, honest portrayal of cursed love during the Japanese occupation of Java and the struggle for Indonesian independence.

Sulis is a young woman selling potions in Surabaya’s harbor district. She meets Sujono, a coolie with dreams of becoming a freedom fighter, and whose passion for Matsumi, a geisha called to Java by a Japanese general, is destined to ruin all of them. In Potions and Paper Cranes, each tells the story of their lives during the end of World War II and Indonesia’s transition from a Dutch colony to an independent republic.

***

Award-winning, late author Lan Fang began publishing short stories in teen magazines. She soon graduated to novels and became renowned for her intense first person narratives about women in ethnic and culture conflicts. Critics have praised Lan Fang for her ability to cross the borders of gender, race, and religion. She passed away at the age of forty-one, leaving behind nine novels and many short stories much loved by readers around the world.

Japan and Java clash and intertwine in Lan Fang’s Potions and Paper Cranes, set in the old commercial center of Surabaya during the Second World War. Themes of domestic violence, misplaced romance, passionate sex, separation, and reunion drive the narrative, but it is the fate of women and children in war that is at the heart the novel. The story is told with lush and unashamedly melodramatic emotion yet remains memorably authentic. Ultimately Potions and Paper Cranes affirms the fragility of hatred, and the capacity of memory and love to endure a lifetime of separation.
— George Quinn, Adjunct Professor, College of Asia and the Pacific, Australian National University

A sensitive translation of a novel that is by turns profoundly emotional and deeply violent.
— Harry Aveling, Associate Professor of Asian Studies, La Trobe University, Melbourne, Australia

Potions and Paper Cranes breaks the popular romance mold through its narrative strategy to give each character a voice…making the fictional world more complex than just a black and white dichotomy. Underneath the novel is a critique against the chauvinistic, masculine nationalist paradigm that sanctions violence against women and breaks families. Written by an Indonesian female of Chinese descent about the WWII era, the novel opens up rich material to uncover issues of historical memory, representations, identity, and transnational engagement.
— Melani Budianta, Professor of Literary and Cultural Studies, Faculty of Humanities, University of Indonesia

INFO:
info@c2o-library.net
Telp +62 816 1522 1216

The post Potions & Paper Cranes (Gadis Kembang Jepun) appeared first on c2o library & collabtive.

Copyright © 2013 c2o library & collabtive.
Some rights reserved under Creative Commons BY-NC-SA 3.0.

Our mailing address is:

c2o library & collabtive

Jl. Dr. Cipto 20

Surabaya 60264

Indonesia
Add us to your address book

Email ini dikirim kepada semua kawan dan anggota C2O, atau karena Anda mendaftarkan email Anda di situs kami. You are receiving this email because you are registered as C2O members and friends, or because you signed up for subscription through our website.
unsubscribe from this list update subscription preferences

Tanggapan Bedah Buku Potions & Paper Cranes

Mbak Juliana, penyelenggara perpustakaan C2O, yth,

Mbak, sayang sekali saya tidak bisa ikut hadir pada bedah buku Potions & Paper Cranes (Gadis Kembang Jepun) undangan di atas. Buku tersebut terjemahan dari buku karya Lan Fang, yang judul aselinya Perempuan Kembang Jepun, diterbitkan PT.Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2006. Saya memang belum tahu dan belum baca buku terjemahannya yang dibedah di C2O tadi. Tapi kalau itu terjemahan dari Perempuan Kembang Jepun, ada yang penting mau saya katakan. Yaitu almarhumah Lan Fang, suatu hari datang ke rumah saya, menyerahkan bundel naskah, untuk saya baca dan saya beri endorsement atau setidaknya komentar, karena naskah tadi akan diterbitkan jadi buku. Lan Fang setelah menyerahkan langsung pulang, mau kembali ambil komentar saya beberapa hari lagi. Setelah naskah saya baca, tidak lain ya naskah novel Perempuan Kembang Jepun itu. Lan Fang datang lagi ke rumah saya. Saya tidak dapat memberikan endorsement, tapi saya beri catatan-catatan saja yang berujud kritik. Saya terangkan kepada Lan Fang, bahwa banyak cerita yang menyalahi fakta sejarah. Sedikitnya ada tiga yang masih saya ingat keberatan saya tentang cerita Perempuan Kembang Jepun itu. Yaitu:

(1). Tokoh utama novel tadi, Sujono. Setelah bertengkar dengan isterinya memecahi botol jualan jamunya, sehingga isterinya tidak bisa lagi jual jamu cari uang, maka Sujono kembali mau bekerja mencari uang menjadi kuli angkutan gelondongan kain cita pada Babah Oen, orang Cina yang punya toko kain itu. Itu terjadi pada zaman Jepang. Pada zaman Jepang (1942-1945) tidak ada lagi toko buka, lebih-lebih toko cita. Tidak ada. Kain cita dan pakaian amat sulit didapat, yang bisa dijual-belikan hanya pakaian bekas, itupun tidak di toko. Jadi pekerjaan Sujono pada zaman Jepang tidak mungkin jadi kuli tukang angkut kain cita. Dengan jadi kuli tukang angkut kain tadi akhirnya Sujono dipertemukan dengan Tjoa Kim Hwa, gadis geisha Jepang yang menyamar jadi perempuan Cina di Kembang Jepun Surabaya.

