KEPAHLAWANAN TERGUSUR OLEH KEKUASAAN DAN KEKAYAAN
Suparto Brata tak hanya rajin mencatat sejarah perjuangan arek-arek Surabaya. Eyang 81 tahun itu juga masih aktif mengikuti berbagai diskusi dengan berbagai kalangan di Surabaya.
Hany Akasa/Lambertus Hurek, Wartawan Radar Surabaya
Kemarin siang (9/11) Suparto Brata menjadi salah satu penanggap dalam diskusi di sela pameran foto jurnalistik Ipphos di House of Sampoerna, Surabaya. Pria yang sudah menerbitkan 160 judul buku tersebut kembali menyampaikan kegundahannya tentang lunturnya semangat kepahlawanan di negeri ini.
Berikut petikan percakapan santai Radar Surabaya dengan Suparto Brata sembari menikmati jajan pasar di ruang serbaguna House of Sampoerna, Surabaya.
Apa yang Anda kenang dari peristiwa 10 November 1945?
Itu peristiwa heroik yang luar biasa. Arek-arek Surabaya secara spontan melawan tentara sekutu yang ingin mengembalikan penjajahan di tanah air. Semangat antipenjajahan sangat terasa saat itu. Arek-arek Surabaya berjuang tanpa rasa takut. Itu peristiwa yang membawa dampak sejarah. Tidak saja bagi Indonesia, tapi juga bagi negara-negara lain yang saat itu masih dijajah oleh kekuasaan asing.
Waktu itu, Anda berusia berapa tahun? Apakah Anda tidak takut melihat suasana perang yang dahsyat di Surabaya?
Saya saat itu berusia 12 tahun, masih anak-anak. Saya bersama ibu saya tinggal di Gresikan II/23 dan kakak saya yang berusia 10 tahun lebih tua daripada saya. Ya, tentu saja kami sangat ketakutan karena suasana sangat genting. Semua warga sipil yang tidak ikut berperang diperintah untuk mengungsi ke luar kota. Ke mana saja asal keluar dari Surabaya yang terus dibombardir oleh pihak sekutu.
Evakuasi penduduk ke luar kota ini berlangsung berapa hari?
Sekitar tiga minggu. Tepatnya 18 hari. Pada 28 November 1945, Kota Surabaya sudah kosong. Tinggal para pejuang. BKR (Badan Keamanan Rakyat), dan laskar-laskar yang terus bertempur melawan sekutu.
Anda sendiri mengungsi ke mana?
Probolinggo. Waktu itu, penduduk Surabaya dievakuasi dengan keretaapi. Ada petugas khusus yang disebut BOO (Barisan Oesoeng-Oesoeng) mengurusi evakuasi penduduk ke luar Surabaya. BOO hanya mendampingi sampai di Gedangan, Sidoarjo. Kemudian, kami menunggu keretaapi lain yang akan membawa pengungsi ke berbagai kota di Jawa Timur. Di tengah jalan ada warga yang turun ke tempat tinggal familinya. Kami terus ke Probolinggo.
Ada rumah keluarga di sana?
Tidak ada. Kami ditempatkan di kantor listrik (semacam PLN sekarang) karena kakak saya, Suwondo, bekerja di jawatan listrik di Surabaya. Di situ sudah disediakan tempat pengungsian dalam jumlah cukup besar. Nah, suasana pertempuran 10 November mencekam di Surabaya. Kemudian, pengungsian masal warga Surabaya ini saya tulis menjadi novel Republik Jungkir Balik.
Novel itu ditulis dengan berdasar pada kisah nyata, true story?
Buku Republik Jungkir Balik itu tetap cerita fiktif, rekaan saya, namun dibebani data dan fakta sejarah. Kefiktifan cerita saya pertahankan agar mudah memikat serta terserap untuk dibaca dan pembaca tahu akan sejarah bangsa. Menilik sejarahnya, negara Republik Indonesia ini dibangun dengan cita-cita luhur memerdekakan dan memakmurkan bangsa, memperbaiki moral dan budaya bangsa, serta membangun negara yang setara dengan negara-negara maju.
Perjuangan untuk mewujudkan Indonesia merdeka itu dengan mengorbankan jiwa, raga, harta benda, tempat tinggal, dan kesejahteraan keluarga. Berkorban dan menderita saat itu untuk masa mendatang. Korban memang berjatuhan saat itu. Republik (Indonesia) Jungkir Balik bukan kata sindiran.
Anda sering menyebut bahwa heroisme warga Surabaya sebetulnya sudah terlihat sebelum 10 November 1945. Bisa dijelaskan secara singkat?
