Aku saksikan jatuhnya Kota Jogja
(Beberapa kenangan pribadi)
Hari 19 Desember 1948 memang merupakan hari yang penuh dengan pengalaman dan kenang-kenangan dari suatu fase baru dalam perjuangan antipenjajah yang entah untuk berapa lama. Di bawah ini kesan-kesan beberapa di antara mereka:
Ibu Sudirman: “Lebih baik mati daripada ditangkap Belanda”.
Sungguh saat yang membutuhkan kesabaran hati dan kelapangan dada bagi seorang isteri melepaskan suaminya, justru karena yang belakangan ini dapat dikatakan masih sakit. Tapi kewajiban memanggil. Negara dalam bahaya. Wanita itu ialah Ibu Sudirman, isteri Panglima Besar. Berkatalah Bu Dirman mengenai saat-saat itu, sebagai berikut:
“Penyerangan Belanda atas Jogja ialah hari Minggu. Sabtunya Pak Dirman masih memerlukan ke rumah sakit Panti Rapih untuk rontgenopname. Ia sesungguhnya belum sembuh betul dari sakitnya, sekalipun sudah keluar dari rumah sakit, belum lagi seminggu. Di Panti Rapih Pak Dirman dirawat selama 40 hari.
Sekalipun sesungguhnya masih harus istirahat, tapi dapat dikatakan Pak Dirman tidak pernah mempergunakan kesempatan ini. Ia selalu sibuk dengan pekerjaan, hingga tidak sedikit membikin repot dokter Suwondo, yang waktu itu merawatnya.
Hari Minggu itu, segera setelah mendengar laporan tentang serangan atas Maguwo, maka segera Pak Dirman meninggalkan rumah menuju ke RRI dan Istana, sekalipun kesehatannya sesungguhnya belum mengizinkan meninggalkan rumah.
Sesudah itu, maka Pak Dirman kembali lagi ke rumah yang kami tempati waktu itu (Bintaran) dan dengan seluruh keluarga kami pindah ke Kadipaten, dalam kompleks kraton, di mana menurut rencana semula Pak Dirman akan juga beristirahat sementara waktu. Tapi agaknya situasi tidak memungkinkan lagi, hingga Pak Dirman segera harus keluar kota.
Itu waktu saya sedang mengandung. Dan Kadipaten menjadi tempat persembunyian saya dengan anak-anak untuk waktu selanjutnya, sampai Jogja kembali. Sekalipun selalu dicari-cari oleh Belanda, dan pernah tempat kami digeledah, tapi berkat rakhmat Tuhan, Belanda sampai sekian lama itu tidak pernah dapat mengenal dan mengetahui bahwa saya adalah isteri Pak Dirman.
“Adakah mungkin Pak Dirman meninggalkan pesan-pesan sebelum beliau keluar kota?”
“Memang ada. Dipesankan kepada saya terutama, ialah untuk tetap besar hati, jangan khawatir apa-apa. Kalau ditakdirkan selamat, ya selamat. Tentu kita akan berjumpa lagi nanti. Begitulah pesan Pak Dirman sebelum berangkat. Selanjutnya Pak Dirman berpesan pula, supaya tetap teguh, dan lebih baik mati daripada ditangkap Belanda!”
Demikian kesan-kesan Bu Dirman tentang 19 Desember 1948. Bu Dirman sampai 14 Desember 1955 (saat wawancara kesan-kesan ini) tetap tinggal di Jogja, di Jalan Batanawarsa, Kotabaru. Penglima Besar Sudirman meninggal dunia sesudah clash II (Perang Kemerdekaan II), dalam bulan Januari 1949 di Magelang dan dimakamkan di Makam Pahlawan Semaki, Jogja.
Walikota Jogjakarta: “Sembunyi dalam kepatihan”.
Mr.Sudarisman Purwokusumo yang sejak 22 Juli 1947, sehari sesudah clash I (Perang Kemerdekaan I) menjabat Walikota Jogjakarta sampai wawancara ini, memberikan kesan-kesan pengalamannya pada hari penyerbuan tentara Belanda itu sebagai berikut:
“Serangan Belanda atas Jogja itu memang tidak terduga-duga. Saya bahkan mengira hari itu mulai latihan perang, seperti yang sudah diumumkan beberapa hari lampau. Dan juga menurut rencana Presiden hari itu akan ke India. Lagi pula perundingan masih berlangsung di Kaliurang. Anggota Komisi Tiga Negara masih berada di tempat tersebut.
