TRAGEDI MENEBANG POHON DI SURABAYA
Sejak Walikota Surabaya Bambang DH bersemboyan Surabayaku Hijau, tahun 2007 saya menanam pohon duwet dari bijinya yang tumbuh, di tepi sungai Jl. Rungkut Asri Utara sisi selatan (seberang rumah Bapak Menteri Pendidikan Nasional M.Nuh), dan di berm sisi barat rumah Rungkut Asri Utara no. 2 Surabaya. Tepi sungai itu semula merupakan tempat pembuangan sampah, sehingga waktu saya menanam tumbuhan biji duwet itu saya harus membersihkan sampah plastik yang mendominasi lahan. Saya gali hingga tanah asalnya terlihat, saya belikan pupuk kandang beberapa karung untuk menggantikan sampah plastik. Sedang rumah Rungkut Asri Utara no.2 merupakan rumah kontrakan, berganti-ganti para pengontraknya tidak merawat berm sekeliling rumahnya, hingga bermnya kumuh tumbuh rumput liar ilalang tak terpelihara, tak sedap dipandang mata tetangga seputar lingkungannya, termasuk rumah saya yang berjarak sekitar 200 meter. Untuk ditanami tumbuhan biji duwet di lahan berm tadi harus saya babat rumputnya, saya gali bermnya, ternyata dasar berm itu merupakan kuburan sisa bangunan rumah seperti pecahan keramik dan penggalan batu semen. Saya harus membongkari tanah berm itu, akar ilalang dan penggalan beton saya ganti pupuk kandang atau pupuk organik, agar tumbuhan biji duwetku tumbuh subur. Selanjutnya tumbuhan biji duwet tadi saya rawat, tiap sore setelah sholat asar saya sirami tak pernah jeda, meski rumahku terletak 200 meter dari situ.
Dari kecambah tumbuhan biji duwet, akhirnya tumbuh batang pohon duwet. Kian lama kian tinggi. Jumlah pohon duwet di pinggir sungai sebanyak 35 batang, di berm tetangga sebanyak 25 batang. Subur, karena selain saya sirami, saya rawat tumbuhnya, saya beri tambahan pupuk segala.
Ketika Mbak Veronica Myra Wijaya, mahasiswi aktif jurusan Desain Komunikasi Visual Universistas Krinten Petra Surabaya pada tahun 2009 mendapat tugas dari dosennya membranding seseorang untuk dijadikan objek karya latihan semesternya, dia memilih saya sebagai tokoh yang dibranding. Jadilah karyanya yang merupakan buku sangat lux penuh cetak gambar tatawarna dan kertas tebal mengkilap, diberi judul: SUPARTO BRATA Begawan Sastra Jawa. Selain menceritakan kehidupan saya dengan foto-foto dokumen hitam-putih saya sejak kecil hingga dewasa, juga dicantumkan foto-foto segala sesuatunya tentang saya waktu itu (2009), ya foto keluarga saya (anak, mantu, cucu, lengkap), sejumlah foto-foto halaman depan buku-buku karya saya, rumah saya, dan juga aktivitas saya MENANAM POHON DUWET yang waktu itu sudah berumur 2 tahun. Foto-foto karya Mbak Myra Wijaya ini semua tatawarna. Saya membawa ember mau menyiram pohon duwet, sedang menyiram pohon duwet di tepi kali Rungkut Asri Utara Surabaya, semua dipotret dan dicantumkan pada buku karya Veronica Myra Wijaya: SUPARTO BRATA Begawan Sastra Jawa, 2009.
Ketika di Surabaya diselenggarakan Lomba Kampung menanam 1000 pohon, juaranya sudah diumumkan, ada yang kampungnya menjadi sangat rindang mendapat pujian. RW saya tidak ikut lomba. Namun diam-diam saya bangga, betapa pun dari 1000 pohon di RW saya, saya telah menyumbang 60 batang pohon duwet, yang tingginya sudah mencapai 2-3 bahkan 4 meter di kampung saya. Dan ditambah pohon buah lainnya (pohon mangga, srikaya, sawo kecik) yang juga saya tanam di lahan duwet saya. Meski belum serindang pohon kampung juara lomba menanam 1000 pohon. Dan tetap bersemangat merasa bangga, selama 2007 -2013 sejak tumbuh dari kecambah menjadi pohon-pohon tadi tiap sehabis sholat asar saya sirami, tiap batang satu ember air. Sudah berganti-ganti RW/RT dan para tetangga sama tahu kerja saya menyirami pohon-pohon saya itu. “Sudah besar, Pak, tidak usah disiram pasti hidup,” banyak tetangga yang menegur. “Sudah mendung, mau hujan, Pak, tidak usah disirami”, tegur yang lain. “Sore mundung, belum tentu hujan jatuh. Dan menyiram 60 batang pohon duwet begini termasuk seni olahraga saya, dan kecintaan saya seni menanam pohon,” jawab saya.
Sampai tanggal 24 Januari 2013, ketika musim hujan sudah tiba tetapi daerah Rungkut Asri belum turun hujan, saya masih berolah seni menyirami pohon-pohon saya itu. Saya sirami 60 ember air 60 batang pohon duwet di tepi sungai dan di berm tetangga yang jaraknya 200 meter dari rumah saya, bukan setelah sholat asar lagi, jadwalnya saya pindah pagi hari panas jam 10-12 siang sebelum sholat lohor, menghindari ramainya jalan sekitarnya. Sebab pada akhir-akhir ini lahan sekitar tanamanku duwet dipakai bermain sepakbola oleh warga (dewasa) kampung Rungkut Lor.
Setelah itu hujan deras jatuh di Rungkut Asri Utara. Saya tidak menyirami lagi tanamanku. Dan tidak saya tengok, karena rumah saya sendiri bocor, hari-hari hujan konsentrasi memperbaiki atap rumah yang bocor. Tapi pagi hari terang cuaca tanggal 28 Januari 2013 saya menengoki tanaman duwet saya, sangat terkejut, karena pohon duwet yang di berm, semua dipangkas pucuk pohonnya 1-2 meter, dan sebanyak 15 batang pohon yang tingginya sudah 3-4 meter, yang saya rawat seperti merawat bayi manusia selama 2007-2013, ditebang pada pokoknya, pasti mati.
Siapa yang menebangi saya tidak tahu. Tapi pasti bukan para tetangga, bukan penguasa RT/RW setempat, bukan pekerja pembuang sampah yang sering dimintai tolong untuk mempercantik taman rumah tetangga, karena mereka semua tahu benar saya telah merawat bayi tumbuhan duwet dengan susah payah sejak lama, sejak biji bayi tumbuhan duwet hingga kini waktunya berkembang.
Ini contoh mini tragedi penebangan hutan di Indonesia yang berlangsung di Surabaya. Untuk membesarkan tanaman pohon (hutan ataupun duwet) dibutuhkan waktu bertahun-tahun dan perawatan yang penuh kasih sayang, tapi untuk menebang pohon dibutuhkan waktu setengah hari, habis!
Suparto Brata, pecinta seni menanam pohon di Surabaya.
Jl. Rungkut Asri III/12, Perum. YKP RL-I-C 17 Surabaya.