TAK ADA NASI LAIN
Novel baru Suparto Brata terbitan BUKU KOMPAS
Suparto Brata telah menulis buku dan terbit 150 judul lebih. Terkenal sebagai pejuang sastra Jawa, sehingga dijuluki Begawan Sastra Jawa. Tanggal 20 – 24 April 2013 dia diundang menghadiri perayaan the Bangkok World Book Capital 2013 , peringatan ke 35 program the S.E.A Write Award, serta sejarah ulang tahun ke 730 penulisan alphabet di Negara Thailand. Sejak tahun 2001 Unesco (PBB) tiap tanggal 23 April memilih ibu kota suatu negara, yang seluruh penduduknya dari balita hingga seumur-umur hidupnya gemar membaca buku serta menyemangati generasi selanjutnya membaca buku dan menulis buku. Peristiwa tiap tanggal 23 April di ibu kota negara pilihan Unesco tadi disebut the …… World Book Capital…..Tahun pertama 2001 diselenggarakan di ibu kota negara Sepanyol. Sampai perayaan yang ke-13. Tahun 2012 dirayakan di Yerevan (Armenia), 2013 di Bangkok (Thailand), 2014 yang akan datang di Port Harcourt (Negeria). Dalam perayaan di the Bangkok World Book Capital 2013 tanggal 20-24 April 2013 di Bangkok itu diselenggarakan berbagai peristiwa tentang perbukuan, yaitu penerbitan, penjualan, perpustakaan, pembacaan serta kepengarangan, baik itu berupa diskusi di panggung, pameran penjualan buku, pameran perpustakaan, acara para pengarang tamu baca puisi, dan banyak lagi. Sangat padat. Pada kesempatan itu Suparto Brata menyumbangkan buku-buku karangannya ke perpustakaan Bangkok sebanyak 20 judul buku, 10 judul bahasa Indonesia, 10 judul bahasa Jawa.
Bulan Mei 2013, terbit buku Suparto Brata Tak Ada Nasi Lain oleh Penerbit Buku KOMPAS. Buku tadi novel yang menceritakan perikehidupan Saptono sejak lahirnya sampai dewasanya, yang sebenarnya juga pengalaman serta pengamatan pengarangnya (Suparto Brata) sepanjang hidupnya tahun 1938-1958. Saptono lahir dan tumbuh bersama kesengsaraan bangsa pada masa penjajahan Bala Tentara Dai Nippon. Ia ikut kelaparan saat Kota Solo menjadi ajang pergulatan paham komunis, yang disusul dengan konflik kaum pejuang kemerdekaan dengan pasukan Belanda-NICA. Dalam ketaksempurnaannya, Saptono punya tanggung jawab sebagai pembimbing bangsa dan keluarga. Sebagai penyandang cacat lahir-batin, Saptono tak dapat bersyukur atas kelahirannya di dunia, padahal ia dilahirkan sebagai bayi bangsawan, tapi hidup tanpa wahana feodal. Ia lahir di tempat yang salah, di zaman yang salah, dan diasuh indung kandung yang salah pula. Tempatnya di Surakarta Hadiningrat, di akhir zaman feodal, zaman Perang Asia Timur Raya, sekaligus zaman revolusi kemerdekaan Indonesia. Banyak peristiwa sejarah tanahair Indonesia 1938-1958 yang sudah tidak akan diketahui oleh generasi muda masa kini karena tidak terceritakan oleh kakek-neneknya, ditulis di novel ini. Misalnya: pengungsian keluarga pegawai Keretaapi di Garut ke Sragen, kehancuran gedung-gedung sepanjang lintasan jalan tengah kota Sragen yang bukan karena perang peledakan peluru pertempuran, penerimaan tentara Hijrah Siliwangi dari Jawa Barat ke Kota Solo serta kegiatannya mengusir tentara pemberontakan komunis Musa 1948. Ditulis rinci karena ditulis masih dekat-dekat saja dengan peristiwa yang baru saja berlangsung. Sebuah novel sejarah yang merekonstruksi kehidupan sosial masa lalu sebagai bahan pembelajaran demi terciptanya masa depan yang lebih baik.