Begini. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta, pemerintahan kolonial Jepang masih bercokol di tanah air. Informasi bahwa Indonesia sudah merdeka sudah menyebar ke mana-mana, termasuk ke Surabaya. Maka, arek-arek Surabaya yang dipimpin Abdul Wahab, komandan BKR Karesidenan Surabaya dan Hariyo Kecik (Soeharjo Padmowirjo) merebut senjata Jepang. Semua senjata Jepang di markas-maskas tentara Jepang bisa dikuasai dalam satu malam, tinggal di Markas Kenpeitai (sekarang Tugu Pahlawan) dan Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Gubeng (sekarang jadi Grand City) yang tetap mempertahankan senjatanya. Terpaksa harus direbut dengan kekerasan, diserbu. Abdul Wahab memimpin perebutan senjata di Markas Kenpeitai (markas pulisi tentara Jepang). Namun dia kena tembak pahanya. Meskipun akhirnya Markas Kenpeitai Jepang bisa ditaklukkan, Abdul Wahab tidak bisa meneruskan kepemimpinannya sebagai Komandan BKR Karesidenan Surabaya. Dan yang menguasai Markas Kenpeitai Jepang (sekarang Tugu Pahlawan) adalah Hariyo Kecik. Untuk sementara gedung Markas Kenpeitai dibagi dua, sisi utara untuk sisa-sisa Kenpeitai Jepang (nonaktif), sisi selatan gedung dipakai oleh Hariyo Kecik, yang diangkat jadi Wakil Komandan Polisi Keamanan Rakyat (kemudian jadi PTKR = Polisi Tentara Keamanan Rakyat). Pendudukan Markas Kenpeitai itu terjadi pada akhir September 1945.
Nah, pada 19 September 1945, sebelum peristiwa perebutan senjata di Kenpeitai itu, terjadi peristiwa penyobekan bendera di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), Jalan Tunjungan, oleh arek-arek Surabaya. Warga Surabaya sangat marah karena di atas hotel itu dikibarkan bendera Belanda, merah putih biru. Padahal Indonesia sudah merdeka satu bulan yang lalu. Peristiwa itu kemudian menjadi inspirasi bagi negara-negara lain yang masih dijajah negara asing. Jadi, menurut saya, arek-arek Surabaya ini menyebarkan semangat kepada bangsa-bangsa lain untuk bangkit melawan penjajahan di muka bumi ini. Dimulai di Surabaya 19 September 1945 suatu bangsa yang telah terjajah ratusan tahun, memberontak melawan bangsa penjajahnya dengan kekerasan bersenjata untuk merdeka, hingga terjadilah perang kemerdekaan. Pemberontakan untuk merdeka di Surabaya tadi segera menular ke negara-negara lain di Asia dan Afrika yang juga dijajah oleh bangsa lain. Dan akhirnya perjuangan kemerdekaan negara-negara terjajah Indonesia, Vietnam, Cambodia, Burma, India, Malaya, dan negara-negara terjajah di Afrika itu berhasil jadi negara merdeka. Terhapuslah kolonialisme di muka bumi, perjuangannya dimulai dari penyobekan bendera bangsa kolonialist oleh arek-arek Surabaya 19 September 1945 di Hotel Yamato Surabaya!
Menurut Anda, apakah semangat kepahlawanan, berjuang tanpa pamrih, dan pengorbanan yang habis-habisan seperti pada 10 November 1945 masih ada di Indonesia saat ini?
Sayang sekali, semangat kepahlawanan itu sudah sangat kurang, bahkan tidak ada lagi. Yang ada sekarang ini adalah semangat untuk mencari kekuasaan dan kekayaan. Makanya, begitu banyak orang yang berlomba-lomba menjadi calon anggota dewan, pejabat dan sebagainya supaya punya kekuasaan. Nah, setelah punya kekuasaan, dia memanfaatkannya untuk mendapat kekayaan sebanyak-banyaknya. Karena itu, korupsi semakin menjadi-jadi di Indonesia.
Mengapa bisa terjadi krisis semangat kepahlawanan seperti sekarang?
Karena rakyat Indonesia sekarang merebut kemakmuran hidupnya tidak disaranai membaca buku. Mana ada orang-orang sekarang yang mau membaca buku-buku sejarah?
Itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang tidak gencar mengajari murid-murid di sekolah untuk membaca buku. Karena bisa hidup meskipun dengan perjuangan kekerasan (kebodohan dan kemiskinan), orang Indonesia hanya hidup untuk masa kini dan masa mendatang. Tidak membaca sejarah, maka mereka selalu melakukan ulang kegagalan-kegagalan hidup bernegara para generasi yang lalu. Bagaimana generasi muda kita bisa tahu dan paham nilai-nilai kepahlawanan kalau tidak membaca buku? Susah kalau orang-orang sekarang hanya mencari kekuasaan dan kekayaan saja.
Kedengarannya Anda kecewa dengan situasi sekarang. Tapi, mengapa Anda masih rajin menulis buku-buku fiksi dan nonfiksi yang berlatar sejarah?
Saya ini mendapat karunia umur panjang dari Gusti Allah. Ada tiga amanah dari Allah yang harus saya lakoni. Pertama, saya masih sehat walafiat meskipun sudah berusia 81 tahun. Kedua, saya bisa bebas memilih untuk melakukan apa saja. Kalau diundang pejabat atau siapa pun, saya bebas untuk tidak datang dan bebas untuk datang. Ketiga, saya diberi kemampuan untuk membaca dan menulis buku yang mungkin berguna untuk orang lain. Maka, tiga amanah itu harus selalu saya jalani agar generasi muda tidak melupakan sejarah. Persoalannya, mau membaca atau tidak, putera bangsa Indonesia ini?
Dikutip dari RADAR SURABAYA, Minggu 10 November 2013.