Pada waktu itu saya memegang dua fungsi. Kecuali sebagai Walikota Ibukota RI, juga sebagai sekretaris Dewan Pertahanan Daerah. Hari itu juga semua mobil-mobil milik perorangan dimobilisasi seperti yang telah direncanakan, tidak terkecuali juga mobil saya. Cepat-cepat saya pergi ke kantor, ialah Dewan Pertahanan Daerah di Kepatihan, untuk bersama-sama mempersiapkan segala siasat pertahanan kota.
Mobil saya sendiri yang waktu itu dipergunakan untuk kepentingan pertahanan, telah diburu dan ditembaki oleh pesawat Belanda. Hingga terpaksa berhenti dan rusak kena peluru. Sopir mobil (AB 158) Pak Sastro tewas seketika. Sedangkan lainnya dapat loncat dari maut.
Sejak hari itu saya terus tinggal di Kepatihan (tidak pernah lagi pulang), sampai Jogja kembali, dengan berpegang teguh pada sebuah instruksi yang seharusnya berlaku pada clash I, yang waktu itu sebagai persiapan untuk berjaga-jaga, kalau-kalau serbuan Belanda sampai menduduki Jogja.
Instruksi itu antara lain ialah bahwa Sri Sultan sejak hari itu meletakkan pekerjaannya sebagai kepala daerah, hingga tidak memungkinkan bagi Belanda untuk memaksa beliau bekerjasama. Begitupun kami selaku “abdidalem”, hanya tunduk kepada instruksi dari Sri Sultan saja.
Sejak hari itu pula saya membiarkan jenggot dan kumis saya tumbuh. Dengan demikian saya dapat bergerak dengan leluasa keluar-masuk kraton sebagai penghubung antara kraton dan fihak pertahanan di dalam dan luar kota, dengan tidak dikenal dan dicurigai. Bahkan banyak orang menyangka, karena diketahui mobil saya sudah rusak berantakan, bahwa saya sendiri juga tentunya sudah tewas”.
Demikian Mr.Sudarisman Purwokusumo, Walikota Jogjakarta, mengisahkan selintas pengalaman-pengalamannya.
Pak Besut: “Sembunyi dalam selokan”.
Nama Pak Besut (P.Wardojo) bukan nama yang asing lagi zaman awal merdeka. Terutama bagi para pecinta siaran RRI Jogjakarta dengan acara “Obrolan Pak Besut”-nya tiap hari malam Rebo dan Sabtu jam 21.20. Di samping itu iapun menjabat sebagai penanggungjawab redaksi harian “Nasional” di Jogja. Karena obrolan-obrolan di muka corong radio itulah, ia menjadi suatu klikip di mata Belanda waktu itu. Dan sebuah brosur Tijgerbrigade Belanda menyebutnya sebagai “Pak Besut met de scherpe tong, die de scerpter zwaaide over Republiek Djokja”. Ia menuturkan kesan-kesannya pada hari penyerbuan tentara Belanda itu sebagai berikut:
“Pada tanggal 19 Desember 1948 itu karena hari Minggu, maka sebagai seorang Katholik saya pergi ke gereja.
Ketika saya mau memasuki pintu gereja Kotabaru yang letaknya tidak jauh dari rumah saya, (Jalan Mahameru 2), maka saya melihat di arah atas lapangan terbang Maguwo kelihatan ada beberapa pesawat terbang yang sedang beraksi. Meskipun sebelumnya saya telah mendengar kabar, bahwa hari itu Bung Karno akan pergi ke India dan ada pengumuman adanya latihan perang, maka seketika saya depat memastikan, bahwa kapal-kapal terbang yang saya lihat itu terang bukan milik kita, tetapi pesawat musuh.
Ketetapan ini saya ambil dari pengalaman ditembaknya pesawat terbang dari Singapura oleh dua pesawat pemburu Belanda di atas Kota Jogja pada clash I yang menyebabkan tewasnya almarhum Komodor Muda Udara Adisutjipto dan Dr.Abdulrachman Saleh. Sebab saya tahu, bahwa kita tidak mempunyai pesawat-pesawat pemburu seperti yang saya lihat dari muka gereja itu.