(2) Sulis, isteri Sujono, yang pekerjaannya sejak perawan menjadi penjual jamu gendong di Surabaya, disebutkan berasal dari Blitar. Orang jual jamu gendong sejak dulu di mana saja berasal dari Sukoharjo-Wonogiri. Bukan dari Blitar.

(3) Pada zaman Jepang, nama-nama jalan di Surabaya masih nama zaman Hindia Belanda. Jalan Coklat namanya masih Tee Pee Kong straat. Jalan Karet namanya masih Chinees-voor straat. Nama jalan Coklat dan Karet baru menggantikan pada tahun 1977. Nama Jalan Karet, pernah diubah menjadi Jalan Petjinan Kulon (1950-1977).

Selain itu juga ada beberapa perbuatan atau peristiwa yang tidak mungkin dilakukan pada zaman Jepang. Misalnya di dapur ada kompor. Kompor minyak tanah, baru ada tahun 1952. Pada zaman Jepang minyak tanah hampir tidak ada. Didistribusikan dengan menunjukkan kupon keluarga, itupun hanya untuk menyalakan lampu teplok atau pelita. Dan pelitanya malam hari ketika menyala harus dikerobongi sehingga sinarnya tidak sampai keluar rumah. Surabaya malam hari gelap gulita. Sinar lampu tidak boleh keluar rumah, dikhawatirkan akan terlihat dari pesawat terbang musuh (Amerika) yang sering mengadakan serangan malam hari ke daerah yang diduduki oleh Balatentara Dai Nippon 1942-1945.

Ya, meskipun novel adalah hasil pemikiran seorang pengarang, tidak harus fakta sejarah, namun karena populernya novel tadi (secara sastera Perempuan Kembang Jepun memang bagus sekali), bisa saja pembaca terpengaruh bahwa begitulah fakta sejarah yang ada. Karena novel Lan Fang ini tempat dan waktunya jelas, yaitu Kembang Jepun Surabaya pada zaman Jepang, sedangkan Kota Surabaya menjadi suatu kota yang amat penting di dunia, yaitu kota yang penduduk aselinya (Arek-arek Surabaya) berhasil mempelopori gerakan melawan bersenjata terhadap bangsa penjajahnya (kolonialis Belanda), dan berhasil memerdekakan negaranya Indonesia. Gerakan melawan penjajahan itu tahun-tahun berikutnya juga diikuti oleh bangsa-bangsa lain di Asia dan Afrika yang negaranya juga dijajah oleh bangsa lain, maka bangsa-bangsa Asia dan Afrika tahun-tahun berikut (1945-1965) bersama pada memperjuangkan kemerdekaan negaranya masing-masing, sehingga semua negara jajahan di dunia ini merdeka, kolonialisme lenyap dari dunia! Arek-arek Surabaya menjadi pelopornya, yaitu dari awal penyobekan warna biru bendera Belanda di Oranje Hotel pada tanggal 19 September 1945 yang langsung berakibat dengan perlawanan patriotik Pertempuran 10 November 1945, yang meraih Kota Surabaya menjadi Kota Pahlawan. Begitu pentingnya Kota Surabaya ini hadir di dunia, maka  banyak sekali para akademisi maupun orang awam meneliti riwayat maupun sejarah kota ini. Begitu pentingnya cerita masa lalu Surabaya ini, maka perlu cerita almarhumah Lan Fang ini saya beri catatan.

Saya sendiri telah menulis Surabaya Zaman Jepang, itupun saya tulis dari pengalaman saya waktu zaman Jepang hidup di Surabaya, yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan. Tapi tidak selalu bisa dibuktikan lewat artefak, dokumen resmi maupun buku-buku penelitian sejarah sahih. Jadi sangat mungkin tulisan saya tadi juga tidak akurat. Namun begitu yang saya alami itu saya tulis, sebab yang saya alami itu tidak akan dialami oleh orang-orang sesudah saya. Termasuk para akademisi peneliti sejarah, termasuk almarhumah Lan Fang. Maka kalau ada yang tidak sesuai dengan pengalaman saya, perlu saya beri catatan, agar para peminat sejarah Surabaya tidak salah membayangkan bagaimana Kota Surabaya pada zaman Jepang. Namun tiap penulisan sejarah, bagaimana pun juga tetap belum tentu benar, oleh karenanya saya terus menganjurkan agar penelitian sejarah maupun penulisan sejarah (terutama Kota Surabaya) digiatkan terus, lebih banyak yang menulis lebih banyak orang tahu wujud Kota Surabaya masa lampau yang sebenarnya. Mengetahui masa lampau memberikan pengetahuan masa kini, bisa digunakan untuk merencanakan hidup masa depan agar lebih baik daripada masa-masa lalu. Itulah perlunya diperbanyak penulisan sejarah.

Demikian tanggapanku tentang bukunya Lan Fang Perempuan Kembang Jepun tadi. Semoga menjadi perhatian para yang menghadiri bedah buku C2O, Jumat 29 November 2013 dan para pemerhati buku-buku sejarah Surabaya, fiksi maupun fakta, lainnya. Terima kasih.

Suparto Brata.

Posted by admin on Tuesday, December 3rd, 2013. Filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

CAPTCHA Image
*