Karena rumah saya dipergunakan sebagai tempat pemancar “Siaran Radio Indonesia Merdeka” yang kemudian diganti dengan “Siaran Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia” dengan antenenya yang malang-melintang di atas rumah dengan ditalikan di pohon cemara tinggi yang sudah dihilangkan daun-daunnya, sedang seorang anak saya yang baru berumur 9 bulan masih tidur di rumah, maka saya terus kembali mengambil anak saya itu dari tempat tidurnya.
Besar dugaan saya, kalau pembom-pembom Belanda lebih dulu akan mengebom rumah saya sebagai tempat pemancar yang terang dianggap lawannya yang paling dibenci. Selain radio pemberontakan, juga Belanda tentu tahu, kalau tempat itu adalah tempatnya Pak Besut yang tiap malam memperdengarkan obrolannya, yang tiap memperdengarkan obrolannya, yang 3 kali seminggu direlay oleh RRI.
Dugaan saya itu betul. Baru saja saya membawa keluar anak saya dan memerintahkan keluar anak-anak buah saya, maka pesawat-pesawat pemburu Belanda sudah melayang-layang di atas rumah saya dengan menghambur-hamburkan peluru dari mitralyur, tapi tidak ditujukan ke rumah saya. Sebuah boneka diturunkan dengan payung udara melayang-layang di atas kompleks Kotabaru dan jatuh di dekat rumah Komodor Surjadarma yang letaknya hanya kuranglebih 100 meter dari rumah saya. Waktu itu tentara yang bermarkas di Jalan Mahameru 1 dengan karabinnya akan menembak pesawat-pesawat tersebut.
Dari tempat persembunyian saya di dalam selokan yang penuh najis manusia, saya berteriak-teriak memperingatkan tentara-tentara yang mau menembak dengan karabin itu. Hal ini persis seperti peristiwa penembakan kapal terbang India yang membawa Adisutjipto dalam clash I. Hanya bedanya, kalau dulu dengan pengertian bahwa kapal terbang yang melayang-layang itu kawan sendiri, tapi sekarang tidak bandingnya, sebab saya khawatir mereka akan mati konyol.
Setelah pesawat-pesawat terbang berlalu, maka saya naik dari atas parit. Saya melihat Dr.Halim, kemudian Saudara Asmara Hadi, berlalu di muka rumah saya. Kepada kedua kawan tersebut saya tidak banyak sempat untuk bercakap-cakap. Tiap pesawat terbang Belanda kembali, saya masuk selokan lagi, dan juga isteri saya yang sudah pulang dari gereja.
Karena serbuan atas Kota Jogja tentu akan lebih hebat terjadi, maka saya menyuruh isteri dan anak-anak saya mengungsi ke rumah seorang kawan di belakang hotel “Merdeka”, sekarang hotel “Garuda”. Ketika isteri dan anak-anak saya berangkat, maka pesawat terbang Belanda menghamburkan pelurunya di sekitar hotel “Garuda” yang antara lain mengenai Sekjen Kempen Ruslan Abdulgani.
Untuk mengetahui keselamatan isteri dan anak-anak saya maka dengan bersepeda dan hanya membawa sepasang sepatu, saya pergi ke tempat pemondokan keluarga saya. Waktu saya mau kembali ke Kotabaru, rakyat yang mengetahui kalau saya adalah Pak Besut mencegahnya, karena serdadu-serdadu Belanda sudah ada yang masuk kota.
Seterusnya saya bertempat tinggal di belakang “markas” Belanda yang waktu itu menempati hotel “Merdeka”. Untuk mengetahui keadaan dan apa yang terjadi di dalam hotel itu, tiap-tiap hari saya berhubungan dengan Pak Rachim (mertua Bung Hatta) yang waktu itu sebagai kuasa Hotel “Merdeka”. Setelah Pak Rachim diusir oleh Belanda, hubungan itu terpaksa putus.”
Demikian antara lain kesan-kesan Pak Besut. Ia ditangkap oleh Belanda tanggal 15 Januari 1949, dan kemudian berturut-turut ditawan di IVG selama 10 hari, penjara Wirogunan 30 hari, penjara Mlaten (Semarang) 1 hari, dan penjara Pekalongan 9 bulan. Pak Besut bebas kembali pada tanggal 3 Desember 1949.
Dari dokumen pribadi, SIASAT Desember 1955.